Anda di halaman 1dari 10

Stunting pada Anak: Penyebab,

Bahaya dan Pencegahan

DokterSehat.Com – Stunting adalah gangguan pada anak yang dapat dicegah jika orang
tua mengambil langkah-langkah penting dalam dua tahun pertama kehidupan seorang
anak. Jika anak tidak mendapatkan makanan dan perawatan yang tepat selama waktu
khusus itu, efeknya bisa sangat berbahaya. Hampir setengah dari kematian anak di
seluruh dunia terkait dengan stunting. Angka stunting di Indonesia sendiri mencapai 7,8
juta dari 23 juta balita.

Apa Itu Stunting?


Stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis pada anak akibat kekurangan nutrisi
dalam waktu lama. Anak stunting umumnya bertubuh lebih pendek dibanding anak
seusianya. Seorang anak yang bertahan dengan kondisi ini, cenderung memiliki
kemampuan belajar yang rendah dan lebih rentan terhadap penyakit.

Terlepas dari konsensus global tentang cara mendefinisikan dan mengukurnya, stunting
adalah kondisi yang sering tidak diakui di masyarakat di mana kondisi pendek adalah
sesuatu yang normal dan sering kali tidak menjadi perawatan kesehatan primer.

Padahal, pertumbuhan tinggi seorang anak berfungsi sebagai penanda berbagai kelainan
patologis yang terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, hilangnya potensi
pertumbuhan fisik, penurunan perkembangan saraf dan fungsi kognitif serta peningkatan
risiko penyakit kronis di masa dewasa. Saat ini stunting diidentifikasi sebagai prioritas
kesehatan global yang paling utama.

Penyebab Stunting pada Anak
Memahami penyebab stunting adalah hal yang dapat dilakukan sejak janin di dalam
kandungan. Berikut adalah penyebab stunting yang harus Anda tahu, di antaranya:

1. Asupan Nutrisi Ibu

Penyebab stunting yang pertama dipengaruhi oleh asupan nutrisi ibu hamil. Ibu hamil
yang kurang mengonsumsi makanan bergizi seperti asam folat, protein, kalsium, zat
besi, dan omega-3 cenderung melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi. Kemudian
saat lahir, anak tidak mendapat ASI eksklusif dalam jumlah yang cukup dan MPASI
dengan gizi yang seimbang ketika berusia 6 bulan ke atas.
2. Kurangnya Asupan Makanan Sehat dan Bergizi sebagai Makanan
Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping yang tidak cukup dan kekurangan nutrisi penting di
samping asupan kalori murni adalah salah satu penyebab pertumbuhan pada anak
terhambat. Anak-anak perlu diberi makanan yang memenuhi persyaratan minimum
dalam hal frekuensi dan keragaman makanan untuk mencegah kekurangan gizi.

3. Kebersihan Lingkungan

Ada kemungkinan besar hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak dan praktik
sanitasi rumah tangga. Kontaminasi jumlah besar bakteri fecal coliform oleh anak-anak
ketika meletakkan jari-jari kotor atau barang-barang rumah tangga di mulut mengarah
ke infeksi usus. Kondisi ini memengaruhi status gizi anak dengan cara mengurangi nafsu
makan (2), mengurangi penyerapan nutrisi (3), dan meningkatkan kehilangan nutrisi (1).

Penyakit-penyakit yang berulang seperti diare dan infeksi cacing usus (helminthiasis)
yang keduanya terkait dengan sanitasi yang buruk telah terbukti berkontribusi terhadap
terhambatnya petumbuhan anak.

Enviromental enterophaty adalah infeksi usus halus pada anak yang disebabkan oleh


sanitasi yang buruk. Infeksi kronis yang terjadi akibat lingkungan yang kotor dan sanitasi
buruk menyebabkan fungsi usus halus terganggu.

Selain beberapa penyebab stunting seperti di atas, hal-hal lainnya yang bisa
berkontribusi pada stunting adalah konflik sosial, kondisi iklim, harga dan ketersediaan
pangan yang pada gilirannya berkontribusi menyebabkan stunting.

Dampak Stunting pada Anak


Umumnya stunting adalah gangguan yang sering ditemukan pada balita, khususnya usia
1-3 tahun. Pada rentang usia tersebut, ibu dapat mengenal apakah anak mengalami
stunting atau tidak. Dampak stunting yang bisa terlihat antara lain:

1. Mengganggu Pertumbuhan Tinggi dan Berat anak

Stunting adalah salah satu dari berbagai penyebab anak lebih pendek dibandingkan
dengan rata-rata anak seusianya. Berat badannya pun cenderung jauh di bawah rata-
rata anak sebayanya.

2. Tumbuh Kembang Anak Tidak Optimal

Stunting juga bisa terlihat pada tumbung kembang anak di mana anak menjadi terlambat
jalan atau kemampuan motoriknya kurang optimal.

3. Memengaruhi Kecerdasan dan Kemampuan Belajar Anak

Menurut sebuah penelitian, stunting adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
IQ anak lebih rendah dibanding anak seusianya. Anak akan sulit belajar dan
berkonsentrasi akibat kekurangan gizi.

4. Mudah Terserang Penyakit

Jika anak mengalami stunting kemungkinan besar anak akan mengalami kondisi yang
membuat anak mudah terserang penyakit dan berisiko terkena berbagai penyakit saat
dewasa seperti diabetes, jantung, kanker dan stroke. Bahkan stunting pada anak juga
bisa berujung pada kematian usia dini.

Stunting dan Terganggunya Proses Persalinan


Selain mengganggu perkembangan seorang anak ketika sudah dilahirkan, stunting juga
bisa meningkatkan risiko kematian janin saat melahirkan jika ibu hamil ternyata
mempunyai riwayat stunting. Hal ini bisa terjadi karena ibu yang memiliki riwayat
stunting umumnya memiliki tinggi badan di bawah normal, sehingga cenderung memiliki
ukuran panggul yang kecil, dan akhirnya kondisi ini mempersempit jalan lahir.

dengan tinggi di bawah normal cenderung memiliki ukuran panggul yang kecil. Kondisi ini
kemudian mempersempit jalan lahir bayi.

Akibat proporsi ukuran yang tidak sesuai inilah, mengakibatkan ibu dengan postur tubuh
yang pendek sulit untuk melakukan persalinan normal. Jika dipaksakan, kondisi ini bisa
meningkatkan risiko kematian dan gangguan kesehatan pada bayi jangka pendek
maupun jangka panjang.

Perbedaan Stunting dan Wasting


Kebanyakan orang awam menyamaratakan ciri stunting (pendek) dan wasting (balita
kurus), padahal hal ini adalah dua bentuk malnutrisi terpisah yang memerlukan
intervensi berbeda untuk pencegahan dan pengobatannya.

Akan tetapi, kedua bentuk malnutrisi ini memiliki hubungan yang erat dan sering terjadi
bersama dalam populasi yang sama dan sering pada anak yang sama. Keduanya
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, terutama ketika keduanya hadir pada anak
yang sama.

Massa otot yang berkurang merupakan karakteristik dari kurus yang parah, tetapi ada
bukti tidak langsung bahwa itu juga terjadi pada stunting. Berkurangnya massa otot
meningkatkan risiko kematian selama infeksi dan juga dalam banyak situasi patologis
lainnya.

Fokus Penanganan

Berkurangnya massa otot dapat mewakili mekanisme umum yang menghubungkan


wasting dan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi angka kematian
terkait gizi buruk, intervensi harus bertujuan untuk mencegah wasting dan stunting,
yang sering kali memiliki penyebab yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pengobatan harus fokus pada anak-anak yang
wasting dan stunting yang memiliki defisit terbesar dalam massa otot, daripada berfokus
pada kekurangan gizi saja.

Penurunan massa lemak sering terjadi tetapi tidak konsisten dalam stunting. Lemak
mengeluarkan banyak hormon, termasuk leptin, yang mungkin memiliki efek stimulasi
pada sistem kekebalan tubuh.

Perlu diketahui juga bahwa leptin memiliki efek pada pertumbuhan tulang. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa anak-anak kurus dengan simpanan lemak rendah
berdampak pada tinggi badannya yang tetap rendah.

Ini juga dapat menjelaskan keterkaitan stunting yang sering dikaitkan dengan wasting.
Bagaimanapun, stunting dapat terjadi tanpa adanya wasting dan bahkan pada anak-anak
yang kelebihan berat badan. Dengan demikian, suplementasi makanan harus digunakan
dengan hati-hati dalam populasi di mana stunting tidak terkait dengan wasting dan
simpanan rendah lemak.

Pencegahan Stunting pada Anak


Guna mencegah anak stunting, ibu bisa mencegahnya sejak masa kehamilan. Beberapa
tips yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting adalah:

1. Memperbaiki pola makan dan mencukupi kebutuhan gizi selama kehamilan.


2. Memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung zat besi dan asam folat
untuk mencegah cacat tabung saraf.
3. Memastikan anak mendapat asupan gizi yang baik khususnya pada masa
kehamilan hingga usia 1000 hari anak.
4. Selain itu stunting adalah gangguan yang juga dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan akses air bersih di
lingkungan rumah.

Hal penting yang harus dipahami, tidak ada solusi sederhana untuk mencegah stunting.
Namun, berfokus pada rentang waktu antara kehamilan ibu dan ketika anak berusia dua
tahun adalah kunci untuk memastikan perkembangan anak yang sehat.

Stunting di Indonesia
Data Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi stunting terdiri atas balita yang
memiliki badan sangat pendek 11,5% sementara dengan tinggi badan pendek mencapai
19,3%.

Prevalensi balita stunting pada 2018 naik dalam dua tahun terakhir dan berada di level
tertingginya sejak 2014. Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami
masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari 20% atau balita kurus di atas
5%. Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan orang tua akan pentingnya kesehatan
menjadi salah satu penyebab tingginya balita dengan tinggi badan di bawah standar.

Kondisi Ibu dan Calon Ibu

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan
memengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu
yang memengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu
dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan.

Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya
stunting.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia 10-14
tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi kehamilan pada
remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan.

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan berumur
15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di atas 20 tahun
(usia ideal kehamilan).

Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia
17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa
setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami kehamilan pertama
pada usia muda atau remaja.

Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan)
dan gizi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya stunting. Remaja
putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki status gizi yang baik. Pada
tahun 2017, persentase remaja putri dengan kondisi pendek dan sangat pendek
meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 7,9% sangat pendek dan 27,6% pendek.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko
kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas rata-
rata nasional. Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan datang
akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau
kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi
stunting di Indonesia.

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun 2017 adalah
10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah 14,8%. Asupan gizi WUS
yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki berat badan yang ideal
saat hamil.

Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang ditetapkan
pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit yang
mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan 7
mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang
Standar Produk Suplementasi Gizi.

Situasi Bayi dan Balita


Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi
menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses
penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.

Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) hal yang perlu
diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD sebesar
73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu
dini.

Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh
(97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12
provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum
mengumpulkan data.

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar
61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa
Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua
(15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh karena itu,
sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan.

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai
dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang
dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami
defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9%
balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.

Guna memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian
makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun PMT
pabrikan yaitu biskuit khusus balita. Jika berat badan telah sesuai dengan perhitungan
berat badan menurut tinggi badan, maka makanan tambahan balita kurus dapat
dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang.

Informasi kesehatan ini telah ditinjau dr. Jati Satriyo

Sumber:

1. Stunting in a nutshell.
https://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/. (Diakses
pada 12 September 2019).
2. STUNTING: WHAT IT IS AND WHAT IT MEANS.
https://www.concernusa.org/story/what-is-stunting/. (Diakses pada 12
September 2019).
3. What is stunting? And why should we know about it.
https://www.concern.org.uk/news/what-stunting-and-why-should-we-know-
about-it. (Diakses pada 12 September 2019).
4. Wasting and stunting–similarities and differences: policy and programmatic
implications. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25902610. (Diakses pada
12 September 2019

VV

Anda mungkin juga menyukai