Anda di halaman 1dari 15

1

REFERAT

STUNTING

Disusun Oleh:

Bestari Pangestuti

21102211127

Ditunjukan Kepada:

Pembimbing:

dr. Tundjungsari Ratna Utami, M. Sc, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

VETERAN JAKARTA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

dr. GUNAWAN MANGUNKUSUMO AMBARAWA


2

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
penyertaan Nya, sehingga referat yang berjudul ini telah berhasil diselesaikan. Referat
adalah salah satu bagian dari syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
pendidikan Profesi Dokter di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Gunawan
Mangunkusumo Ambarawa.

Banyak terima kasih penulis ucapkan kepada yang terhormat dr. Tundjungsari
Ratna Utami, Sp. A., M. Sc. selaku pembimbing yang telah sabar membimbing dan
mengarahkan. Tidak ada hasil yang baik tanpa dukungan dari pihak-pihak yang
memberi pertolongan dan bimbingan sehingga tersusunlah dan terselesaikannya referat
ini.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
memohon maaf bila didapati kekurangan dan segala kritik dan saran sangat penulis
terima dengan terbuka. Penulis berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua pihak yang membutuhkan.

Ambarawa, Desember 2022

Penulis
3

BAB I

PENDAHULUAN

Status kesehatan anak merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat


utama disuatu Negara (Elisanti, 2017), dimana salah satu masalah
kesehatan anak yang fenomenal adalah stunting yakni penilaian status gizi
berdasarkan indikator panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan
menurut umur (TB/U). Stunting utamanya disebabkan oleh defisiensi gizi kronis
teristimewa pada 1000 hari pertama kehidupan (Kemenkes RI, 2018).

Stunting dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi seperti pneumonia,


diare dan malaria (Vonaesch dkk., 2017). Infeksi dapat meningkatan laju metabolik.
Di sisi lain anak yang mengalami kesakitan cenderung kehilangan nafsu makan dan
kehilangan nutrisi karena muntah atau diare sehingga kebutuhan nutrisi semakin
meningkat (Dewey dan Mayers, 2011). Komplikasi penyakit akibat malnutrisi dapat
memperpanjang perawatan di rumah sakit sehingga meningkatkan kebutuhan biaya
kesehatan keluarga (Curtis dkk., 2017). Selain itu, anak yang mengalami stunting
cenderung mengalami penurunan kemampuan motorik, kognitif, dan kemampuan
bahasa akibat penurunan pertumbuhan neural dan massa otot pada anak defisiensi
malnutrisi. Hal ini sulit diperbaiki, bahkan dengan intervensi nutrisi lebih dari 6
bulan (Nahar dkk., 2019; Perkins dkk., 2017; Sokolovic dkk., 2014).

Prevalensi stunting pada balita di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2018


adalah 30,8 %. Menurut WHO th 3 2018 prevalensi stunting pada balita di dunia
sebesar 22%. Dengan demikian dapat dikatakan prevalensi stunting di Indonesia
lebih tinggi dibanding prevalensi stunting di dunia. Berikut ini adalah data prevalensi
stunting di dunia. Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi
tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata
prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Stunting

II.1.1 Definisi

Stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami seorang


anak karena akumulasi dampak defisiensi nutrisi, infeksi rekuren serta
stimulasi psikososial yang tidak cukup (WHO, 2014). Menurut
Kemenkes RI, stunting diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis
teritimewa pada 1000 hari pertama kehidupan. Padahal ini merupakan
periode kritis tumbuh dan kembang janin dan anak (Kemenkes RI,
2018a; WHO, 2012).
Seorang anak didefinisikan stunting apabila perbandingan tinggi
badan dan umur (TB/U) anak di bawah -2 standar deviasi (SD) dari
Standar Median Pertumbuhan Anak menurut WHO untuk anak di bawah
5 tahun. (WHO,2012). Stunting dikategorikan menjadi pendek dan
sangat pendek. Kategori pendek apabila Z-score tinggi badan dengan
usia (TB/U) kurang dari -2 SD, sementara, seorang anak didefinisikan
sangat pendek apabila Z-score TB/U berada di bawah -3 SD.

II.1.2 Faktor Risiko

Faktor risiko stunting menurut Conceptual Framework of Childhood


Stunting WHO tahun 2014 terbagi atas penyebab dasar dan penyebab
utama.Penyebab dasar dari stunting antara lain:

(1) Edukasi
Akses edukasi yang rendah serta kualitas tenaga pendidik,
pendidik kesehatan, dan infrastruktur yang tidak mendukung
dapat menyebabkan pengetahuan orang tua dalam mengasuh anak
menjadi kurang sehingga meningkatkan angka kejadian stunting.
(Danaei dkk., 2016; Wicaksono dan Harsanti, 2020)
5

(2) Kesehatan dan pelayanan kesehatan


Akses kesehatan, kualitas tenaga medis, ketersediaan obat
dan infrastruktur akan berpengaruh kepada angka kesakitan ibu
dan anak sehingga dapat berpengaruh terhadap kejadian stunting
(Beal dkk., 2018a).
(3) Sosial budaya
Kepercayaan dan norma masyarakat, dukungan sosial, serta
pengasuh anak baik orang tua maupun wali berkaitan dengan
praktik pangan ibu pada saat hamil maupun menyusui, pangan
anak terutama dalam pemberian kolostrum dan ASI. Terdapat
hubungan antara dukungan keluarga maupun lingkungan sosial
terkait pemberian ASI eksklusif (Suhardin dkk., 2020)
(4) Air, sanitasi dan lingkungan
Permasalahan infrastruktur pelayanan air bersih, sanitasi,
perubahan iklim, urbanisasi, pemukiman padat penduduk, dan
bencana alam secara tidak langsung berpengaruh kepada angka
kejadian infeksi dan stunting (Beal dkk., 2018b; Kwami dkk.,
2019)
(5) Politik ekonomi
Politik dan ekonomi berpengaruh kepada kejadian stunting
melalui harga pangan, kebijakan perdagangan, regulasi
pemasaran, kemiskinan dan pekerjaan. Stunting relatif lebih tinggi
pada ekonomi rendah. (Mediani, 2020; Soekatri dkk., 2020;
Wicaksono dan Harsanti, 2020)

Penyebab utama stunting terbagi atas faktor penyebab yang


bersifat langsung dan tidak langsung. Penyebab tidak langsung stunting
meliputi :

(1) Pola Asuh


Bentuk keluarga mempengaruhi pola pengasuhan anak.
Keluarga dengan banyak anak cenderung mengalami kesulitan
alokasi makanan dan sumber daya lain secara tepat. Hal ini
akan bermuara kepada nutrisi anak yang suboptimal dan
kesehatan yang kurang. Selain alokasi yang kurang tepat,
6

keluarga dengan jumlah anak lebih besar cenderung mengalami


kesulitan sumber daya.
Dengan latar belakang perekonomian yang sama, pada
anak tanpa stunting, pola asuh meliputi praktik pemberian
makan, mendapatkan pelayanan kesehatan, dan pengasuhan
kebersihan, lebih baik dibandingkan pola asuh anak dengan
stunting. (Bella dkk.,2020)
(2) Ketahanan dan keamanan pangan
Keluarga dengan perekonomian lebih baik mendapat akses
terhadap makanan berkualitas, air minum yang aman serta
fasilitas sanitasi yang lebih baik sehingga dapat mencegah
berbagaimorbiditas pada anak. Rumah tangga dengan pendapatan
lebih baikmemiliki ketahanan pangan yang memungkinkan untuk
kecukupan keberagaman pangan minimal untuk tumbuh kembang
anak (Titaleydkk., 2019).

Sementara itu, penyebab langsung dari stunting antara lain :


(1) Faktor bayi
Preterm dan pertumbuhan janin terhambat adalah faktor
yang memiliki peran penting terhadap stunting (Beal dkk., 2018).
Selain itu, Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
menunjukkan kejadian stunting yang lebih sering (Kirk dkk.,
2017; Manggala dkk.,2018; Mediani, 2020)
(2) Faktor Rumah tangga dan Keluarga
(i) Maternal
Faktor yang berhubungan erat dengan stunting yaitu
nutrisi buruk saat prakonsepsi, kehamilan dan fase laktasi,
berperawakan pendek, riwayat infeksi, kehamilan masa
remaja, masalah kesehatan mental, dan jarak kelahiran
yang sempit (Fantay Gebru dkk., 2019; Li dkk., 2020;
Wemakor dan Iddrisu, 2018).
7

(3) ASI
Faktor risiko ini dijabarkan menjadi Inisiasi Menyusui Dini
(IMD) tehambat, ASI tidak eksklusif dan penghentian dini
pemberian ASI. Studi oleh Rachmi dkk (2016b) menunjukkan
anak- anak yang diberikan ASI tidak eksklusif sebelum 6 bulan
berisiko lebih tinggi terhadap stunting.
(4) Makanan

Pada usia 6 bulan sampai 23 bulan, anak mengalami


peningkatan risiko gangguan pertumbuhan. Hal ini disebabkan
oleh kebutuhan nutrisi yang tidak lagi dapat terpenuhi ASI secara
independen, namun anak belum dapat mengonsumsi makanan
keluarga secara utuh. Konsumsi makanan pendamping ASI
secara tepat waktu, cukup dan kaya nutrisi diperlukan untuk
mencegah gangguan pertumbuhan. (Panjwani dan Heidkamp,
2017)
Kecukupan konsumsi makanan pendamping ASI yang
cukup dapat diukur melalui frekuensi pemberian makanan,
pemberian makanan saat dan setelah kesakitan, konsistensi,
kuantitas, dan alokasi jenis makanan. Selain itu kualitas makanan
yang diukur adalah kualitas mikronutrien, bahan pangan hewani,
pangan antinutrien, jumlah energi dan fortifikasi serta
suplementasi.(Neufeld dkk., 2020)
(1) Infeksi
Infeksi pencernaan, saluran respirasi, malaria termasuk
berkurangnya nafsu makan karena infeksi dan inflamasi menjadi
faktor yang terkait dengan stunting. (Beal dkk., 2018; Manggala
dkk., 2018). Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi yang
mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya
tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi
semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk
melawan penyakit dan sebagainya. Ini disebut juga
infectionmalnutrition
8

Faktor risiko stunting pada negara berkembang mencakup


nutrisi maternal dan infeksi, kehamilan remaja, jarak kehamilan
yang sempit,nutrisi anak, dan infeksi. Faktor risiko yang
utama adalah pertumbuhan janin terhambat, sanitasi buruk, dan
diare. (Danaei dkk., 2016)

II.1.3 Diagnosis

Penegakkan Diagnosis

Stunting berbeda dengan perawakan pendek. Etiologi perawakan


pendek meliputi variasi normal dan keadaan patologis. Perawakan
Pendek variasi normal tidak memerlukan terapi. Oleh karena itu
penting untuk mengidentifikasi etiologi dari perawakan pendek agar
langkah lanjutandapat dilaksanakan(Batubara dkk., 2010).

Perawakan pendek yang paling banyak terjadi adalah perawakan


pendek diakibatkan oleh malnutrisi dan infeksi kronis (nonendokrin)
atau yang disebut dengan stunting. Tidak semua anak pendek adalah
stunting namun semua anak stunting pasti berperawakan pendek
(IkatanDokter Anak Indonesia, 2017).

Diagnosis perawakan pendek ditegakkan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan penunjang. Secara klinis, diagnosa anak
dengan perawakan pendek harus memenuhi kriteria awal yaitu:

1. Tinggi badan kurang dari persentil 3 (<P3)


Pemantauan tinggi badan berkala dan terus menerus
direkomendasikan sesuai jadwal Ikatan Dokter Anak
Indonesia yang tertera pada tabel:
9

Tabel Jadwal Pemantauan Tinggi Badan Anak


Sumber : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017
Usia Pemantauan Tinggi Badan

0-12 bulan Setiap 1 bulan

1-3 tahun Setiap 3 bulan

3-6 tahun Setiap 6 bulan

6-18 tahun Setiap 1 tahun

2. Kecepatan tumbuh kurang dari persentil 25 (<P25)


Kecepatan pertumbuhan anak terbagi atas fase
intrauterin, fase bayi, anak, pubertas. Kecepatan pertumbuhan
rata-rata pertumbuhan anak sesuai usia tercantum pada Tabel
2.2. Pola pertumbuhan spesifik dapat terlihat dari kecepatan
tinggi dan fase pertumbuhan. Hal ini berguna dalam
menentukan ada tidaknya gangguan pertumbuhan pada anak.

Tabel Kecepatan pertumbuhan anak menurut usia


Sumber : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017
Usia Kecepatan pertumbuhan per tahun
0 - 12 bulan 23-27 cm
12 bulan - 1 tahun 10-14 cm
2 - 3 tahun 8 cm
3 - 5 tahun 7 cm
5 tahun - pubertas 5-6 cm

Pubertas Perempuan :8-12 cm


Laki-laki : 10-14 cm

3 Perkiraan tinggi akhir di bawah tinggi potensi genetik


Perkiraan tinggi akhir dapat dihitung dari potensi
tinggi genetik. Potensi tinggi genetik dikalkulasikan
berdasarkan midparental height. Hal ini penting untuk melihat
perkiraan tinggi badan anak dari riwayat tinggi badan orang
tuanya. Biasanya anak akan memiliki perkiraan tinggi akhir
10

tidak jauh 10 cm dari tinggi midparental heightnya. Apabila


lebih dari 10 cm maka hal ini merupakan tanda-tanda
patologis (Batubara dkk., 2010; Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2017).

II.5. Dampak jangka pendek stunting


Dampak jangka pendek stunting antara lain :

(1) Peningkatan mortalitas dan morbiditas


Anak dengan stunting memiliki kerentanan terhadap
infeksi terutama pneumonia dan diare, dan juga malaria.
(Vonaesch dkk., 2017). Hal ini disebabkan oleh adanya
interaksi sebuah siklus yang merugikan karena infeksi
dapat menyebabkan inflamasi dan perubahan microbiota
yang dapat mempengaruhi imunitas sehingga terjadi
peningkatan frekuensi kejadian infeksi. Inflamasi akan
menyebabkan adanya malabsorpsi yang dapat
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrisi (Onis dan
Branca, 2016; Prendergast dan Humphrey, 2014). Selain itu
inflamasi dapat menekan produksi IGF-1 yang telah
diketahui meregulasi pertumbuhan tulang (Syed dkk.,
2018).
(2) Penurunan kemampuan kognitif, motorik, dan
perkembanganbahasa.
Pada anak yang mengalami stunting terdapat massa
otot yang sedikit lebih rendah sehingga hal ini menurunkan
kemampuan motorik anak tersebut. Stunting juga
menurunkan kemampuan komunikasi anak. Apabila hal ini
berlanjut maka dapat terjadi masalah dalam performa
11

belajar, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya


permasalahan psikosoial serta kerentanan terhadap
gangguan mental (Nahardkk., 2019).
Kemampuan kognitif, memori jangka pendek, dan
kemampuan mengingat kembali pada anak stunting lebih
rendah karena pada anak dengan defisiensi nutrisi terdapat
penurunan pertumbuhan neural dan jumlah protein pada
tubuh. Sayangnya hal ini sulit diperbaiki bahkan dengan
intervensi nutrisi lebih dari 6 bulan. (Sokolovic dkk., 2014)
(3) Peningkatan pengeluaran biaya kesehatan
Peningkatan biaya kesehatan pada anak stunting dan
kurus cenderung lebih tinggi daripada anak malnutrisi
karena kejadian infeksi maupun kerentanan anak dengan
stunting terhadap penyakit serius serta durasi rawat inap
yang lebih panjang (Aryastami, 2017; Kittisakmontri dan
Sukhosa, 2016)
III.5. Dampak jangka panjang stunting
Dampak jangka panjang stunting antara lain :

(1) Tinggi badan masa dewasa pendek


Pertumbuhan masa kanak-kanak bersifat sangat
prediktif terhadap tinggi masa dewasa. Gangguan
pertumbuhan di 2 tahun awal kehidupan memiliki
hubungan terhadap pengurangan tinggi masa dewasa (Onis
dan Branca, 2016). Dari studi oleh Karra dan Fink (2019)
pada negara berpendapatan menengah dan rendah, jika
tingkat malnutrisi sebuah negara menjadi 0%, maka akan
terdapat pertambahan tinggi populasi laki-laki dewasa
sebesar 8,8 cm dan 5,6 cm pada perempuan. Pada studi dari
Prendegrast menyatakan anak yang mengalami penurunan Z
score TB/U pada usia 2 tahun memilki risiko kehilangan
tinggi dewasa sekitar 3.2 cm
12

(2) Peningkatan risiko obesitas dan komorbid lainnya


Gangguan nutrisi masa bayi dan anak-anak dapat
mencetuskan perubahan epigenetik pada metabolism
seperti metabolisme lipid dan glukosa serta perubahan
anatomi dan fungsi organ. Hal ini dapat menyebabkan anak
yang mengalami stunting memiliki peningkatan risiko
untuk mengalami hipertensi, penyakit kardiovaskular dan
diabetes tipe 2 setelah berusia 2 tahun (Prendergast dan
Humphrey, 2014).
(3) Peluang ekonomi menurun
Tinggi badan masa dewasa pendek memiliki
hubungan Hal ini berkaitan dengan peningkatan morbiditas
morbiditas, penurunan produktivitas karena sakit,
peningkatan pengeluaran terkait kesehatan, penurunan
investasi modal manusia seperti pendidikan, progresivitas
teknologi yang lambat karena tingkat edukasi dan
infrastruktur yang rendah (McGovern dkk., 2017).
Dalam dunia pendidikan, anak yang stunting
memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk tidak mendaftar
ke sekolah atau terlambat mendaftar ke sekolah, mendapat
nilai lebih rendah karena kemampuan kognitif yang lebih
rendah daripada anak tanpa stunting (Onis dan Branca,
2016).
(4) Peningkatan mortalitas dan morbiditas generasi selanjutnya
Stunting maternal atau stunting pada ibu dapat
membatasi aliran darah uterus dan perkembangan uterus,
plasenta dan janin. Wanita pendek memiliki pinggang yang
lebih sempit sehingga dapat meningkatkan kejadian
asfiksia saat lahir sehingga tingkat mortalitas dan
morbiditas seperti gangguan sistem saraf seperti serebral
palsi, gangguan mental dan kesulitan belajar meningkat.
(Dewey dan Begum, 2011)
13

(5) Generasi stunting di kemudian hari


Stunting lebih sering terjadi pada anak dengan ibu
atau nenek yang mengalami stunting pada masa mudanya.
(Dewey dan Begum, 2011). Stunting intergenerasi ini
kemungkinan terjadi akibat adanya persamaan karakter
genetik, efekepigenetik, perubahan metabolik dan mekanik.
Selain itu faktor sosial budaya antar generasi seperti
kemiskinan. (Onis dan Branca, 2016)

II.6. Pencegahan

Terdapat hubungan antara tinggi badan maternal dengan kejadian


stunting anak. Ibu pendek atau dengan tinggi kurang dari 150.1 cm
memiliki probabilitas 3.2 kali untuk terjadinya kondisi stunting pada
anak pada usia 2 tahun daripada ibu tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan
pencegahan agar siklus ini tidak berulang terus menerus (Addo dkk.,
2013).

Anjuran WHO mengenai pencegahan stunting


berupa :

(1) Peningkatan pelacakan, pengukuran dan pemahaman terkait stunting


sertacakupan pencegahan stunting
(2) Peningkatan gizi ibu dengan pengesahan kebijakan dan optimalisasi
tata laksana gizi dan kesehatan ibu, dan juga remaja perempuan.
(3) Optimalisasi dan peningkatan pemberian ASI eksklusif dan praktik
pemberian makanan pendamping ASI.
(4) Optimalisasi program berbasis masyarakat, termasuk peningkatan air,
fasilitas sanitasi dan kebersihan . Hal ini berguna untuk mencegah anak
terjangkit penyakit diare dan malaria, cacing usus dan penyebab infeksi
subklinis (WHO, 2014).
14

II.7. Penanganan Stunting di Indonesia

Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting oleh Tim Nasional


Percepatan Penanggulangan Kemiskinan mencantumkan Kerangka
Kebijakan Stunting (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, 2017) Kerangka kebijakan penanganan stunting terdapdat
pada UU no.36 tahun 2006 dan UU no. 18 tahun 2012 mengenai pangan.
Indonesia turut berpartisipasi pada Gerakan Global Scaling Up Nutrition
(SUN) pada tahun 2011. Implementasinya berupa peraturan presiden no.
42/ 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas
PPG) serta fokus pencegahan stunting yang tercantum pada RPJMN
2015-2019 (Satriawan, 2018).
Strategi penanganan stunting terbagi atas intervensi gizi spesifik
yaitu intervensi terhadap sasaran prioritas (ibu hamil dan ibu menyusui
dan anak 0-23 bulan) dan sasaran spesifik (remaja wanita usia subur dan
anak 24-59 bulan) serta intervensi gizi sensitif yaitu intervensi terhadap
faktor air minum dan sanitasi, kualitas pelayanan gizi dan kesehatan,
peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan dan gizi ibu
dan akan serta peningkatan akses pangan bergizi (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).
Pada Gambar dibawah, dijabarkan intervensi gizi spesifik. Salah satu
intervensi gizi spesifik berupa intervensi pada ibu menyusui seperti
promosi dan konseling menyusui, promosi dan konseling pemberian
makan bayi dan anak (Satriawan, 2018).
15

Gambar Intervensi Gizi Spesifik


Sumber : (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017)

Gambar 2. 6 Intervensi Gizi Sensitif


Sumber : (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017)

Anda mungkin juga menyukai