Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Stunting menurut World Health Organization adalah suatu gangguan pertumbuhan dan
perkembangan yang dialami oleh anak akibat dari berbagai etiologi seperti nutrisi yang kurang,
infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi psikososial. Stunting menggambarkan kondisi
malnutrisi secara kronis. Riset dari RISKESDAS tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi
stunting pada balita di Indonesia mencapai 37,2%, dan Pemantauan Status Gizi tahun 2017
menunjukkan prevalensi baduta yang mengalami stunting adalah 20,1% dan balita yang
mengalami stunting sebesar 29,6%, sedangkan WHO membatasi prevalensi suatu negara
memiliki balita yang mengalami perawakan pendek sebesar <20%. Berdasarkan data ini dapat
disimpulkan bahwa jumlah anak yang mengalami stunting di Indonesia masih sangat tinggi.1
Berbagai etiologi dan faktor risiko menyebabkan konsekuensi jangka pendek maupun
jangka panjang dari stunting terhadap keadaan fisik, mental, kecerdasan, hingga produktivitas
ekonomi dari seorang anak sampai masa dewasanya. Adanya konsekuensi ini menyebabkan
stunting menjadi permasalahan kesehatan secara global.2
Stunting merupakan keadaan kekurangan nutrisi yang permanen dan tidak dapat
dikoreksi karena faktor penyebabnya terakumulasi mulai sejak konsepsi hingga 1000 hari
pertama kehidupan. Hal ini menyebabkan upaya pencegahan merupakan tata laksana utama
pada stunting. Pemberian nutrisi adekuat sejak lahir hingga usia 2 tahun merupakan salah satu
langkah yang berperan penting dalam usaha pencegahan stunting, terutama dengan fakta bahwa
mayoritas stunting terjadi pada masa pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
Pemahaman lebih mengenai penerapan pemberian nutrisi pada 2 tahun pertama kehidupan
dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam pencegahan stunting.3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI STUNTING


Stunting adalah suatu keadaan kekurangan nutrisi kronis yang terjadi selama masa kritis
pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan.5 Stunting dapat dinilai berdasarkan
indikator antropometri menggunakan panjang badan atau tinggi badan per umur (TB/U) yang
menggambarkan pertumbuhan linear dan masalah gizi yang sifatnya kronis. Menurut WHO,
anak dapat disebut stunting jika TB/U berada pada lebih dari dua standar deviasi di bawah rata-
rata kurva pertumbuhan WHO (garis 0). 1 Stunting disebut derajat sedang jika TB/U terletak di
antara standar deviasi -2 hingga -3, dan stunting derajat berat jika TB/U terletak di bawah
standar deviasi -3.6

Stunting tidak sama dengan perawakan pendek. Perawakan pendek atau short stature
adalah tinggi badan berada di bawah persentil 3 atau -2 standar deviasi pada kurva
pertumbuhan, yang dapat dibedakan menjadi variasi normal seperti familial short stature dan
constitutional delay of growth and puberty, atau perawakan pendek akibat kondisi patologis.
Stunting termasuk dalam perawakan pendek akibat kondisi patologis. Hal yang harus dilakukan
untuk membedakan jenis perawakan pendek adalah anamnesis, pemeriksaan tinggi badan,
berat badan, kecepatan tumbuh, proporsi (rentang lengan serta rasio segmen atas dan segmen
bawah), dan perkiraan tinggi badan dewasa dengan midparental height. Perawakan pendek
variasi normal biasanya memiliki kecepatan pertumbuhan yang normal, sedangkan perawakan
pendek dengan keadaan patologis memiliki kecepatan pertumbuhan yang terhambat.7,8

2.2. EPIDEMIOLOGI STUNTING

United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 2018 mengkategorikan


prevalensi stunting di suatu area sebesar 2,5-9% sebagai frekuensi rendah, 10-19% sebagai
frekuensi sedang, 20-29% sebagai frekuensi tinggi, dan lebih dari sama dengan 30% sebagai
frekuensi sangat tinggi.5

Pada tahun 2017, persentase balita di seluruh dunia yang mengalami stunting adalah
22,2% (satu dari setiap empat anak) dengan total 151 juta penduduk. Asia Selatan merupakan
daerah yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi, yaitu sebesar 35%.5
2
Gambar 1. Persentase anak balita yang mengalami stunting, 2017. 5

Indonesia merupakan negara dengan jumlah anak dengan stunting menempati peringkat
ke 5 dunia terbanyak.9 Prevalensi stunting menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di
Indonesia mencapai 37,2%, dengan lima provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi secara
berurutan adalah 1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4)
Papua Barat, dan (5) Kalimantan Selatan, dan provinsi dengan prevalensi terendah adalah
kepulauan Riau. Pemantauan Status Gizi tahun 2017 menyatakan bahwa prevalensi stunting
pada balita mencapai 29,6% dan baduta 20,1%, dengan provinsi yang memiliki prevalensi
tertinggi pada baduta adalah Kalimantan Tengah dan pada balita adalah Nusa Tenggara Timur.
10,11

Gambar 2. Status gizi balita berdasarkan indeks TB/U di Indonesia, 2017. 11

3
2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO STUNTING

Stunting merupakan suatu proses yang multisektorial dan multifaktorial, yang terjadi
pada periode sensitif pertumbuhan dan perkembangan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 2
tahun. Penyebab utamanya antara lain faktor maternal, nutrisi yang kurang secara kualitas dan
kuantitas (termasuk pemberian ASI dan MPASI yang tidak memadai), dan infeksi.12
Pada 1000 hari pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan anak sangat
dipengaruhi oleh faktor maternal. Gizi maternal yang rendah sejak sebelum terjadinya konsepsi
dapat menyebabkan terbatasnya pertumbuhan fetus. Kehamilan pada remaja berisiko lebih
tinggi melahirkan anak yang kekurangan nutrisi karena dibutuhkan akumulasi nutrisi yang
lebih besar untuk memenuhi kebutuhan ibu yang masih dalam masa pertumbuhan dan bayinya.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat juga mengurangi penyimpanan nutrisi pada ibu sehingga
anak yang berikutnya akan semakin kekurangan nutrisi. Ibu yang mengalami infeksi seperti
malaria, cacingan, dan HIV/AIDS cenderung memiliki anak yang mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Hipertensi pada kehamilan juga meningkatkan risiko
1,13
kelahiran prematur dan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Keadaan kurang nutrisi maternal akan berulang pada anak yang dilahirkannya,
khususnya anak perempuan. Kelompok ini pada akhirnya akan mengalami stunting saat masa
kanak-kanak. Kelompok ini akan memiliki risiko lebih tinggi mengalami kehamilan saat
remaja dan berisiko melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah dan tidak mampu untuk
memberikan perawatan dan ASI secara optimal, sehingga risiko stunting akan terus berlanjut
pada generasi berikutnya. 1
Air susu ibu yang tidak memadai, yaitu pemberian dengan durasi kurang dari 6 bulan
dan pemberian yang tertunda, dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Pada keadaan
infeksi, terjadi kerusakan epitel intestinal yang menyebabkan penurunan absorbsi nutrisi,
disertai dengan penurunan nafsu makan, sehingga kondisi kekurangan nutrisi semakin buruk.
Di sisi lain, kebutuhan nutrisi meningkat untuk proses penyembuhan. Hal ini tidak menutup
kemungkinan peningkatan risiko kematian akibat infeksi, seperti risiko kematian akibat
pneumonia meningkat hingga 5 kali lipat dan diare meningkat hingga 11 kali lipat. 1,13
Pada keluarga yang memiliki tingkat ekonomi rendah atau memiliki akses sulit
terhadap makanan, kualitas makanan pendamping ASI cenderung rendah, kuantitas makanan
sedikit, variasi makanan minimal, frekuensi makan cenderung jarang, kurangnya kandungan
mikronutrien, dan kurang terpapar pada makanan tinggi protein hewani seperti ikan, ayam dan
telur. Hal ini menyebabkan anak mengalami kekurangan nutrisi untuk pertumbuhan dan

4
perkembangannya. Keadaan lingkungan yang buruk meliputi sumber makanan yang
terkontaminasi, kurangnya sumber air bersih, penyimpanan dan pengolahan makanan yang
kurang higienis, edukasi pengasuh yang rendah, serta stimulasi dan aktivitas anak yang kurang
dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting. 1,12
Faktor komunitas dan faktor sosial memberikan pengaruh terhadap tingkat kejadian
stunting. Faktor yang termasuk dalam kategori ini antara lain keadaan politik dan ekonomi,
akses terhadap fasilitas kesehatan, kualitas tenaga kesehatan, tingkat edukasi orangtua dan
penduduk sekitar, budaya, sistem pertanian dan makanan, serta keadaan air, sanitasi dan
lingkungan. 13

2.4. PATOFISIOLOGI STUNTING

Patofisiologi stunting sampai saat ini masih kurang dipahami. Seribu hari pertama
kehidupan merupakan waktu yang sangat penting untuk perkembangan otak. Keadaan
kekurangan nutrisi kronis yang terjadi pada stunting akan menyebabkan perubahan patologis
pada sel otak. 14

Bayi Nutrisi Baik Bayi Nutrisi Kurang

Gambar 3. Efek kekurangan nutrisi pada perkembangan sel otak.14


Kurangnya nutrisi juga memiliki pengaruh terhadap regulasi sekresi growth hormone
(GH) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1). Aksis GH/IGF-1 ini penting dalam proses
pertumbuhan longitudinal. IGF-1 berhubungan dengan pertumbuhan dan diferensiasi organ,
memiliki pengaruh terhadap myelinisasi di dalam otak sehingga penting dalam perkembangan
sel otak. GH dan IGF-1 juga berperan dalam perkembangan dan fungsi sistem imun,
reproduksi, dan kardiovaskular.15 Pada keadaaan kekurangan nutrisi yang kronik, terjadi
keadaan kelaparan yang menyebabkan berkurangnya produksi leptin, menyebabkan produksi

5
growth hormone mengalami penurunan. 16 Tiga faktor lain yang mempengaruhi resistensi GH
pada keadaan nutrisi rendah adalah peningkatan produksi hormon kortisol, pengurangan
konsentrasi insulin, dan kurangnya jumlah asam amino esensial di dalam darah. Keadaan ini
menyebabkan turunnya transkripsi IGF-1. 16,17

Gambar 4. Hubungan stunting dengan obesitas, hipertensi, diabetes dan kapasitas kerja.15
Efek jangka panjang dari stunting berhubungan juga dengan peningkatan hormon
kortisol. Keadaaan stress akibat kurangnya nutrisi menyebabkan kadar kortisol tetap tinggi,
dengan menstimulasi aksis hipotalamik-pituitari-adenokortikal secara persisten. Peningkatan
kortisol menyebabkan turunnya produksi insulin, membuat resistensi kerja insulin di perifer,
meningkatkan glukoneogenesis, dan menghambat kerja IGF-1.15 Peningkatan kortisol juga
menyebabkan perubahan metabolisme lipid, yaitu dengan peningkatan lipolisis dan akumulasi
lemak pada bagian tengah tubuh (central adiposity), terutama pada masa pubertas.15

6
Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki prevalensi hipertensi lebih tinggi.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar noradrenalin, angiotensin II, dan ACE, yang
menyebabkan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik, disertai dengan kemungkinan adanya
gangguan pertumbuhan ginjal intrauterin dan jumlah nefron ginjal sedikit.15
Kekurangan nutrisi pada masa postnatal hingga 1 tahun pertama kehidupan dapat
menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dikompensasi dengan hiperinsulinemia untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Pada masa remaja, terjadi penurunan kadar insulin dalam
darah dan penurunan kerja sel B pankreas, disertai peningkatan jumlah reseptor insulin di
jaringan lemak dan otot. Hal ini menyebabkan peningkatan jaringan lemak pada usia remaja.
Pada usia dewasa terjadi peningkatan kebutuhan energi, menyebabkan kelelahan pada pankreas
dan terjadi resistensi insulin lebih jauh, menyebabkan timbulnya diabetes tipe 2 dan
hiperkolesterolemia. 13,15

2.5. PENCEGAHAN STUNTING

Gambar 5. Sindrom stunting. Garis hijau menggambarkan periode antara konsepsi dan usia 2
tahun, saat stunting paling responsif terhadap intervensi.13

7
World Health Organization dalam Global Nutrition Targets 2025 menargetkan
penurunan prevalensi stunting sebesar 40% pada tahun 2025, yaitu dari jumlah 171 juta anak
balita yang mengalami stunting pada tahun 2010 menjadi 100 juta anak. Tata laksana yang
tepat dibutuhkan untuk mencapai pengurangan tersebut.18
Tata laksana yang dapat dilakukan pada stunting lebih mengarah pada upaya preventif
dibandingkan kuratif, karena stunting merupakan suatu keadaan yang ireversibel. Upaya
preventif ini difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan dimulai sejak kehamilan hingga
usia anak mencapai 2 tahun. Perbaikan pada lingkungan dan kejar tumbuh pada anak yang telah
mengalami stunting di usia 2 tahun sampai masa anak-anak tidak dapat mengembalikan
konsekuensi yang sudah terjadi akibat stunting, bahkan dapat meningkatkan risiko penyakit
kronis.19
Pemerintah Indonesia membagi pencegahan stunting menjadi dua jenis intervensi, yaitu
intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi dari
sektor kesehatan, bersifat jangka pendek dan hasilnya dapat diperoleh dalam waktu singkat,
namun intervensi ini hanya berperan sebesar 30%. Intervensi gizi sensitif menunjang intervensi
gizi spesifik di luar sektor kesehatan yang berpengaruh dalam pencegahan stunting, ditujukan
bagi masyarakat umum, dengan kontribusi sebesar 70% pada intervensi stunting, bersifat
jangka panjang.9,20
Kementerian Kesehatan telah membuat berbagai kebijakan dan regulasi untuk
membantu mengurangi prevalensi stunting di Indonesia dalam hal intervensi gizi spesifik,
antara lain melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pada ibu menyusui dan
anak usia 0-6 bulan kegiatannya antara lain, program Inisiasi Menyusui Dini, edukasi mengenai
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan, imunisasi dasar, dan pemantauan
tumbuh kembang secara rutin setiap bulan. Pada ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan
terdapat kegiatan pemberian imunisasi lengkap, mendorong pemberian ASI hingga usia 23
bulan dan program pemberian makanan pendamping ASI, menyediakan obat cacing, hingga
melakukan fortifikasi zat besi dan mikronutrien lainnya ke dalam makanan.20
Pemberian ASI sejak awal dapat meningkatkan sistem imun bayi, sehingga mengurangi
risiko terjadinya infeksi pada masa neonatal, yang merupakan salah satu etiologi terbesar
stunting.19 Air susu ibu juga dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit akut dan kronik
lainnya. Inisiasi menyusui dini (IMD) direkomendasikan oleh WHO untuk dilakukan sesegera
mungkin setelah bayi lahir, yaitu dalam satu jam pertama setelah persalinan.21 IMD dilakukan
dengan harapan bayi baru lahir diharapkan dapat menerima kolostrum atau “first milk” yang
kaya akan faktor imun. Kontak kulit dengan kulit antara ibu dan bayi yang terjadi selama proses
8
IMD membantu memulai proses awal menyusui, meningkatkan kemungkinan tercapainya
pemberian ASI eksklusif selama 1 sampai 4 bulan pertama kehidupan, dan meningkatkan
durasi menyusui.22
Air susu ibu (ASI) eksklusif direkomendasikan untuk diberikan selama 6 bulan pertama
kehidupan bayi, karena kaya akan kandungan gizi, mudah dicerna, efisien, memiliki faktor
imunologis seperti antibodi, leukosit, protein, dan oligosakarida. Hal ini membuat ASI
merupakan satu-satunya nutrisi yang paling ideal bagi bayi sampai usia 6 bulan tanpa
membutuhkan tambahan makanan dan cairan lain. 19,23
Pemantauan pertumbuhan anak secara berkala merupakan salah satu cara menilai
kecukupan ASI. Indikator yang perlu dinilai adalah berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
dan diplot pada kurva pertumbuhan dan kecepatan pertumbuhan sesuai usia dan jenis kelamin
agar dapat dinilai status gizinya.24 Tinggi badan merupakan salah satu indikator yang jarang
diperiksa, sehingga stunting sering tidak terdeteksi dan terlambat diintervensi. Disarankan
untuk melakukan pengukuran setiap bulan sampai usia 1 tahun, setiap 3 bulan sampai usia 3
tahun, setiap 6 bulan sampai usia 6 tahun, dan setiap tahunnya untuk tahun-tahun berikutnya.24

Gambar 6. Energi yang dibutuhkan sesuai usia dan jumlah energi dalam ASI.23

Pada usia lebih dari 6 bulan, bayi membutuhkan energi lebih banyak dari yang
disediakan oleh ASI, sehingga dibutuhkan makanan pendamping. Air susu ibu tetap harus
diberikan sampai dengan usia 2 tahun bersama dengan makanan pendamping (MPASI), karena
ASI tetap menjadi sumber energi penting bagi bayi dengan kualitas nutrisi yang baik dan
adanya faktor protektif. Stunting paling banyak terjadi pada masa ini, karena makanan
pendamping yang diberikan secara tidak adekuat akan menyebabkan hambatan pada
pertumbuhan dan defisiensi nutrisi. 4,19
Pemberian MPASI memiliki 4 syarat yang harus dipenuhi, yaitu MPASI harus
diberikan pada saat ASI eksklusif sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi
9
(timely/tepat waktu), adekuat dalam kandungan gizinya, aman dalam hal persiapan,
penyimpanan, dan pemberian MPASI, serta diberikan dengan cara yang benar (properly fed).
Syarat ini harus terpenuhi untuk mengurangi kejadian stunting.4
Tabel 1. Panduan praktis kualitas, frekuensi, dan jumlah makanan yang dapat diberikan pada
anak usia 6-23 bulan yang diberikan ASI.23
Usia Kebutuhan Tekstur Frekuensi Porsi makanan rata-
energi per rata tiap kali makan
hari
6 – 8 bulan 220 kkal Mulai dengan bubur 2 – 3 kali per hari Mulai dengan 2 – 3
kental, makanan yang sendok makan penuh
dilumatkan Tergantung keinginan tiap kali makan,
anak, ditingkatkan perlahan
Diikuti dengan makanan 1 – 2 snack dapat hingga ½ porsi dari
keluarga yang dilumatkan diberikan mangkuk 250 ml
9 – 11 bulan 300 kkal Makanan cincang atau 3 – 4 kali per hari ½ porsi dari mangkuk
dihancurkan, dan 250 ml
makanan yang dapat Tergantung keinginan
diambil anak anak,
1 – 2 snack dapat
diberikan
12 – 23 bulan 550 kkal Makanan keluarga, 3 – 4 kali per hari ¾ hingga satu
dicincang atau mangkuk 250 ml
dihancurkan jika perlu Tergantung keinginan
anak,
1 – 2 snack dapat
diberikan

Makanan pendamping ASI pada usia 6 bulan awalnya diberikan dengan jumlah sedikit,
kemudian jumlah ditingkatkan sesuai dengan usia anak, sesuai dengan kapasitas lambung anak.
Pemberian makanan ini tetap diikuti dengan pemberian ASI sesuai dengan keinginan anak.
Konsistensi dan keragaman jenis makanan yang diberikan ditingkatkan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan anak, seperti misalnya bayi usia 6 bulan biasanya diberikan
makanan yang dihaluskan, kemudian pada usia 8 bulan mulai diberikan makanan “finger food”
yang dapat dikonsumsi oleh anak sendiri, lalu pada usia 12 bulan mulai makanan yang mirip
makanan keluarga. Peningkatan konsistensi makanan penting untuk perkembangan anak yang
optimal. Jenis makanan yang diberikan harus memiliki gizi seimbang seperti yang tergambar
pada piramida makanan. Frekuensi pemberian MPASI juga dapat ditingkatkan terus sesuai
dengan pertambahan usia anak.23,25
Makanan pendamping ASI yang baik harus dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak,
dengan mengandung sumber energi, protein dan mikronutrien (besi, zinc, kalsium, vitamin A,
C, dan folat), tersedia secara lokal dan terjangkau. Pemberian bahan makanan yang kaya akan
zat gizi mikronutrien dapat membantu mencegah terjadinya defisiensi mikronutrien.19,23

10
Gambar 7. Piramida makanan.26

Defisiensi mikronutrien, termasuk defisiensi vitamin A, besi, iodine, zinc, dan asam
folat sering terjadi pada anak-anak di negara berkembang. Perbaikan status mikronutrien akan
memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak hingga usia 5 tahun. Hal
yang dapat dilakukan untuk memperbaiki defisiensi mikronutrien adalah pemberian suplemen
dan fortifikasi bahan makanan.19 Risiko tinggi defisiensi vitamin A dapat dihindari dengan
pemberian suplementasi vitamin A khususnya pada anak usia 6 – 59 bulan untuk mengurangi
mortalitas akibat defisiensi vitamin A. Dosis yang diberikan adalah 100.000 unit pada bayi
berusia 6-12 bulan, dan 200.000 unit pada anak berusia lebih dari 12 bulan, diberikan tiap 4-6
bulan. Defisiensi besi biasanya dapat diatasi dengan suplementasi besi atau konsumsi makanan
yang sudah difortifikasi dengan besi. Defisiensi iodine diatasi dengan konsumsi garam yang
sudah diiodisasi. Defisiensi zinc dapat diatasi dengan pemberian suplemen zinc terutama pada
anak yang mengalami diare dengan dosis 10 mg per hari untuk usia di bawah 6 bulan, dan 20
mg per hari untuk usia 6 bulan keatas.23
Hindari pemberian minuman dengan nilai gizi rendah seperti teh, kopi, minuman tinggi
gula (soda). Jumlah pemberian jus juga harus dibatasi karena dapat mengurangi jumlah

11
makanan kaya nutrisi yang dapat diberikan akibat penurunan nafsu makan (batasan jus 240 ml
per hari).25
Anak yang mengalami growth faltering, yaitu kenaikan berat badan di bawah persentil
5, perlu dievaluasi cara menyusui dan pemberian makanannya. Penanganan yang dapat
diberikan adalah dengan pemberian makanan yang lebih padat energinya untuk sementara
waktu, baik dengan cara pemberian suplementasi nutrisi cair secara oral, atau mengganti bahan
makanan menjadi lebih tinggi kalori. Perubahan berat badan, pertumbuhan linear, asupan
makanan lain, toleransi makanan, ketaatan pemberian makan perlu ditinjau ulang saat
pemberian suplementasi makanan.27,28
Cara pemberian makanan pendamping ASI saat proses penyapihan ASI adalah dengan
responsive feeding. Cara ini akan meningkatkan asupan makanan pada anak. Responsive
feeding menurut WHO adalah memberikan makan secara langsung kepada bayi oleh pengasuh
dan pendampingan untuk anak lebih tua yang makan sendiri. Cara ini menyesuaikan dengan
rasa lapar dan kenyang yang ditunjukkan bayi/batita. 23,28
Pada usia 1-3 tahun, anak mulai mengalami kesulitan untuk mencoba makanan baru.
Di saat yang bersamaan, anak usia tersebut mulai mengalami pengurangan kebutuhan energi
karena kecepatan tumbuh mulai berkurang, sehingga anak tampak mengalami masalah makan.
Penyebab kesulitan makan paling banyak adalah inappropriate feeding practice, yang dapat
diatasi dengan feeding rules.28

Tabel 2. Feeding rules (Aturan pemberian makan).28


Jadwal Ada jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang teratur, yaitu
tiga kali makanan utama dan dua kali makanan kecil di antaranya. Susu dapat
diberikan dua – tiga kali sehari.
Waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit
Hanya boleh mengonsumsi air putih di antara waktu makan
Lingkungan Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk makan)
Tidak ada distraksi (mainan, televisi, permainan elektronik) saat makan
Jangan memberikan makanan sebagai hadiah
Prosedur Dorong anak untuk makan sendiri
Bila anak menunjukkan tanda tidak mau makan (mengatupkan mulut,
memalingkan kepala, menangis), tawarkan kembali makanan secara netral, yaitu
tanpa membujuk ataupun memaksa.
Bila setelah 10-15 menit anak tetap tidak mau makan, akhiri proses makan.

12
Tabel 3. Contoh jadwal makan bayi dan batita.28
Jadwal 6-8 bulan 9-11 bulan 12-23 bulan
06.00 ASI ASI ASI
08.00 Makan Pagi Makan Pagi Makan Pagi
10.00 ASI/Makanan Selingan ASI/Makanan Selingan Makanan Selingan
12.00 Makan Siang Makan Siang Makan Siang
14.00 ASI ASI ASI
16.00 Makanan Selingan Makanan Selingan Makanan Selingan
18.00 Makan Malam Makan Malam Makan Malam
20.00 ASI ASI ASI
24.00 ASI* ASI* ASI*
03.00 ASI* ASI* ASI*
*Bila bayi/anak masih menghendaki

2.6. PROGNOSIS STUNTING

World Health Organization menyatakan bahwa terdapat konsekuensi jangka pendek


dari stunting seperti peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit, penurunan perkembangan
fungsi kognitif, motorik, bahasa, dan mental. Di sisi ekonomi, terjadi peningkatan pengeluaran
di bidang kesehatan. Terdapat juga konsekuensi jangka panjang dari stunting, yaitu
peningkatan kejadian stunting di masa dewasa, peningkatan risiko obesitas dan komorbiditas
lainnya, penurunan kesehatan reproduksi, gangguan perkembangan pada masa remaja dan
dewasa. Secara ekonomi, terjadi penurunan kapasitas dan produktivitas kerja. 12
Risiko terjadinya infeksi saluran napas atas, pneumonia, diare, hingga sepsis,
meningkat akibat gangguan respon sistem imun pada anak dengan stunting. Nutrisi kurang dan
infeksi berulang menyebabkan status nutrisi semakin buruk dan kerentanan terhadap infeksi
semakin tinggi, dengan terjadinya penurunan nafsu makan, penurunan absorpsi zat gizi, dan
peningkatan reaksi katabolisme dalam tubuh. Infeksi berulang menyebabkan peningkatan
kebutuhan nutrisi untuk respon imun dibandingkan untuk pertumbuhan. 1,14
Anak dengan stunting akan mengalami defisit pertumbuhan jika dibandingkan dengan
individu yang tidak mengalami stunting.29 Gangguan perkembangan dalam motorik, gangguan
sikap seperti apatetik dan kurangnya interaksi, atensi cenderung menurun, memori kurang baik,
disertai dengan performa sekolah cenderung buruk terjadi pada kelompok anak yang stunting.12
Risiko penyakit kronis seperti peningkatkan tekanan darah, disfungsi renal, obesitas, gangguan
profil lipid, dan gangguan metabolisme glukosa ditemukan pada orang dewasa dengan riwayat
stunting. 1,30

13
Konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat stunting adalah peningkatan pengeluaran di
bidang kesehatan. Dalam perjalanan jangka panjangnya, terdapat berbagai penelitian yang
menyatakan bahwa populasi yang mengalami stunting memiliki kapasitas dan produktivitas
kerja yang kurang. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan gangguan perkembangan yang
dialami anak dengan stunting. Akibatnya, pendapatan individual akan menurun dan akan
mempengaruhi keadaan ekonomi negara. 13,14

14
BAB III
KESIMPULAN

Stunting merupakan keadaan kekurangan nutrisi kronis, ditandai dengan hambatan


pertumbuhan linear, yaitu pengukuran TB/U dibawah -2 standar deviasi berdasarkan kurva
pertumbuhan WHO. Di Indonesia, prevalensi terjadinya stunting masih sangat tinggi. Berbagai
etiologi dan faktor risiko mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak pada 1000 hari
pertama kehidupan. Pada akhirnya, gangguan ini menyebabkan konsekuensi jangka pendek
dan jangka panjang dari stunting.
Pencegahan sejak 1000 hari pertama kehidupan perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya konsekuensi stunting. Terdapat dua jenis intervensi yang dapat dilakukan, yaitu
intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Dalam bidang kesehatan anak, dapat dilakukan
berbagai intervensi gizi spesifik seperti inisiasi menyusui dini, pemberian ASI eksklusif hingga
usia 6 bulan, makanan pendamping ASI usia 6-23 bulan, intervensi defisiensi mikronutrien,
hingga pemantauan pertumbuhan anak. Pemberian makanan pendamping ASI merupakan
intervensi nutrisi paling krusial karena stunting paling banyak terjadi pada masa ini, yaitu saat
ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan nutrisi bayi. Pemberian MPASI perlu dipantau
berdasarkan 4 syarat pemberian MPASI yaitu tepat waktu disesuaikan dengan usia anak,
adekuat dalam kandungan nutrisinya, aman, dan properly fed (responsive feeding), dibantu
dengan tiga bagian feeding rules untuk mengatasi masalah makan pada anak.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Stunting in a nutshell [Internet]. WHO. World Health Organization; 2015


[cited 2018 Jul 11]. Available from:
http://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/
2. WHO. The Healthy Growth Project. WHO [Internet]. 2017 [cited 2018 Jul 11];
Available from: http://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj/en/index1.html
3. Hossain M, Choudhury N, Abdullah KAB, Mondal P, Jackson AA, Walson J, et al.
Evidence-based approaches to childhood stunting in low and middle income
countries: a systematic review. Arch Dis Child. 2017;102:903–9.
4. Aguayo VM, Menon P. Stop stunting: improving child feeding, women’s nutrition
and household sanitation in south asia. Matern Child Nutr. 2016;12:3–11.
5. UNICEF. Malnutrition rates remain alarming: stunting is declining too slowly while
wasting still impacts the lives of far too many young children [Internet]. UNICEF
DATA. 2018 [cited 2018 Jul 13]. Available from:
https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/#
6. Ashworth A. Nutrition, Food Security, and Health. In: Kliegman RM, Stanton BF, St
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson texbook of pediatrics. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 295–306.
7. Batubara JR, Susanto R, Cahyono HA. Pertumbuhan dan gangguan pertumbuhan. In:
Batubara JR, AAP BT, Pulungan AB, editors. Buku ajar endokrinologi anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. p. 19–41.
8. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
editors. Perawakan pendek. In: Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak
indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. p. 243–9.
9. Trihono, Atmarita, Tjandrarini DH, Irawani A, Utami NH, Tejayanti T, et al. Pendek
(stunting) di indonesia, masalah dan solusinya. 1st ed. Sudomo M, editor. Jakarta:
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2015.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
11. Direktorat Gizi Masyarakat. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017. Jakarta;
2018.
12. WHO. Stunted growth and development: context, causes, and consequences. 2017
[cited 2018 Jul 11]; Available from:
http://www.who.int/nutrition/childhood_stunting_framework_leaflet_en.pdf?ua=1
13. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries.
Paediatr Int Child Health. 2014;34:250–65.
14. de Onis M, Branca F. Childhood stunting: a global perspective. Matern Child Nutr.
2016;12:12–26.
15. Martins VJB, Toledo Florêncio TMM, Grillo LP, do Carmo P Franco M, Martins PA,
Clemente APG, et al. Long-lasting effects of undernutrition. Int J Environ Res Public
Health. 2011;8:1817–46.
16. Hawkes CP, Grimberg A. Insulin-like growth factor-I is a marker for the nutritional
state. Pediatr Endocrinol Rev. 2015;13:499–511.
17. Dewey KG, Begum K. Long-term consequences of stunting in early life. Matern
Child Nutr. 2011;7:5–18.

16
18. WHO. Global nutrition targets 2025: stunting policy brief. Geneva: World Health
Organization; 2014.
19. UNICEF. Improving child nutrition: the achievable imperative for global progress.
New York: UNICEF; 2013.
20. TNP2K. 100 kabupaten/kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting). 1st ed.
Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggualan Kemiskinan; 2017.
21. Anonimus. Inisiasi menyusu dini [Internet]. IDAI. 2013 [cited 2018 Aug 2]. Available
from: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/inisiasi-menyusu-dini
22. WHO. Protecting, promoting and supporting breastfeeding in facilities providing
maternity and newborn services [Internet]. WHO. World Health Organization; 2018
[cited 2018 Aug 2]. Available from:
http://www.who.int/elena/titles/full_recommendations/breastfeeding-support/en/
23. WHO. Infant and young child feeding. Geneva: World Health Organization; 2009. 4-
35.
24. Afifa IT, Sambo CM, Medise BE. Pentingnya memantau pertumbuhan dan
perkembangan anak (Bagian 1) [Internet]. IDAI. 2016 [cited 2018 Aug 5]. Available
from: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-memantau-
pertumbuhan-dan-perkembangan-anak-bagian-1
25. PAHO/WHO. Guiding principle for complementary feeding of breastfed child.
Washington/Geneva: World Health Organization; 2003. 9-37.
26. Izwardy D, Thaha AR, Astuti M, Achadi EL, Hardinsyah, Kodyat BA, et al. Pedoman
gizi seimbang. Kodyat BA, Thaha AR, editors. Kementerian Kesehatan RI; 2014. 5.
27. Alliance NG. Flatering growth: recognition and management. National Institute for
Health and Care Excellence; 2017.
28. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Rekomendasi praktik pemberian makan
berbasis bukti pada bayi dan batita di indonesia untuk mencegah malnutrisi. 1st ed.
Sjarif DR, Yuliarti K, Lestari ED, Sidiartha IGL, Nasar SS, Mexitalia M, editors.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. 1-58.
29. Coly AN, Milet J, Diallo A, Ndiaye T, Bénéfice E, Simondon F, et al. Preschool
stunting, adolescent migration, catch-up growth, and adult height in young senegalese
men and women of rural origin. J Nutr. 2006;136:2412–20.
30. Adair LS, Fall CH, Osmond C, Stein AD, Martorell R, Ramirez-Zea M, et al.
Associations of linear growth and relative weight gain during early life with adult
health and human capital in countries of low and middle income: findings from five
birth cohort studies. Lancet. 2013;382:525–34.

17
1. WHO. Stunting in a nutshell [Internet]. WHO. World Health Organization; 2015 [cited
2018 Jul 11]. Available from:
http://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/
2. WHO. The Healthy Growth Project. WHO [Internet]. 2017 [cited 2018 Jul 11];
Available from: http://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj/en/index1.html
3. Hossain M, Choudhury N, Abdullah KAB, Mondal P, Jackson AA, Walson J, et al.
Evidence-based approaches to childhood stunting in low and middle income countries:
a systematic review. Arch Dis Child. 2017;102:903–9.
4. Aguayo VM, Menon P. Stop stunting: improving child feeding, women’s nutrition and
household sanitation in south asia. Matern Child Nutr. 2016;12:3–11.
5. UNICEF. Malnutrition rates remain alarming: stunting is declining too slowly while
wasting still impacts the lives of far too many young children [Internet]. UNICEF
DATA. 2018 [cited 2018 Jul 13]. Available from:
https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/#
6. Ashworth A. Nutrition, Food Security, and Health. In: Kliegman RM, Stanton BF, St
Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, editors. Nelson texbook of pediatrics. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 295–306.
7. Batubara JR, Susanto R, Cahyono HA. Pertumbuhan dan gangguan pertumbuhan. In:
Batubara JR, AAP BT, Pulungan AB, editors. Buku ajar endokrinologi anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. p. 19–41.
8. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
editors. Perawakan pendek. In: Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak
indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. p. 243–9.
9. Trihono, Atmarita, Tjandrarini DH, Irawani A, Utami NH, Tejayanti T, et al. Pendek
(stunting) di indonesia, masalah dan solusinya. 1st ed. Sudomo M, editor. Jakarta:
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2015.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
11. Direktorat Gizi Masyarakat. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017. Jakarta;
2018.
12. WHO. Stunted growth and development: context, causes, and consequences. 2017
[cited 2018 Jul 11]; Available from:
http://www.who.int/nutrition/childhood_stunting_framework_leaflet_en.pdf?ua=1
13. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries.
Paediatr Int Child Health. 2014 Oct 13;34:250–65.
14. de Onis M, Branca F. Childhood stunting: a global perspective. Matern Child Nutr.
2016;12:12–26.
15. Martins VJB, Toledo Florêncio TMM, Grillo LP, do Carmo P Franco M, Martins PA,
Clemente APG, et al. Long-lasting effects of undernutrition. Int J Environ Res Public
Health. 2011;8:1817–46.
16. Hawkes CP, Grimberg A. Insulin-like growth factor-I is a marker for the nutritional
state. Pediatr Endocrinol Rev. 2015 Dec;13:499–511.
17. Dewey KG, Begum K. Long-term consequences of stunting in early life. Matern Child
Nutr. 2011;7:5–18.

18
18. WHO. Global nutrition targets 2025: stunting policy brief. Geneva: World Health
Organization; 2014.
19. UNICEF. Improving child nutrition: the achievable imperative for global progress.
New York: UNICEF; 2013.
20. TNP2K. 100 kabupaten/kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting). 1st ed.
Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggualan Kemiskinan; 2017.
21. Anonimus. Inisiasi menyusu dini [Internet]. IDAI. 2013 [cited 2018 Aug 2]. Available
from: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/inisiasi-menyusu-dini
22. WHO. Protecting, promoting and supporting breastfeeding in facilities providing
maternity and newborn services [Internet]. WHO. World Health Organization; 2018
[cited 2018 Aug 2]. Available from:
http://www.who.int/elena/titles/full_recommendations/breastfeeding-support/en/
23. WHO. Infant and young child feeding. Geneva: World Health Organization; 2009. 4-
35 p.
24. Afifa IT, Sambo CM, Medise BE. Pentingnya memantau pertumbuhan dan
perkembangan anak (Bagian 1) [Internet]. IDAI. 2016 [cited 2018 Aug 5]. Available
from: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-memantau-
pertumbuhan-dan-perkembangan-anak-bagian-1
25. PAHO/WHO. Guiding principle for complementary feeding of breastfed child.
Washington/Geneva: World Health Organization; 2003. 9-37 p.
26. Izwardy D, Thaha AR, Astuti M, Achadi EL, Hardinsyah, Kodyat BA, et al. Pedoman
gizi seimbang. Kodyat BA, Thaha AR, editors. Kementerian Kesehatan RI; 2014. 5 p.
27. Alliance NG. Flatering growth: recognition and management. National Institute for
Health and Care Excellence; 2017.
28. Metabolik UN dan P. Rekomendasi praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi
dan batita di indonesia untuk mencegah malnutrisi. 1st ed. Sjarif DR, Yuliarti K,
Lestari ED, Sidiartha IGL, Nasar SS, Mexitalia M, editors. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2015. 1-58 p.
29. Coly AN, Milet J, Diallo A, Ndiaye T, Bénéfice E, Simondon F, et al. Preschool
stunting, adolescent migration, catch-up growth, and adult height in young senegalese
men and women of rural origin. J Nutr. 2006;136:2412–20.
30. Adair LS, Fall CH, Osmond C, Stein AD, Martorell R, Ramirez-Zea M, et al.
Associations of linear growth and relative weight gain during early life with adult
health and human capital in countries of low and middle income: findings from five
birth cohort studies. Lancet. 2013;382:525–34.

19

Anda mungkin juga menyukai