Anda di halaman 1dari 8

Penyebab 

Stunting pada Anak
Memahami penyebab stunting adalah hal yang dapat dilakukan sejak janin di
dalam kandungan. Berikut adalah penyebab stunting yang harus Anda tahu, di
antaranya:

1. Asupan Nutrisi Ibu

Penyebab stunting yang pertama dipengaruhi oleh asupan nutrisi ibu hamil. Ibu
hamil yang kurang mengonsumsi makanan bergizi seperti asam folat, protein,
kalsium, zat besi, dan omega-3 cenderung melahirkan anak dengan kondisi
kurang gizi. Kemudian saat lahir, anak tidak mendapat ASI eksklusif dalam
jumlah yang cukup dan MPASI dengan gizi yang seimbang ketika berusia 6
bulan ke atas.

2. Kurangnya Asupan Makanan Sehat dan Bergizi sebagai


Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping yang tidak cukup dan kekurangan nutrisi


penting di samping asupan kalori murni adalah salah satu penyebab
pertumbuhan pada anak terhambat. Anak-anak perlu diberi makanan yang
memenuhi persyaratan minimum dalam hal frekuensi dan keragaman makanan
untuk mencegah kekurangan gizi.

3. Kebersihan Lingkungan

Ada kemungkinan besar hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak dan


praktik sanitasi rumah tangga. Kontaminasi jumlah besar bakteri fecal
coliform oleh anak-anak ketika meletakkan jari-jari kotor atau barang-barang
rumah tangga di mulut mengarah ke infeksi usus. Kondisi ini memengaruhi
status gizi anak dengan cara mengurangi nafsu makan (2), mengurangi
penyerapan nutrisi (3), dan meningkatkan kehilangan nutrisi (1).
Penyakit-penyakit yang berulang seperti diare dan infeksi cacing usus
(helminthiasis) yang keduanya terkait dengan sanitasi yang buruk telah terbukti
berkontribusi terhadap terhambatnya petumbuhan anak.

Enviromental enterophaty adalah infeksi usus halus pada anak yang disebabkan


oleh sanitasi yang buruk. Infeksi kronis yang terjadi akibat lingkungan yang
kotor dan sanitasi buruk menyebabkan fungsi usus halus terganggu.

Selain beberapa penyebab stunting seperti di atas, hal-hal lainnya yang bisa
berkontribusi pada stunting adalah konflik sosial, kondisi iklim, harga dan
ketersediaan pangan yang pada gilirannya berkontribusi menyebabkan stunting.

Dampak Stunting pada Anak


Umumnya stunting adalah gangguan yang sering ditemukan pada balita,
khususnya usia 1-3 tahun. Pada rentang usia tersebut, ibu dapat mengenal
apakah anak mengalami stunting atau tidak. Dampak stunting yang bisa terlihat
antara lain:

1. Mengganggu Pertumbuhan Tinggi dan Berat anak

Stunting adalah salah satu dari berbagai penyebab anak lebih pendek
dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Berat badannya pun cenderung
jauh di bawah rata-rata anak sebayanya.

2. Tumbuh Kembang Anak Tidak Optimal

Stunting juga bisa terlihat pada tumbung kembang anak di mana anak menjadi
terlambat jalan atau kemampuan motoriknya kurang optimal.

3. Memengaruhi Kecerdasan dan Kemampuan Belajar Anak


Menurut sebuah penelitian, stunting adalah salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap IQ anak lebih rendah dibanding anak seusianya. Anak akan sulit
belajar dan berkonsentrasi akibat kekurangan gizi.

4. Mudah Terserang Penyakit

Jika anak mengalami stunting kemungkinan besar anak akan mengalami kondisi
yang membuat anak mudah terserang penyakit dan berisiko terkena berbagai
penyakit saat dewasa seperti diabetes, jantung, kanker dan stroke. Bahkan
stunting pada anak juga bisa berujung pada kematian usia dini.

Fokus Penanganan

Berkurangnya massa otot dapat mewakili mekanisme umum yang


menghubungkan wasting dan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
mengurangi angka kematian terkait gizi buruk, intervensi harus bertujuan untuk
mencegah wasting dan stunting, yang sering kali memiliki penyebab yang
sama.

Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pengobatan harus fokus pada anak-anak
yang wasting dan stunting yang memiliki defisit terbesar dalam massa otot,
daripada berfokus pada kekurangan gizi saja.

Penurunan massa lemak sering terjadi tetapi tidak konsisten dalam stunting.
Lemak mengeluarkan banyak hormon, termasuk leptin, yang mungkin memiliki
efek stimulasi pada sistem kekebalan tubuh.

Perlu diketahui juga bahwa leptin memiliki efek pada pertumbuhan tulang. Hal
ini mungkin menjelaskan mengapa anak-anak kurus dengan simpanan lemak
rendah berdampak pada tinggi badannya yang tetap rendah.

Ini juga dapat menjelaskan keterkaitan stunting yang sering dikaitkan dengan
wasting. Bagaimanapun, stunting dapat terjadi tanpa adanya wasting dan
bahkan pada anak-anak yang kelebihan berat badan. Dengan demikian,
suplementasi makanan harus digunakan dengan hati-hati dalam populasi di
mana stunting tidak terkait dengan wasting dan simpanan rendah lemak.

Pencegahan Stunting pada Anak


Guna mencegah anak stunting, ibu bisa mencegahnya sejak masa kehamilan.
Beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting adalah:

1. Memperbaiki pola makan dan mencukupi kebutuhan gizi selama


kehamilan.
2. Memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung zat besi dan
asam folat untuk mencegah cacat tabung saraf.
3. Memastikan anak mendapat asupan gizi yang baik khususnya pada
masa kehamilan hingga usia 1000 hari anak.
4. Selain itu stunting adalah gangguan yang juga dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan akses air
bersih di lingkungan rumah.

Hal penting yang harus dipahami, tidak ada solusi sederhana untuk mencegah
stunting. Namun, berfokus pada rentang waktu antara kehamilan ibu dan ketika
anak berusia dua tahun adalah kunci untuk memastikan perkembangan anak
yang sehat.

Stunting di Indonesia
Data Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi stunting terdiri atas balita
yang memiliki badan sangat pendek 11,5% sementara dengan tinggi badan
pendek mencapai 19,3%.

Prevalensi balita stunting pada 2018 naik dalam dua tahun terakhir dan berada
di level tertingginya sejak 2014. Menurut standar WHO, suatu wilayah
dikatakan mengalami masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari
20% atau balita kurus di atas 5%. Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan
orang tua akan pentingnya kesehatan menjadi salah satu penyebab tingginya
balita dengan tinggi badan di bawah standar.

Kondisi Ibu dan Calon Ibu

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan memengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
Faktor lainnya pada ibu yang memengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek),
jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi
yang kurang pada saat kehamilan.

Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20%
dari terjadinya stunting.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia
10-14 tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi
kehamilan pada remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan.

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan
berumur 15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di
atas 20 tahun (usia ideal kehamilan).

Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99%
pada usia 17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini
menunjukkan bahwa setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia
mengalami kehamilan pertama pada usia muda atau remaja.

Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi
badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya
stunting. Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki
status gizi yang baik. Pada tahun 2017, persentase remaja putri dengan kondisi
pendek dan sangat pendek meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 7,9%
sangat pendek dan 27,6% pendek.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko
kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas
rata-rata nasional. Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang
akan datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh
pendek dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada
meningkatnya prevalensi stunting di Indonesia.

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun
2017 adalah 10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah
14,8%. Asupan gizi WUS yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat
memiliki berat badan yang ideal saat hamil.

Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang
ditetapkan pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa
biskuit yang mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya
dengan 11 vitamin dan 7 mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi.

Situasi Bayi dan Balita

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya
inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif,
dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.

Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) hal yang
perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang
diberikan.
Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat
IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah
mendapat inisiasi menyusu dini.

Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh
(97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada
12 provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua
Barat belum mengumpulkan data.

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017
sebesar 61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif
terdapat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah
terdapat pada Papua (15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka
nasional. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI
eksklusif masih perlu ditingkatkan.

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan
sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth
faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di
Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk
kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5%
mengalami defisit ringan.

Guna memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program


pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT
lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit khusus balita. Jika berat badan telah
sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka makanan
tambahan balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan
keluarga gizi seimbang.

Informasi kesehatan ini telah ditinjau dr. Jati Satriyo


Sumber:

1. Stunting in a nutshell.
https://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/.
(Diakses pada 12 September 2019).
2. STUNTING: WHAT IT IS AND WHAT IT MEANS.
https://www.concernusa.org/story/what-is-stunting/. (Diakses pada 12
September 2019).
3. What is stunting? And why should we know about it.
https://www.concern.org.uk/news/what-stunting-and-why-should-we-
know-about-it. (Diakses pada 12 September 2019).
4. Wasting and stunting–similarities and differences: policy and
programmatic implications.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25902610. (Diakses pada 12
September 2019).

Anda mungkin juga menyukai