Trigger Esai 6
Gambar 1
Cakupan suplementasi vitamin A pada anak umur 6-59 bulan, Indonesia tahun 2007 dan 2013
Sumber: Riskesdas 2013
Faktor sosioekonomi seperti pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan status sosial sering
disebut sebagai faktor penting yang memengaruhi persepsi dan menentukan perilaku sehat
dan sakit masyarakat (Bolaria, 1994 dalam Akmam, 2001). Ada banyak keuntungan dari
pendidikan ibu terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk anaknya. Pertama, pendidikan
membekali ibu dengan pengetahuan yang lebih baik tentang praktik medis dan meningkatkan
kesadaran ibu akan manfaat fasilitas kesehatan. Kedua, pendidikan memberikan ibu
jangkauan kontak yang lebih luas dan dapat mempermudah akses ke fasilitas kesehatan.
Ketiga, pendidikan memberikan ibu status sosial yang lebih tinggi sehingga meningkatkan
kepercayaan diri untuk berinteraksi sosial dengan orang-orang yang berstatus sosial lebih
tinggi juga, seperti tenaga kesehatan. Selain itu, pendidikan membuat ibu berperan lebih aktif
dalam rumah tangga dan di depan umum yang memungkinkan ibu menuntut perawatan medis
yang lebih baik untuk anak-anaknya. (Vikram, Vanneman, and Desai, 2012).
Beberapa penelitian fokus membahas pengaruh tingkat pendidikan ibu daripada tingkat
pendidikan ayah terutama dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan. Banyak studi
menunjukkan bahwa faktor pendidikan terutama pada ibu merupakan cara yang efektif untuk
memperbaiki kesehatan anak dan mengurangi mortalitas. Beberapa mekanisme menyebabkan
faktor pendidikan menjadi penting antara lain: (a) pendidikan membuat ibu sadar tentang
pentingnya hidup sehat bagi dirinya dan keluarganya; (b) pendidikan membantu membentuk
perilaku atau praktik hidup sehat; (c) pendidikan melengkapi ibu dengan pengetahuan tentang
penyebab penyakit dan mendorong perilaku sehat dan sakit berupa tindakan pencegahan dan
pengobatan; (d) pendidikan mendorong ibu mengadopsi praktik pemberian makan yang tepat;
(e) pendidikan membuat ibu lebih ingin menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan; (f)
pendidikan melalui media massa memungkinkan ibu mendapatkan informasi yang lebih baik
mengenai isu-isu kesehatan; dan (g) pendidikan memberdayakan ibu untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang benar dan tepat waktu tentang kesehatan anak-anakanya.
(Akmam, 2001).
Menurut Riskesdas 2010, terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan
kepala keluarga dan status ekonomi, semakin tinggi pula cakupan suplementasi vitamin A.
Hasil riset Riskesdas 2013 memaparkan secara berturut-turut bahwa cakupan suplementasi
vitamin A pada anak umur 6-59 bulan yang berasal dari kepala keluarga tidak pernah sekolah
sebanyak 66,8%; tidak tamat SD/MI 70,4%; tamat SD/MI 74,9%; tamat SMP/MTS 76,5%;
tamat SMA/MA 77,7%; dan tamat D1-D3/PT 76,9%. Hasil analisis data Riskesdas 2010 oleh
Ridwan (2013) menunjukkan bahwa anak balita yang berasal dari kepala keluarga yang
berpendidikan kurang dari SMP berisiko 1,262 kali tidak mendapatkan suplementasi vitamin
A dibandingkan yang berpendidikan SMP ke atas.
Hasil survei di Cambodia pada tahun 2005 mengungkapkan bahwa pendidikan ibu
merupakan faktor penting terkait penerimaan suplementasi vitamin A (Grover, et al, 2008).
Dalam survei tersebut tidak ditemukan perbedaan cakupan yang siginifikan terkait dengan
parameter pendidikan ayah, umur anak, riwayat demam 2 minggu tekahir, status stunting,
underweigth, atau wasting antara anak yang menerima dan tidak menerima suplementasi
vitamin A. Sebuah penelitian oleh Berger, et al, pada tahun 2007 terhadap anak-anak yang
tidak mendapat suplementasi vitamin A di daerah-daerah pedesaaan di Indonesia secara
signifikan berasal dari ayah dan ibu yang berpendidikan rendah. Bahkan, tingkat pendidikan
orang tua dan jarak tempuh dari rumah ke posyandu diduga merupakan penyebab kuat
kegagalan pencapaian program vitamin A. Penelitian lain di Finipina berdasarkan survei
nasional pada tahun 1993 dan 1998 menunjukkan bahwa anak yang mempunyai ibu
berpendidikan tujuh tahun atau lebih memiliki cakupan suplementasi vitamin A yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak dengan ibu berpendidikan enam tahun atau kurang (Choi,
Bishai, and Hill, 2005). Hasil penelitian serupa juga terjadi di India tahun 2005-2006
mengungkapkan bahwa anak yang mempunyai ibu berpendidikan sekolah menengah atas
atau lebih tinggi kemungkinan besar 2,4 kali menerima suplementasi vitamin A (Agrawal and
Agrawal, 2013).
Sebagai salah satu penilaian tingkat pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari rata-rata
lama sekolah yang dicapai penduduk umur 15 tahun ke atas, yaitu 8,08 tahun. Rata-rata lama
sekolah penduduk laki-laki lebih tinggi, yaitu 8,3 tahun daripada penduduk perempuan, yaitu
7,5 tahun (BPS, 2011 dalam BKKBN, 2013). Artinya, rata-rata perempuan Indonesia hanya
mengenyam pendidikan sampai jenjang SMP. Papua adalah provinsi dengan rata-rata lama
sekolah penduduk perempuan terendah, yaitu 5 tahun. Hal ini berbanding lurus dengan
cakupan suplementasi vitamin A pada balita yang juga cukup rendah, yaitu 53,1%. Di sisi
lain, Yogyakarta mempunyai rata-rata lama sekolah penduduk perempuan yang cukup tinggi,
yaitu 8,6 tahun. Hal ini juga berbanding lurus dengan cakupan suplementasi vitamin A pada
balita yang telah melampaui target, yaitu 84,4%. Akan tetapi, hal serupa tidak berlaku untuk
beberapa provinsi. Nusa Tenggara Barat memiliki cakupan suplementasi vitamin A tertinggi,
yaitu 89,2%, tetapi rata-rata lama sekolah penduduk perempuan yang justru di bawah rata-
rata nasional, yaitu 6,4 tahun. Kondisi berbanding terbalik ini juga terjadi di Sumatera Utara
yang memiliki cakupan suplementasi vitamin A terendah (52,3%), tetapi rata-rata lama
sekolah penduduk perempuan yang cukup tinggi, yaitu 8,5 tahun. Ketimpangan tersebut
mungkin disebabkan tidak terdapat data-data yang secara spesifik memaparkan tingkat
pendidikan ibu yang anaknya menjadi sasaran suplementasi vitamin A di berbagai daerah di
Indonesia.
Menurut Akmam (2001), pendidikan ibu sendiri tidak cukup menjamin kelangsungan
hidup anak-anaknya. Meskipun demikian, dapat dimengerti bahwa anak yang berasal dari ibu
berpendidikan rendah berisiko lebih tinggi tidak mendapat suplementasi vitamin A karena
sulit bagi ibu tersebut untuk memahami masalah kesehatan seperti kehamilan, kelahiran dan
perawatan anak, pendidikan kesehatan, dan masalah yang lain. Melalui berbagai penelitian,
diketahui faktor-faktor demografis lain yang saling terkait satu sama lain seperti umur anak,
umur ibu, tempat tinggal, akses dan pengetahuan tentang keberadaan posyandu, status
ekonomi keluarga, serta integrasi dengan program kesehatan lain seperti vaksinasi dan
penimbangan berat badan bayi juga memengaruhi variasi cakupan suplementasi vitamin A di
Indonesia. Faktor lain yang juga memberikan kontribusi, yaitu kecakapan tenaga kesehatan
dan keterlibatan kader.
Sebagai kesimpulan, terdapat banyak faktor yang menyebabkan variasi cakupan
suplementasi vitamin A di Indonesia, salah satunya adalah tingkat pendidikan ibu yang
berbeda antar daerah. Penelitian di negara-negara berkembang memperlihatkan
kecenderungan anak yang tidak menerima kapsul vitamin A berasal dari ibu berpendidikan
rendah. Hal ini disebabkan oleh peran penting pendidikan yang mengubah persepsi dan
meningkatkan kesadaran ibu tentang kesehatan terutama dalam pemanfaatan fasilitas
kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah dapat menyediakan lingkungan pendidikan formal
maupun nonformal bagi ibu dan kaum perempuan untuk meningkatkan pengetahuannya.
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan kinerja tenaga kesehatan dan
kader dalam memberikan edukasi khususnya terkait gizi kepada ibu dan kaum perempuan.
Peningkatan pendidikan ibu akan berdampak baik terhadap faktor-faktor lain seperti
perbaikan status ekonomi dan bertambahnya pengetahuan tentang akses dan keberadaan
fasilitas kesehatan sehingga diharapkan dapat meningkatkan cakupan suplementasi vitamin A
di berbagai daerah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, S. and Agrawal, P. K., 2013. Vitamin A supplementation among children in India:
Does their socioeconomic status and the economic and social development status of
their state of residence make a different. International Journal of Medicine and Public
Health, pp. 48-54, Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25729705>
[Accessed 22 April 2015].
Akmam, W., 2001. Maternal Education as a Strategy for Children’s Survival and Health in
Developing Countries, with Special Reference to Bangladesh. Eubios Journal of Asian
and International Bioethics, Available at:
<http://www.eubios.info/EJ113/EJ113E.HTM> [Accessed 27 April 2015].
Almatsier, S., 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2013. Profil Kependudukan dan
Pembangunan di Indonesia Tahun 2013 [pdf] Available at: <http://www.bkkbn.go.id>
[Accessed 1 May 2015].
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2010. Riset
Kesehatan Dasar (Riskedas) 2010 [pdf] Available at:
<http://www.litbang.depkes.go.id> [Accessed 26 April 2015].
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2013. Riset
Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 [pdf] Available at: <http://www.litbang.depkes.go.id
> [Accessed 26 April 2015].
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2013. Riskesdas
2013 Dalam Angka [pdf] Available at: <http://www.litbang.depkes.go.id> [Accessed 26
April 2015].
Beaton, G. H., 1994. Vitamin A supplementation and child morbidity and mortality in
developing countries. [online] Available at:
<http://archive.unu.edu/unupress/food/8F154e/8F154E04.htm> [Accessed 21 April
2015].
Berger, S. G., et al, 2007. Malnutrition and Morbidity Are Higher in Children Who Are
Missed by Periodic Vitamin A Capsule Distribution for Child Survival in Rural
Indonesia. The Journal of Nutrition, pp. 1328-1333, Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17449600> [Accessed 22 April 2015].
Choi, Y., Bishai, D., and Hill, K., 2005. Socioeconomics Differentials in Supplementation of
Vitamin A: Evidence from the Philippines. J Health Popul Nutr, pp. 156-164, Available
at: <http://www.bioline.org.br/pdf?hn05019> [Accessed 22 April 2015].
Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI, 2009. Panduan Manajemen
Suplementasi Vitamin A. [pdf] Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Available at:
<http://gizi.depkes.go.id> [Accessed 18 April 2015].
Evert, A., 2013. Vitamin A. [online] Available at:
<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002400.htm> [Accessed 18 April
2015].
Grover, D. S., et al., 2008. Vitamin A supplementation in Cambodia: program coverage and
association with greater maternal formal education. Asia Pacific Journal of Clinical
Nutrition, pp. 446-450, Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18818165>
[Accessed 27 April 2015].
Muhilal, et al., 1994. Changing prevalence of xerophthalmia in Indonesia, 1977-1992.
European Journal of Clinical Nutrition, Abstract only. Availabel at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7835325> [Accessed 21 April 2015].
National Institutes of Health, 2013. Vitamin A. [online] Available at:
<http://ods.od.nih.gov/factsheets/VitaminA-HealthProfessional/> [Accessed 18 April
2015].
Ridwan, E., 2013. Cakupan Suplementasi Kapsul Vitamin A dalam Hubungannya dengan
Karakteristik Rumah Tangga dan Akses Pelayanan Kesehatan pada Anak Balita di
Indonesia Analisis Data Riskesdas 2010. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 16,
No. 1, Available at: <http://ejournal.litbang.depkes.go.id> [Accessed 26 April 2015].
Vikram, K., Vanneman, R., and Desai, S., 2012. Linkages between Maternal Education and
Childhood Immunization in India. Social Science and Medicine, pp. 331-339, Available
at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22531572> [Accessed 27 April 2015].
World Health Organization. Global Prevalence of Vitamin A Deficiency in Population at Risk
1995-2005: WHO Global Database on Vitamin A Deficiency. Geneva: World Health
Organization. Available at:
<http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241598019_eng.pdf> [Accessed 20
April 2015].