Anda di halaman 1dari 19

KORELASI MANAJEMEN PENYAKIT INFEKSI

TUBERKULOSIS PADA IBU HAMIL DENGAN


STUNTING PADA ANAK YANG DILAHIRKAN

Penulis:
Nama : Ari Rosmala Dewi
NPM : 1720011001
P.S : Ilmu Lingkungan

Mata Kuliah : Ekofisiologi Manusia dan Kesehatan


Dosen : Dr. dr. Khairunnisa Berawi, M.Kes., AIFO

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
April 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya tugas makalah ini dapat diselesaikan.
Rancangan penelitian dengan judul “ Korelasi Manajemen Penyakit
Infeksi Tuberkulosis Pada Ibu Hamil dengan Kejadian Stunting Pada anak
yang dilahirkan ” adalah salah satu tugas mata kuliah Ekofisiologi Manusia dan
Kesehatan di Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas
Lampung Tahun 2018.
Rancangan penelitian ini dapat terselesaikan, tidak terlepas dari bantuan
dan dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
semoga bantuan dan dorongan semua pihak senantiasa mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa penulisan rancangan penelitian ini masih
banyak kekurangannya, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan rancangan penelitian ini.
Akhirnya penulis berharap semoga rancangan penelitian ini dapat bermanfaat dan
memberikan khasanah pengetahuan khususnya dalam ekofisiologi manusia dan
kesehatan.

Bandar Lampung, April 2018

Ari Rosmala Dewi


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan


hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang
paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak
untuk kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun
pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat
menentukan masa depannya. Kekurangan gizi pada periode ini dapat
mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik
anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki hingga periode berikutnya. Salah
satu akibat dari masalah gizi pada anak adalah stunting.
Stunting (pendek) merupakan ganguan pertumbuhan linier yang
disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit infeksi
kronis maupun berulang yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan
menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD.
Secara global, pada tahun 2011 lebih dari 25% jumlah anak yang
berumur dibawah lima tahun yaitu sekitar 165 juta anak mengalami stunting,
sedangkan untuk tingkat Asia, pada tahun 2005-2011 Indonesia menduduki
peringkat kelima prevalensi stunting tertinggi. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia mencatat bahwa
prevalensi stunting sebesar 37,2%. Sedangkan di Provinsi Lampung
prevalensi stunting sebesar 42,64% untuk balita sangat pendek dan pendek
pada Riskesdas 2013 tersebut. Artinya dari responden yang memiliki balita
didapatkan 42,64% balitanya sangat pendek. Menurut WHO, apabila masalah
stunting di atas 20% maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Banyak faktor yang mempengaruhi stunting, diantaranya adalah
panjang badan lahir, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan dan tinggi
badan orang tua. Panjang badan lahir pendek merupakan salah satu faktor
risiko stunting pada balita. Panjang badan lahir pendek bisa disebabkan oleh
faktor genetik yaitu tinggi badan orang tua yang pendek, maupun karena
kurangnya pemenuhan zat gizi pada masa kehamilan. Panjang badan lahir
pendek pada anak menunjukkan kurangnya zat gizi yang diasup Ibu selama
masa kehamilan, sehingga pertumbuhan janin tidak optimal yang
mengakibatkan bayi yang lahir memiliki panjang badan lahir pendek.
Tuberkulosis paru pada kehamilan seperti tuberkulosis paru umumnya
masih merupakan problem kesehatan masyarakat Indonesia maupun negara-
negara yang sedang berkembang lainnya. Insiden Tuberkulosis pada
kehamilan di dunia diperkirakan 1/10.000 kehamilan. Sedangkan berdasarkan
penelitian di London tahun 1997-2001, menunjukkan 32 wanita hamil
menderita TBC, dengan insidens 252/100.000 kelahiran.
Indonesia menjadi negara dengan insidens TBC tertinggi di dunia
setelah India dengan rata-rata 10,4 juta adalah kasus baru (Laporan Global
Tuberculosis Report Tahun 2015) dimana 5,9 juta pada laki-laki, 3,5 adalah
perempuan dan 1 juta adalah anak-anak dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan 1,6 : 1. Hasil penelitian yang dilakukan Marissa (2014) di Kab.
Aceh Besar didapatkan 78 % anggota rumah tangga yang terinfeksi kuman
Tuberkulosis adalah perempuan dengan usia terbanyak yaitu pada usia
produktif (52,6 %).
Data Rakerkesnas 2018 menyebutkan bahwa terdapat 7.718 kasus
Tuberkulosis ditemukan di Provinsi Lampung di tahun 2017, dimana 4,6 ribu
pada laki-laki dan 3,1 adalah perempuan dan 671 adalah anak-anak.
Penyakit ini perlu diperhatikan dalam kehamilan, karena tuberkulosis
yang diderita ibu hamil dapat mempengaruhi asupan gizi pada janin sehingga
berpengaruh pada pertumbuhan bayi selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian apakah


penyakit tuberkulosis yang diderita ibu selama kehamilan dapat
mempengaruhi janin yang kandungnya sehingga beresiko untuk melahirkan
anak yang dilahirkannya ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui korelasi manajemen penyakit infeksi Tuberkulosis yang
diderita ibu saat hamil dengan kejadian stunting pada anak yang dilahirkan

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber data penunjang untuk penelitian Tuberkulosis dan
Stunting pada masa yang akan datang.
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan strategi dan kebijakan
dalam penyusunan program kesehatan khususnya penyakit menular
(Tuberkulosis) dan Kesehatan ibu dan anak
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting
a. Definisi Stunting
Stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh merupakan salah
satu bentuk kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan menurut
usia di bawah standar deviasi (< - 2 SD) dengan referensi World Health
Organization (WHO) 2005. Stunting merupakan refleksi jangka panjang
dari kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai dan sering
menderita infeksi selama masa kanak-kanak. Anak yang stunting
merupakan hasil dari masalah gizi kronis sebagai akibat dari makanan
yang tidak berkualitas, ditambah dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan
masalah lingkungan.
Stunting masa kanak-kanak berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan motorik dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Selain
itu, juga dapat menyebabkan depresi fungsi imun, perubahan metabolik,
penurunan perkembangan motorik, rendahnya nilai kognitif dan
rendahnya nilai akademik. Anak yang menderita stunting akan tumbuh
menjadi dewasa yang berisiko obesitas, glucose tolerance, penyakit
jantung koroner, hipertensi, osteoporosis, penurunan performa dan
produktivitas. (Erna dkk, 2015)
Stunting dapat terjadi ketika janin masih dalam kandungan
disebabkan oleh asupan makanan ibu selama kehamilan yang kurang
bergizi dan penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan.
Akibatnya, gizi yang didapat anak dalam kandungan tidak mencukupi.
Kekurangan gizi akan menghambat pertumbuhan bayi dan bisa terus
berlanjut setelah kelahiran.
Selain itu, stunting juga bisa terjadi akibat asupan gizi saat anak
masih di bawah usia 2 tahun tidak tercukupi. Entah itu karena tidak
diberikan ASI eksklusif, atau MPASI (makanan pendamping ASI) yang
diberikan kurang mengandung zat gizi yang berkualitas — termasuk
zink, zat besi, serta protein.

b. Diagnosis dan Klasifikasi


Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah
dengan cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan
protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang sering
digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang
berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal.
Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO.
Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Klasifikasi
status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per umur
(TB/U) antara lain : sangat pendek ( Zscore <-3,0), Pendek (Zscore <-
2,0 s.d Zscore ≥ -3,0) dan normal (Zscore ≥ -2,0). Sedangkan
klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U dan BB/TB
yaitu : Pendek-kurus (-Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0),
pendek-normal (Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d
2,0) dan pendek-gemuk (Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0).
c. Faktor Penyebab Stunting
Faktor-faktor penyebab stunting erat hubungannya dengan kondisi-
kondisi yang mendasari kejadian tersebut, kondisi-kondisi yang
mempengaruhi faktor penyebab stunting terdiri atas: (1) kondisi politik
ekonomi wilayah setempat, (2) status pendidikan, (3) budaya
masyarakat, (4) Agriculture dan sistem pangan, (5) kondisi air, sanitasi,
dan lingkungan. Kondisi-kondisi tersebut dapat mempengaruhi
munculnya faktor penyebab sebagai berikut :
1. Faktor Keluarga dan Rumah Tangga
Faktor maternal, dapat dikarenakan nutrisi yang buruk
selama pre-konsepsi, kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga
dipengaruhi perawakan ibu yang pendek, infeksi, kehamilan muda,
kesehatan jiwa, dan persalinan prematur, jarak persalinan yang
dekat, lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan
aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk,
ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya
edukasi pengasuh.
2. Complementary Feeding yang tidak adekuat
Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient
yang buruk, kurangnya keragaman dan asupan pangan yang
bersumber dari pangan hewani, kandungan tidak bergizi, dan
rendahnya kandungan energi pada complementary foods. Praktik
pemberian makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian
makan yang jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama
dan setelah sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas
pangan yang tidak mencukupi, pemberian makan yang tidak
berespon.
Bukti menunjukkan keragaman diet yang lebih bervariasi dan
konsumsi makanan dari sumber hewani terkait dengan perbaikan
pertumbuhan linear. Analisis terbaru menunjukkan bahwa rumah
tangga yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang
diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan
mengurangi risiko stunting.
3. Masalah dalam pemberian ASI
Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi
Delayed Initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan
penghentian dini konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan
bahwa menunda inisiasi menyusu (Delayed initiation) akan
meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai
pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman
lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. IDAI
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam
bulan, bayi mendapat makanan pendamping yang adekuat
sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang
berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan
terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.
4. Infeksi
Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi
enterik seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan
oleh infeksi pernafasan (ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan
akibat serangan infeksi dan inflamasi.
5. Kelainan Endokrin
Batubara (2010) menyebutkan terdapat beberapa penyebab
perawakan pendek diantaranya dapat berupa variasi normal, penyakit
endokrin, displasia skeletal, sindrom tertentu, penyakit kronis dan
malnutrisi. Pada dasarnya perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu
variasi normal dan keadaan patologis.
Kelainan endokrin dalam faktor penyebab terjadinya stunting
berhubungan dengan defisiensi GH, IGF- 1, hipotiroidisme, kelebihan
glukokortikoid, diabetes melitus, diabetes insipidus, rickets
hipopostamemia.
Pada referensi lain dikatakan bahwa tinggi badan merupakan
hasil proses dari faktor genetik (biologik), kebiasaan makan
(psikologik) dan terpenuhinya makanan yang bergizi pada anak
(sosial). Stunting dapat disebabkan karena kelainan endokrin dan non
endokrin. Penyebab terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin
yaitu penyakit infeksi kronis, gangguan nutrisi, kelainan
gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan faktor sosial ekonomi.

B. Tuberkulosis
a. Pengertian Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TBC) adalah  penyakit akibat kuman
Mycobakterium  tuberkculosis sistemis sehingga dapat mengenai semua
organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya
merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).
Tuberkolosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium Tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang
diperantarai-sel (Cell-Mediated-Hypersensitivity). Penyakit biasanya
terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya
pengobatan yang efektif untuk penyakit yang efektif, biasa terjadi
perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian .
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu
penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil
tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan
selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari
ghon ( Hood Alsagaff, th 1995).
Tuberkulosis  paru adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian
tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe
(Suzanne dan Brenda, 2001).
b. Tuberkulosis pada kehamilan
1. Efek Tuberkulosis pada kehamilan
Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara
lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima
pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya
penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan
fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Status nutrisi yang jelek,
hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Usia kehamilan saat
wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan
factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam
kehamilan dengan TB.
Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana
peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas
paru bagian bawah mengalami kolaps yang disebut pneumo-
peritoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi direkomondasikan pada
wanita hamil dengan TB. Selain paru-paru, kuman TB juga dapat
menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan
sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ reproduksi,
kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas)
seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa
menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada
pengidap TB atau yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia
reproduksi. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita
biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena
uterus tidak siap menerima hasil konsepsi.
Harold Oster MD,2007 mengatakan bahwa TB paru (baik laten
maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di
kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat
menyebabkan gangguan kesuburan.
2. Efek tuberculosis terhadap janin 
Menurut Oster,2007 jika kuman TB hanya menyerang paru,
maka akan ada sedikit risiko terhadap janin.Untuk meminimalisasi
risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan
seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika
TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa,
dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit
sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami
masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan oleh Narayan Jana,
KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999  tentang
efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa
tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan,
persalinan dan hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan
kelompok wanita sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama
hamil mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi
dengan APGAR skore rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat
badan lahir rendah (<2500 ).
Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus,
terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya
penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion
(disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa
diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur,
gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa
membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum
jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

c. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada kehamilan


Pasien TBC anak dapat ditemukan melalui upaya berikut :
1. Masa kehamilan trisemester 1
- Kurangi aktivitas fisik (bedrest); Terpenuhinya kebutuhan nutrisi
(tinggi kalori tinggi protein); Pemberian vitamin dan Fe; Dukungan
keluarga & kontrol teratur.
- Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau
terakhir dan segera diperiksa agar tidak terjadi penularan pada
orang-orang disekitarnya. Dahulu pasien tuberkulosis paru dengan
kehamilan harus dirawat dirumah sakit, tetapi sekarang dapat
berobat jalan dengan pertimbangan istirahat yang cukup, makanan
bergizi, mencegah penularan pada keluarga dll
- Pasien sejak sebelum kehamilan telah menderita TB paru Æ Obat
diteruskan tetapi penggunaan rifampisin di stop. - Bila pada
pemeriksaan antenatal ditemukan gejala klinis tuberkulosis paru
(batuk-batuk/batuk berdarah, demam, keringat malam, nafsu makan
menurun, nyeri dada,dll) maka sebaiknya diperiksakan PPD
(Purified Protein Derivate), bila hasilnya positif maka dilakukan
pemeriksaan foto dada dengan pelindung pada perut, bila tersangka
tuberkulosis maka dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali dan
biakan BTA. Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan
kelainan bakteriologis, tetapi diagnosis dapat juga dengan gejala
klinis ditambah kelainan radiologis paru.
Lakukan pemeriksaan PPD bila PPD (+) lakukan
pemeriksaan radiologis dengan pelindung pada perut :
1. Bila radiologi (-) Berikan INH profilaksis 400 mg selama 1
tahun
2. Bila radiologi suspek TB periksa sputum sputum BTA
(+)
− INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2 kali
seminggu 5-8 bln
− Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan
− Rifampisin sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester
pertama
2. Masa kehamilan trisemester 2 dan 3
Pada penderita TB paru yang tidak aktif, selama kehamilan
tidak perlu dapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif, hendaknya
jangan dicampurkan dengan wanita hamil lainnya pada pemeriksaan
antenatal dan ketika mendekati persalinan sebaiknya dirawat di rumah
sakit; dalam kamar isolasi. Gunanya untuk mencegah penularan, untuk
menjamin istirahat dan makanan yang cukup serta pengobatan yang
intensif dan teratur. Dianjurkan untuk menggunakan obat dua macam
atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Untuk
diagnosis pasti dan pengobatan selalu bekerja sama dengan ahli paru-
paru.3-5 Penatalaksanaan sama dengan masa kehamilan trimester
pertama tetapi pada trimester kedua diperbolehkan menggunakan
rifampisin sebagai terapi.
Medikamentosa: (Dilakukan atas konsultasi dengan Internest)
 PPD (+) tanpa kelainan radiologis maupun gejala klinis :
- INH 400 mg selama 1 tahun
 TBC aktif (BTA +) :
- Rifampisin 450-600 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 600 mg
2x seminggu selama 5-8 bulan
- INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2x seminggu
selama 5-8 bulan Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan

C. Kerangka Teori
Sesuai dengan teori tersebut diatas, peneliti mencoba untuk menggambarkan
kerangka teori sebagai berikut :

Masalah
pemberian ASI
Complementary
Penyakit Infeksi
Feeding anak
yang diderita
yang tidak
anak
adekuat

Faktor Keluarga Kelainan


dan Rumah Stunting Endokrin pada
Tangga anak
D. Kerangka Konsep
Dari kerangka teori diatas, maka penulis dapat menggambarkan kerangka
konsep dalam penelitian ini sebagai berikut :

Tuberkulosis pada
ibu hamil

Faktor Keluarga dan


Rumah Tangga :
- Nutrisi yang buruk Kejadian Stunting
selama kehamilan
- Faktor Ibu yang Pendek
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kohort, penelitian ini menggunakan
pendekatan longitudinal ke depan, dengan menidentifikasi faktor risiko
tuberkulosis pada kehamilan dengan efek stunting pada anak yang dilahirkan.
Kesimpulan hasil penelitian diketahui dengan membandingkan subyek yang
mempunyai efek positif (sakit) antara kelompok subyek dengan faktor risiko
positif dan faktor risiko negative (kelompok kontrol).
Penelitian dimulai dari kasus penyakit tuberkulosis yang diderita ibu
hamil sebelum atau mulai dari tri semester 1, dimana kasus adalah semua ibu
hamil yang didiagnosis menderita tuberkulosis oleh petugas kesehatan terlatih
di fasilitas pelayanan kesehatan. sedangkan kontrol merupakan ibu hamil
yang terdata di suatu fasilitas pelayanan kesehatan dan berdasarkan hasil
diagnosis tidak pernah menunjukkan terinfeksi tuberculosis.

B. Tempat dan waktu


Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung bulan Juni 2018 – Februari 2019.

C. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil dengan kriteria
sampel kasus adalah seluruh ibu hamil yang didiagnosis menderita
tuberculosis sebelum masa kehamilan ataupun pada saat kehamilan oleh
petugas kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan. sedangkan
kontrol merupakan ibu hamil yang terdata di fasilitas pelayanan kesehatan
namun hasil diagnosis tidak menunjukkan pernah terinfeksi tuberkulosis.
Sumber data kasus berasal dari register KIA yang ada di Provinsi
Lampung pada periode bulan April - Juni 2018. Selanjutnya dilakukan
penapisan berdasarkan umur kehamilan, diagnosis, dan alamat lengkap
pasien. Seluruh ibu hamil yang didiagnosis TB diambil sebagai kasus.
Kemudian dibuat daftar kelompok kasus per kabupaten. Sedangkan untuk
data kasus kontrol dilakukan penapisan berdasarkan umur kehamilan, tidak
pernah atau didiagnosis tuberkulosis dan alamat lengkap pasien, kemudian
dibuat daftar nama kelompok kontrol per kabupaten dan diberi nomer urut.
Pengambilan subyek sebagai kontrol menggunakan teknik sampling acak
sederhana dengan menggunakan tabel bilangan random per kabupaten.
Pemilihan subyek pertama berdasarkan hasil pembagian jumlah kontrol
yang ditemukan dibagi besar sampel yang dibutuhkan per kabupaten.
Pemilihan subyek berikutnya dipilih berdasarkan kelipatan dari hasil
pembagian tersebut. Jumlah kontrol yang diambil sama dengan jumlah kasus
ibu hamil yang menderita tuberkulosis yang didapatkan di kabupaten tersebut.

D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan rumah untuk dilakukan
wawancara terhadap responden (ibu hamil) untuk mendapatkan data ibu
( Umur, Tinggi Badan, Status Ekonomi, tingkat pendidikan) dan data lainnya
yang diperlukan dalam penelitian ini.
E. Analisis Data
Analisa bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi
Contingency coefficient C dan Chi-Square. Menurut Siegel (1997), koefisien
kontingensi C adalah suatu ukuran kadar asosiasi atau relasi dua himpunan
yang berguna khususnya apabila kita mempunyai informasi dalam bentuk
skala nominal. Kemudian pengujian hipotesis dan penentuan derajat
hubungan dilakukan menggunakan analisa tafsiran menurut Sugiyono (2004).
Setelah didapatkan pengujiann hipotesis, maka untuk menentukan
kemungkinan kejadian pada kondisi tertentu digunakan nilai risk ratio
DAFTAR PUSTAKA

Aditianti, 2010. Faktor Determinan Stunting pada anak usia 24 – 59 bulan


di Indonesia. Institut Pertanian Bogor

Atikah Rahayu, dkk, 2015. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Usia dibawah Dua Tahun. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Vol. 10, No. 2, November 2015

Ben J. Marais. Improving Access to Tuberculosis Preventive Therapy and


Traetment for Children. International Journal Of Infectious Disesases
56 (2017) 122-125

Cissy B K, 2009. Epidemiologi Tuberkulosis, Sari Pediatri, Vol 11, No. 2


Agustus 2009

Elsevier, World TB Day 2017: Advances, Challenges and Opportunities in


the “End TB” Era. International Journal Of Infectious Disesases 56
(2017) 1-5

Erna Kusumawati, dkk, 2015, Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting


pada Anak Usia di Bawah Tiga Tahun. Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Kepmenkes RI Nomor HK.. 02.02/Menkes/305/2014 tentang Pedoman


Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis

Kemenkes RI, 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB


Anak, Dirjen P2P

Kemenkes RI, 2017. Akselerasi Menuju Indonesia Bebas Tuberkulosis :


Kontribusi Multisektor

Kemenkes RI, 2018. Sinergisme Pusat dan daerah dalam Mewujudkan


Universal Healt Coverage (UHC) melalui Percepatan Eliminasi
Tuberkulosis

Kukuh dkk, 2013. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada anak usia 2 – 3
tahun (Studi di Kecamatan Semarang Timur ). Journal of Nutrition
College, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 523-530.
Lamria, dkk. 2007, Faktor Determinan Terjadinya Tuberkulosis di
Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 1, Maret 2010:
1166 —1177

Najoan Nan Waraow, dkk. 2007. Manajemen TBC dalam Kehamilan.


Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 6, No. 2, Februari 2007.

R. Ritte S, dkk. 2015. An Australian model of the First 1000 Days: an


Indigenous-led process to turn an international initiative into an
early-life strategy benefiting indigenous families. Downloaded from
https://www.cambridge.org/core. Lampung University, on 19 Apr
2018 subject to the Cambridge Core terms of use, available at
http://www.cambridge.org/core/terms.http://doi.org/10.1017/gheg.201
6.7

Teo Wijaya, 2012. Kerangka teori, kerangka konsep dan variabel kasus
Peningkatan angka Tuberkulosis Paru MDR di Puskesmas K.
Universitas Kristen krida Wacana, Jakarta

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan Pencegahan


dan Pemberantasan Penyakit. Penerbit Erlangga. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai