(RAPGM)
TAHUN 2010 – 2014
Oleh : DR. Minarto, MPS
(Direktur Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan KIA)
Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Bab VIII tentang
Gizi, pasal 141 ayat 1 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk
peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan program perbaikan gizi, yaitu meningkatkan kesadaran gizi keluarga
dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat, ada pertanyaan yang menjadi dasar semua
upaya yang akan kita lakukan ke depan. “Dimana posisi kita saat ini ?” Walaupun banyak yang
sudah kita CAPAI, tetapi masih lebih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus kita lakukan.
Bila besaran masalah gizi di suatu wilayah berada diatas ambang batas yang ditentukan, maka
masalah tersebut dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. Tabel ambang batas masalah
gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat dipergunakan pentahapan dan prioritas perencanan
perbaikan gizi
Ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan besaran masalah KEP di Indonesia,
yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga bentuk masalah KEP tersebut mempunyai riwayat
dan pendekatan pemecahan yang berbeda. Secara umum besaran masalah KEP pada balita
digambarkan paga grafik berikut.
Sumber : Riskesdas
2007
Prevalensi gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4%, yang berarti bahwa target
RPJMN 2005-2009 yaitu penurunan prevalensi gizi kurang menjadi 20% dapat dicapai.
Pencapaian menurut wilayah (propinsi dan kabupaten/kota) sangat bervariasi. Pada
Lampiran 2, dapat dilihat bahwa beberapa propinsi seperti Propinsi Bali, DIY, DKI Jakarta dan
Kepulauan Riau mempunyai prevalensi dibawah 15%, sementara Propinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah dan Maluku masih mempunyai prevalensi diatas 25%. Prevalensi gizi
kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan – perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar
tingkat pendidikan.
Selain masalah gizi kurang Riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak
balita sebesar 36,8%, prevalensi kurus 13,6% dan prevalensi balita gemuk 12,2%. Gambaran
prevalensi gizi kurang, pendek, kurus dan gemuk dapat dilihat pada lampiran 2. Status gizi
anak sangat terkait dengan status gizi ibu hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami
Kurang Energi Kronik (KEK) 2007 diperkirakan sebesar 13,6 %. Ibu hamil KEK akan beresiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
Upaya-upaya yang berkaitan dengan penanggulangan masalah gizi kurang antara lain
penyelenggaraan posyandu, pemberian ASI eksklusif dan MP ASI serta tatalaksana gizi buruk
yang akan dibahas sebagai berikut.
Cakupan penimbangan balita di Posyandu (D/S) merupakan indikator yang berkaitan dengan
cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi
serta prevalensi gizi kurang.
Semakin tinggi cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan
imunisasi dan semakin rendah prevalensi gizi kurang
Hasil Riskesdas menunjukan secara nasional cakupan penimbangan balita (anak pernah
ditimbang di Posyandu sekurang-kurangnnya satu kali selama sebulan terakhir) di posyandu
sebesar 74,5%.
Masalah yang berkaitan dengan kunjungan Posyandu antara lain tersedianya dana operasional
untuk menggerakkan kegiatan Posyandu, tersedianya sarana dan prasarana serta bahan
penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader masih rendah dan kemampuan petugas dalam
pemantauan pertumbuhan serta konseling masih lemah, masih kurangnya pemahaman
keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu serta masih terbatasnya pembinaan kader.
Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif
sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan.
Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping ASI yang bergizi sesuai dengan
kebutuhan tumbuh kembangnya. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat keputusan
Menteri Kesehatan nomor: 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif
pada bayi di Indonesia.
Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia berfluktuasi dan menunjukkan
kecenderungan menurun selama 3 tahun terakhir. Pada grafik terlihat bahwa cakupan pemberian
ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun
2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6%
pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008.
Persentase Bayi Umur 0-6 Bulan dan Umur 6 Bulan yang diberi ASI Saja 2004-2008
Sumber:
Susenas 2004-2009
Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya
tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI serta belum
maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait pemberian ASI
maupun MP-ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan MP-ASI dan
belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI dan MP-ASI.
Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau ditangani tidak
tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk melaksanakan tatalaksana
gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan prasana untuk menyiapkan formula
khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan setelah balita pulang
ke rumah.
GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kurang unsur Iodium
secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Kekurangan Iodium saat ini tidak terbatas pada
gondok dan kretinisme saja, tetapi ternyata kekurangan Iodium berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak
sehingga terjadi penurunan potensi tingkat kecerdasan (Intelligence Quotient=IQ).
Indikator untuk memantau masalah GAKY saat ini adalah Ekskresi Yodium dalam Urine (EYU)
sebagai refleksi asupan yodium, cakupan rumah tangga mengonsumsi garam beryodium dan
pencapaian 10 indikator manajemen. Bila proporsi penduduk dengan EYU<100 µg/L dibawah
20% dan cakupan garam beryodium 90% diikuti dengan tercapainya indikator manajemen maka
masalah GAKY di masyarakat tersebut sudah terkendali.
Hasil Studi Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) tahun 2003, dan hasil Riskesdas
2007 mendapatkan hasil yang konsisten, bahwa rata-rata EYU sudah tinggi, dan proporsi
EYU<100 µg/L telah dibawah 20%. Direktur Jenderal Bina Kesmas telah mengeluarkan
edaran Nomor: JM.03.03/BV/2195/09 Tanggal 03 Juli 2009 tentang penghentian suplementasi
kapsul minyak iodium pada sasaran (WUS, ibu hamil, ibu menyusui dan anak SD/MI). Disisi
lain cakupan Rumah Tangga dengan garam cukup Iodium rata-rata nasional baru mencapai
62,3%. Terdapat disparitas antar daerah cukup tinggi dimana persentase cakupan terendah adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (27,9%), dan tertinggi Provinsi Bangka Belitung (98,7%).
Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena belum optimalnya
penggerakan masyarakat dan kampanye dalam mengkonsumsi garam beryodium, serta dukungan
regulasi yang belum memadai. Disamping itu masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan
pemantauan garam beryodium di masyarakat secara terus menerus.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting, berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita
secara klinis sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat. Studi masalah gizi mikro di
10 propinsi tahun 2006, diperoleh gambaran prevalensi xeropthalmia pada balita 0,13% dan
indeks serum retinol kurang dari 20µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan
terjadinya penurunan, jika dibandingkan dengan hasil survei vitamin A pada tahun 1992.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa cakupan suplementasi vitamin A secara nasional pada
anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi dengan cakupan di bawah 60%, 16
propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari
provinsi tahun 2009, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar
79,2%. Provinsi dengan cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan
Kalimantan Selatan sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian
kapsul vitamin A < 60% .
Masalah manajemen dan penyediaan kapsul vitamin A, merupakan masalah yang dihadapi dalam
peningkatan cakupan pemberian kapsul vitamin A. Disamping itu belum optimal pelaksanaan
kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang administrasi.
Studi masalah gizi mikro di 10 propinsi tahun 2006 masih dijumpai 26,3% balita yang menderita
anemia gizi besi dengan kadar haemoglobin (Hb) kurang dari 11,0 gr/dl dan prevalensi tertinggi
didapat di Propinsi Maluku sebesar 36%. Sementara itu dari SKRT 2001, prevalensi ibu hamil
yang menderita anemia gizi besi adalah 40,1%. Keadaan ini mengindikasikan anemia gizi besi
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian tablet tambah darah
(Fe). Ibu Hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya. Berdasarkan
laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian tablet tambah darah (Fe3) pada ibu hamil
pada tahun 2009 rata-rata nasional 68,5%. Beberapa propinsi seperti provinsi Bali, Lampung
dan NTB, mempunyai cakupan diatas 80%, sementara provinsi Papua Barat, Papua dan Sulawesi
Tengah cakupannya dibawah 40%.
KEGIATAN POKOK
PENDIDIKAN GIZI
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan petugas dalam memberikan
pelayanan dan penanganan gizi yang berkualitas.
Memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat terkait upaya perbaikan gizi
Kegiatan
Pengembangan dan pengadaan materi KIE gizi, advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian
ASI dan MP-ASI, kampanye peningkatan ASI eksklusif, bulan vitamin A, garam beryodium, dan
peningkatan pemberian Tablet Fe
Meningkatkan kualitas penanganan dan penanggulangan masalah gizi agar dapat dikurangi
Kegiatan
Tatalaksana gizi buruk baik rawat inap maupun rawat jalan, pemberian PMT pemulihan balita
gizi kurang dan ibu hamil keluarga miskin / KEK
SURVEILENS GIZI
Memantau secara terus menerus pencapaian pelaksanaan kegiatan perbaikan gizi, guna
mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk segera direspon dan ditindak lanjuti
pemecahannya.
Kegiatan
Pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, dan desiminasi informasI serta melakukan
tindak lanjut (respon)
Kegiatan
Opersional Posyandu melalui Biaya Opersional Kesehatan (BOK), PMT penyuluhan, pertemuan
lintas program dan sektor terkait peningkatan fungsi Posyandu, pembinaan dan pelatihan ulang
kader posyandu, penggerakkan kelompok pendukung ASI dan MP-ASI dan kelas Ibu.
DUKUNGAN MANAJEMEN
Memfasilitasi dan memperlancar proses mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi program pembinaan gizi masyarakat
Kegiatan
Perencanaan gizi, Penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK), Jaringan info Pangan
dan Gizi (JIPG), rapat kerjasama lintas sektor dan lintas program serta monitoring evaluasi