Disusun oleh:
Chintya Wulandarie
S531908009
PROGRAM PASCASARJANA
PRODI ILMU GIZI PEMINATAN HUMAN NUTRITION
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek, stunting
terjadi akibat kekurangan gizi dan penyakit berulang dalam waktu lama pada masa
janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak (Black et al., 2008 dalam
Susilawati 2016). Tujuan Millennium Development Goals pada tahun 2015 adalah
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan dengan indikator menurunnya prevalensi
dalam bentuk stunting. Stunting akan meningkatkan angka kematian dan peningkatan
angka kesakitan (Depkes RI, 2007).
Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen
kontribusi masalah gizi dunia. Di Indonesia prevalensi stunting pada balita umur 0-59
bulan yaitu 29%, terdiri dari sangat pendek 10,1% dan pendek 18,9%. Provinsi
Sulawesi selatan memiliki prevalensi stunting sebesar 33,9% yang terdiri dari 9,9%
sangat pendek dan 24,4% pendek. Berdasarkan pemantauan status gizi (PSG, 2015).
Stunting pada balita merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian,
menurunkan kemampuan kognitif dan perkembangan motorik rendah serta fungsi-
fungsi tubuh yang tidak seimbang. Dampak jangka panjang dalam perkembangan
fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Beberapa penelitian telah
menemukan keterkaitan antara tinggi badan dan perubahan perkembangan dalam 3
tahum pertama. Di Gautemala, perubahan tinggi bahan disertai dengan perubahan
pada perkembangan. Di Jamaika, anak-anak yang bertumbuh pendek dicatat dalam
usia antara 6 dan 24 bulan dan perubahan tinggi badan selama 24 bulan berikutnya..
Peningkatan status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk selama ini dilakukan
melalui pemberian makanan tambahan (PMT) berupa makanan formula dan biskuit
yang diberikan oleh unit pelayanan kesehatan. Program pemberian PMT pabrikan
tidak menjamin kesinambungan program. Salah satu upaya yang dilakukan dalam
menanggulangi masalah gizi, baik defisiensi gizi makro maupun defisiensi mikro
dengan meningkatkan strategi penyuluhan tentang gizi dan intervensi melalui
pemberian makanan tambahan. Program pemberian makanan tambahan merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki asupan dan kualitas anak.
Pengembangan makanan tambahan berbahan ikan disamping memperhatikan nilai
biologis juga harus memperhatikan harga yang terjangkau dan proses pengolahannya,
kemudian disesuaikan dengan produk daerah setempat. Intervensi untuk pencegahan
masalah gizi dalam bentuk makanan tambahan, terutama yang berbasis bahan pangan
lokal terbukti memiliki efektivitas yang setara dibandingkan dengan suplementasi.
Penggunaan bahan pangan yang merupakan kearifan lokal lebih mudah
diterima oleh masyarakat setempat dan memiliki kesinambungan yang lebih tinggi.
Penggunaan bahan pangan lokal sebagai sebagai basis interevensi gizi akan
membangun kemandirian lokal. Hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa
penggunaan produk makanan lokal atau disubtitusi bahan pangan lokal terbukti dapat
meningkatkan status gizi balita yang kekurangan gizi. Pemberian PMT selama 2 bulan
memberikan pengaruh terhadap perubahan status gizi balita gizi buruk (Fitriyanti F,
2012). Hasil penelitian Nugraha D (2012) menunjukkan bahwa pemberian makanan
tambahan berupa biskuit tepung ikan lele dapat meningkatkan z-skor BB/U balita
sehingga mengurangi anak gizi kurang dan gizi buruk sebesar 47.9%. Pemberian
makanan tambahan lokal yang diperkaya protein hewani dan nabati pada anak balita
gizi kurang dapat meningkatkan status gizi.
Disisi lain, Kalimantan Tengah memiliki potensi sumber daya ikan yang
cukup banyak seperti “ikan gabus” yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kualitas gizi makanan/ jajanan lokal untuk anak. Ikan gabus zat gizi potensial yang
cukup tinggi yaitu protein (70%), albumin (21%), asam amino yang lengkap,
mikronutrien zink, selenium dan iron (Fadli, 2017). Suprayitno (2008) menyatakan
protein ikan gabus segar mencapai 25,1%, sedangkan 6,224% dari protein tersebut
berupa albumin. Pengembangan jajanan lokal dengan penambahan bahan pangan
tepung ikan gabus akan melengkapi dan memperkaya komposisi dan kandungan gizi
jajanan tersebut, terutama protein. Keberhasilan pengembangan suatu produk
makanan tidak hanya dilihat berdasarkan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk
tersebut, tetapi harus dinilai juga berdasarkan kandungan zat gizinya sehingga potensi
local tersebut dapat dimanfaatkan untuk pencegahan masalah gizi khususnya stunting
di Kalimantan Tengah. Penelitian ini bertujuan menganalisis zat gizi jajanan lokal
yang disubtitusi tepung ikan gabus sebagai alternatif untuk pencegahan masalah
stunting.
B. Tujuan
1. Mengetahui nilai gizi jajanan lokal yang diperkaya dengan tepung ikan gabus
dalam pembuatan biskuit untuk pencegahan stunting pada balita.
2. Melakukan pengembangan jajanan lokal melalui penambahan tepung ikan gabus
pada pembuatan biskuit untuk pencegahan stunting pada balita.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stunting
1. Pengertian Stunting
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas z- score kurang dari -2
SD (Kusuma, 2013). Anak stunting memiliki tinggi badan yang pendek
dibandingkan dengan anak seusianya. Kondisi stunting menggambarkan status
gizi yang kurang baik dimasa lalu dan menunjukkan adanya gangguan
pertumbuhan linear pada seseorang (Kartini, 2016). Parameter antropometri
merupakan dasar dari penilaian status gizi kombinasi antara beberapa parameter
disebut indeks antropometri (WHO, 2010). Standar antropometri penilaian status
gizi anak berdasarkan TB/U dan ambang batasnya adalah sebagai berikut:
Klasifikasi dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks TB/U
Indeks Status Gizi Z-Score
TB/U Sangat pendek < - 3SD
Pendek >= - 3 s/d < - 2 SD
Normal >= - 2 s/d 2 SD
3. Dampak Stunting
Dampak stunting terdiri dari dampak jangka pendek dan dampak jangka
panjang. Jangka pendek anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara, serta
gangguan perkembangan. Kemudian jangka panjang rendahnya IQ, rendahnya
perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian serta kurangnya rasa
percaya diri. Kondisi gizi kurang dapat menyebabkan gangguan pada proses
pertumbuhan dan perkembangan serta mengurangi kemampuan berfikir
(Almatsier, 2010).
2. Seng
Seng merupakan salah satu mikronutrien yang berperan sangat penting pada
pertumbuhan manusia karena memiliki struktur serta peran di beberapa sistem
enzim yang terlibat dalam pertumbuhan fisik, imunologi dan fungsi reproduksi.
Akibatnya, saat terjadi defisiensi seng maka dapat mempengaruhi pertumbuhan
fisik anak-anak (Abunada, et al 2013). Seng merupakan salah satu mikronutrien
yang berperan sangat penting dan memiliki stuktur serta peran dibeberapa sistem
enzim. Seng juga memperlancar efek vitamin d terhadap metabolisme tulang
dengan stimulasi sistesi DNA disel-sel tulang. Kekurangan seng akan berdampak
pada penurunan 14 ketajaman inderas perasa, melambatnya penyembuhan luka,
gangguan pertumbuhan homeostati.
Seng berperan di berbagai reaksi, sehingga kekurangan seng akan berpengaruh
terhadap jaringan tubuh, terutama pada proses pertumbuhan (Almatsier, 2009).
Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 rata-rata kebutuhan Seng menurut
golongan umurnya yaitu:
Angka kebutuhan seng menurut golongan Umur
Umur (tahun) Kebutuhan seng (mg)
Anak-anak
1-3 4
4-6 5
7-9 11
Sumber : Angka kecukupan gizi (2013)
Sumber seng paling baik adalah sumber protein hewani terutama daging, hati,
kerang, dan telur. Serealia dan kacangkacangan juga baik namun nilai biologiknya
rendah. Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan yaitu anakanak, ibu
hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng yang terjadi pada usia
sekolah dapat berakibat gangguan pertumbuhan fisik atau stunting dan
perkembangan sel otak. Tanda-tanda kekurangan seng adalah gangguan
pertumbuhan dan kematangan seksual.Di samping itu dapat terjadi diare dan
gangguan fungsi kekebalan.Kekurangan seng kronis mengganggu pusat sistem
saraf dan fungsi otak. Karena kekurangan seng mengganggu metabolisme vitamin
A, sering terlihat gejala yang terdapat pada kekurangan vitamin A. Kekurangan
seng juga 17 mengganggu fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan
nafsu makan, penurunan ketajaman indra rasa serta memperlambat penyembuhan
luka.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Pengembangan jajanan lokal dengan penambahan bahan pangan tepung ikan gabus
ke biscuit akan melengkapi dan memperkaya komposisi dan kandungan gizi
jajanan tersebut, terutama protein. Protein ikan gabus segar mencapai 25,1%,
sedangkan 6,224% dari protein tersebut berupa albumin.
2. Ikan gabus memiliki kandungan zat gizi yang lebih tinggi terutama dibandingkan
bahan pangan hewani lainnya seperti telur, daging ayam dan daging. Hasil
pengukuran kadar zat gizi menunjukkan tingginya kandungan zat gizi Tepung Ikan
Gabus (TIG) yaitu protein mencapai 73.81%, lemak 6,2%, kalsium 35,38%, pospor
51,59%, besi 0,9% dan seng 0,42%.
3. Intervensi untuk pencegahan masalah gizi dalam bentuk makanan tambahan,
terutama yang berbasis bahan pangan lokal terbukti memiliki efektivitas yang
setara dibandingkan dengan suplementasi
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Astawan M. 2009. Ikan Gabus Dibutuhkan Pascaoperasi. http://cybermed. cbn.net.id (27
Oktober 2017)
Departemen Kesehatan RI, (2007). Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (KADARZI).
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat
Fadli M., Santoso H., Syauqi A. 2017. Uji Kandungan Albumin Ikan Gabus (Channa striata)
Dalam Perbedaan Lingkungan Air. Biosaintropis (Bioscience-Tropic), 2017 vol 3(1)
Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita (12-59
Bulan) di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010).Tesis. Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Universitas
Indonesia, Depok
Fitriyanti, F dan Mulyati, T. 2012. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan
(PMT-P) Terhadap Status Gizi Balita Gizi Buruk di Media Kesehatan Politeknik
Kesehatan Makassar
Kartini, Apoina, Suhartono, Hertanto Wahyu Subagio, Budiyono, Irene Max Emman (2016),
Kejadian Stunting dan kematangan Usia Tulang Pada Anak Usia Sekolah Dasar di
Daerah Pertanian Kabupaten Brebes, Jurnal Kesehatan Masyarakat , 11(2) : 97-103
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Buku Saku Pemantauan Status Gizi Dan Indikator Kinerja
Gizi Tahun 2015. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Nadimin, N. and Lestari, R.S., 2019. Peningkatan Nilai Gizi Mikro Kudapan Lokal Melalui
Subtitusi Tepung Ikan Gabus Untuk Pencegahan Stunting Di Sulawesi Selatan. Media
Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar, 14(2), pp.152-157.
Nugraha D. 2012. Pengaruh Konsumsi Biskuit Terhadap Status Gizi dan Tingkat Morbiditas
Balita yang Berstatus Gizi Buruk atau Kurang di Tiga Tipoli Wilayah Kabupaten
Sukabumi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakutas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor.
Oladapa A., Akin M.A.S. dan Olusegun L.O. 1984. Quality Change of Nigerian Traditionally
Processed Freshwater Fish Species. Journal of Food Science and Technology,
19(1984): 341-348
Oktarina, Nadia Hapsari, dan Martha Irene Kartasurya (2013), Pengaruh Pemberian
Mikronutrien Sprinkle Terhadap Status Antropometri BB/U, TB/U dan BB/TB Anak
Stunting Usia 12-36 Bulan, Journal of Nutrition College, 2(1) : 192-199.
Peraturan Menteri Kesehatan. 2013. Angka Kecukupan Gizi. Jakarta
Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Ruthy. 2012. Pengaruh Pemberian Biskuit Tempe Kurma Terhadap Status Gizi Balita
Penderita TBC pada Bulan Mei 2012 di Kecamatan Terpilih Jakarta Timur.
Salman, Y., Khadijah, S. and Suryani, N., 2019. Analisis Kandungan Zat Gizi Makro Biskuit
Dengan Formulasi Tepung Ikan Lele Dan Tepung Kedelai Dalam Upaya Mencegah
Stunting. Jurnal Kesehatan Indonesia, 10(1), pp.17-22.
Suprayitno. 2008. Studi Profil Asam Amino, Albumin dan Seng pada Ikan Gabus