Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting merupakan masalah kesehatan yang bayak ditemuai dinegara
berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Unaited Nations Childrens Fund (UNICF),
pada tahun 2016 terdapat 22,9%, atau hamper 1 dari 4 anak berusia dibawah 5 tahun
(balita) mengalami stunting. Lebih dari setengah balita yang mengalami stunting tersebut
tinggal dibenua Asia dan lebih dari 1/3 tinggal dibenua Afrika. Menurut tim nasional
percepatan penanggulangn kemiskinan (TNP2K) 2017. Prevalensi stunting di Indonesia
menempati peringkat kelima terbesar di dunia.1
Keadaan pendek (stunting) menurut keputusan mentri kesehatan Republik
Indonesia No 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antopometri penilaian status
gizi anak adalah suatu keadaan dimana hasil pengukuran panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur(TB/U) berada diantara -3 standar devisasi (SD)
sampai -2 SD. Sangat pendek (severe stunting) adalah keadaan dimana hasil pengukuran
PB/U atau TB/U dibawah -3 SD.3
Indonesia merupakan salah satu negara dengan triple ganda permasalahan gizi Data
riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 menunjukan prevalensi stunting dalam
lingkup nasional sebesar 37,2%, terdiri dari pervalensi pendek sebesar 18,0% dan sangat
pendek sebsar 19,2%. Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan prevalensi stunting
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Prevalensi Stunting di
Provinsi Kalimantan Selatan menurut riskesdas tahun 2018 sebesar 33,2%.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian stunting ?
2. Epidemiologi stunting ?
3. Apa saja factor yang mempengaruhi terjadinya stunting ?
4. Bagaimana patofisiologi stunting ?
5. Bagaimana cara mendiagnosis stunting ?
6. Apa saja tatalaksana stunting ?
7. Bagaimana prognosis stunting ?

1
8. Apa penangggulangan dan pencegahan stunting ?

C. Tujuan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah:


1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi dari Stunting.
2. Untuk menjelaskan epidemiologi stunting.
3. Untuk mengetahui factor apasaja yang menyebabkan stunting.
4. Untuk mengetahi bagaimana patofisiologi pada stunting.
5. Unatuk mengetahui cara mendiagnosis stunting.
6. Untuk mengetahui tatalaksana pada stunting.
7. Untuk mengetahui proknosis stunting.
8. Untuk mengetahui cara penanggulangan dan pencigahan pada stunting.

2
METODE

A. Sumber dan Jenis Data


Sumber data berasal dari beberapa literature seperti textbook, jurnal, maupun artikrl
ilmiah yang relevan dengan kasus dalam masalah ini, yakni terkait stanting. Literature
dari sumber yang valid dan ilmiah diambil tidak lebih dari 10 tahun terakhir.

B. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan beberapa literature seperti textbook,
jurnal, maupun artikrl ilmiah yang relevan dengan kasus dalam masalah ini, yakni terkait
stanting.

C. Analisis Data
Teknik analisis data literatue review. Literature di identifikasi, dikaji, diefaluasi, dan
dirangkum sesuai dengan rumusan masalah.

D. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan diambil dai hasil analisis data yang dihubungkan dengan
permasalahan pada rumusan masalah.

3
ISI

A. Definisi
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau
tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak
dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak
faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan
kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan
mengalami kesulitandalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.1
B. Epidemiologi
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu
masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau
sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia Tren Prevalensi
Balita Pendek di Dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%)
tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari
Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).

4
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.1
Berdasarkan Riskesdas 2013 rata-rata nasional bayi baru lahir dengan panjang
<48 cm adalah 20,2 persen. Tiga provinsi tertinggi ialah Nusa Tenggara Timur (28,7%),
DI Yogyakarta (28,6%), dan Sulawesi Tengah (27,1%) dan terendah di Bali (9,6%).
Ironisnya, Provinsi DI Yogyakarta merupakan provinsi percontohan di bidang kesehatan,
namun angka kejadian stunting tertinggi kedua dan lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan Indonesia memiliki prevalensi stunting
balita sebesar 37,2 persen, ini lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara,
seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Angka kejadian stunting
ini meningkat dari 2010 sebesar 35,6 persen dan 2007 (36,8%).2

C. Faktor Risiko
Faktor risikos stunting yang secara konsisten berdasarkan penemuan dan hasil
riset-riset yang telah dilakukan di Negara-negara berkembang adalah :

1. Pemberian ASI tidak Eksklusif, bahwa dengan pemberian ASI Eksklusif sangat erat
dengan penurunan kejadian stunting pada anak. Oleh Karena itu anak yang tidak
mendapatkan ASI secara eksklusif akan berisiko mengalami stunting, dua analisis
terbaru bahwa bayi yang disapih sebelum berusia 6 bulan akan lebih berisiko

5
terkena stunting19 pemberian ASI pada usia 0-5 bulan akan berkontribusi dalam
menunurunkan kejadian stunting pada anak.
2. Status Sosial Ekonomi Keluarga, hasil pendapatan keluarga merupakan salah satu
indikator sosial ekonomi keluarga lebih baik sehingga keluarga dapat mencukupi
dan memenuhi kebutuhan konsumsi gizi dalam keluarga, didukung hasil penelitian
yang menyatakan bahwa pekerjaan dan pendapatan orang tua sebagai petani
berisiko anak mengalami stunting.
3. Kelahiran bayi yang mengalami Berat Bayi Lahir Rendah ,dan bayi yang lahir
secara premature memiliki risiko secara konsisten mengalami stunting di
Indonesia22–24,37. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir dengan
BBLR memiliki risiko 1,74 kali mengalami hambatan pertumbuhan TB/U38
berdasarkan hasil riset yang lain bahwa bayi yang dilahirkan kondisi BBLR adalah
faktor risiko yang paling paling menentukan kejadian stunting pada anak.
4. Panjang lahir, penelitian yang dilakukan di Kulon Progo bahwa panjang lahir pada
bayi jika kurang dari 48 cm akan berisiko mengalami stunting pada waktu yang
akan datang berdasarkan penelitian di india bayi yang lahir dengan panjang badan
kecil berisiko stunting,3
5. Pendidikan ibu, bahwa pendidikan ibu sangat menentukan kesehatan anak, karena
dengan pendidikan yang memadai ibu akan lebih selektif dan kreatif dalam
memberikan makanan yang baik dan bergizi pada anaknya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang rendah berisiko 1,6 kali berisiko
mengalami stunting penelitian yang dilakukan di Indonesia secara konsisten bahwa
pendidikan ibu berpengaruh terhadap stunting.4
6. Penyakit infeksi, berdasarkan kerangka konsep WHO penyakit infeksi yang sering
terjadi pada anak yang mengalami stunting adalah seperti diare, kecacingan,
peradangan, malaria, dan gangguan saluran pernafasan.

Jika dilihat berdasarkan kerangka konsep WHO menunjukkan peninjauan yang


menyeluruh terhadap artikel-artikel tentang determinan terjadinya stunting pada anak di
Indonesia dan Negara berkembang lainya, dari hasil literature review yang kami lakukan
diperoleh secara konsisten untuk variable tinngi badan ibu, kelahiran premature, BBLR,

6
panjang badan lahir, pendidikan ibu yang rendah, penyakit infeksi, social ekonomi
keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stunting di Indonesia5

D. Patofisiologi
Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan fase kritis terjadinya stunting
adalah pada fase intrauterin dan fase peralihan dari ASI menjadi MPASI. Pada Gambar di
bawah diperlihatkan bahwa stunting didahului oleh periode weight faltering (WAZ) yang
kemudian diikuti dengan penurunan laju pertumbuhan linier (HAZ) untuk
mempertahankan status gizi (WHZ).

Penyebab stunting dibagi menjadi penyebab langsung dan tidak langsung (underlying
causes). Beberapa penelitian epidemiologis menemukan bahwa penyebab langsung
adalah asupan nutrisi yang tidak adekuat secara kuantitas, kualitas serta ragamnya. Selain
itu, infeksi berulang dan asuhan kesehatan yang tidak memadai menyebabkan stunting.
Sebagai penyebab tidak langsung adalah kemiskinan, ketidaksetaraan, norma sosial,
pendidikan ibu serta status sosial perempuan. Stewart dkk (2013) membuat konsep
penyebab serta konsekuensi stunting. Berdasarkan konsep tersebut maka perbaikan
asupan nutrisi ibu hamil serta batita (1000 HPK) merupakan pendekatan praktis untuk
mencegah stunting dan dampak jangka pendek maupan jangka panjangnya.6
Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam panjang atau
tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan pertumbuhan World
Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting
disebabkan oleh kumulasi episode stress yang sudah berlangsung lama (misalnya infeksi

7
dan asupan makanan yang buruk), yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth
(kejar tumbuh).7
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap
siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang mengalami
kekurangan energy kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan berlanjut ke
usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya. Kelompok ini akan menjadi generasi
yang kehilangan masa emas tumbuh kembangnya dari tanpa penanggulangan yang
memadai kelompok ini dikuatirkan lost generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia
perlu diwaspadai dengan seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak
kejadian ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.8

E. Kriteria Diagnosis
Penilaian awal anak gizi buruk
Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis
terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.

1. ANAMNESIS AWAL (UNTUK KEDARURATAN):


 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)

8
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
 Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya,


dilakukan setelah kedaruratan ditangani):
 Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV

2. PEMERIKSAAN FISIK
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara
penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan
energi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score). Stunting dapat
diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau

9
tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal.
Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan
ini menggunakan standar Z score dari WHO.9
Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). 9
Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per umur
(TB/U).
I. Sangat pendek : Zscore < -3,0
II. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
III. Normal : Zscore ≥ -2,0 13
Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U
dan BB/TB.
I. Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
II. Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
III. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini berdasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral/pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan yang diuji secara
laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan beberapa jaringan tubuh seperti hati dan
otot.
Biofisik

10
Penilaian status gizi baik secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan menilai kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan.9

F. Penatalaksanaan
1. MEDIKAMENTOSA
Anak dengan variasi normal perawakan pendek tidak memerlukan pengobatan,
sedangkan untuk anak dengan kelainan patologis, terapi disesuaikan dengan
etiologinya seperti infeksi kronik, gangguan nutrisi, kelainan gastroinestinal, penyakit
jantung bawaan dan lain-lain.
TERAPI HORMON PERTUMBUHAN
Indikasi pemberian hormon pertumbuhan :
 Defesiensi hormon pertumbuhan
 Sindrom turner
 Anak dengan IUGR(intra uterine growth retardation)/PJT (pertumbuhan janin
terhambat) atau KMK (kecil menurut kehamilan)
 Gagal ginjal kronik
 Sindrom Prader Willi
 Idiopathic short stature
Sebelum terapi dimulai,kriteria anak dengan defisiensi hormon harus terlebih dahulu
ditetapkan sebagai berikut:
 Tinggi badan di bawah persentil 3 atau – 2SD
 Kecepatan tumbuh di bawah persentil 25
 Bone age terlambat >2 tahun
 Kadar GH<10 ng/ml dengan 1 jenis provokasi (oleh dokter endokrinologi anak)
 IGF-I rendah
 Tidak ada kelainan dismorfik, tulang dan sindrom tertentu
Hormon pertumbuhan diberikan secara subkutan dengan dosis 0,025-0,05 mg/kg/hari
untukdefisiensi hormon pertumbuhan dan 0,04-0,08 mg/kg/hari untuk sindrom

11
Turner dan insufisiensi renal kronik. Hormon pertumbuhan diberikan 6-7 kali per
minggu.
PEMANTAUAN
-Terapi
Terapi hormon dihentikan bila lempeng epifisis telah menutup atau respon terapi tidak
adekuat. Ciri respons terapi yang tidak adekuat adalah pertambhan kecepatan
pertumbuhan yang lebih kecil dari 2 cm pertahun
-Tumbuh kembang
Apabila dijumpai kelainan perawakan pendek yang patologis harap dirujuk ke divisi
Endokrinologi Anak karena pasti pertumbuhan akan terganggu.

2. NON FARMAKOLOGI
Pada varian normal stunting  tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup
observasi saja bahwa diagnosisnya merupakan fisiologis bukan patologis. Akhir-akhir ini
telah ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan aromatase inhibitor sebagai
terapi adjuvant atau tunggal pada Familial Short Stature dan Constitutional  Delay of
Growth and Puberty melalui mekanisme menghambat kerja estrogen pada lempeng
pertumbuhan. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini,
maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin terlebih dahulu.
Terapi dengan menggunakan hormon pertumbuhan memiliki tujuan memperbaiki
prognosis tinggi badan dewasa. Dari berbagai penelitian terakhir telah ddapat dilihat
bahwa hasil tinggi akhir anak yang mendapat GH jauh lebih baik daripada prediksi tinggi
badan pada awal pengobatan. Pada tahun 1995 FDA telah menyetujui pemakaian hormon
pertumbuhan untuk defisiensi hormon pertumbuhan, gagal ginjal kronik, sindrom Turner,
sindrom Prader Willi, anak anak IUGR,  perawakan pendek idiopatik, orang dewasa
dengan defisiensi hormon pertumbuhan, dan orang dewasa dengan AIDS wasting.11

G. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad funtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad malam

12
H. Pencegahan dan Program Pemerintah
Pencegahan stunting dapat dilakukan antara lain dengan cara :
1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan
yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan terpantau
kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet tambah darah
hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengkonsumsi 90 tablet selama
kehamilan.
2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis
untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan
lingkungan.11

13
KESIMPULAN

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi) dibawah lima tahun.
Faktor yang paling berperan dalam stunting ialah faktor gizi. Angka kejadian stunting di
dunia pada tahun 2017 adalah sebesar 150,8 juta balita dan indonesia termasuk dalam
negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. 1 Ciri-ciri dari balita
stunting adalah berperawakan pendek dari anak seusianya, sulit fokus, pertumbuhan gigi
terlambat, dan biasanya lebih pendiam. Cara mendiagnosis stunting adalah dengan
anamnesis yang terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. Kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dengan menilai status gizi dan yang terakhir dengan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan lab untuk menganalisa status gizi lewat
jaringan tubuh balita tersebut.1,8 Terapi stunting dapat berupa hormon pertumbuhan
diberikan secara subkutan dengan dosis 0,025-0,05 mg/kg/hari untuk defisiensi hormon
pertumbuhan dan 0,04-0,08 mg/kg/hari untuk sindrom Turner dan insufisiensi renal
kronik. Hormon pertumbuhan diberikan 6-7 kali per minggu. Pada varian normal stunting
tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup observasi saja bahwa diagnosisnya
merupakan fisiologis bukan patologis. Prognosis dari stunting adalah Dubia. Pencegahan
dapat dimulai dari diberikannya ASI eksklusif selama 6 bulan dan kontrol diit dari balita
tersebut.4

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Buletin stunting. Kemenkes RI. 2018


2. Depkes. Riset Kesehatan Dasar 2013. Depkes: Jakarta. 2013.
3. Budiastutik, Rahfiludin. Faktor Risiko Stunting pada anak di Negara Berkembang..
IAGIKMI & Universitas Airlangga.2019; 122-126
4. Kartono, D., Fuada, N. & Setyawati, Stunting anak usia sekolah di Indonesia. 2013;36,
121–126.
5. Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D. & Neufeld, L. M. A review of child
stunting determinants in Indonesia. Matern. Child Nutr. 2018;14, 1–10 .
6. Sjarif D.R. Short stature versus Stunting: Bridging Gaps Berween Bench-Community-
Bed. In: Djer M.M, Oswari H, Gunardi H, editors. Full-Day Workshop and Symposium
A New Concept in Pediatric Clinical Practice Ikatan Dokter Anak Indonesia Tahun 2016;
2016; Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. A New Concept in
Pediatric Clinical Practice 2016;2016.
7. Supariasa IDN. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC; 2002.
8. I Dewa Nyoman Supariasa BB, Ibnu Fajar. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.
9. WHO. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences Conceptual Framework 2013.
2013. Diunduh dari http://www.who.int/nutrition/events/2013_
ChildhoodStunting_colloqium_14Oct_ConceptualFramework_colour.pdf
10. Pulungan AM. Pubertas dan Gangguannya. Dalam: Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi
1. Jakarta: UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015:89-94
11. Sutarto. Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya J Agromedicine. 2018;5.1

15

Anda mungkin juga menyukai