Anda di halaman 1dari 2

Nama: Elva Nuzula Rahma

DIV Keperawatan

Kenapa Gizi Buruk Masih Banyak

Prof M Gabr, guru besar Ilmu Kesehatan Anak dan Gizi Universitas Kairo, menyatakan, abad ke-20
adalah the golden age for nutrition (abad emas bagi pergizian dunia). Hal itu disampaikannya saat kuliah
perdana Kongres VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Venna, Austria pada 27 - 29 Agustus 2001.

Di abad ke-20, ditemukan hampir semua zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan.
Hubungan antara gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak dari gizi kurang dan lebih makin
diketahui dengan lebih baik dan sebagainya. Namun pada abad ke-20 ini juga, kita masih mendengar
permasalahan gizi ganda yaitu masih banyak penderita gizi buruk dan gizi kurang serta penderita gizi
lebih seperti Diabetes Mellitus, Stroke, Obesitas dan lain-lain.

Kita tak pernah tahu, sampai kapan permasalahan itu berakhir. Yang ada di benak kita sekarang, hanya
berharap permasalahan itu segera berakhir. Atau, paling tidak berkurang sehingga akibat yang dirasakan
tidak berdampak pada sumber daya manusia. Dari angka yang ada sekarang menunjukan, jumlah gizi
buruk masih ada dan banyak jumlahnya. Kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah usaha kita sudah maksimal?
Apakah peran petugas gizi dan mereka yang terlibat di bidang gizi sudah maksimal juga? Apa peran
pemerintah dalam menangani masalah itu tidak berhasil?

Selama ini, peran pemerintah dan petugas gizi sudah maksimal dalam menangani gizi buruk. Seperti
menggiatkan peran posyandu, serta pemberian PMT dan MP-ASI. Sedangkan untuk petugas gizi di
puskesmas, diberikan kendaraan operasional khusus untuk memantau dan menanggulangi gizi buruk itu.
Denagn demikian, kalau ada gizi buruk maka cepat ditanggulangi. Anak yang mengarah ke gejala gizi
buruk cepat diatasi. Namun yang masih jadi pertanyan, kenapa gizi buruk masih ada dan banyak
jumlahnya. Apa yang salah.

Saya sebagai orang yang berkarya dan bekerja di bidang gizi, berusaha menyumbang pemikiran dan ide
dalam memperingati Hari Gizi Nasional ini. Menurut saya, ada yang masih perlu diperhatikan kenapa
usaha yang kita lakukan selama ini masih belum berhasil.

Kita dapat melihat ke belakang, apa yang harus dikoreksi dan perbaiki lagi demi perbaikian gizi yang
akan datang. Saya mengutip pendapat pakar gizi kita, Prof Soekirman tentang masalah gizi buruk.
Menurut dia, gizi dan masalahnya selama ini dipahami sebagai hubungan sebab akibat antara makanan
(input) dengan kesehatan (outcome).

Di satu pihak, gizi dapat dilihat sebagai masalah input juga outcome. Dalam menyusun kebijakan harus
jelas, apa yang dipakai sebagai titik tolak: apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap
sebagai input, maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan diolah) dan
konsumsi. Apabila dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan
dan status gizi anak.

Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator masalah gizi akan mengikuti
idikator agregatif pertanian dan eknomi makro seperti produksi, persediaan (impor, ekspor), harga dan
konsumsi pangan rata-rata. Indikator makro itu memberikan gambaran masalah gizi rata-rata rumah
tangga dan dewasa.

Paradigma outcome mengukur manusia bukan berdasar pangan atau uang. Paradigma itu memerlukan
pemasyarakatan pentingnya memperhatikan berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak
yang diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya. Pengertian anak sehat
bertambah umur maka bertambah berat dan panjang, perlu ditanamkan kembali di setiap keluarga.
Sedangkan untuk orang dewasa, outcome menekankan pentingnya orang mencapai berat badan ideal dan
mempertahankannya.

Sejalan dengan perkembangannya, peran ahli gizi juga sangat menentukan perbaikan gizi di Indonesia.
Peningkatan SDM khususnya di bidang gizi harus selalu dilakukan. Sekarang dibahas mengenai peran
seorang ahli gizi bertugas sebagai profesi gizi, yang nantinya akan lebih terarah dan terfokos dalam
membantu masalah gizi di Indonesia.

Untuk meraih gelar profesi gizi, seorang ahli gizi harus menembuh pendidikan S1 Gizi kemudian
mengambil Profesi Gizi selama kurang lebih satu tahun sehingga nantinya mempunyai gelar RD (Register
Dietisien). Dengan adanya RD, penanganan masalah gizi lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan.
RD merupakan profesi gizi yang setara dengan nurse (perawat), dokter dan profesi yang lain. Semoga
dengan kehadiran RD, nantinya ada perubahan perbaikan gizi masyarakat sehingga angka gizi buruk
dapat ditekan dan kualitas manusia Indonesia bisa meningkat sehingga bangsa kita bisa meninggalkan
ketertinggalannya.

Dengan memperingati Hari Gizi Nasional ini, semoga kita dapat melihat adanya perubahan perbaikan gizi
di masyarakat. Khususnya gizi buruk dapat ditangani dan berkurang jumlahnya, masalah gizi lebih
menurun jumlahnya. Semoga. Dirgahayu Hari Gizi Nasional.

Anda mungkin juga menyukai