Anda di halaman 1dari 20

“Promosi Gizi Dengan Pemanfaatan Sumber Pangan Lokal Ikan Patin (Wadi)

Sebagai Dasar Perencanaan Program Gizi Di Palangka Raya, Kalimantan


Tengah”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Promosi Gizi


Dosen Pengampu: Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si

Disusun oleh:
Chintya Wulandarie
S531908009

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI ILMU GIZI PEMINATAN HUMAN NUTRITION
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan sumber daya
manusia serta memiliki kontribusi besar untuk meningkatkan indeks pembangunan
manusia (IPM). Oleh sebab itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk
memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan seluruh
masyarakat Indonesia. Departemen kesehatan RI (2010) merumuskan definisi promosi
kesehatan sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan
factor kesehatan melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar
mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber
daya masyarakat sesuai social budaya setempat dan didukung oleh kebijakan public yang
berwawasan kesehatan.
Promosi gizi tidak sesederhana pendidikan gizi karena melibatkan factor
psikologis, politis, dan pengaruh social ekonomi terhadap konsumsi makanan. Promosi
gizi akan menjamin setiap orang mendapat makanan yang sesuai dengan social budaya
dan kebutuhan gizinya. Promosi gizi dapat dilaksanakan diberbagai institusi. Misalnya
pada promosi gizi di sekolah, ada beberapa stakeholder yang harus dilibatkan antara lain :
murid, orang tua, petugas gizi, industry makanan, pemerintah, dan tokoh masyarakat.
Sumber daya lokal atau potensi lokal adalah Kemampuan atau kekuatan atau daya
yang dimiliki oleh suatu daerah yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan
manfaat/keuntungan bagi daerah tersebut. Industri pangan lokal yang umumnya berskala kecil
mempunyai potensi untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Untuk itu diperlukan
usaha yang komprehensif untuk mengembangkan industri pangan lokal yanag skala kecil. Industri
pangan lokal dalam skala kecil mempunyai potensi untuk dikembangkan, khususnya dalam era
perdagangan bebas. Syukriah (2013) menyatakan bahwa usaha skala kecil di Indonesia
mempunyai prospek yang baik di era perdagangan bebas “Masyarakat Ekonomi Asean”, asalkan
bisa memanfaatkan keunggulan komparatifnya, antara lain dengan meningkatkan inovasi
teknologi guna menghasilkan produk yang khas, unik dan memberikan pelayanan yang baik.
Dalam pengembangan produk harus diperhatikan berbagai faktor yang berkaitan dengan
prospek yanag ada. Prospek dilihat dari berbagai sisi antara lain citarasa, keragaman produk,
skala usaha (bisa diusahakan dalam skala kecil), pariwisata (makanan oleh-oleh/souvenir bagi
wisatawan). Selain itu perlu juga diperhatikan berbagai kendala yang ada seperti kontinyuitas
bahan baku (mutu dan jumlah), kualitas SDM (tenaga kerja), modal usaha, manajemen usaha
(manajemen produksi dan pemasaran), standar mutu (sanitasi, SOP/standar pengolahan,
kemasan). Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mempromosikan sumber
daya lokal yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan program gizi.

B. Tujuan
1. Mempromosikan sumber daya lokal yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan
program gizi di Palangka Raya, Kalimanta Tengah
2. Mengangkat makanan lokal wadi patin menjadi makanan khas yang bernilai gizi
tinggi
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Promosi Kesehatan
1. Pengertian Promosi Gizi
World Health Organization (WHO) mendefinisikan promosi kesehatan
sebagai proses pemberdayaan individu dan masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan mereka mengendalikan determinan kesehatan sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan mereka. Promosi gizi pengertiannya lebih luas
dari Pendidikan gizi, karena kalua kita bicara promosi gizi didalamnya sudah
termasuk Pendidikan gizi. Worsley Tony (2008) juga menyimpulkan promosi
nutrisi adalah tentang promosi pengetahuan pangan dan gizi di kalangan
konsumen pangan serta modifikasi produksi dan distribusi sektor makanan
sehingga mereka mendorong kesehatan populasi yang optimal.
2. Tujuan
Promosi gizi melibatkan tiga stategi dasar sesuai dengan konsep kesehatan
masyarakat, dengan tujuan :
a. Meningkatkan kondisi social masyarakat, seperti menurunkan angka
kemiskinan
b. Mencegah kondisi social dari ancaman kesehatan
c. Menetralisir kondisi social yang menyebabkan kesakitan, seperti tingginya
angka pengangguran dapat dikurangi dengan mengadakan pendidikan dan
latihan (diklat) yang dapat meningkatkan keterampilan tertentu.
Jadi, dengan promosi kesehatan akan menjaminsetiap orang mendapatkan
makanan yang sesuai dengan social budaya dan kebutuhan gizinya (Supariasa,
2012).
Promosi gizi dapat dilaksanakan diberbagai institusi. Misalnya pada
promosi gizi disekolah, ada beberapa stakeholder yang harus dilibatkan antara
lain:
a. Murid (the leaner)
Anak didik perlu dipersiapkan untuk dapat belajar gizi sesuai dengan
kemampuannya. Makanan apa yang boleh dimakan dan makanan apa yang
tidak boleh dimakan sesuai dengan konsep ilmu gizi, kepercayaan, budaya dan
agama.
b. Orang tua/wali murid
Orang tua mempunyai harapan agar anaknya dapat makan makanan yang
bergizi dan menghindari makanan yang dapat merugikan kesehatan . anak
mempunyai keyakinan yang kuat tentang pentingnya gizi seimbang untuk
meningkatkan kecerdasan dan mencapai status gizi yang baik.
c. Petugas gizi (ahli gizi)
Ahli gizi dan petugas kesehatan lainnya harus dapat mengajarkan prinsip dasar
ilmu gizi. Materi yang perlu diberikan antara lain triguna makanan, jenis zat
gizi dan fungsinya, gizi seimbang, memilih makanan yang aman dan bergizi,
akibat kelebiham dan kekurangan makan dan gizi hubungannya dengan
kecerdasan.
d. Industri makanan
Industri makanan harus dilibatkan dalam promosi gizi. Dalam promosi
produknya, sebaiknya tetap mengikuti kaidah ilmu gizi dan tidak menyesatkan
anak didik dan masyarakat. Industri makanan memasarkan produknya di
berbagai tempat baik di mall, supermarket dan disekolah.
e. Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini pihak sekolah dapat mempromosikan pentingnya gizi
seimbang dan bagaimana cara memilih makanan sesuai dengan kondisi di suatu
daerah. Setiap daerah mempunyai makanan tradisional yang justru sangat baik
di konsumsi, misalnya di jawa ada makanantumpeng dan di dalam tumpeng
tersebut terkandung pesan yang sangat bagus, yaitu anjuran makan
beranekaragam makanan. Dalam pengaturan makanan, pemerintah dapat
mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan makanan. Dan gizi disekolah
termasuk keberadaan kantin sekolah yang sehat.
f. Tokoh masyarakat
Tokoh kunci yang dapat dilibatkan dalam program gizi di sekolah, misalnya
tokoh agama, tokoh bidang Pendidikan, ketua organisasi profesi seperti
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), dan tokoh organisasi Lembaga
Swalayan Masyarakat (LSM). Keterlibatan tokoh-tokoh tersebut penting
artinya untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungan sekolah
(Supariasa, 2012).
B. Metode Promosi Kesehatan
Di dalam suatu proses Pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan
promosi, yakni perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak factor. Faktor yang
mempengaruhi suatu proses pendidikan di samping faktor masukannya sendiri juga
faktor metode, factor materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang
melakukannya, dan alat-alat bantu atau media yang digunakan untuk menyampaikan
pesan. Agar tercapai suatu hasil yang optimal maka factor-faktor tersebut harus
bekerja sama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa untuk masukan (sasaran
pendidikan) tertentu harus menggunakancara tertentu pula. Materi juga harus
disesuaikan dengan sasaran.untuk sasaran kelompok maka metodenya harus berbeda
dengan sasaran massa dan sasaran individu. Dibawah ini beberapa metode promosi
atau pendidikan individual, kelompok dan massa (public).
1. Metode Individual (perorangan)
Metode yang bersifatindividual ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau
membina seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku
atau inovasi. Bentuk pendekatan ini antar lain :
a. Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counceling)
Dengan cara ini kontak klien dengan petugas lebih intensif. Setiap
masalahyang di hadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu penyelesaiannya.
Akhirnya klien akan dengan sukarela berdasarkan kesadaran dan penuh
pengertian akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku).
b. Interview (wawancara)
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan.
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi
mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, ia tertarik atau belum
menerima perubahan, untuk mempengaruhi apakah perilaku yang sudah atau
yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat.
Apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
2. Metode Kelompok
Dalam memilih metode kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran
serta tingkat Pendidikan formal dari sasaran. Untuk kelompok yang besar,
metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan
tergantung pula pada besarnya sasaran Pendidikan.
a. Kelompok besar
Yang dimaksudkelompok besar di sini adalah apabila peserta penyuluhan itu
lebihdari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar ini antara lain
ceramah dan seminar.
 Ceramah : metode inibaikuntuk sasaran yang berpendidikan tingi
maupun rendah
 Seminar : metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar
dengan Pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian
(persentasi) dari seorang ahli atau beberapa orang ahli tentang suatu
topik yang dianggap penting dan dianggap hangat dimasyarakat.
b. Kelompok kecil
Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut

kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil ini antara

lain :

 Diskusi kelompok, dalam kondisi kelompok agar semua anggota

kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi

duduk para peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat

berhadap-hadapan atau saling memandang satu sama lain.

 Curah pendapat (Brain strorming), metode ini merupakan modifikasi

metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaan pemimpin


kelompok memancing dengan satu masalah dan kemudian tiap peserta

memberikan jawaaban atau tanggapan.

 Bola salju (Snow Balling), kelompok di bagi dalam pasangan-pasangan

(1 pasang 2 orang) dan kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau

masalah. Setelah lebih kurang 5 menit maka tiap 2 pasang bergabung

menjadi 1. Mereka tetap mendiskusikan masalah tersebut dan mencari

kesimpulnnya

 Role play (memainkan peranan), dalam metode ini beberapa anggota

kelompok ditunjuk sebagai pemegang peran tertentu untuk memainkan

peranan

 Permainan simulasi (simulation game), metode ini merupakan

gabungan antara role play dengan diskusi kelompok. Pesan-pesan

kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti

permainan monopoli.

3. Metode Massa
Metode pendidikan kesehatan secara massa dipakai untuk
mengomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat
yang sifatnya massa atau publik. Oleh karena sasaran promosi ini bersifat umum,
dalam arti tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
social ekonomi, tingkat pendidikan dan sebagainya, maka pesan-pesan kesehatan
yang akan disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
ditangkap oleh massa tersebut. Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa
ini tidak langsung. Bisanya dengan menggunakan atau melalui media massa.
Beberapa contoh metode pendidikan kesehatan secara massa diantaranya
(Notoatmodjo, 2010) : ceramah umum (public speaking), pidato-pidato/ diskusi
tentang kesehatan melalui media elektronik, simulasi, tulisan-tulisan di majalah
atau Koran, dan bill board yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan
sebagainya.

C. Diversifikasi Pangan
Pengertian diversifikasi pangan mencakup konteks produksi, ketersediaan,
dan konsumsi pangan (Suhardjo, 1998). Akan tetapi, dalam tulisan ini pembahasan
hanya terfokus pada konteks konsumsi pangan. Diversifikasi pangan berkonotasi
pada adanya pilihan bahan pangan alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada
satu jenis pangan yang dominan. Fakta selama ini, jenis pangan dominan di
Indonesia adalah beras. Oleh sebab itu, diversifikasi pangan menjadi salah satu
strategi mencapai ketahanan pangan (Setiawan, 2012). Sasaran percepatan
keragaman konsumsi pangan adalah tercapainya pola konsumsi pangan yang aman,
bermutu, dan bergizi seimbang yang dicerminkan oleh tercapainya skor Pola Pangan
Harapan (PPH) sekurang-kurangnya 93. Konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-
buahan, dan pangan hewani ditingkatkan dengan mengutamakan produksi lokal,
sehingga konsumsi beras diharapkan turun sekitar 3 persen/tahun pada tahun 2014.
Data menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mengonsumsi beras lebih banyak
daripada asupan karbohidrat yang dibutuhkan, yakni mencapai 62,2 persen untuk
tahun 2007.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 tahun 2009
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah untuk menfasilitasi dan mendorong
terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman yang
diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015. Strategi yang ditempuh dalam
Perpres adalah: (1) internalisasi penganekaragaman konsumsi pangan melalui
advokasi, kampanye, promosi, pendidikan formal dan nonformal, serta sosialisasi
tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman pada berbagai
tingkatan aparat dan masyarakat; dan (2) pengembangan bisnis dan industri pangan
lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar,
industri bahan baku, industri pangan olahan, dan pangan siap saji yang aman berbasis
sumber daya lokal serta advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan
keamanan pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha rumah tangga dan
UMKM. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Badan Ketahanan Pangan (2013),
Kementerian Pertanian terutama menyusun program kerja utamanya antara lain
percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP) yang bertujuan untuk
meningkatkan diversifikasi pangan melalui: (a) pengembangan Kawasan Rumah
Pangan Lestari di 6.280 desa (5.000 desa baru dan 1.280 desa lanjutan) pada 497
kabupaten/kota di 33 provinsi, (b) pengembangan pangan pokok lokal pada 30
kabupaten di 18 provinsi, dan (c) promosi dan sosialisasi P2KP di 33 provinsi.
Dalam Road Map Diversifikasi Pangan 2011–2015 disebutkan bahwa
diversifikasi pangan dan gizi dapat dilihat dari beberapa aspek berikut: (1) aspek
konsumsi, sebagai upaya membudayakan pola konsumsi pangan beragam, bergizi,
seimbang, dan aman untuk mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif; (2) aspek
pengembangan bisnis pangan memberi dorongan dan insentif pada rantai bisnis
pangan yang lebih beragam dan aman, yang berbasis sumber daya lokal; (3) aspek
produksi mendorong pengembangan berbagai ragam produksi pangan, dan
menumbuhkan beragam usaha pengolahan pangan (rumah tangga, UMKM, dan
swasta); dan (4) aspek kemandirian pangan akan dapat mengurangi ketergantungan
nasional terhadap pangan impor, dan secara mikro mengurangi ketergantungan
konsumen pada satu jenis pangan tertentu, serta mendorong setiap wilayah untuk
mengoptimalkan potensi sumber daya pangan setempat dalam memenuhi kebutuhan
pangan penduduk. Selain empat aspek tersebut, juga dapat dilihat dari aspek
swasembada, yang akan lebih menjamin dicapainya swasembada pangan berbasis
potensi sumber daya lokal secara berkelanjutan (BKP, 2012).

D. Kondisi Konsumsi Pangan dan Gizi


Penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain : faktor yang bersifat internal (individual) seperti pendapatan, preferensi,
keyakinan (budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal
seperti faktor agroekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan,
serta promosi/iklan. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan
intelegensia manusia. Jumlah dan kualitas konsumsi pangan dan gizi dalam rumah
tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan dan budaya masayarakat.
Berbagai permasalahan dan tingginya tingkat tantangan yang akan muncul, yang
harus diantisipasi, terutama dalam mewujudkan pola konsumsi pangan yang beragam
dan bergizi seimbang antara lain :
 Besarnya jumlah penduduk miskin dan tingginya tingkat pengangguran
dengan kemampuan akses pangan rendah;
 Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi
pangan dan gizi;
 Masih dominanannya konsumsi sumber karbohidrat yang berasal dari beras;
Rendahnya kesadaran masayarakat terhadap keamanan pangan.
Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang dimiliki
Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi
seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki
oleh seluruh wilayah, masih dapat dikembangkan untuk memenuhi
keanekaragaman pangan masyararakat pada wilayah yang bersangkutan. Tingkat
pendidikan masyarakat yang ser»ikin tinggi dapat memberikan peluang bagi
percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan dapat merubah
prilaku konsumsinya, sehingga mencapai status gizi yang baik, yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Selain itu,
perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi publik dapat
menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat proses,serta memperluas
jangkauan upaya pendidikan masayarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi
keluarganya.
Status gizi merupakan muara akhir dari semua subsistem dalam sistem
ketahanan pangan, yang berarti merupakan salah satu indikator yang
mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan. Gizi kurang berdampak
terhadap kesakitan dan kematian, pertumbuhan, perkembangan intelektual dan
produktifitas (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Penganekaragaman konsumsi
pangan merupakan upaya memantapkan atau membudayakan pola konsumsi
pangan yang beranekaragam dan seimbang dalam jumlah dan komposisi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi yang dapat mendukung hidup sehat, aktif
dan produktif. Mengkonsumsi pangan yang beranekaragam akan dapat memenuhi
kebutuhan gizi manusia secara seimbang.
Ketahanan pangan nasional merupakan pilar bagi pembentukan
sumberdaya manusia dan generasi yang berkualitas, yang diperlukan untuk
membangun bangsa ini dalam era globalisasi. Apabila dikaitkan dengan upaya
membangun kualitas manusia, maka akses pangan ini lebih menentukan dari pada
ketersediaanya. Dalam meningkatkan akses pangan masyarakat, salah satu upaya
agar masyarakat memperoleh pangan yang beragam. bergizi seimbang, maka
diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal perlu dioptimalkan. Upaya
percepatan diversifikasi pangan dan gizi merupakan program nasional yang
memerlukan dukungan dan kerjasama yang efektif antara berbagai pemangku
kepentingan {stakeholders) yang meliputi pemerintah dan pemerintah daerah,
lembaga non pemerintah, serta masyarakat. Keberhasilan program ini
diindikasikan dengan semakin meningkatnya kualitas konsumsi pangan disetiap
individu, yang merupakan faktor pendukung untuk perbaikan status gizi dan
kesehatan masyarakat, pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya Sumber
Daya Manusia yang berkualitas.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Wadi Ikan Patin


Ikan patin merupakan ikan perairan tawar yang banyak ditemukan di daerah
Sumatra, Kalimantan dan sebagian Jawa (Rupawan dkk., 2000). Produksi ikan patin di
provinsi Kalimantan tengah berdasarkan data statistik 2013 yaitu 23,411 ton atau 5,17%
(Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, 2013). Ikan patin dinilai lebih aman untuk
kesehatan karena memiliki kadar kolesterol lebih rendah dibanding dengan daging hewan
ternak seperti daging unggas. Ikan patin memiliki kelebihan lain, yaitu ukuran per
individunya besar. Di alam, panjang ikan patin bisa mencapai 120 cm (Susanto dan Amri,
1996). Banyaknya jumlah ikan yang didapat di lingkungan membuat masyarakat
melakukan penyimpanan jangka panjang menggunakan fermentasi sedarhana.
Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu cara dari
masyarakat lokal Kalimantan agar ikan hasil panen tidak mudah membusuk (Soetrisno
dan Apriyantono, 2005). Produk hasil pengolahan secara tradisional melalui proses
fermentasi yang sangat disukai masyarakat Kalimantan Tengah adalah wadi (Afrianto
dan Liaviawaty, 1993). Pada penelitian ini wadi termasuk fermentasi spontan. Menurut
Suprihatin (2010) & Desniar dkk. (2009), pada fermentasi spontan tidak ditambahkan
mikroorganisme tetapi menggunakan garam konsentrasi tinggi. Menurut Tedja dan Nur
(1979), fermentasi ikan bergaram merupakan suatu cara pengawetan yang cocok
dilakukan di Indonesia. Namun, dalam pengolahannya sehari-hari masyarakat tidak
melakukan penimbangan garam saat proses pembuatan wadi sehingga dapat
mengakibatkan rasa sangat asin.
Pengembangan produk bernilai tambah masih sangat rendah, hal ini ditandai
dengan pemanfaatan hasil produksi ikan yang masih didominasi olahan tradisional,
dimana mutu hasil olahan masih kurang baik. Pengembangan teknologi dilakukan untuk
memenuhi tuntutan dan selera konsumen akan produk olahan hasil perikanan yang
praktis, siap saji, bergizi tinggi dan bernilai tambah(Setiyorini et al., 2018).
Pengembangan produk bernilai tambah ini bertujuan meningkatkan nilai jual ikan
sehingga akan meningkatkan pendapatan nelayan dan pengolah; mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya ikan sehingga meningkatkan konsumsi protein masyarakat
serta meningkatkan devisa negara.
B. Pembuatan Wadi
Wadi dibuat secara tradisional melalui proses fermentasi menggunakan ikan
segar. Umumnya jenis ikan yang digunakan adalah ikan air tawar. Bahan tambahan yang
digunakan pada pembuatan wadi adalah garam dan beras yang digoreng tanpa minyak
(disangrai) lalu ditumbuk kasar yang dinamakan lamu atau samu (Carolina, 1996). Lamu
mengandung sumber pati sebagi sumber kabohidrat (Moeljanto, 1992). Wadi dibuat
dengan cara mencampur ikan dengan garam setelah dibiarkan selama ± 24 jam air lelehan
yang keluar dari daging ikan dibuang, kemudian ditambahkan samu (beras sangrai yang
ditumbuk halus), kemudian disimpan selama 7 – 10 hari untuk proses fermentasi, setelah
itu wadi siap untuk dimasak (Restu, 2013).
Wadi ikan (hasil fermentasi ikan) adalah suatu produk ikan awetan yang di olah
secara tradisional dengan metode penggaraman dan dilanjutkan dengan proses
fermentasi. Selain garam dalam proses fermentasi juga digunakan padi, nasi atau
keraknya sebagai sumber energi bagi mikroorganisme. Ikan yang akan di olah untuk
bahan baku wadi haruslah berupa ikan segar dan hampir semua ikan air tawar dapat
diolah menjadi wadi (Afrianto & Liviawaty, 2009). Wadi ikan adalah salah satu produk
hasil fermentasi ikan, dengan tujuan mengawetkan daging ikan dengan cara menciptakan
suasana asam dalam wadah tertutup. Agar proses pengasaman dapat berlangsung cepat
maka dapat diberikan media penumbuh mikroba seperti beras atau padi sangrai yang di
tumbuk halus. Jenis mikroba yang dapat tumbuh pada suasana asam, sefrta enzim yang
mampu menghidrolisis lemak, selulosa dan protein (Choirunnisa et al., 2017; Khairina et
al., 1999).
Dalam prosesnya fermentasi ikan adalah sebagai berikut: tahap pertama terjadi
pemecahan bahan organik kompleks menjadi lebih sederhana dengan bantuan
mikroorganisme fakultatif tadi bersama dengan enzimyang menghasilkan substrat (asam
asetat) bagi mikroorganisme untuk bahan cadangan pada tahap kedua (Mujdalipah et al.,
2014). Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan sebagai berikut: pada tahap pertama terjadi
perombakan karbohidrat menjadi gula (maka terbentuk alkohol), pada tahap kedua terjadi
perombakan alkohol menjadi asam asetat (suasana inilah yang terjadi pada proses
pembuatan wadi ikan) (Undjung, 2014). Produk olahan yang diproduksi oleh Poklahsar
Tampung Parei merupakan produk kearifan lokal yang diolah dengan cara tradisional dan
turun temurun, untuk itu dalam kegiatan ini akan di tambahkan bahan lain sebagai nilai
tambah untuk produk dengan tujuan antara lain meningkatkan nilai jual ikan sehingga
akan meningkatkan pendapatan pengolah, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
ikan sehingga meningkatkan konsumsi protein masyarakat, dan meningkatkan
pendapatan pengolah (Dzulmawan et al., 2019).

C. Kandungan Gizi
Ikan patin (Pangasius sp.) termasuk famili Pengasidae, yaitu jenis ikan yang
memiliki lubang mulut kecil berpinggiran bola mata yang bebas, sirip punggung
tambahan sangat kecil dan bersungut di hidung. Ikan patin habitatnya di perairan umum
seperti di sungai-sungai. Ikan patin lokal di Indonesia tersebar di Kalimantan dan
Sumatera. Ikan patin lokal termasuk ikan dasar dan biasanya banyak melakukan aktifitas
di malam hari (nocturnal). Berikut perbandingan kandungan gizi beberapa jenis ikan rawa
dengan sumber gizi lain dari ikan lainnya dapat dilihat pada table di bawah :
Tabel 1. Komposisi proksimat perikanan rawa (hitaman dan putihan) (100g)
Nama ikan Porsi Edible Energi Air Protein Lemak KH Abu
(%) (kkal) (g) (g) (g) (g) (g)
Lele 52 113 75,3 19,3 3,8 0,5 1,1
Papuyu 40 141 72,0 19,5 7,0 0 1,2
Mas 46 91 79,4 15,0 2,6 2,0 1,0
Balida 57 105 75,7 20,1 2,5 0,5 1,2
Gurami 42 110 75,9 19,0 3,8 0,2 1,1
Betutu 42 79 79,9 18,4 0,5 0,1 1,1
Grass carp 51 104 79,2 17,6 3,7 0 1,0
Javanese carp 62 145 74,7 16,3 8,9 0 1,1
Jelawat 50 165 70,6 18,8 1,0 0 1,1
Tambakan 49 85 78,3 19,8 0,6 0 1,3
Patin sungai 50 118 76,2 16,6 5,5 0,6 1,1
Baung 30 81 80,3 17,1 1,3 0,3 1,0
Gabus/haruan 42 100 78,2 20,6 1,9 0 1,2
Sepat siam 54 91 78,1 19,9 1,3 0 1,2
Toman 47 81 78,8 19,7 0,2 0,1 1,2
Sumber : Tee et al (1989)
Perikanan rawa selain memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, juga
memiliki kandungan mineral dan vitamin yang relatif lengkap, masing-masing dapat
dilihat pada table 2

Tabel 2 komposisi proksimat isi mineral perikanan rawa (mg/100g)


Nama ikan Calcium phoshorus Iron Sodium Potassium
Lele 31 206 1,2 33 302
Papuyu 94 183 1,3 25 268
Mas 21 188 0,8 67 286
Balida 87 241 0,2 20 260
Gurami 19 187 0,3 21 328
Betutu 27 169 0,4 32 269
Grass carp 21 179 1,1 49 178
Javanese carp 32 190 0,7 41 302
Jelawat 35 187 1,6 34 302
Tambakan 77 241 0,8 18 303
Patin sungai 11 192 0,5 38 253
Baung 17 189 0,4 15 296
Gabus/haruan 37 187 0,5 20 323
Sepat siam 62 210 0,7 10 282
Toman 32 214 0,4 16 335
Sumber:
Tee et al, (1989)
Ikan-ikan hitaman, juga mengandung vitamin yang relatif lengkap dan cukup
tinggi dibanding dengan ikan-ikan air tawar lainnya
Tabel 3. Komposisi vitamin perikananrawa (mg/100g)
Nama ikan Retinol Carotene Thiamine Riboflavin Niacin Vit. C
(ug) (ug) (mg) (mg) (mg) (mg)
Lele 45 27 0,05 0,07 2,3 1,7
Papuyu 46 0 0,04 0,49 2,2 1,0
Mas 26 0 0 0,06 2,3 0,3
Balida 92 0 0 0,03 3,9 5,2
Gurami 47 0 0,05 0,06 2,5 0,7
Betutu 17 0 0,01 0,30 1,1 3,5
Grass carp 39 0 0,01 0,07 1,6 2,2
Javanese carp 36 0 0 0,06 2,0 0,5
Jelawat 23 0 0,05 0,02 1,7 2,0
Tambakan 38 0 0,03 0,46 3,0 3,1
Patin sungai 48 6 0,07 0,16 1,6 3,1
Baung 109 0 0 0,05 1,8 0,9
Gabus/haruan 45 0 0,03 0,13 2,6 1,4
Sepat siam 25 0 0,12 0,36 1,8 2,6
Toman 19 0 0,02 0,09 2,2 1,2
Sumber : Tee et al, (1989)

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Wadi ikan adalah salah satu produk hasil fermentasi ikan, dengan tujuan
mengawetkan daging ikan dengan cara menciptakan suasana asam dalam wadah
tertutup. Agar proses pengasaman dapat berlangsung cepat maka dapat diberikan
media penumbuh mikroba seperti beras atau padi sangrai yang di tumbuk halus.
2. Produk olahan yang diproduksi oleh Poklahsar Tampung Parei (Wadi Ikan Patin)
merupakan produk kearifan lokal yang diolah dengan cara tradisional dan turun
temurun, untuk itu dalam kegiatan ini akan di tambahkan bahan lain sebagai nilai
tambah untuk produk dengan tujuan antara lain meningkatkan nilai jual ikan sehingga
akan meningkatkan pendapatan pengolah, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
ikan sehingga meningkatkan konsumsi protein masyarakat, dan meningkatkan
pendapatan pengolah.
3. Kandungan gizi ikan patin yaitu protein 16,6 gram, lemak 5,5 gram, karbohidrat 0,6
gram dan abu 1,1 gram.
Gambar Produk
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, J. 2017. Potensi, Peluang, Dan Tantangan Pengembangan Perikanan Rawa Di Kalimantan
Selatan. Pusat Pengelolaan Jurnal Dan Penerbitan Universitas Lambung Mangkurat.
Banjarmasin
Handono. G. S. 2014. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Lokal. Analisis Kebijakan
Pertanian. Volume 12 No. 1, Juni 2014: 1-17
Kasmini. O. W., Raharjo. B., Nugroho. E., Hermawati. B. 2017. Sumber Daya Lokal Sebagai
Dasar Perencanaan Program Gizi Daerah Urban. Jurnal Mkmi, Vol. 13 No. 1, Maret
2017
Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori & Aplikasi. PT Rineka Cipta, Jakarta
Senas. P., Evnaweri., Sulistyaningrum. T. W. 2019. Pengolahan Produk Inovasi Bernilai Tambah
Dari Kearifan Lokal Berupa Wadi Ikan Patin (Pangasius Sp.) Dengan Penambahan
Wijen Pada Poklahsar Tampung Parei Kota Palangka Raya. Pengabdianmu: Jurnal
Ilmiah Pengabdian Kepada Masyarakat Volume 5, Issue 1, Page 72–76 December 2019
Suryana. A., 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan Dan Gizi Faktor Pendukung
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Pangan. Edisi No. 52/XVIL''Oktober-
Desember.'2008
Supariasa,I. D. N. 2011. Pendidikan & Konsultasi Gizi. Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta
Taib. G., Roswita. R,. 2018. Analisis Prospek Dan Kendala Pengembangan Produk Industri
Pangan Lokal* Di Sumatera Barat. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.1,
Maret 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Waty. K,. Purwijantiningsih. E., Pranata.S,. 2019. Kualitas Fermentasi Spontan Wadi Ikan Patin
(Pangasius Sp.) Dengan Variasi Konsentrasi Garam. Biota Vol. 4 (1): 24-32, Februari
2019 ISSN 2527-323X

Anda mungkin juga menyukai