Anda di halaman 1dari 14

“Intervensi Gizi dengan Pemanfaatan Pangan Lokal Ikan Gabus dalam

Pembuatan Biskuit untuk Pencegahan Stunting pada Anak Balita


Usia 24-59 Bulan Di Kalimantan Tengah”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Intervensi Gizi


Dosen Pengampu: Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si

Disusun oleh:
Chintya Wulandarie
S531908009

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI ILMU GIZI PEMINATAN HUMAN NUTRITION
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek, stunting
terjadi akibat kekurangan gizi dan penyakit berulang dalam waktu lama pada masa
janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak (Black et al., 2008 dalam
Susilawati 2016). Tujuan Millennium Development Goals pada tahun 2015 adalah
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan dengan indikator menurunnya prevalensi
dalam bentuk stunting. Stunting akan meningkatkan angka kematian dan peningkatan
angka kesakitan (Depkes RI, 2007).
Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen
kontribusi masalah gizi dunia. Di Indonesia prevalensi stunting pada balita umur 0-59
bulan yaitu 29%, terdiri dari sangat pendek 10,1% dan pendek 18,9%. Provinsi
Sulawesi selatan memiliki prevalensi stunting sebesar 33,9% yang terdiri dari 9,9%
sangat pendek dan 24,4% pendek. Berdasarkan pemantauan status gizi (PSG, 2015).
Stunting pada balita merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian,
menurunkan kemampuan kognitif dan perkembangan motorik rendah serta fungsi-
fungsi tubuh yang tidak seimbang. Dampak jangka panjang dalam perkembangan
fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Beberapa penelitian telah
menemukan keterkaitan antara tinggi badan dan perubahan perkembangan dalam 3
tahum pertama. Di Gautemala, perubahan tinggi bahan disertai dengan perubahan
pada perkembangan. Di Jamaika, anak-anak yang bertumbuh pendek dicatat dalam
usia antara 6 dan 24 bulan dan perubahan tinggi badan selama 24 bulan berikutnya..
Peningkatan status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk selama ini dilakukan
melalui pemberian makanan tambahan (PMT) berupa makanan formula dan biskuit
yang diberikan oleh unit pelayanan kesehatan. Program pemberian PMT pabrikan
tidak menjamin kesinambungan program. Salah satu upaya yang dilakukan dalam
menanggulangi masalah gizi, baik defisiensi gizi makro maupun defisiensi mikro
dengan meningkatkan strategi penyuluhan tentang gizi dan intervensi melalui
pemberian makanan tambahan. Program pemberian makanan tambahan merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki asupan dan kualitas anak.
Pengembangan makanan tambahan berbahan ikan disamping memperhatikan nilai
biologis juga harus memperhatikan harga yang terjangkau dan proses pengolahannya,
kemudian disesuaikan dengan produk daerah setempat. Intervensi untuk pencegahan
masalah gizi dalam bentuk makanan tambahan, terutama yang berbasis bahan pangan
lokal terbukti memiliki efektivitas yang setara dibandingkan dengan suplementasi.
Penggunaan bahan pangan yang merupakan kearifan lokal lebih mudah
diterima oleh masyarakat setempat dan memiliki kesinambungan yang lebih tinggi.
Penggunaan bahan pangan lokal sebagai sebagai basis interevensi gizi akan
membangun kemandirian lokal. Hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa
penggunaan produk makanan lokal atau disubtitusi bahan pangan lokal terbukti dapat
meningkatkan status gizi balita yang kekurangan gizi. Pemberian PMT selama 2 bulan
memberikan pengaruh terhadap perubahan status gizi balita gizi buruk (Fitriyanti F,
2012). Hasil penelitian Nugraha D (2012) menunjukkan bahwa pemberian makanan
tambahan berupa biskuit tepung ikan lele dapat meningkatkan z-skor BB/U balita
sehingga mengurangi anak gizi kurang dan gizi buruk sebesar 47.9%. Pemberian
makanan tambahan lokal yang diperkaya protein hewani dan nabati pada anak balita
gizi kurang dapat meningkatkan status gizi.
Disisi lain, Kalimantan Tengah memiliki potensi sumber daya ikan yang
cukup banyak seperti “ikan gabus” yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kualitas gizi makanan/ jajanan lokal untuk anak. Ikan gabus zat gizi potensial yang
cukup tinggi yaitu protein (70%), albumin (21%), asam amino yang lengkap,
mikronutrien zink, selenium dan iron (Fadli, 2017). Suprayitno (2008) menyatakan
protein ikan gabus segar mencapai 25,1%, sedangkan 6,224% dari protein tersebut
berupa albumin. Pengembangan jajanan lokal dengan penambahan bahan pangan
tepung ikan gabus akan melengkapi dan memperkaya komposisi dan kandungan gizi
jajanan tersebut, terutama protein. Keberhasilan pengembangan suatu produk
makanan tidak hanya dilihat berdasarkan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk
tersebut, tetapi harus dinilai juga berdasarkan kandungan zat gizinya sehingga potensi
local tersebut dapat dimanfaatkan untuk pencegahan masalah gizi khususnya stunting
di Kalimantan Tengah. Penelitian ini bertujuan menganalisis zat gizi jajanan lokal
yang disubtitusi tepung ikan gabus sebagai alternatif untuk pencegahan masalah
stunting.
B. Tujuan
1. Mengetahui nilai gizi jajanan lokal yang diperkaya dengan tepung ikan gabus
dalam pembuatan biskuit untuk pencegahan stunting pada balita.
2. Melakukan pengembangan jajanan lokal melalui penambahan tepung ikan gabus
pada pembuatan biskuit untuk pencegahan stunting pada balita.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Stunting
1. Pengertian Stunting
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas z- score kurang dari -2
SD (Kusuma, 2013). Anak stunting memiliki tinggi badan yang pendek
dibandingkan dengan anak seusianya. Kondisi stunting menggambarkan status
gizi yang kurang baik dimasa lalu dan menunjukkan adanya gangguan
pertumbuhan linear pada seseorang (Kartini, 2016). Parameter antropometri
merupakan dasar dari penilaian status gizi kombinasi antara beberapa parameter
disebut indeks antropometri (WHO, 2010). Standar antropometri penilaian status
gizi anak berdasarkan TB/U dan ambang batasnya adalah sebagai berikut:
Klasifikasi dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks TB/U
Indeks Status Gizi Z-Score
TB/U Sangat pendek < - 3SD
Pendek >= - 3 s/d < - 2 SD
Normal >= - 2 s/d 2 SD

2. Faktor yang Mempengaruhi kejadian stunting


a. Asupan makanan
Asupan makanan yang baik merupakan batu penopang dalam mencapai status
gizi anak yang baik. Bagi anak-anak yang terbiasa memilih-milih makanan
kesukaan tanpa mempertimbangkan zat gizi terkandung didalamnya
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan anak. Asupan makanan yang tidak
adekuat merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan stunting
(Oktariana, 2012)
b. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi dapat berdampak pada keadaan gizi anak. Infeksi berulang
(kronis), seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare juga
merupakan penyebab utama terjadinya gangguan tumbuh kembang anak.
Sehingga kejadian ini menurunkan nafsu makan, gangguan penyerapan
sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi (Kartini, 2016)
c. Berat lahir
Menurut WHO, BBLR adalah berat lahir < 2500 gr. Berat badan lahir rendah
ini dapat disebabkan karena kelahiran premature (kehamilan sebelum 37
minggu) atau gangguan pertumbuhan intrauterine atau kombinasi dari kedua
factor tersebut (Fitri, 2021). Menurut Arifin tahun 2012 balita dengan berat
badan lahir rendah mempunyai resiko 2,3 kali lebih banyak mengalami
stunting dibandingkan balita dengan berat badan lahir normal.
d. Jenis kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Laki-
laki lebih banyak membutuhkan asupan karbohidat dan protein dibanding
dengan perempuan. Dalam mengerjakan pekerjaan yang berat laki-laki lebih
sanggup dibanding perempuan. Namun, dalam kebutuhan zat besi, perempuan
lebih banyak membutuhkan dari pada laki-laki (Andriani, 2012). Hasil
Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi balita yang stunting lebih tinggi pada
jenis kelamin laki-laki sebesar 18,8%, dibandingkan pada perempuan yaitu
17,1%. Menurut Nadiyah (2014) Anak laki-laki lebih banyak yang mengalami
stunting (35.7%) dibandingkan anak perempuan (31.6%).

3. Dampak Stunting
Dampak stunting terdiri dari dampak jangka pendek dan dampak jangka
panjang. Jangka pendek anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara, serta
gangguan perkembangan. Kemudian jangka panjang rendahnya IQ, rendahnya
perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian serta kurangnya rasa
percaya diri. Kondisi gizi kurang dapat menyebabkan gangguan pada proses
pertumbuhan dan perkembangan serta mengurangi kemampuan berfikir
(Almatsier, 2010).

B. Asupan Kalsium dan Seng


1. Kalsium
Kalsium merupakan mineral dengan jumlah terbesar yang terdapat dalam
tubuh. Kalsium merupakan salah satu makromineral dan merupakan unsur mineral
terbanyak dalam tubuh manusia yaitu kurang lebih 100 gram. Kalsium sangat
berperan dalam pembentukan tulang dan gigi. Kebutuhan kalsium harus dipenuhi
dari asupan makanan setiap hari, dan penyerapan kalsium akan dibantu oleh
vitamin D, hormon pertumbuhan dan hormon kalsitonin. Sedangkan faktor yang
menghambat penyerapan kalsium adalah pH yang alkalis, gangguan absorbsi
lemak, fosfat dan oksalat. Sumber kalsium pada makanan banyak terdapat pada
udang kering, teri kering, tahu dan sayuran seperti bayam, sawi, daun melinjo,
daun katuk, dan daun singkong serta susu bubuk dan susu kental manis
(Almatsier, 2010). Kalsium merupakan mineral yang penting bagi tubuh karena
berperan dalam mineralisasi tulang. Penelitian Aridiyah tahun 2015 kekurangan
kalsium pada masa pertumbuhan akan menyebabkan ganguan pertumbuhan
dibandingkan dengan anak yang cukup akan kalsium. Menurut Angka Kecukupan
Gizi (AKG) 2013 rata-rata kebutuhan Kalsium menurut golongan umurnya yaitu:
Angka Kebutuhan kalsium menurut golongan
Umur Kebutuhan kalsium (mg)
Anak-anak
0-6 200
1-3 700
4-6 1000
7-9 1000
Sumber: Angka kecukupan gizi (2013)

Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang dan menjaganya agar tetap


kuat. Kalsium juga berfungsi pada pembentukan gigi. Kalsium dibutuhkan dalam
proses metabolisme tubuh, transmisi syaraf, pengaturan detak jantung, kontraksi
otot, 13 membantu pemberntukan energi, mempercepat pembekuan darah,
mengaktifkan sistem pertahanan tubuh. Kekurangan kalsium pada masa
pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat,
mudah bengkok, dan rapuh. Diumur 50 tahun banyak orang dewasa yang
mengalami osteoporosis. Sumber utama kalsium biasanya diperoleh dari susu,
keju, ikan, daging, telur, kacang-kacangan, dan sayuran.

2. Seng
Seng merupakan salah satu mikronutrien yang berperan sangat penting pada
pertumbuhan manusia karena memiliki struktur serta peran di beberapa sistem
enzim yang terlibat dalam pertumbuhan fisik, imunologi dan fungsi reproduksi.
Akibatnya, saat terjadi defisiensi seng maka dapat mempengaruhi pertumbuhan
fisik anak-anak (Abunada, et al 2013). Seng merupakan salah satu mikronutrien
yang berperan sangat penting dan memiliki stuktur serta peran dibeberapa sistem
enzim. Seng juga memperlancar efek vitamin d terhadap metabolisme tulang
dengan stimulasi sistesi DNA disel-sel tulang. Kekurangan seng akan berdampak
pada penurunan 14 ketajaman inderas perasa, melambatnya penyembuhan luka,
gangguan pertumbuhan homeostati.
Seng berperan di berbagai reaksi, sehingga kekurangan seng akan berpengaruh
terhadap jaringan tubuh, terutama pada proses pertumbuhan (Almatsier, 2009).
Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 rata-rata kebutuhan Seng menurut
golongan umurnya yaitu:
Angka kebutuhan seng menurut golongan Umur
Umur (tahun) Kebutuhan seng (mg)
Anak-anak
1-3 4
4-6 5
7-9 11
Sumber : Angka kecukupan gizi (2013)

Fungsi seng yaitu :


a. Seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksireaksi yang
berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid dan asam
nukleat.
b. Sebagai bagian dari karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan
dalam pemeliharaan keseimbangan asam-basa dengan cara membantu
mengeluarkan karbon dioksida dari jaringan serta mengangkut dan
mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru pada pernapasan.
c. Seng diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA.
d. Seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan
penyembuhan luka.
e. Seng juga berperan dalam pengembangan fungsi reproduksi lakilaki dan
pembentukan sperma.
f. Seng berperan dalam detoksifikasi alkohol dan metabolisme vitamin A.
g. Seng berperan dalam fungsi kekebalan, yaitu fungsi sel T dan dalam
pembentukan antibodi oeh sel B.
h. Seng juga berperan dalam metabolisme tulang, transpor oksigen, dan
pemunahan radikal bebas, pembentukan struktur dan fungsi membran serta
proses penggumpalan darah (Almatsier, 2003).

Sumber seng paling baik adalah sumber protein hewani terutama daging, hati,
kerang, dan telur. Serealia dan kacangkacangan juga baik namun nilai biologiknya
rendah. Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan yaitu anakanak, ibu
hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng yang terjadi pada usia
sekolah dapat berakibat gangguan pertumbuhan fisik atau stunting dan
perkembangan sel otak. Tanda-tanda kekurangan seng adalah gangguan
pertumbuhan dan kematangan seksual.Di samping itu dapat terjadi diare dan
gangguan fungsi kekebalan.Kekurangan seng kronis mengganggu pusat sistem
saraf dan fungsi otak. Karena kekurangan seng mengganggu metabolisme vitamin
A, sering terlihat gejala yang terdapat pada kekurangan vitamin A. Kekurangan
seng juga 17 mengganggu fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan
nafsu makan, penurunan ketajaman indra rasa serta memperlambat penyembuhan
luka.

C. Pemberian Makanan Tambahan


Upaya penanggulangan masalah gizi kurang yang dilakukan oleh pemerintah
secara terpadu antara lain adalah intervensi langsung pada sasaran melalui pemberian
makanan tambahan. Pemberian makanan tambahan anak sekolah adalah kegiatan
pemberian makanan kepada perserta didik sekolah dasar dalam bentuk snack yang
aman dan bergizi. Salah satu jenis makanan tambahan yang diberikan yaitu berbahan
dasar dari ikan. Program pemberian makanan tambahan merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk memperbaiki asupan dan kualitas anak. Pengembangan makanan
tambahan berbahan ikan disamping memperhatikan nilai biologis juga harus
memperhatikan harga yang terjangkau dan proses pengolahannya, kemudian
disesuaikan dengan produk daerah setempat.
BAB III
PEMBAHASAN

Pemanfaatan Pangan Lokal dalam Pembuatan Biskuit untuk Pencegahan Stunting


Stunting merupakan salah satu karakteristik yang menandakan terjadinya masalah gizi
yang berulang dan dalam waktu yang lama, sehingga pada masa anak-anak diketahui
memiliki tingkat kecerdasan, kemampuan motorik, dan integrasi neuronsensori yang lebih
rendah. Dengan demikian, stunting pada masa balita akan mempengaruhi kualitas kehidupan
dimasa usia sekolah, remaja, bahkan dewasa.
Peningkatan status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk selama ini dilakukan melalui
pemberian makanan tambahan (PMT) berupa makanan formula dan biskuit yang diberikan
oleh unit pelayanan kesehatan. Program pemberian PMT pabrikan tidak menjamin
kesinambungan program. Program tersebut akan terhenti jika status gizi balita sudah
membaik, dan keluarga tidak dapat mengusahakan secara mandiri makanan yag setara PMT
akibat daya beli yang rendah (Ruthy, 2012). Selain itu, PMT yang beredar di pasaran
memiliki harga yang kurang terjangkau oleh daya beli keluarga balita terutama yang
berpenghasilan rendah.
Intervensi untuk pencegahan masalah gizi dalam bentuk makanan tambahan, terutama
yang berbasis bahan pangan lokal terbukti memiliki efektivitas yang setara dibandingkan
dengan suplementasi. Penggunaan bahan pangan yang merupakan kearifan lokal lebih mudah
diterima oleh masyarakat setempat dan memiliki kesinambungan yang lebih tinggi.
Penggunaan bahan pangan lokal sebagai sebagai basis interevensi gizi akan membangun
kemandirian local. Pemberian makanan tambahan lokal yang diperkaya protein hewani dan
nabati pada anak balita gizi kurang dapat meningkatkan status gizi. Suprayitno (2006)
menyatakan protein ikan gabus segar mencapai 25,1%, sedangkan 6,224% dari protein
tersebut berupa albumin. Pengembangan jajanan lokal dengan penambahan bahan pangan
tepung ikan gabus akan melengkapi dan memperkaya komposisi dan kandungan gizi jajanan
tersebut, terutama protein.
Permasalahan umum yang dialami oleh anak balita adalah susah makan. Mereka
cenderung lebih suka “ngemil” dan makan jajanan diluar . Oleh sebab itu, untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi anak, maka perlu adanyamakanan tambahan bagi balita.
Makanan tambahan bukan sebagai pengganti dari makanan utama sehari-hari melainkan
berupa selingan bagi balita untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya
status gizi dan kondisi gizi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut. Mengacu pada
Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI), makanan tambahan sebaiknya berbasis bahan
makanan lokal yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Berbagai jenis makanan yang
dapat dijadikan PMT adalah bubur kacang hijau dan berbagai jenis biskuit. Berbagai
jenis makanan yang dapat dijadikan PMT adalah bubur kacang hijau dan berbagai jenis
biskuit .Biskuit merupakan salah satu makanan ringan yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Produk ini dapat dikonsumsi oleh semua kalangan usia, biskuit banyak disukai
karena rasanya yang enak, bervariasi, harga relatif murah, dan cukup mengenyangkan serta
umur simpannya yang relatif lama.
Ikan gabus memiliki kandungan zat gizi yang lebih tinggi terutama dibandingkan
bahan pangan hewani lainnya seperti telur, daging ayam dan daging (Astawan, 2009).
Kandungan protein dalam ikan gabus basah sebesar 19,26% dan kering sebesar 79,9% (Sari,
2014). Santoso (2001) menemukan kandungan protein dalam ikan gabus basah sebesar
25,5%. Kepadatan kandungan zat gizi ikan meningkat setelah perlakuan pengeringan dan
dihaluskan menjadi tepung. Hasil pengukuran kadar zat gizi menunjukkan tingginya
kandungan zat gizi Tepung Ikan Gabus (TIG) yaitu protein mencapai 73.81%, lemak 6,2%,
kalsium 35,38%, pospor 51,59%, besi 0,9% dan seng 0,42%. Artinya setiap 100 gram TIG
mengadung protein 74 gram dan lemak 6 gram, dan setiap gram TIG mengandung kalsium
354 mg, pospor 516 mg, besi 9 mg dan seng 4,2 mg. Jika dibandingkan Angka Kecukupan
Gizi, potensi zat gizi mikro setiap gram TIG tersebut dapat memenuhi kebutuhan pospor dan
separuh kebutuhan kalsium dalam sehari. Setiap gram TIG dapat memenuhi AKG zat besi
untuk anak balita dan setengah kebutuhan seng anak balita setiap hari. Ikan gabus
mengandungan sejumlah zat gizi mikro lain seperti asam amino, albumin dan asam lemak
esensial.
Kandungan asam amino esensial ikan gabus adalah arginin 1,34%, alanin 1,32%,
tirosin 0,67%, metionin 0,62%, valin 0,85%, fenilalanin 0,84%, isoleusin 0,85%, leusin
1,13% dan lisin 1,67% (Sari, 2014). Asam amino esensial arginin dan histidin sangat penting
untuk pertumbuhan pada anak-anak (Selcuk, 2010). Arginin sangat penting bagi anak-anak
untuk meningkatkan pengeluaran hormon pertumbuhan (Emmanuel, 2008). Lisin berfungsi
sebagai bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan
pertumbuhan sel-sel normal, bersama prolin dan vitamin C akan membentuk kolagen dan
menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebihan (Harli, 2008). Ikan gabus juga
mengandung asam amino non esensial seperti glutamat yang tertinggi yaitu sebesar 2,94%
dan asam aspartat sebesar 1,90%. Asam glutamat dan asam aspartat penting karena
menciptakan karakteristik aroma dan rasa pada makanan (Oladapa, 1984).

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Pengembangan jajanan lokal dengan penambahan bahan pangan tepung ikan gabus
ke biscuit akan melengkapi dan memperkaya komposisi dan kandungan gizi
jajanan tersebut, terutama protein. Protein ikan gabus segar mencapai 25,1%,
sedangkan 6,224% dari protein tersebut berupa albumin.
2. Ikan gabus memiliki kandungan zat gizi yang lebih tinggi terutama dibandingkan
bahan pangan hewani lainnya seperti telur, daging ayam dan daging. Hasil
pengukuran kadar zat gizi menunjukkan tingginya kandungan zat gizi Tepung Ikan
Gabus (TIG) yaitu protein mencapai 73.81%, lemak 6,2%, kalsium 35,38%, pospor
51,59%, besi 0,9% dan seng 0,42%.
3. Intervensi untuk pencegahan masalah gizi dalam bentuk makanan tambahan,
terutama yang berbasis bahan pangan lokal terbukti memiliki efektivitas yang
setara dibandingkan dengan suplementasi
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Astawan M. 2009. Ikan Gabus Dibutuhkan Pascaoperasi. http://cybermed. cbn.net.id (27
Oktober 2017)
Departemen Kesehatan RI, (2007). Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (KADARZI).
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat
Fadli M., Santoso H., Syauqi A. 2017. Uji Kandungan Albumin Ikan Gabus (Channa striata)
Dalam Perbedaan Lingkungan Air. Biosaintropis (Bioscience-Tropic), 2017 vol 3(1)
Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita (12-59
Bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010).Tesis. Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Universitas
Indonesia, Depok
Fitriyanti, F dan Mulyati, T. 2012. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan
(PMT-P) Terhadap Status Gizi Balita Gizi Buruk di Media Kesehatan Politeknik
Kesehatan Makassar
Kartini, Apoina, Suhartono, Hertanto Wahyu Subagio, Budiyono, Irene Max Emman (2016),
Kejadian Stunting dan kematangan Usia Tulang Pada Anak Usia Sekolah Dasar di
Daerah Pertanian Kabupaten Brebes, Jurnal Kesehatan Masyarakat , 11(2) : 97-103
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Buku Saku Pemantauan Status Gizi Dan Indikator Kinerja
Gizi Tahun 2015. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Nadimin, N. and Lestari, R.S., 2019. Peningkatan Nilai Gizi Mikro Kudapan Lokal Melalui
Subtitusi Tepung Ikan Gabus Untuk Pencegahan Stunting Di Sulawesi Selatan. Media
Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar, 14(2), pp.152-157.
Nugraha D. 2012. Pengaruh Konsumsi Biskuit Terhadap Status Gizi dan Tingkat Morbiditas
Balita yang Berstatus Gizi Buruk atau Kurang di Tiga Tipoli Wilayah Kabupaten
Sukabumi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakutas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor.
Oladapa A., Akin M.A.S. dan Olusegun L.O. 1984. Quality Change of Nigerian Traditionally
Processed Freshwater Fish Species. Journal of Food Science and Technology,
19(1984): 341-348
Oktarina, Nadia Hapsari, dan Martha Irene Kartasurya (2013), Pengaruh Pemberian
Mikronutrien Sprinkle Terhadap Status Antropometri BB/U, TB/U dan BB/TB Anak
Stunting Usia 12-36 Bulan, Journal of Nutrition College, 2(1) : 192-199.
Peraturan Menteri Kesehatan. 2013. Angka Kecukupan Gizi. Jakarta
Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Ruthy. 2012. Pengaruh Pemberian Biskuit Tempe Kurma Terhadap Status Gizi Balita
Penderita TBC pada Bulan Mei 2012 di Kecamatan Terpilih Jakarta Timur.
Salman, Y., Khadijah, S. and Suryani, N., 2019. Analisis Kandungan Zat Gizi Makro Biskuit
Dengan Formulasi Tepung Ikan Lele Dan Tepung Kedelai Dalam Upaya Mencegah
Stunting. Jurnal Kesehatan Indonesia, 10(1), pp.17-22.
Suprayitno. 2008. Studi Profil Asam Amino, Albumin dan Seng pada Ikan Gabus

Anda mungkin juga menyukai