TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STUNTING
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan,
sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi
kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama. Berdasarkan peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 tentang standar antropometri penilaian
status gizi anak, stunting atau pendek merupakan status gizi yang didasarkan pada indek
tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan Z Score kurang dari -2 SD (standar deviasi).
Stunting bukan hanya masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan
anak menjadi mudah sakit, selain itu juga terjadi gangguan perkembangan otak dan
kecerdasan sehingga stunting merupakan ancaman besar terhadap kualitas sumber daya
manusia di Indonesia.
a. Kurangnya kemampuan dan pemahaman dalam merawat anak dan pemberian makan
anak
Hal ini ditekankan pada pemberian ASI ekslusif serta pemberian makanan tambahan
yang tidak terlaksana dengan baik.
b. Infeksi penyakit.
Semakin parah tingkat infeksi akan membawa dampak yang lebih besar pada
pertumbuhan linier anak.
c. Lingkungan infeksius
Lingkungan infeksius yaitu berupa sanitasi dan ketersediaan air bersih yang tidak
memadai akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi
d. Kemiskinan
Faktor Kemiskinan akan berpengaruh pada penelantaran pengasuhan anak karena
ketidakmampuan keluarga
a. Jenis Kelamin
Berbagai penelitian menunjukan adanya perbedaan signifikan antar anak perempuan
dan laki-laki yang menderita stunting. Torlesse et al (2016) menyebutkan bahwa anak
laki - laki lebih beresiko terkena stunting dan stunting berat. Kismul et al (2017)
menjelaskan juga bahwa prevalensi anak laki-laki yang menderita stunting lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Rakotomanana et al (2017) juga menyebutkan bahwa
pada usia yang lebih muda sekitar dua tahun ke bawah, risiko stunting lebih tinggi
terjadi pada anak laki-laki dibanding perempuan.
b. Usia Anak
Inisiasi menyusu dini sedang menjadi salah satu langkah pemerintah untuk
menurunkan stunting. Dalam beberapa penelitian juga menyebutkan hal serupa
tentang inisiasi menyusu dini. Kismul et al. (2017) menyebutkan bahwa dengan
dilakukannya inisiasi menyusu pada satu jam pertama maka berisiko lebih kecil
mengalami stunting. Sejalan dengan hal itu, Permadi et al (2016) menyebutkan bahwa
stunting memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian stunting.
Adanya riwayat penyakit infeksi pada anak juga dapat menjadi salah satu faktor
determinan kejadian stunting. Seperti disebutkan oleh Hagos et al (2017) bahwa
stunting memiliki hubungan signifikan dengan adanya riwayat penyakit infeksi.
Dorsey et al. (2017) menyebutkan bahwa stunting dapat mempengaruhi kejadian
malnutrisi. Batiro et al (2017) menyebutkan juga bahwa penyakit infeksi akut
pernafasan serta diare juga merupakan salah satu faktor penyebab kejadian stunting.
Faktor usia ibu disebutkan memiliki hubungan dengan stunting karena terkait dengan
kedewasaan serta kemampuan dalam merawat anak. Ibu yang menikah di usia muda
cenderung memiliki anak dengan stunting (Efevberha et al 2017). Adapun hal ini
terkait juga dengan kurangnya pemahaman ibu dalam memenuhi gizinya sendiri
ataupun untuk anaknya. Ibu dengan usia menikah yang tidak muda cenderung
memiliki risiko lebih rendah untuk memiliki anak dengan stunting.
j. Ketersediaan air bersih
Penyediaan air bersih merupakan intervensi yang dicanangkan secara global baik oleh
WHO dan UNICEF. Adanya keterkaitan antara konsep higienis dengan nutrisi
menjadi salah satu penyebab utama kejadian stunting. Keluarga yang tidak memiliki
fasilitas air bersih yang memadai cenderung memiliki risiko tinggi anak dengan
stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian penelitian Kismul et al. (2017) bahwa
adanya hubungan signifikan antara kejadian stunting dengan ketersediaan air bersih.
k. Suku Ibu
2.2.1 Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS bahwa jumlah penduduk Kabupaten
Lombok barat Tahun 2018 yaitu 685.161 Jiwa dengan kepadatan penduduk 650,1 jiwa per
Km2. Sedangkan untuk Tahun 2019 berdasarkan proyeksi yang sudah diterbitkan BPS juga
yaitu 694.985 jiwa, dengan kepadatan penduduk 659,4 jiwa per Km 2. Data ini dijadikan dasar
untuk perhitungan proyeksi sasaran program sehingga menentukan juga capaian setiap
program kesehatan.
Secara proyeksi, rasio penduduk laki dan perempuan di Lombok Barat adalah 95,8 %,
artinya dalam 100 penduduk perempuan terdapat 95 sampai 96 orang laki – laki. Jumlah
penduduk tertinggi di Kecamatan Gunungsari (97.106) dan terendah di Kecamatan Kuripan
(38.658). Jika dilihat dari segi kepadatan penduduk, wilayah terpadat di Kecamatan Kediri
yaitu 2701,6 per Km2, dan terrenggang Kecamatan Sekotong yaitu (140,5 per Km2).
Distribusi penduduk menurut usia, tertinggi pada usia 10 - 14 tahun dan paling rendah usia 75
tahun ke atas. Berikut gambaran rasio jenis kelamin tahun 2019 menurut data BPS.
2.2.2 Ekonomi
Melihat dari unsur IPM, untuk bidang ekonomi yaitu Paritas Daya Beli mencapai
Rp.10.588.000 pada tahun 2015 Pengeluaran per kapita Rp.11.0488.000 dan kondisi ini lebih
tinggi dari angka Provinsi NTB yaitu Rp. 9.877. Meski demikian angka kemiskinan di
Lombok Barat cukup banyak juga yaitu hampir 67 % dari jumlah penduduk, apalagi jika
sudah menyangkut pelayanan kesehatan. Ketika datang berobat di Puskesmas mungkin
masyarakat banyak yang mampu membayar, namun ketika sudah harus dilakukan rujukan,
banyak masyarakat yang kemudian mengajukan permohonan bantuan pelayanan Kesehatan
ke Pemerintah Daerah melalui kepesertaan BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI
APBD II).
Program pemerintah untuk mengatasi hal ini pun sudah banyak misalnya dengan
BPJS yang ditanggung daerah (PBI), Jampersal untuk kasus persalinan dan dari sector lain
misalnya PKH, dan masih banyak lagi program pengentasan kemiskinan lainnya. Program
dan kebijakan ini diharapkan dapat membantu masyarakat kurang mampu dalam
mendapatkan hak nya di bidang kesehatan.
2.2.3 Pendidikan
Menurut data BPS, angka melek huruf untuk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten
Lombok Barat tahun 2019 yaitu 84.04 % meningkat dari data sebelumnya pada SUSENAS
2017 yaitu 82,3 %. Sementara penduduk yang tidak tamat sekolah menurun dari tahun
sebelumnya dari 40,4%, menjadi 31,4 % di tahun 2019, Penduduk yang memiliki ijazah
paling tinggi di tingkat SMP 19,8 %. Sedangkan untuk yang tidak tamat SD 31,4 %.
Untuk lama sekolah di lombok barat yaitu 13.36, artinya sampai ke tingkat SD atau
tidak tamat SMP. Sementara data tahun 2018, menunjukkan ketersediaan sekolah di Lombok
Barat sampai Tahun 2018 yaitu 450 SD/MI, 178 SMP dan 137 SMA yang tersebar di seluruh
wilayah Lombok Barat.
Siswa yang mendapat pelayanan program kesehatan seperti penjaringan kesehatan,
merupakan siswa yang baru masuk misalnya kelas 1 SD/MI, kelas 7 SMP/MTs dan kelas 10
SMA/MA. Tahun 2019 program kesehatan yang bersentuhan langsung dengan siswa didik
bukan hanya penjaringan saja namun berkaitan dengan anemia, kesehatan reproduksi dan
narkoba, termasuk juga gerakan minum tablet tambah darah untuk mencegah anemia dan
stunting.
Kerja sama dengan pendidikan bukan hanya di tingkat PAUD atau SD saja, namun
sudah meningkat ke tingkat SMP dan SMA dan diharapkan masalah kesehatan yang
berhubungan dengan kesehatan reproduksi mendapat solusi, misalnya program pemberian
tablet tambah darah, untuk mengatasi masalah ibu KEK (Kurang Energi Kalori), dan
mempersiapkan kondisi tubuh remaja anemia.
2.2.4 Indeks Pembangunan Manusia
Berdasarkan sumber Website BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, tentang informasi
IPM Nusa Tenggara Barat Tahun 2019, IPM Lombok Barat naik 67,18 Tahun 2018 menjadi
68,03 Tahun 2019 (dengan menggunakan metode baru pada website BPS). Sedangkan untuk
Nusa Tenggara Barat sendiri juga mengalami peningkatan dari 67,30 Tahun 2018 menjadi
68,14 tahun 2019. IPM ini masih berada pada kategori capaian sedang.
Angka harapan lama sekolah 13,48, angka rata-rata lama sekolah 6,16. Hal ini yang
diartikan IPM Lombok Barat masih berada di peringkat rendah. Dengan rata –rata pendidikan
yang masih rendah ini, menjadi tantangan bagi kesehatan dalam memberikan pendidikan
kesehatan baik melalui kelas ibu balita, kelas gizi, dan penyuluhan media film. Karena itu,
penyuluhan tidak hanya dilakukan di posyandu saja tapi disekolah dan di kelas khusus.
Secara singkat dampak yang ditimbulkan dari stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang. Pada keadaan dampak jangka pendek didapatkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Peningkatan Kejadian kesakitan dan kematian
b. Gangguan perkembangan fungsi kognitif, motoric dan verbal pada anak tidak
maksimal
c. Peningkatan biaya kesehatan
Sementara untuk Dampak jangka panjang adalah sebagai berikut:
a. Postur badan yang tidak maksimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya atau seusia nya)
b. Meningkatnya resiko obesitas dan penyakit lain
c. Menurunnya kesehatan reproduksi
d. Kurang maksimalnya kapasitas belajar dan performa saat masa sekolah
e. Serta kapasitas kerja dan produktivitas yang kurang maksimal.
Pada penjelasannya sesuai laporan UNICEF tahun 2010, beberapa fakta terkait stunting dan
pengaruhnya adalah :
a. Anak yang mengalami kondisi stunting sebelum usia 6 bulan akan mengalami
stunting lebih berat saat menjelang usia 2 tahun. Keadaan stunting yang parah pada anak
maka akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga
tidak mampu untuk belajar maksimal disbanding dengan anak dengan tinggi badan normal.
Anak dengan keadaan stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering tidak
masuk (absen) dibanding dengan anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap kesuksesan anak dimasa yang akan datang. Penyebab dari stunting
adalah berat bayi lahir rendah (BBLR), ASI tidak memadai, makanan tambahan yang tidak
sesuai, diare yang berulang terjadi dan infeksi pada saluran pernapasan. Berdasarkan
penelitian sebagaian anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berbeda dibawah
ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak dan bertempat di wilayah
pinggiran kota dan komunitas pedesaan.
b. Pengaruh gizi pada usia dini yang mengalami stunting dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Keadaan stunting pada usia 5 tahun
cenderung menetap sepanjang hidup, untuk kegagalan pertumbuhan usia dini berlanjut pada
masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa dengan stunting pula dan
memengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas yang meningkatkan peluang
BBLR kembali.
c. Stunting paling utama berbahaya pada wanita karena berisiko lebih cenderung
menghambat proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan. Jika
kondisi terjadi pada masa golden period perkembangan anak (0-2 tahun) maka tidak dapat
berkembang dan bisa menjadi irreversible, hal ini disebabkan karena 80%-90% jumlah sel
otak terbentuk semenjak masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Jika gangguan tersebut
tetap berlangsung maka akan terjadi penurunan IQ sebesar 10-13 point. Penurunan
perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian dan menghambat prestasi belajar
serta produktifitas yang menurun sebesar 20%-30% sehingga berakibat terjadinya loss
generation artinya anak tersebut dapat hidup namun tidak dapat berbuat maksimal dalam hal
pendidikan, ekonomi dan lainnya. Generasi yang seperti ini dapat menjadi beban masyarakat
dan pemerintah karena terbukti harus mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi akibat
warganya mudah sakit.
Bersumber pada pola pikir UNICEF bahwa masalah stunting terutama disebabkan
karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan
dan ketahanan pangan, maka akan dibahas dari sisi pola asuh dan ketahanan pangan tingkat
keluarga. Pola asuh (caring) termasuk didalamnya adalah IMD, Menyusui eksklusif sampai
dengan 6 bulan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MPASI)
sampai 2 tahun.
Setelah bayi berusia 6 bulan walaupun ketentuannya masih harus menyusui sampai
usia 2 tahun, bayi perlu makanan pendamping agar pemenuhan gizi untuk tumbuh dapat
terpenuhi. WHO/UNICEF dalam ketentuannya dapat menerima minimal 4 atau lebih dari 7
jenis makanan (sereal/umbi-umbian, kacang-kacangan, produk olahan susu, telur, sumber
protein lainnya, sayur, buah kaya vitamin A)
Disamping itu, yang diperhatikan juga adalah untuk bayi harus memenuhi ketentuan
Minimal Meal Frequency (MMF) yaitu bayi 6-23 bulan yang diberi atau tidak diberi ASI dan
sudah mendapat MP-ASI (makanan lunak/makanan padat, termasuk pemberian susu yang
tidak mendapat ASI) harus diberikan dengan frekuensi sebagai berikut:
a. Untuk bayi yang diberi ASI:
• Umur 6-8 bulan: 2 x/hari atau lebih;
• Umur 9-23 bulan: 3 x/hari atau lebih.
b. Untuk bayi 6-23 bulan yang tidak diberi ASI: 4 x/hari atau lebih.
Lebih lanjut, ketentuan MP-ASI untuk bayi 6-23 bulan, harus memenuhi Minimum
Acceptable Diet (MAD), yaitu gabungan dari pemenuhan MMD dan MMF. Pada
kenyataannya kondisi ini tidak terpenuhi, pencapaian indikator pola pemberian makan bayi
adekuat berdasarkan standar makanan bayi dan anak (WHO/UNICEF) ternyata masih rendah,
hanya 36,6% anak 6-23 bulan yang asupannya mencapai pola konsumsi yang memenuhi diet
yang dapat diterima (minimal acceptable diet/MAD).
Ketahanan pangan (food security) tingkat rumah tangga adalah aspek penting dalam
pencegahan stanting. Isu ketahanan pangan termasuk ketersediaan pangan sampai level
rumah tangga, kualitas makanan yang dikonsumsi (intake), serta stabilitas dari ketersediaan
pangan itu sendiri yang terkait dengan akses penduduk untuk membeli. Masalah ketahanan
pangan tingkat rumah tangga masih tetap menjadi masalah global, dan juga di Indonesia, dan
ini sangat terkait dengan kejadian kurang gizi, dengan indikator prevalensi kurus pada semua
kelompok umur. Dalam jangka panjang masalah ini akan menjadi penyebab Cegah Stunting,
itu Penting. Meningkatnya prevalensi stunting, ada proses gagal tumbuh yang kejadiannya
diawali pada kehamilan, sebagai dampak kurangnya asupan gizi sebelum dan selama
kehamilan.
Media Audio dan Audio Visual : Audio visual menjadi sarana penyampaian
pesan yang efektif terutama untuk masyarakat yang belum bisa baca tulis.
Daftar Pustaka
Aguaayo, V. M., Nair, R., Badgaiyan, N., & Krishna, V. (2016). Determinants of stunting
and poor liner growth in children under 2 years of age in India: An in-depth analysis of
Maharashtra’s comprehensive nutrition survey. Maternal and Child Nutrition, 12, 121-
140. https://doi.org/10.1111/men.12259.
Alam, M. A., Mahfuz, M., Islma, M.M., Mondal, D., Ahmed, A. M. S., Haque, R., …
Hossain, M. I (2017). Contextual factors for stunting among children of age 6 to 24
month in an under-privileged community of Dhaka, Bangladesh. Indian Pediatrics,
54(5),373-376. https://doi.org/10.1007/s13312-017-1109-z
Albayani, M. I., Mardani, R. A. D., & Arifin, Z. (2020). Hubungan Berat Badan Lahir Bayi
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Gunungsari
Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Kesehatan Qamarul …, 8, 42–46.
http://jkqh.uniqhba.ac.id/index.php/kesehatan/article/view/193
Al-fariqi, M. Z., Yunika, R. P., Gizi, P. S., Kesehatan, F., & Mataram, U. B. (2021).
Pengaruh Budaya Dan Pengetahuan Ibu Terhadap Praktik Pemberian Makan Pada Bayi
Di Wilayah Kerja Puskesmas Narmada Lombok Barat. Nutriology Jurnal: Pangan, Gizi,
Kesehatan, 2(1), 77–81.
Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J, (2017). LICOS discussion Paper Series Culture and
Food Security. Genewa: LICOS.
Batiro, B., Demissie, T., Halla, Y., & Anjulo, A. A. (2017). Determinants of stunting among
children aged 6-59 month at Kindo Didaye woreda, Wolaita Zone, Southern Ethiopia:
Unmatched case control study. PLoS ONE.12(12), 1-15.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0189106
Berendsen, M.L.T., Smits, J., Netea, M.G., & van der Ven, A. (2016). Non-specific Effects of
Vaccines and Stunting: Timing May be Essential. EbiioMedicine, 8, 341-348.
https://doi.org/10.1016/j.ebiom.2016.05.010.
Briend, A., Khara, T., & Dolan, C. (2015). Wasting and stunting-similarities and differences:
Policy and programmatic implications. Food and Nutrition Bulletin, 36 (1), 217.
Casale, D., Desmond, C., & Richter, L. (2014). The association between stunting and
psychosocial development among preschool children: A studi using the south African
birth to twenty cohort data. Child: Care, Health and Development, 40(6), 900-910.
https://doi.org/10.1111/cch.12143
De Onis, M., & Branca, F. (2016). Childhood stunting: A global perspective. Maternal and
Child Nutrition, 12, 12-26. https://doi.org/10.1111/mcn.12231
Dorsey, J.L., Manohal, S., Neupane, S., Shrestha, B., Klemm, R. D. W., & West, K. P.
(2017). Individual household, and Community level risk factors of stunting in children
younger than 5 years: Findings from a national surveillance system in Nepal. Maternal
& Child Nutrition, 14(1), e12434. https://doi.org/10.1111/men.12434
Efevbera, Y., Bhabha, J., Farmer, P.E., & Fink, G. (2017). Girl Child marriage as a risk
faktor for early childhood development and stunting. Social Science & Medicine, 185,
91-101. https://doi.org/10/1016/j.socscimed.2017.05.027
Fenske, N., Burns, J., Hothorn, T., & Rehfuess, E. A. (2013). Understanding child stunting in
India: A comprehensive analysis of socio-economic, Nureirional and environmental
determinants using additive quuantile regression. PLoS INE, 8(11).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0078692.
Haryati, E. (2015). Pengalaman melakukan pantang makan pada ibu menyusui paska bedah
sesar. Jurnal Keperawatan dan Kesehatan medisina Akper YPIB Majalengka, 1(2).
Hagos, S., Hailemariam, D., WoldeHanna, T., & Lindtjorn, V. (2017). Spatial hererogeneity
and risk factors for stunting among children under age five in Ethiopia: A Bayesian geo-
statistical model. PLoS ONE, 12(2), 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0170785
Hatton, T. J., Sparrow, R., Suryadarma, D., & van der Eng,P. (2018). Fertility and the health
of children in indonesia. Economics and Human Biology, 28, 67-78.
https://doi.org/10.1016/j.ehb.2017.12.002.
Keino, Susan, Guy Plasqui, Grace Ettyang, Bart van den Borne. (2014). Determinants of
stunting and overweight among young children and adolescents in sub-Saharan Africa.
Food and Nutrition Bulletin, vol. 35 no. 2
Kemenkes RI.2018. Buletin Jendela data dan informasi Kesehatan, Situasi Balita Pendek
(stunting) di Indonesia.https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/
pusdatin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf, diakses 24-11-2021
Kismul, H., Acharya, P., Mapatano, M. A., & Harloy, A. (2017). Determinants of childhood
stunting in the Democratic Republic of Congo: Further analysis of demographic and
health survey 2013-14. BMC Public Health, 18(1), 1-15. https://doi.org/10.1186/s12889-
017-4621-0.
Koritsas, S., & Iacono, T. (2016). Weight, nutrition, food choice, and physical activity in
adults with intellectual disability. Journal of intellectual Disability Research, 60(4), 355-
364. https://doi.org/10.1111/jir.12254
Mbwana, H. A., Kinabo, J., Lambert, C., & Biesalski, H.K. (2017). Faktors influencing
stunting among children in rural Tanzania: An agro-climatic zone perspective. Food
Security, 1-15. https://doi.org/10/1007/s12571-017-0672-4.
Millward, D.J. (2017). Nutrition, infection and stunting: The roles of deficiencies of
individual nutrients and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear
growth of children. Nutrition Research Reviews, 30(1), 50-72.
https://doi.org/10.10.17/S0954422416000238
Mgongo, M., Chotta, N. A. S., Hashim, T. H., Uriyo, J.G., Damian, D.J., Stray-Pedersen, B.,
…Vangen, S. (2017). Underweight, stunting and wasting among children in kilimanjaro
region, Tanzania: A population-based cross- sectional study. International journal of
environmental research and public health, 14(5), 1-12.
https://doi.org/10.3390/ijerh14050509
Muliani, S., Supiana, N., & Hidayati, N. (2020). Kejadian dan Penyebab Stunting di Desa
Mambalan kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat Tahun 2020. Jurnal Ilmu
Kesehatan dan Farmasi, 8(2),
49-55.http://ejournal.unwmataram.ac.id/jikf/article/view/536
Nkurunziza, S., Meessen, B., Van geertruyden, J. P., & Korachais, C. (2017). Determinants
of stunting and severe stunting among Burundian children aged 6-23 months: Evidence
from a national cross-sectional household survey, 2014. BMC pediatrics, 17(1), 1-15.
https://doi.org/10.1186/s12887-017-0929-2.
Nurbaiti, L., Adi, A. C., Devi, S. R., & Harthana, T. (2014). Kebiasaan makan balita stunting
pada masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 27(2), 104.
https://doi.org/10.20473/mkp.v27i22014.104-112
Permadi, M. R., Hanim, D., Kusnandar, K. & Indarto, D. (2016). Risiko inisiasi menyusu dini
dan praktik ASI Ekslusif terhadap kejadian stunting pada anak 6-24 bulan (early
breastfeeding initiation and exclusive breastfeeding as risk factors of stunting children 6-
24month-old). Penelitian Gizi dan makanan, 39(1), (-14,
gttps://doi.org/10.22435/pgm.v39iL.5965.9-14.
Dinas Kesehatan Lombok Barat. 2020. Profil Kesehatan tahun 2019
Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing
countries. Paediatrics and international child Health, 34(4), 250-256.
https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158
Rakotomanana, H., Gates, G. E., Hildebrand, D., & Stoecker, B. J. (2017). Determinants of
stunting in children under 5 years in madagascar. Maternal and Child Nurtrition, 13(4).
https://doi.org/10.1111/men.12409
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2017). 100 kabupaten/kota prioritas
untuk intervensi anak kerdil (Stunting). Jakarta Pusat:Tim Nasional Percepatan
penanggulangan kemiskinan.
Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016).
Determinants of stunting in Indonesian children: Evidence from a cross-sectional survey
indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting
reduction. BMC Public Health, 16(1), 1-12.https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8.
United Nation Children’s Fund. (2015). Stop Stunting. Pakistan: United Nation Children’s
Fund\
United Nation Children’s Fund. (2017). First 1000 days: The critical windows to ensure that
children survive and thrive. South Africa: United Nation Children’s Fund
Vieni, G., Faraci, S., Collura, M., Lombardo, M., Traverso, G., Cristadoro, S., … Magazzu,
G. (2013). Stunting is Independent predictor of mortality in patients with cystic fibrosis.
Clinical Nutrition, 32(3), 382-385. http://doi.org/10.1016/j.clnu.2012.08.017
Woodruff, B.A., Wirth, J. P., Bailes, A., Matji, J., Timmer, A., & Rohner, F. (2017).
Determinants of stunting reduction in ethiopia 2000-2011. Maternal and Child Nutrition,
13 (2), 1-17. https://doi.org/10.1111/men.12307.
World health organization, United nation Children’s Fund, United states agency for
international development (2015). Improving Nutrition Outcomes with better water,
sanitation and hygiene. Washington DC: World Health Organization, United Nation
Children’s Fund, United States Agency for international development
Zanello, G., Srinivasan, C. S., & Shankar, B. (2006). What explains Cambodia,s success in
reducing child stunting-2000-2014? PLos ONE, 11(9), 1-22.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162668.