Anda di halaman 1dari 10

RENCANA AKSI PEMBINAAN GIZI MASYARAKAT

(RAPGM)
TAHUN 2010 – 2014
Oleh : DR. Minarto, MPS
(Direktur Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan KIA)

Komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat nyata dalam peningkatan kesehatan


termasuk gizinya. Hal ini terbukti dari penetapan perbaikan status gizi yang merupakan salah
satu prioritas Pembangunan Kesehatan 2010-2014. Tujuannya adalah untuk menurunkan
prevalensi kurang gizi sesuai dengan Deklarasi World Food Summit 1996 yang dituangkan dalam
Milenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, yang menyatakan setiap negara
menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi 1990.

Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Bab VIII tentang
Gizi, pasal 141 ayat 1 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk
peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan program perbaikan gizi, yaitu meningkatkan kesadaran gizi keluarga
dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat, ada pertanyaan yang menjadi dasar semua
upaya yang akan kita lakukan ke depan. “Dimana posisi kita saat ini ?” Walaupun banyak yang
sudah kita CAPAI, tetapi masih lebih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus kita lakukan.

PERKEMBANGAN MASALAH GIZI MASYARAKAT

Bila besaran masalah gizi di suatu wilayah berada diatas ambang batas yang ditentukan, maka
masalah  tersebut dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. Tabel ambang batas masalah
gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat dipergunakan pentahapan dan prioritas perencanan
perbaikan gizi
Ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat

A. Kurang Energi dan Protein (KEP)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan besaran  masalah KEP di Indonesia,
yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga  bentuk masalah KEP tersebut mempunyai riwayat
dan pendekatan pemecahan yang berbeda.  Secara umum besaran masalah KEP pada balita
digambarkan paga grafik berikut.

Prevalensi Gizi Kurang Pada Balita

Sumber : Riskesdas
2007
Prevalensi gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4%, yang berarti bahwa target
RPJMN 2005-2009 yaitu penurunan prevalensi gizi kurang menjadi  20% dapat dicapai.
Pencapaian menurut wilayah (propinsi dan kabupaten/kota) sangat bervariasi. Pada
Lampiran 2, dapat dilihat bahwa beberapa propinsi seperti Propinsi Bali, DIY, DKI Jakarta dan
Kepulauan Riau mempunyai prevalensi dibawah 15%, sementara  Propinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah dan Maluku masih mempunyai prevalensi diatas 25%. Prevalensi gizi
kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan – perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar
tingkat pendidikan.

Selain masalah gizi kurang Riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak
balita sebesar 36,8%, prevalensi kurus 13,6% dan prevalensi balita gemuk 12,2%. Gambaran
prevalensi gizi kurang, pendek,  kurus dan gemuk dapat dilihat pada lampiran 2. Status gizi
anak sangat terkait dengan status gizi ibu hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami
Kurang Energi Kronik (KEK) 2007 diperkirakan  sebesar 13,6 %. Ibu hamil KEK akan beresiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).

Upaya-upaya yang  berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi kurang  antara lain
penyelenggaraan posyandu, pemberian ASI eksklusif dan MP ASI serta tatalaksana gizi buruk 
yang akan dibahas sebagai berikut.

Kunjungan ke Posyandu (D/S)

Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan indikator yang  berkaitan dengan
cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi
serta prevalensi gizi kurang.

Semakin tinggi cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan
imunisasi dan semakin rendah prevalensi gizi kurang

Hasil Riskesdas menunjukan secara nasional cakupan penimbangan balita (anak pernah
ditimbang di Posyandu sekurang-kurangnnya satu kali selama sebulan terakhir) di posyandu
sebesar 74,5%.

Propinsi dan cakupan penimbangan balita di Posyandu

Frekuensi kunjungan balita ke


Posyandu semakin berkurang dengan semakin meningkatnya umur anak. Sebagai gambaran
proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di Posyandu 91,3%, pada anak usia 12-23 bulan turun
menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi 73,3%.

Masalah yang berkaitan dengan kunjungan Posyandu antara lain tersedianya  dana operasional
untuk menggerakkan kegiatan Posyandu, tersedianya sarana dan prasarana  serta bahan
penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader masih rendah dan  kemampuan petugas dalam
pemantauan pertumbuhan serta  konseling masih  lemah, masih kurangnya pemahaman
keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu serta  masih  terbatasnya pembinaan kader.

Pemberian ASI dan MP-ASI

Cara pemberian makanan pada bayi  yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif
sejak lahir sampai dengan umur  6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan.
Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping ASI yang bergizi sesuai dengan
kebutuhan tumbuh kembangnya. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat keputusan
Menteri Kesehatan nomor: 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif
pada bayi di Indonesia.

Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan menunjukkan
kecenderungan menurun  selama 3 tahun terakhir. Pada grafik terlihat bahwa cakupan pemberian
ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun
2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6%
pada tahun 2007  menjadi 24,3% pada tahun 2008.

Persentase Bayi Umur 0-6 Bulan dan Umur 6 Bulan yang diberi ASI Saja 2004-2008

Sumber:
Susenas 2004-2009

Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya
tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI serta belum
maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait pemberian ASI
maupun MP-ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan MP-ASI dan
belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI dan MP-ASI.

1. Tatalaksana Balita Gizi Buruk


Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak ditangani secara
cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian. Perawatan  gizi buruk
dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk rawat inap di Puskesmas
Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi (Terapheutic Feeding Center ) sedangkan
Gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos
pemulihan gizi berbasis masyarakat (Community Feeding Centre /CFC).

Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau ditangani tidak
tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk melaksanakan tatalaksana
gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan prasana untuk menyiapkan formula
khusus untuk balita  gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan  setelah balita pulang
ke rumah.

A. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)

GAKY  adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kurang unsur Iodium
secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Kekurangan Iodium saat ini tidak terbatas pada
gondok dan kretinisme saja, tetapi ternyata kekurangan Iodium berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak
sehingga terjadi penurunan potensi tingkat kecerdasan (Intelligence Quotient=IQ).

Indikator untuk memantau masalah GAKY saat ini adalah Ekskresi Yodium dalam Urine (EYU) 
sebagai refleksi asupan yodium,  cakupan rumah tangga mengonsumsi garam beryodium dan
pencapaian 10 indikator manajemen.  Bila proporsi penduduk dengan EYU<100 µg/L dibawah
20% dan cakupan garam beryodium 90% diikuti dengan tercapainya indikator manajemen maka
masalah GAKY di masyarakat tersebut sudah terkendali.

Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003, dan hasil Riskesdas
2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata EYU  sudah tinggi, dan proporsi
EYU<100  µg/L telah dibawah 20%.  Direktur Jenderal  Bina Kesmas telah mengeluarkan
edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09 Tanggal 03 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi
kapsul minyak iodium pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi
lain  cakupan Rumah Tangga dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru mencapai
62,3%. Terdapat disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase cakupan terendah adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi Provinsi Bangka Belitung (98,7%).

Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena belum optimalnya
penggerakan masyarakat dan kampanye dalam mengkonsumsi garam beryodium, serta dukungan
regulasi yang belum memadai. Disamping itu masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan
pemantauan garam beryodium di masyarakat secara terus menerus.

B. Kurang Vitamin A (KVA)

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita
secara klinis sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro di
10 propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan
indeks serum retinol kurang dari 20µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan
terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survei vitamin A pada tahun 1992.

Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A secara nasional pada
anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi dengan cakupan di bawah 60%, 16
propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari
provinsi tahun 2009, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak  umur 12-59 bulan sebesar 
79,2%. Provinsi dengan cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan
Kalimantan Selatan sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian
kapsul vitamin A < 60% .

Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah yang dihadapi dalam
peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping itu belum optimal pelaksanaan
kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang administrasi.

C. Anemia Gizi Besi (AGB)

Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006 masih dijumpai 26,3% balita yang menderita
anemia gizi besi dengan kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11,0 gr/dl dan prevalensi tertinggi
didapat di Propinsi Maluku sebesar 36%. Sementara itu dari SKRT 2001, prevalensi ibu hamil
yang menderita anemia gizi besi adalah 40,1%. Keadaan ini mengindikasikan anemia gizi besi
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada  pemberian tablet  tambah darah
(Fe).  Ibu Hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya. Berdasarkan
laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil
pada tahun 2009 rata-rata nasional 68,5%. Beberapa propinsi seperti provinsi  Bali, Lampung
dan NTB, mempunyai cakupan diatas 80%, sementara provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi
Tengah cakupannya dibawah 40%.

Rendahnya cakupan pemberian Fe mungkin disebabkan belum optimalnya koordinasi dengan


lintas program terkait khususnya kegiatan Antenatal Care (ANC). Analisis cakupan Fe dan
Cakupan ANC (lihat gambar ..) menunjukkan adalah kesenjangan yang besar (missed
opportunity) antara cakupan ANC dengan cakupan Fe. Terdapat 8 propinsi yang cakupan ANC
dilaporkan diatas 80% tetapi cakupan Fe dibawah 80%. Terdapat 15 propinsi dengan cakupan
ANC diatas 80 %, tetapi hanya 7 propinsi dengan cakupan Fe diatas 80%. Artinya,  cakupan Fe
di propinsi tersebut dapat ditingkatkan dengan meningkatkan intergrasi pelayanan gizi dan
pelayanan kesehatan ibu.

Apa upaya kita ke depan?


Bila kita simak peta ini, kita ingin semua daerah mendapat
warna hijau yang artinya prevalensi gizi kurang tidak lebih dari 20%. Itulah yang menjadi cita-
cita kita semua sampai tahun 2014, tepatnya prevalensi balita yang gizi kurang turun dari 18.4%
menjadi <15 %, prevalensi balita pendek turun dari 36.8% menjadi <32 %.

KEGIATAN POKOK

PENDIDIKAN GIZI
 Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan petugas dalam memberikan
pelayanan dan penanganan gizi yang berkualitas.
 Memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat terkait upaya perbaikan gizi

Kegiatan

Pengembangan dan pengadaan  materi KIE gizi, advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian
ASI dan MP-ASI, kampanye peningkatan ASI eksklusif, bulan vitamin A, garam beryodium, dan
peningkatan pemberian Tablet Fe

Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:

 Terselenggaranya Kampanye ASI


 Terselenggaranya kampanye bulan vitamin A
 Terselenggaranya kampanye pemberian tablet Fe
 Terselenggaranya kampanye garam beryodium
 Terselenggaranya Kampanye Posyandu

PENANGANAN MASALAH GIZI

Meningkatkan kualitas penanganan dan penanggulangan masalah gizi agar dapat dikurangi

Kegiatan

Tatalaksana gizi buruk baik rawat inap maupun rawat jalan, pemberian PMT pemulihan balita
gizi kurang dan ibu hamil  keluarga miskin / KEK

Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:

 Seluruh Puskesmas terlatih Tatalaksana Anak Gizi Buruk


 Tersedianya PMT-Pemulihan untuk balita gizi kurang dan buruk
 Tersedianya PMT-Pemulihan untuk ibu hamil
 Tersedianya mineral mix di seluruh Puskesmas

SURVEILENS GIZI

Memantau secara terus menerus pencapaian pelaksanaan kegiatan perbaikan gizi, guna
mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk segera direspon dan ditindak lanjuti
pemecahannya.

Kegiatan

Pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, dan desiminasi  informasI serta melakukan
tindak lanjut (respon)

Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah :


 Jumlah Kabupaten/Kota yang melaporkan kasus gizi buruk

PERBAIKAN GIZI MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Memotivasi, menggerakkan dan melibatkan masyarakat dalam upaya pembinaan gizi


masyarakat.

Kegiatan

Opersional Posyandu melalui Biaya Opersional Kesehatan (BOK), PMT penyuluhan, pertemuan
lintas program dan sektor terkait peningkatan fungsi Posyandu, pembinaan dan pelatihan ulang
kader posyandu, penggerakkan kelompok pendukung ASI dan MP-ASI dan kelas Ibu.

Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah :

 Seluruh Puskesmas memiliki tenaga terlatih pemantauan pertumbuhan.


 Seluruh Puskesmas membina kelompok pendukung ASI.
 Terselenggaranya pembinaan kader di seluruh Posyandu.

DUKUNGAN MANAJEMEN

Memfasilitasi dan memperlancar proses mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi program pembinaan gizi masyarakat

Kegiatan

Perencanaan gizi, Penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK), Jaringan info Pangan
dan Gizi (JIPG), rapat kerjasama lintas sektor dan lintas program serta  monitoring evaluasi

Indikator kinerja yang ingin dicapai adalah:

 Terselenggaranya fasilitasi dan bimbingan teknis di seluruh propinsi


 Tersedianya materi KIE gizi untuk Puskesmas dan Posyandu
 Tersusunnya NSPK dalam rangka program pembinaan gizi, yang terdiri dari: PP tentang
ASI (mandat UU No. 36, pasal 128-129), Standar Angka Kecukupan Gizi (1), Standar
Mutu Gizi (3), Standar Pelayanan Gizi (12) dan Standar Tenaga Gizi (1)

Anda mungkin juga menyukai