Anda di halaman 1dari 13

Faktor Stunting

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa
penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan.
Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun
pertama kehidupan.

Sebagian besar balita stunting yaitu 24 orang atau 53,3% memiliki jenis kelamin
perempuan. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan salah satunya adalah jenis
kelamin. Balita perempuan memiliki lebih banyak mempunyai jaringan lemak serta jaringan
otot lebih sedikit dari balita laki-laki. Sehingga balita perempuan mempunyai resiko lebih
besar mengalami stunting 0,8 kali dari balita laki-laki.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor
penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi
sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan
pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya. (Nisa et al., 2021)

1. Asupan gizi balita

Asupan gizi sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa
kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar.
Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan
yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun
apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan
pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita yang normal kemungkinan
terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Penelitian yang
menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh
terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah
tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek.

2. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, Kaitan antara
penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit
infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan
kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap
penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan
diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita. Penyakit infeksi
yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan
infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar
khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada
beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang
menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak
umur dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012).

3. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan
nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia
masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita perempuan
dan balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan
7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005. Oleh karena itu penanganan
masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas
sektor lainnya.

Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan pangan


di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih
rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan
beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek. Penelitian di Semarang Timur juga
menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
stunting. Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan
bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi
yaitu defisit pangan dalam keluarga (Paudel et al, 2012).

4. Satus Gizi Ibu Hamil

Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia,
semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil,
saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Di dalam
kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang melalui pertambahan berat dan panjang
badan, perkembangan otak serta organorgan lainnya. Kekurangan gizi yang terjadi di dalam
kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara
paralel penyesuaian tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah
dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil reaksi
penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk tubuh
yang pendek, rendahnya kemampuan kognitif atau kecerdasan sebagai akibat tidak
optimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak.

Status gizi ibu selama kehamilan dapat dimanifestasikan sebagai keadaan tubuh akibat
dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin. Gizi ibu waktu hamil sangat penting untuk
pertumbuhan janin yang dikandungnya. Pada umumnya, ibu hamil dengan kondisi kesehatan
yang baik yang tidak ada gangguan gizi pada masa pra-hamil maupun saat hamil, akan
menghasilkan bayi yang lebih besar dan lebih sehat daripada ibu hamil yang kondisinya
memiliki gangguan gizi. Kurang energi kronis akan menyebabkan lahirnya anak dengan
bentuk tubuh “stunting” (Alfarisi., R, Nurmalasari, 2019)

5. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan berat badan bay lahir yang kurang dari
2.500 gram. Selain menjadi salah satu penyebab utama kematian pada masa neonatal, bayi
dengan BBLR memiliki risiko morbiditas dan mortalitas, penyakit kronis, dan tumbuh
kembang yang terhambat. Berdasarkan studi epidemiologi,bayi dengan BBLR memiliki
risiko terjadinya stunting daripada bayi yang lahir dengan berat badan normal. Berat saat lahir
bergantung pada status gizi ibu selama kehamilan dan sebelum persalinan. Berat lahir
menjadi indikator tidak langsung dalam mengevaluasi gizi ibu dan dapat memprediksi
perkembangan anak di masa depan. Ukuran tubuh ibu sebelum hamil, dapat mencerminkan
status gizi pra-kehamilan dan merupakan prediktor kuat berat lahir, pertumbuhan bayi dan
status gizi postpartum ibu. Kekurangan gizi kronis mengarah kepada stunting pada awal
kehidupan. Anak dengan stunting usia tiga hingga empat bulan mulai mengalami kerugian
permanen dalam potensi tumbuh dan kembang layaknya anak normal. (Sinaga et al., 2021)
6. MP-ASI

Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman selain ASI yang
mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian makanan peralihan yaitu pada saat
makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi.
Makanan pendamping ASI adalah makanan tambahan yang diberikan pada bayi setelah umur
6 bulan. Jika makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini (sebelum umur 6 bulan) akan
menurunkan konsumsi ASI dan bayi bisa mengalami gangguan pencernaan. Namun
sebaliknya jika makanan pendamping ASI diberikan terlambat akan mengakibatkan bayi
kurang gizi, bila terjadi dalam waktu Panjang. Semakin tepat usia pemberian MP-ASI pada
balita semakin rendah risiko terjadinya stunting. Anak yang tidak diberikan bentuk MP-ASI
sesuai dengan usianya akan mudah terkena diare dan berisiko dehidrasi. Apabila kejadian
terus-menerus maka akan berdampak pada pola pertumbuhan karena infeksi mempunyai
kontribusi terhadap penurunan nafsu makan sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan
anak. Jumlah MP-ASI yang diberikan pada balita, meskupun secara kuantitas sudah sesuai
standar namun jika kualitasnya kurang baik atau tidak beragam , balita akan mengalami
deficit terhadap zat gizi tertentu, sehingga tetap mempengaruhi proses pertumbuhan balita.
(Rosita, 2021)

7. Kurangnya Air Bersih

Selain malnutrisi, kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk ternyata
juga menjadi penyebab tingginya angka stunting di Indonesia. Menurut riset Kementerian
Kesehatan (Kemkes), stunting yang disebabkan oleh tidak adanya air bersih dan sanitasi
buruk mencapai 60 persen, sementara yang dikarenakan gizi buruk hanya 40 persen. (Nisa et
al., 2021)

8. Pengaruh Orang Tua Merokok

Pengaruh orang tua yang merokok baik pada tingkat pengeluaran terendah sampai yang
teratas, prevalensi anak pendek dari orang tua merokok adalah 33,7% dibanding yang tidak
merokok 13,7%. Secara keseluruhan, orang tua merokok menyebabkan penambahan sekitar
16% kejadian anak pendek dibanding orang tua tidak merokok. (Boucot & Poinar Jr., 2010)

Faktor lingkungan ikut berperan dalam terjadinya balita pendek, balita yang tinggal
dengan paparan polusi dari asap rokok yang mengandung karbon monoksida dan benzene
serta berbagai bahan aktif yang bersifat toksik menyebabkan penurunan jumlah sel darah
merah dan merusak sel sumsum tulang sehingga rentan mengalami anemia. Sel darah merah
berperan dalam mengangkut oksigen dan zat nutrient untuk didistribusikan ke seluruh tubuh,
penurunan jumlah sel darah merah akan menyebabkan penurunan jumlah oksigen dan nutrisi
yang didistribusikan dalam tubuh terutama pada jaringan kelenjar yang menghasilkan
hormone pertumbuhan berkurang. (Zubaidi, 2021)

9. Paparan Akibat Pestisida


Faktor penyebab lain yang sangat mungkin menyebabkan kejadian stunting adalah bahan
kimia yang berada di lingkungan yaitu residu pestisida. Pengaruh pestisida meningkatkakan
insiden BBLR, bayi lahir prematur serta keterlambatan pertumbuhan di dalam kandungan.
paparan pestisida pada masa kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan otak. Efek
paparan tersebut mungkin mirip dengan yang disebabkan oleh kekurangan gizi.
Perkembangan neurotoksisitas mungkin menyebabkan kerusakan permanen. Paparan
pestisida pada awal kehidupan harus dianggap sebagai risiko yang sangat serius untuk
perkembangan kesehatan manusia. (Sunarti et al., 2019)

10. Pengasuhan Terhadap Anak Kurang Baik

Kurangnya pengetahuan Ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa
kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada
menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air
Susu Ibu (MPASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6
bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta
membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan
maupun minuman. (Boucot & Poinar Jr., 2010)

11. Terbatasnya Layanan Kesehatan.

Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia
menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007
menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai
serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3
anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini). (Boucot
& Poinar Jr., 2010)

12. Asupan Protein

Protein merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan, membangun struktur
tubuh, dan mengganti jaringan yang rusak. Balita sangat membutuhkan asupan protein
dikarenakan balita tergolong kedalam masa petumbuhan. Oleh karena itu, balita
membutuhkan jumlah protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa yang
sudah terhenti masa pertumbuhannya (Maulidah dkk,2019). Berikut kebutuhan protein pada
balita di Indonesia berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata per hari pada Tabel
Kebutuhan Protein Pada Balita di Indonesia Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Rata-Rata Per Hari
no Kelompok umur Proein(gram)
1 0-5 Bulan 9
2 6-11 Bulan 15
3 1-3 Tahun 20
4 4-6 Tahun 25
5 7-9 Tahun 40
Sumber: Kementrian Kesehatan RI,2019
Asupan protein yang tidak tercukupi pada balita dalam waktu yang lama akan menghambat
pertumbuhan linear meskipun kebutuhan energi terpenuhi. Protein mengandung sembilan
asam amino esensial yang penting bagi pertumbuhan. Asam amino esensial berperan dalam
membangun matriks tulang dan memengaruhi pertumbuhan tulang (Maulidah dkk, 2019;
Rahayu dkk, 2018). Penelitian Wati (2021)

13. Karakteristik Anak


a. Usia
Usia pada anak berkaitan dengan status gizi karena kebutuhan gizi setiap anak berbeda
sesuai dengan usia nya. Usia anak dibagi menjadi 6 kategori yaitu, 0 - 5 bulan, 6 - 11 bulan,
12 - 23 bulan, 24 - 35 bulan, 36 - 47 bulan, dan 48 - 59 bulan (Kementerian Kesehatan RI,
2018a). Kecukupan gizi harus sesuai dengan bertambahnya usia
sehingga kebutuhan tumbuh kembang anak terpenuhi. Laju pertumbuhan pada anak lebih
cepat pada 1.000 HPK dan pertumbuhan yang optimal harus dipastikan saat anak usia 0 - 24
bulan karena usia tersebut merupakan periode penting dalam masa tumbuh kembang anak.
(Andiani, 2013; Chowdhury dkk, 2020)
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin dapat memengaruhi pertumbuhan anak karena kebutuhan gizi yang berbeda.
Laki-laki mempunyai kebutuhan zat gizi dan aktivitas fisik lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Anak laki-laki mempunyai perkembangan motorik kasar lebih besar
dibandingkan anak perempuan, sehingga kebutuhan energi pada anak laki-laki lebih besar.
Laki-laki lebih banyak mengalami stunting karena kebutuhan energi dan protein lebih besar
daripada perempuan (Setyawati dkk, 2018). Hasil penelitian Chirande dkk (2015) melaporkan
bahwa anak laki-laki berisiko lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan anak
perempuan.
c. Panjang Badan/ Tinggi Badan
Panjang badan bayi saat lahir menunjukkan gangguan pertumbuhan linear selama dalam
kandungan. Ukuran linear yang rendah menandakan nutrisi yang tidak terpenuhi untuk
pertumbuhan janin dalam kandungan. Pemenuhan zat gizi anak selama di dalam kandungan
memiliki peran penting untuk mencegah bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek
(Hidayatinnisa, 2021). Panjang badan bayi lahir dikatakan normal jika bayi lahir dengan
panjang badan 48 - 52 cm, sedangkan panjang badan lahir pendek adalah < 48 cm
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Panjang badan lahir rendah disebabkan oleh perlambatan
pertumbuhan saat dalam kandungan dan berisiko lebih besar mengalami gangguan
pertumbuhan (growth faltering). Jika mengalami kekurangan gizi dalam jangka panjang akan
memengaruhi status gizi anak berdasarkan panjang badan/tinggi badan dan umur (stunting)
(Sutrio, 2019). Penelitian Azriful dkk (2018) melaporkan bahwa anak dengan panjang badan
lahir rendah berpeluang 1,76 lebih besar mengalami stunting.
14. Karakteristik Ibu
a. Usia Ibu saat Melahirkan Usia ibu saat melahirkan menentukan kesehatan ibu maupun janin
yang dikandungnya. Usia ibu saat melahirkan berhubungan dengan kematangan reproduksi
dan kondisi psikologis. Usia ibu saat melahirkan yang tidak berisiko (20 - 35 tahun) dan usia
berisiko (< 20 tahun dan > 35 tahun) (Walyani, 2015). Usia < 20 tahun memiliki alat
reproduksi yang masih belum optimal. Hal ini akan memengaruhi distribusi zat besi dari ibu
ke janin yang terkandung di dalamnya, sedangkan usia >35 tahun mengalami penurunan
penyerapan zat gizi dan daya tahan tubuh (Manuaba, 2012). Pertumbuhan secara fisik pada
ibu yang tergolong muda atau remaja masih terus berjalan, sehingga nutrisi yang dibutuhkan
untuk masa pertumbuhan akan berkurang karena terbagi untuk nutrisi pada janin. Janin yang
kekurangan nutrisi berisiko mengalami Intrauterine Growth Restriction (IUGR) yang
mengakibatkan kelahiran anak BBLR dan pendek. Usia ibu yang masih muda cenderung
memiliki pola pikir yang belum matang, sehingga pola asuh anak tidak sebaik dengan ibu
yang lebih tua (Wanimbo dan Wartiningsih, 2020). Di sisi lain, usia ibu yang lebih tua
berisiko meingkatkan risiko lahir mati, kelahiran prematur, dan kelainan kromosom (Kenwa
dkk, 2018). Penelitian Wemakor dkk (2018) melaporkan bahwa melahirkan pada usia
berisiko berpeluang 8 kali lebih besar memiliki anak stunting.
b. Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan adalah faktor yang diturunkan dari orang tua kepada anak dan tidak bisa
diubah. Genetik pada ibu mengenai tinggi badan memiliki pengaruh pada kerja hormon yang
memiliki peran dalam pertumbuhan (Baidho dkk, 2021). Tinggi badan ibu dikategorikan
pendek bila tinggi badan (Surmita dkk, 2019). Asupan yang tidak terpenuhi untuk
mendukung pertumbuhan akan memengaruhi keadaan patologis seperti defisiensi
hormone pertumbuhan yang dimiliki oleh gen pembawa kromosom, sehingga berdampak
terhadap kegagalan pertumbuhan pada generasi berikutnya (Husna, 2017). Penelitian yang
dilakukan Husna (2017) yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu pendek berpeluang 6,35
kali lebih besar untuk memiliki anak stunting.
15. Paritas
Paritas adalah jumlah kelahiran anak yang dilahirkan oleh ibu. Paritas dikategorikan
menjadi dua bagian, yaitu berisiko (memiliki > 2 anak) dan tidak berisiko (memiliki ≤ 2
anak) (Matahari dkk, 2018). Ibu dengan paritas banyak berpeluang memiliki anak
stunting karena pola asuh yang buruk dan nutrisi yang tidak terpenuhi selama masa
pertumbuhan. Selain itu, jumlah paritas yang banyak akan menganggu pertumbuhan anak
karena keterbatasan makanan yang bergizi akibat status ekonomi yang rendah (Sarman
dan Darmin, 2021a). Anak yang dilahirkan belakangan berisiko mengalami stunting
karena semakin banyak jumlah anak, maka semakin besar beban yang ditanggung orang
tua. Hal tersebut akan memengaruhi tumbuh kembang anak jika kebutuhan gizi anak
tidak tercukupi (Palino dkk, 2017). Ibu dengan paritas banyak (grandemultigravida)
memiliki risiko kehamilan yang tinggi karena menyebabkan anemia, kekurangan gizi, dan
otot rahim yang lemah. Ibu dengan paritas banyak berisiko mengalami pendarahan saat
persalinan maupun setelah persalinan (Palino dkk, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh
Sarman dan Darmin (2021a) melaporkan bahwa ibu dengan jumlah paritas banyak (> 2
anak) berpeluang 2,17 kali lebih besar memiliki anak stunting dibandingkan ibu dengan
jumlah paritas yang sedikti (≤ 2 anak).
16. Riwayat Anemia saat Kehamilan
Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah hemoglobin dalam sel darah merah di
bawah normal dan konsentrasi pembawa oksigen dalam darah Hemoglobin (Hb) tidak
dapat memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berikut
diagnosis anemia pada berbagai populasi:

Diagnosis Anemia

populasi Tidak anemia ringan sedang Berat


Anak usia 6 – ≥ 11 gr/dl 10 – 10,9 gr/dl 7 - 9,9 gr/dl < 7 gr/dl
59 bulan
Anak usia 5 – ≥ 11,5 gr/dl 11 – 11,4 gr/dl 8 - 10,9 gr/dl < 8 gr/dl
11 tahun
Anak usia 12 – ≥ 12 gr/dl 11 – 11,9 gr/dl 8 - 10,9 gr/dl < 8 gr/dl
24 tahun
Wanita ≥ 15 ≥ 12 gr/dl 11 – 11,9 gr/dl 8 - 10,9 gr/dl < 8 gr/dl
tahun dan tidak
hamil
Wanita hamil ≥ 11 gr/dl 10 – 10,9 gr/dl 7 - 9,9 gr/dl < 7 gr/dl
Pria ≥ 15 tahun ≥ 13 gr/dl 11 - 12,9 gr/dl 8 - 10,9 gr/dl < 8 gr/dl
Sumber: WHO (2011)

Wanita hamil dikatakan anemia jika memiliki kadar hemoglobin < 11 gr/dl dan dikatakan
tidak anemia jika memiliki kadar hemoglobin ≥ 11 gr/dl (WHO, 2011). Kadar hemoglobin
dapat bervariasi pada setiap individu, tergantung pada usia, jenis kelamin, adanya kehamilan,
dan wilayah tempat tinggal (Sylvia, 2015). Ibu hamil sangat memerlukan kebutuhan zat besi
(Fe) karena berperan untuk mengangkut nutrisi dan oksigen ke janin. Kebutuhan zat besi ibu
hamil meningkat dibandingkan dengan ibu yang tidak hamil dikarenakan kebutuhan zat besi
pada janin lebih banyak untuk pembentukan butir-butir darah dan pertumbuhan janin. Selain
itu, jika ibu hamil kekurangan Fe akan memengaruhi volume darah dan mengurangi aliran
darah ke plasenta hingga menjadi lebih kecil. Tidak tercukupinya Fe menyebabkan gangguan
transfer zat gizi dan oksigen dari ibu ke janin yang memengaruhi tumbuh kembang janin
(Nengsih dan Warastuti, 2020). Ibu hamil yang mengalami anemia akan mengakibatkan
gangguan proses tumbuh kembang otak anak dan rentan terhadap kelahiran premature dan
BBLR yang merupakan faktor risiko stunting (Widyaningrum dan Romadhoni, 2018). Zat
besi tidak hanya dibutuhkan saat anak dalam kandungan, namun dibutuhkan juga pada masa
postnatal untuk meningkatkan sel darah merah sebagai faktor pertumbuhan tubuh anak
(Ibanez, 2015). Penelitian Sarman dan Darmin (2021a) melaporkan bahwa anemia pada ibu
hamil berisiko 2,25 lebih besar memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu hamil yang
tidak anemia.

Alfarisi., R, Nurmalasari, N. (2019). Status Gizi Ibu Hamil Dapat Menyebabkan. Jurnal
Kebidanan, 5(3), 271–278. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/69494218/pdf-
libre.pdf?1631497248=&response-content-disposition=inline%3B+filename
%3DStatus_Gizi_Ibu_Hamil_Dapat_Menyebabkan.pdf&Expires=1685372756&Signatu
re=BvxXLc3AgIZvidNiD0YOri5M6wt5iKKFE1g0t6gJw0OruTR6ucfzNaCfAWF

Boucot, A., & Poinar Jr., G. (2010). Stunting. Fossil Behavior Compendium, 5, 243–243.
https://doi.org/10.1201/9781439810590-c34

Nisa, S. K., Lustiyati, E. D., & Fitriani, A. (2021). Sanitasi Penyediaan Air Bersih dengan
Kejadian Stunting pada Balita. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Masyarakat Indonesia, 2(1), 17–25. https://doi.org/10.15294/jppkmi.v2i1.47243

Rosita, A. D. (2021). Hubungan Pemberian MP-ASI dan Tingkat Pendidikan terhadap


Kejadian Stunting pada Balita: Literature Review. Jurnal Penelitian Perawat
Profesional, 3(2), 407–412. https://doi.org/10.37287/jppp.v3i2.450

Sinaga, T. R., Purba, S. D., Simamora, M., Pardede, J. A., & Dachi, C. (2021). Berat Badan
Lahir Rendah dengan Kejadian Stunting pada Batita. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal
Ilmiah STIKES Kendal, 11(3), 493–500. https://doi.org/10.32583/pskm.v11i3.1420

Sunarti, S., Sunarti, S., Wiarisa, H., Wahyuningsih, N. E., Wahyuningsih, N. E., Setiani, O.,
& Setiani, O. (2019). Risk Factors for Stunting Among Elementary School Students.
Journal of Research in Public Health Sciences, 1(2), 97–108.
https://doi.org/10.33486/jrphs.v1i2.20

Zubaidi, H. A. K. (2021). Tinggi Badan dan Perilaku Merokok Orangtua Berpotensi


Terjadinya Stunting pada Balita. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 3(2), 279–286.
https://doi.org/10.37287/jppp.v3i2.414

Anda mungkin juga menyukai