Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN ILMIAH

STUNTING

Indonesia mempunyai masalah gizi yang cukup berat yang ditandai dengan banyaknya
kasus gizi kurang atau malnutrisi. Malnutrisi merupakan suatu dampak keadaan status gizi.
Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah masih tingginya anak
balita pendek (Stunting). Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau
tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang
atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak
dari WHO. Sedangkan menurut Kemenkes RI, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang
ditandai dengan tubuh pendek. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan
oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan
kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Stunting masih
menjadi masalah global yang terus diperhatikan oleh WHO.

Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Data
prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO). Masih
tingginya angka stunting menyebabkan stunting menjadi salah satu fokus pada target perbaikan
gizi di dunia sampai tahun 2025. Angka kejadian stunting masih sangat tinggi terutama di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia termasuk ke dalam negara dengan
angka stunting tertinggi, Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017
adalah 36,4%. Pada tahun 2018 prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 30,8% dan pada
tahun 2019 prevalensi balita stunting di Indonesia kembali mengalami penurunan yaitu
menjadi 27,7%, walaupun sudah turun, hal ini masih jauh dari standar yang ditetapkan oleh
WHO. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi
stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong
kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional. Pemerintahan
Indonesia sendiri memilki target agar pada tahun 2024 angka stunting di Indonesia turun
menjadi 14%. Kejadian stunting harus diperhatikan karena dampaknya tidak hanya terjadi
dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang.

Di Indonesia, 10 provinsi dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi adalah Nusa


Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Pemerintah
diharapkan fokus terhadap 10 provinsi tersebut untuk menurunkan angka stunting untuk
mencapai target yang yang diinginkan.

Stunting dapat mulai terjadi dari pra-konsepsi yaitu saaat ibu hamil memilki gizi yang
kurang dan anemia, hal tersebut dapat memburuk bila sanitasi rendah. Secara khusus, ini
termasuk status gizi dan kesehatan ibu sebelum, selama dan setelah kehamilan, yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan awal anak, dimulai dari dalam rahim.
Intervensi yang dianggap paling menentukan adalah rendahnya asupan gizi pada 1.000 hari
pertama kehidupan, yakni sejak janin hingga bayi umur dua tahun. 1.000 hari pertama
kehidupan dianggap sebagai ”masa emas” pertumbuhan karena akan mempengaruhi
pertumbuhan selanjutnya. Selain itu, buruknya fasilitas sanitasi, minimnya akses air bersih, dan
kurangnya kebersihan lingkungan juga menjadi penyebab stunting. Kondisi kebersihan yang
kurang terjaga membuat tubuh harus secara ekstra melawan sumber penyakit sehingga
menghambat penyerapan gizi. Selain itu ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya stunting termasuk kesehatan dan gizi ibu yang buruk, praktik pemberian makan bayi
dan anak yang tidak memadai, dan infeksi.
Indonesia hingga saat ini masih menggunakan standar WHO untuk menentukan
kejadian stunting. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 2 Tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak, disebutkan bahwa standar pengukuran masih mengacu pada WHO Child
Growth Standard (usia 0-5 tahun) dan The WHO Reference (untuk usia 5-18 tahun), walaupun
ada statement yang menjelaskan terjadi dilema pada petugas karena terdapat ketidaksesuaian
dengan kurva tersebut di lapangan, sehingga beberapa orang mengungkapkan bahwa adanya
kemungkinan ketidak sesuaian standarasisasi karena adanya perbedaan ras.

Ciri-ciri Stunting
1. Pertumbuhan melambat
2. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye contact
3. Wajah tampak muda dari usianya
4. Pertumbuhan gigi melambat
5. Tanda pubertas terlambat
6. Performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar
Faktor Risiko
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik
Hal ini termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan yang ada
menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia
diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makan- an baru pada bayi,
MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong
oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak
terhadap makanan maupun minuman.

2. Masih terbatasnya layanan kesehatan


Hal ini termasuk terbatasnya layanan Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu
selama masa kehamilan), Post Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu setelah
melahirkan) dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari
publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum
mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil
belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai.

3. Penyakit menular
Penyakit menular yang parah menyebabkan wasting, yang mungkin memiliki konsekuensi
jangka panjang untuk pertumbuhan linier, tergantung pada tingkat keparahan, durasi dan
kekambuhan, terutama jika tidak ada makanan yang cukup untuk mendukung pemulihan.

4. Infeksi subklinis
Infeksi subklinis yang dihasilkan dari paparan lingkungan yang terkontaminasi dan
kebersihan yang buruk, dikaitkan dengan pengerdilan, karena malabsorpsi nutrisi dan
berkurangnya kemampuan usus berfungsi sebagai penghalang terhadap organisme
penyebab penyakit.
5. Akibat dari kemiskinan rumah tangga, pengabaian pengasuh, praktik pemberian makan
yang tidak responsif, stimulasi anak yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, dan
kerawanan pangan semuanya dapat berinteraksi untuk menghambat pertumbuhan dan
perkembangan.

Dampak
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka
panjang.
1. Dampak Jangka Pendek.
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan
c. Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang.


a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya);
b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
c. Menurunnya kesehatan reproduksi;
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah; dan
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

Pencegahan
1. Memenuhi Kebutuhan Gizi sejak Hamil
Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu
memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account
Indonesia menyarankan agar ibu yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan
sehat nan bergizi maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang
menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter
atau bidan.
2. Pemberian ASI Eksklusif sampai Bayi Berusia 6 Bulan
Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI
ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro
dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama
enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu
ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.

3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI Sehat


Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan
pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa
memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah
stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau penambahan nutrisi ke dalam
makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat akan menentukan produk tambahan
tersebut.

4. Terus Memantau Tumbuh Kembang Anak


Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan
berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak.
Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan
penanganannya.

5. Menjaga Kebersihan Lingkungan


Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama jika
lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan
peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah
faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara salah satu
pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Semoga informasi ini membantu para ibu mencegah stunting dan meningkatkan kualitas
kesehatan anak.
Program Pemerintah
1. Peningkatan Gizi Masyarakat
Melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi
anak. Kementerian Kesehatan merilis, 725 ribu ibu hamil yang mendapatkan PMT untuk
ibu hamil dan balita kurus di Papua dan Papua Barat, Surveilans Gizi pada 514
Kabupaten/Kota dan Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada 514 Kabupaten/Kota.

2. Pemberian Zat Gizi Mikro


Pemberian zat gizi mikro kepada sekira 211 ribu ibu hamil dan 720 ribu Balita di 20
Kabupaten di Jatim dan NTT. Zat gizi mikro yang diberikan kepada ibu hamil berupa
suplemen tablet tambah darah yang mengandung zat besi dan asam folat. Sementara zat
gizi bagi Balita berupa dua kapsul vitamin A sesuai dosis. Terdapat pula lebih dari 64 ribu
anak Balita menderita diare dan sudah diberikan tablet Zinc dan oralit sesuai tatalaksana.

3. Perbaikan Sanitasi
Sanitasi berbasis Lingkungan melalui peningkatan kualitas sanitas lingkungan di 250 desa
pada 60 Kabupaten/Kota, dengan target prioritas pada desa yang tingkat prevalensi
stuntingnya tinggi.

4. Anggaran Pemerintah
Anggaran setiap desa dalam program ini sebesar 100 juta, dengan target minimal 20 KK
terlayani jamban individu sehat dan cuci tangan pakai sabun dan kebijakan yang menyasar
kepada warga miskin agar ada perubahan perilaku.

5. Pembangunan Infastruktur
Pemerintah membangun infrastruktur air minum dan sanitasi untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia, salah satunya mencegah stunting. Dalam empat tahun telah membangun
Instalansi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Tempat Pengolahan Air (TPA), dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat (SANIMAS).
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiastutik dan Rahfiludin. (2019) Faktor Risiko Stunting pada anak di Negara
Berkembang. Amerta Nutr, 122-126. DOI: 10.2473/amnt.v3i3.2019.122-129
2. Kemenkes RI. (2019). Pencegahan Stunting Pada Anak. Available at :
http://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting
3. Kemenkes RI. (2019). Cegah Stunting dengan Perbaikan Pola Makan, Pola Asuh dan
Sanitasi. Available at : http://p2ptm.kemkes.go.id/post/cegah-stunting-dengan-perbaikan-
pola-makan-pola-asuh-dan-sanitasi
4. Kemenkes RI. (2018). 1 dari 3 Balita Indonesia Derita Stunting. Available at :
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/1-dari-3-balita-indonesia-derita-stunting
5. Kemenkes RI. (2020). Cegah Stunting, Ratusan Ribu Ibu Hamil dan Balita Diberi Zat Gizi
Mikro. Available at : https://www.kemkes.go.id/article/view/20011700003/cegah-
stunting-ratusan-ribu-ibu-hamil-dan-balita-diberi-zat-gizi-mikro.html
6. Leroy, J. L., & Frongillo, E. A. (2019). Perspective: What Does Stunting Really Mean? A
Critical Review of the Evidence. Advances in nutrition (Bethesda, Md.), 10(2), 196–204.
https://doi.org/10.1093/advances/nmy101
7. Lestari, E., & Dwihestie, L. (2020). ASI Eksklusif Berhubungan dengan Kejadian Stunting
pada Balita. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 10(2), 129-136.
Retrieved from http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/PSKM/article/view/731
8. Pang, Edy (Ed.). 2019. Bersama Perangi Stunting. Jakarta Pusat : Direktorat Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
9. Pemerintah Indonesia. 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak. Jakarta : Sekertariat Jendral Kementrian
Kesehatan.
10. Sutarto, Mayasari, D., dan Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor Resiko dan
Pencegahannya. Jurnal Agromedicine, 5(1) : 540-545.

Anda mungkin juga menyukai