Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STUNTING
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan,
sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi
kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama. Berdasarkan peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 tentang standar antropometri penilaian
status gizi anak, stunting atau pendek merupakan status gizi yang didasarkan pada indek
tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan Z Score kurang dari -2 SD (standar deviasi).
Stunting bukan hanya masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan
anak menjadi mudah sakit, selain itu juga terjadi gangguan perkembangan otak dan
kecerdasan sehingga stunting merupakan ancaman besar terhadap kualitas sumber daya
manusia di Indonesia.

2.1.2 Penyebab Stunting


Kondisi stunting terjadi karena berbagai hal yang berhubungan langsung atau tidak
langsung dengan anak. Kondisi ini juga terjadi dalam jangka waktu yang lama yang perlahan
mengakibatkan gangguan pada proses tumbuh kembang anak. Tim Nasional percepatan
penanggulangan kemiskinan TNP2K (2017) menyebutkan bahwa penyebab stunting adalah
praktek pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya pelayanan ANC dan PNC, kurangnya
akses makan bergizi dan kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
UNICEF (2017) juga menyebutkan bahwa permasalahan kekurangan gizi disebabkan
oleh tiga faktor utama yaitu konteks politik, konteks ekonomi, dan sosiokultural. Kondisi
politik ditunjukan dengan langkah kebijakan pemerintah dalam mengatasi stunting,
sedangkan faktor ekonomi mengandung unsur sebab akibat terkait kemampuan negara dalam
mengentaskan kemiskinan sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung kebersihan
dan pemenuhan gizi. Ketiga faktor ini akan berpengaruh kepada kondisi perekonomian,
kualitas sumber daya manusia, kesehatan fisik, serta sosial dan lingkungan. Adanya hambatan
atau ketidakefektifan dari hal tersebut akan menggiring akar permasalahan pada
ketidakamanan makanan pangan, perawatan anak yang tidak sesuai, pemberian makanan
yang tidak bergizi dan berimbang, lingkungan yang tidak sehat serta layanan kesehatan yang
tidak memadai.
Sementara WHO (2015) mengatakan bahwa stunting disebabkan oleh beberapa hal antara
lain
a. Kurangnya kemampuan dan pemahaman dalam merawat anak dan pemberian makan
anak
Hal ini ditekankan pada pemberian ASI ekslusif serta pemberian makanan tambahan
yang tidak terlaksana dengan baik.
b. Infeksi penyakit.
Semakin parah tingkat infeksi akan membawa dampak yang lebih besar pada
pertumbuhan linier anak.
c. Lingkungan infeksius
Lingkungan infeksius yaitu berupa sanitasi dan ketersediaan air bersih yang tidak
memadai akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi
d. Kemiskinan
Faktor Kemiskinan akan berpengaruh pada penelantaran pengasuhan anak karena
ketidakmampuan keluarga
2.1.3 Dampak Stunting
Dampak yang dirasakan akibat stunting antara lain meningkatnya angka gangguan
kesehatan, kematian serta disabilitas (UNICEF, 2017). Sejalan dengan itu, Hatton, dkk (2018)
menyebutkan bahwa anak yang lebih tinggi cenderung untuk memiliki kondisi kesehatan
yang lebih baik serta kesejahteraan hidup yang lebih baik. Dan dalam jangka panjang
stunting dapat berpengaruh kepada sumber daya manusia yang menunjang pertumbuhan
perekonomian negara (Hanandita & Tampubolon, 2015).
Dampak jangka Panjang stunting juga menurut UNICEF (2013) antara lain yaitu pada
produktivitas ekonomi, penampilan reproduktif, gangguan kognitif serta penyakit metabolic
dan kardiovaskuler. Pemberantasan stunting secara tidak langsung akan mempengaruhi
anggaran serta pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang.
Dampak stunting secara berkelanjutan menurut Millward (2017) pada gambar 2.1
bahwa stunting yang tidak dapat diatasi menyebabkan sebuah kejadian yang dinamakan
sindrom stunting yang dimulai dari kurangnya asupan nutrisi dari awal tumbuhnya janin di
rahim ibu, adanya kekurangan gizi dalam waktu lama akan menyebabkan stunting di masa
kanak kanak. Apabila hal ini tidak diatasi akan menyebabkan stunting pada masa remaja. Hal
ini akan berdampak pada masa dewasa dan ketika perempuan tersebut akan memiliki anak.
Pada anak dengan kekurangan gizi seperti stunting, akan terjadi penipisan lemak
bawah kulit (Vieni et al., 2013). Rendahnya zat besi, asam amino, Zink dan tidak cukupnya
kebutuhan energi pada anak dengan stunting akan mempengaruhi sistem imun tubuh
(Millward, 2017). Gangguan pada imunitas tubuh ini akan menyebabkan mudahnya infeksi
kuman terhadap tubuh dan rendahnya perlawanan tubuh terhadap sel penyakit sehingga dapat
menyebabkan kematian (de Onis & Branca, 2016). Kejadian ini akan bertambah parah pada
stunting berat yang akan berujung pada kematian (Briend, Khara, & Dolan, 2015). Adapun
infeksi penyakit yang menjadi penyebab tersering kematian pada anak dengan stunting adalah
pneumonia dan diare (Prendergast & Humphrey, 2014).
Kekurangan nutrisi pada stunting dapat menyebabkan gangguan dalam perkembangan
sel otak. Hal ini ditunjukan oleh casale. et al (2014) bahwa stunting erat kaitannya dengan
gangguan fungsi kognitif anak pada masa pra sekolah. Prendergast dan Humphrey (2014)
menyebutkan bahwa anak dengan stunting cenderung memiliki gangguan fungsi kognitif
serta kemampuan di sekolah. Mereka juga menjelaskan bahwa anak dengan stunting
cenderung malas, sering terlambat dan mendapat nilai yang rendah di sekolah. Disisi lain,
Koritsas dan Iacono (2016) juga menyebutkan bahwa kurangnya nutrisi menjadi salah faktor
determinan adanya disabilitas intelektual.
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi kejadian Stunting
Kejadian stunting tidak hanya berhubungan erat dengan pemenuhan gizi, namun
melibatkan beberapa komponen yang berada disekitar kehidupan anak Fenske et al (2013).
Menurut Keino et al, (2014) faktor tidak langsung yang berpengaruh terhadap kejadian
stunting yaitu sosial ekonomi, demografi dan lingkungan. Berikut ini adalah faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian stunting:
a. Jenis Kelamin
Berbagai penelitian menunjukan adanya perbedaan signifikan antar anak perempuan
dan laki-laki yang menderita stunting. Torlesse et al (2016) menyebutkan bahwa anak
laki - laki lebih beresiko terkena stunting dan stunting berat. Kismul et al (2017)
menjelaskan juga bahwa prevalensi anak laki-laki yang menderita stunting lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Rakotomanana et al (2017) juga menyebutkan bahwa
pada usia yang lebih muda sekitar dua tahun ke bawah, risiko stunting lebih tinggi
terjadi pada anak laki-laki dibanding perempuan.
b. Usia Anak
Beberapa peneliti mengelompokkan dengan berbagai cara yang berbeda dalam
konteks usia balita. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan perbedaan hasil,
yakni ada yang mendapatkan bahwa anak pada usia yang lebih muda cenderung
berisiko mengalami stunting dan ada pula yang mengatakan pada usia yang lebih tua.
Torlesse et al. (2016) mendapatkan bahwa prevalensi anak stunting lebih banyak pada
usia yang lebih tua. Nkurunziza et al (2017) menyebutkan bahwa anak yang berusia
12-17 bulan serta 18-23 bulan cenderung menderita mengalami stunting dibanding
anak yang berusia 6-11 bulan. Sejalan dengan hal itu, Woodruff et al (2017)
menjelaskan bahwa anak usia dibawah dua tahun lebih beresiko mengalami stunting
dibanding usia diatasnya. Begitu pula dalam Aguayo et al (2016), didapatkan bahwa
anak usia dibawah dua tahun juga cenderung mengalami stunting.
c. Riwayat ASI Eksklusif
ASI merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan oleh bayi. Pemberian ASI selama
enam bulan dapat memberikan dampak besar dalam pertumbuhan dan perkembangan
setelahnya. Mbwana et al (2017) menyebutkan adanya pengaruh besar pemberian ASI
eksklusif yang dapat menyebabkan anak usia tujuh bulan ke bawah memiliki risiko
kecil mengalami stunting. Dorsey et al (2017) mengatakan anak yang mendapatkan
ASI Eksklusif lebih sedikit memiliki risiko stunting dibanding yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif. Sementara itu, Alam et al. (2017) menyebutkan bahwa di
dalam penelitiannya, mereka tidak menemukan hubungan signifikan antara ASI
eksklusif. Serupa dengan penelitian Mgongo et al. (2017) menyebutkan bahwa di
dalam penelitiannya mereka tidak menemukan hubungan antara ASI eksklusif dengan
kejadian berat badan rendah, stunting dan wasting.
d. Riwayat Inisiasi menyusu dini
Inisiasi menyusu dini sedang menjadi salah satu langkah pemerintah untuk
menurunkan stunting. Dalam beberapa penelitian juga menyebutkan hal serupa
tentang inisiasi menyusu dini. Kismul et al. (2017) menyebutkan bahwa dengan
dilakukannya inisiasi menyusu pada satu jam pertama maka berisiko lebih kecil
mengalami stunting. Sejalan dengan hal itu, Permadi et al (2016) menyebutkan bahwa
stunting memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian stunting.
e. Riwayat imunisasi dasar
Penelitian mengenai hubungan imunisasi dan kejadian stunting masih sedikit diteliti.
Berendsen et al (2016) mengungkapkan bahwa pemberian vaksin di awal kelahiran
dapat menurunkan risiko stunting. Dalam penjelasan selanjutnya didapatkan pula
bahwa pemberian vaksin BCG yang terlambat pada masa bayi malah cenderung
meningkatkan risiko stunting pada balita. Prendergast (2015) menyebutkan bahwa
pemberian vaksinasi dapat mengurangi potensi untuk balita mengalami kekurangan
gizi.
f. Riwayat penyakit infeksi
Adanya riwayat penyakit infeksi pada anak juga dapat menjadi salah satu faktor
determinan kejadian stunting. Seperti disebutkan oleh Hagos et al (2017) bahwa
stunting memiliki hubungan signifikan dengan adanya riwayat penyakit infeksi.
Dorsey et al. (2017) menyebutkan bahwa stunting dapat mempengaruhi kejadian
malnutrisi. Batiro et al (2017) menyebutkan juga bahwa penyakit infeksi akut
pernafasan serta diare juga merupakan salah satu faktor penyebab kejadian stunting.
g. Pendidikan terakhir Ibu
Pendidikan merupakan hal yang dapat mempengaruhi proses pengasuhan anak di
dalam keluarga. Sebagaimana TNP2K (2017) menyebutkan bahwa perawatan dan
pemberian makan anak merupakan salah satu penyebab dari kejadian stunting.
Torlesse et al. (2016) menyebutkan bahwa ibu dengan Pendidikan tinggi cenderung
memiliki risiko yang rendah untuk memiliki anak dengan stunting. Sebagaimana
disebutkan pula dalam Nkurunziza et al (2017) bahwa ibu yang tidak mengemban
Pendidikan merupakan predictor terjadinya kejadian stunting pada anak.
h. Status Ekonomi keluarga
Perekonomian merupakan hal sensitif yang tidak hanya menjadi permasalahan
keluarga inti di lingkungan anak, namun merupakan permasalahan bangsa yang akan
terus memiliki pengaruh terhadap keduanya. Keluarga dengan perekonomian rendah
dilaporkan cenderung memiliki anak dengan stunting (Kismul et al, 2017, Torlesse et
al, 2016). Walaupun disisi lain ada penelitian yang mengatakan bahwa prevalensi
stunting tertinggi bukan di keluarga di perekonomian menengah ke bawah namun
menengah ke atas.
i. Usia ibu saat hamil
Faktor usia ibu disebutkan memiliki hubungan dengan stunting karena terkait dengan
kedewasaan serta kemampuan dalam merawat anak. Ibu yang menikah di usia muda
cenderung memiliki anak dengan stunting (Efevberha et al 2017). Adapun hal ini
terkait juga dengan kurangnya pemahaman ibu dalam memenuhi gizinya sendiri
ataupun untuk anaknya. Ibu dengan usia menikah yang tidak muda cenderung
memiliki risiko lebih rendah untuk memiliki anak dengan stunting.
j. Ketersediaan air bersih
Penyediaan air bersih merupakan intervensi yang dicanangkan secara global baik oleh
WHO dan UNICEF. Adanya keterkaitan antara konsep higienis dengan nutrisi
menjadi salah satu penyebab utama kejadian stunting. Keluarga yang tidak memiliki
fasilitas air bersih yang memadai cenderung memiliki risiko tinggi anak dengan
stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian penelitian Kismul et al. (2017) bahwa
adanya hubungan signifikan antara kejadian stunting dengan ketersediaan air bersih.
k. Suku Ibu
Dalam penelitian Poh, Wong et al (2016) ditemukan adanya hubungan signifikan
antara hubungan pembentuk tubuh di berbagai suku dengan kejadian stunting. Selain
itu, Darteh, et al (2014) juga menyebutkan bahwa suku memegang peran penting
terhadap status nutrisi anak di dalam penelitiannya ia menjelaskan suku memiliki
hubungan hubungan terhadap stunting.
l. Riwayat Antenatal Care
Kunjungan Antenatal Care memiliki peran penting yakni melibatkan pemeriksaan
serta konseling terhadap gizi ibu dan anak sehingga dapat mempengaruhi status
nutrisi ibu dan anak. Adanya riwayat antenatal care pada ibu memiliki hubungan
terhadap kejadian stunting (Zanello et al, 2016). Fenske et al (2013) juga
menyebutkan bahwa kunjungan ibu untuk memeriksakan kehamilannya atau antenatal
care memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian stunting.
m. Faktor Sosial-budaya demografi di Kabupaten Lombok barat dalam pemberian makan
pada anak
Pemberian makan memiliki makna yang luas serta bersinggungan langsung
dengan faktor budaya. Alonso (2017) menyebutkan bahwa budaya, agama dan
pengetahuan berbudaya membentuk pola masyarakat dalam pemberian makan. Dalam
penelitiannya dijelaskan bahwa pemberian makan itu dapat berupa masakan lokal,
persiapan makanan, pola distribusi makanan dalam rumah tangga, praktik pemberian
makan pada anak, proses pembuatan makanan, teknik persiapan makanan serta
praktik kebersihan dan sanitasi di rumah.
Pengaruh budaya dalam pemberian makan juga dirasakan melalui berbagai
larangan makan didalam lingkungan. Adanya pantangan atau larangan mengkonsumsi
makanan tertentu memiliki kepercayaan tersendiri bagi suatu daerah. Kondisi ini akan
memberikan pengaruh terhadap kecukupan gizi anak apabila pantangan tersebut
bertentangan dengan kebutuhan gizi anak.
Seperti penelitian Al-fariqi et al.,(2021) yang dilakukan di wilayah kerja
puskesmas Narmada Lombok barat, hasil penelitian menunjukan bahwa ada
hubungan antara budaya dan pengetahuan ibu dengan pemberian makan ibu pada
anak, seperti ibu memberi makan pisang dan nasi pada anak sejak kurang dari 4 bulan,
Ibu meyakini bahwa anak balita mencret dan muntah di awal bulan setelah 6 bulanan
kelahiran adalah pertanda pertumbuhan anak lancar dan giginya akan segera tumbuh,
mengakui makan ayam hanya pada saat hari hari tertentu dan meyakini jika tiap hari
makan makanan bersantan dan yang digoreng dapat menyebabkan banyak penyakit,
serta 54,5% mempercayai bahwa ketika anak sakit pertama kali dipanggil adalah
“sando” untuk minum air doa dari “sando” (Bahasa Indonesia : orang pintar atau
dukun). Sebagian besar ibu juga memiliki pengetahuan yang kurang yakni dalam
praktek memberi makan anak seperti tidak tahu bahwa penyakit dapat menyebabkan
gizi kurang/ buruk pada bayinya, tidak tahu tentang konsep gizi seimbang, dan zat
gizi yang dibutuhkan anak, tidak tahu dampak negatif pemberian MP asi terlalu dini,
dan tidak tahu tentang makanan MP asi yang baik bagi anak usia >12 bulan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Nurbaiti, et al (2014) pada masyarakat suku
Sasak yang mayoritas tinggal di pulau Lombok di mana ditemukan keluarga Suku
Sasak sangat jarang memberi asupan protein hewani kepada anak balitanya. Meski
mereka mampu (penghasilannya cukup), orang Sasak cenderung tidak menyiapkan
menu makanan yang beragam dan banyak protein hewani. Mereka lebih memilih
menyajikan makanan yang kaya bumbu. Bagi mereka, makanan dengan bumbu lebih
penting daripada makanan yang kaya protein. Balita jarang mengkonsumsi sayur yang
beragam, dan jumlah yang dikonsumsi sangat sedikit. Sayur yang dimaksud pun
hanya berupa kuah sayur, bukan sayurannya. Akibatnya, anak-anak Suku Sasak tidak
hanya defisit zat gizi makro, tetapi juga zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
Defisiensi energi, zat makro (karbohidrat) maupun mikro terjadi pada kelompok balita
stunting maupun yang tidak stunting.
Kedua, pemberian ASI kepada balita yang kurang tepat dan salah persepsi.
Menurut sebagian besar masyarakat Suku Sasak di wilayah penelitian, ASI adalah
segalanya bagi anak usia 0-24 bulan, dan ASI dianggap mencukupi kebutuhan gizi
anak. Seorang ibu Suku Sasak, rata-rata menyusui balitanya sampai usia minimal 1,5
tahun dan kebanyakan 2 tahun atau lebih. Mereka menganggap ASI cukup memenuhi
kebutuhan gizi anak sampai kapanpun anak mau menyusu, bahkan menganggap ASI
sebagai makanan utama sampai anaknya berusia 2 tahun. Sikap ini menunjukkan
suatu bentuk ketaatan masyarakat Suku Sasak pada aturan agama yang menganjurkan
pemberian ASI hingga usia 2 tahun.
Ketiga, pemberian MP ASI yang belum memenuhi standar gizi berimbang.
kebanyakan, balita Suku Sasak mulai dikenalkan MP ASI usia 7 atau 8 bulan. Namun,
menurut sebagian besar ibu, MP ASI hanya sebagai pelengkap ASI sehingga kualitas
dan kuantitasnya,termasuk frekuensi dan jadwal pemberiannya tidak sesuai anjuran
yang ditetapkan. Balita pada umumnya mengkonsumsi bubur nasi tanpa lauk pauk
(bubur kosong), cukup dengan kuah sayur saja atau air garam.
Keempat adalah tabu makanan yang melarang ibu hamil dan menyusui
mengkonsumsi beberapa bahan makanan kaya protein, serat, dan nutrisi. Kepercayaan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip gizi ini masih dipraktikkan. Ikan dan cumi,
yang tabu bagi ibu hamil dan pola asuh permisif dan sistem patrilineal yang berlaku di
Suku Sasak. Apapun permintaan anak akan dituruti, dan tidak ada larangan atau
aturan terutama dalam hal makan sehingga anak dibiarkan jajan makanan tidak
bergizi asalkan anak senang dan kenyang. Jadwal makan anak juga tidak teratur. Pola
asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar pada anak.
Muliani et al (2020), yang melakukan penelitian di Desa Mambalan
kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok barat yang mendapati penyebab stunting
di desa mambalan adalah faktor Pendidikan ibu yang rendah 947,3%, pekerjaan ibu
yaitu ibu tidak bekerja 89,47%, dan pendapatan orang tua di bawah UMR (94,74%),
sejalan dengan penelitian Irwansyah et al., (2016) yang dilakukan di 5 puskesmas di
Kabupaten Lombok barat dengan hasil yaitu faktor yang berkontribusi pada kejadian
stunting pada baduta adalah kehamilan pada usia remaja di bawah 20 tahun, tinggi
badan ibu yang pendek, berat badan lahir rendah dan pendidikan ibu yang rendah. dan
penelitian albayani et al., (2020) dengan populasi balita di puskesmas Gunungsari
Lombok barat mengatakan bahwa anak yang mempunyai riwayat BBLR mempunyai
resiko 4,01 kali lebih besa menjadi sangat pendek dibandingkan dengan anak yang
lahir tidak BBLR.
Adanya pantangan sumber gizi pada ibu menyusui dan ibu hamil dapat
menurunkan potensi pemenuhan gizi ibu yang berdampak pada gizi anak. Haryati
(2015) menyebutkan bahwa di beberapa daerah di Indonesia terdapat tradisi
membatasi asupan cairan pada ibu menyusui dimana hal ini akan berdampak pada
produksi ASI yang tidak maksimal, sementara ASI merupakan unsur penting yang
termasuk dalam pemenuhan gizi di 1000 hari pertama kehidupan. Dikarenakan
beberapa pantangan makan terbukti memiliki dampak terhadap status gizi, maka
beberapa peneliti menyarankan penelitian selanjutnya untuk menyikapi pengaruh
faktor budaya terkait makanan (Haryati, 2015; Zanello et al, 2016).

2.1.5 Upaya Pencegahan Stunting


2.2 Sosio Demografi Kabupaten Lombok barat
Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Barat dan telah mengalami 2 kali pemekaran sejak tahun 1998 dan 2008 yaitu menjadi Kota
Mataram dan Lombok Utara.
Lombok Barat memiliki wilayah kecamatan yang terbentang dari utara (Kecamatan
Batu Layar) sampai selatan (Kecamatan Sekotong) dengan luas 1.053,9 km2, dengan
kecamatan terluas yaitu kecamatan Sekotong Tengah dengan luas 529.4 km2 atau lebih dari
separuh keseluruhan Wilayah Kabupaten Lombok Barat. Keberadaan Kabupaten Lombok
Barat terletak antara 1150 ,46’- 1160 .20’ Bujur Timur, dan 80 .25’ sampai dengan 80 .55’
Lintang Selatan, dengan batas wilayah:
● Sebelah Barat : Selat Lombok dan Kota Mataram
● Sebelah Timur : Kabupaten Lombok Tengah
● Sebelah Selatan : Samudera Hindia
● Sebelah Utara : Kabupaten Lombok Utara
Wilayah di Kabupaten Lombok Barat merupakan kombinasi antara daerah daratan
serta pesisir pantai dan pegunungan (perbukitan) di wilayah utara dan selatan. Berdasarkan
ketinggian, wilayah Kabupaten Lombok Barat yang berada pada ketinggian 0 - 100 meter
diatas permukaan laut dengan luas 35.798 Ha atau 41,49 % dari luas wilayah Kabupaten
Lombok Barat, kemudian pada ketinggian 100 - 500 meter dengan luas wilayah 42.193 Ha
atau 48,93 % dari luas wilayah Kabupaten Lombok Barat, sedangkan pada ketinggian 500 -
1000 meter dengan luas 7.760 Ha atau 8,99 % dari luas wilayah Kabupaten Lombok Barat,
dan ketinggian di atas 1000 meter seluas 511 Ha atau 0,59 % dari luas wilayah Kabupaten
Lombok Barat.

2.2.1 Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS bahwa jumlah penduduk Kabupaten
Lombok barat Tahun 2018 yaitu 685.161 Jiwa dengan kepadatan penduduk 650,1 jiwa per
Km2. Sedangkan untuk Tahun 2019 berdasarkan proyeksi yang sudah diterbitkan BPS juga
yaitu 694.985 jiwa, dengan kepadatan penduduk 659,4 jiwa per Km 2. Data ini dijadikan dasar
untuk perhitungan proyeksi sasaran program sehingga menentukan juga capaian setiap
program kesehatan.
Secara proyeksi, rasio penduduk laki dan perempuan di Lombok Barat adalah 95,8 %,
artinya dalam 100 penduduk perempuan terdapat 95 sampai 96 orang laki – laki. Jumlah
penduduk tertinggi di Kecamatan Gunungsari (97.106) dan terendah di Kecamatan Kuripan
(38.658). Jika dilihat dari segi kepadatan penduduk, wilayah terpadat di Kecamatan Kediri
yaitu 2701,6 per Km2, dan terrenggang Kecamatan Sekotong yaitu (140,5 per Km2).
Distribusi penduduk menurut usia, tertinggi pada usia 10 - 14 tahun dan paling rendah usia 75
tahun ke atas. Berikut gambaran rasio jenis kelamin tahun 2019 menurut data BPS.

2.2.2 Ekonomi
Melihat dari unsur IPM, untuk bidang ekonomi yaitu Paritas Daya Beli mencapai
Rp.10.588.000 pada tahun 2015 Pengeluaran per kapita Rp.11.0488.000 dan kondisi ini lebih
tinggi dari angka Provinsi NTB yaitu Rp. 9.877. Meski demikian angka kemiskinan di
Lombok Barat cukup banyak juga yaitu hampir 67 % dari jumlah penduduk, apalagi jika
sudah menyangkut pelayanan kesehatan. Ketika datang berobat di Puskesmas mungkin
masyarakat banyak yang mampu membayar, namun ketika sudah harus dilakukan rujukan,
banyak masyarakat yang kemudian mengajukan permohonan bantuan pelayanan Kesehatan
ke Pemerintah Daerah melalui kepesertaan BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI
APBD II).
Program pemerintah untuk mengatasi hal ini pun sudah banyak misalnya dengan
BPJS yang ditanggung daerah (PBI), Jampersal untuk kasus persalinan dan dari sector lain
misalnya PKH, dan masih banyak lagi program pengentasan kemiskinan lainnya. Program
dan kebijakan ini diharapkan dapat membantu masyarakat kurang mampu dalam
mendapatkan hak nya di bidang kesehatan.

2.2.3 Pendidikan
Menurut data BPS, angka melek huruf untuk usia 15 tahun ke atas di Kabupaten
Lombok Barat tahun 2019 yaitu 84.04 % meningkat dari data sebelumnya pada SUSENAS
2017 yaitu 82,3 %. Sementara penduduk yang tidak tamat sekolah menurun dari tahun
sebelumnya dari 40,4%, menjadi 31,4 % di tahun 2019, Penduduk yang memiliki ijazah
paling tinggi di tingkat SMP 19,8 %. Sedangkan untuk yang tidak tamat SD 31,4 %.
Untuk lama sekolah di lombok barat yaitu 13.36, artinya sampai ke tingkat SD atau
tidak tamat SMP. Sementara data tahun 2018, menunjukkan ketersediaan sekolah di Lombok
Barat sampai Tahun 2018 yaitu 450 SD/MI, 178 SMP dan 137 SMA yang tersebar di seluruh
wilayah Lombok Barat.
Siswa yang mendapat pelayanan program kesehatan seperti penjaringan kesehatan,
merupakan siswa yang baru masuk misalnya kelas 1 SD/MI, kelas 7 SMP/MTs dan kelas 10
SMA/MA. Tahun 2019 program kesehatan yang bersentuhan langsung dengan siswa didik
bukan hanya penjaringan saja namun berkaitan dengan anemia, kesehatan reproduksi dan
narkoba, termasuk juga gerakan minum tablet tambah darah untuk mencegah anemia dan
stunting.
Kerja sama dengan pendidikan bukan hanya di tingkat PAUD atau SD saja, namun
sudah meningkat ke tingkat SMP dan SMA dan diharapkan masalah kesehatan yang
berhubungan dengan kesehatan reproduksi mendapat solusi, misalnya program pemberian
tablet tambah darah, untuk mengatasi masalah ibu KEK (Kurang Energi Kalori), dan
mempersiapkan kondisi tubuh remaja anemia.
2.2.4 Indeks Pembangunan Manusia
Berdasarkan sumber Website BPS Provinsi Nusa Tenggara Barat, tentang informasi
IPM Nusa Tenggara Barat Tahun 2019, IPM Lombok Barat naik 67,18 Tahun 2018 menjadi
68,03 Tahun 2019 (dengan menggunakan metode baru pada website BPS). Sedangkan untuk
Nusa Tenggara Barat sendiri juga mengalami peningkatan dari 67,30 Tahun 2018 menjadi
68,14 tahun 2019. IPM ini masih berada pada kategori capaian sedang.
Angka harapan lama sekolah 13,48, angka rata-rata lama sekolah 6,16. Hal ini yang
diartikan IPM Lombok Barat masih berada di peringkat rendah. Dengan rata –rata pendidikan
yang masih rendah ini, menjadi tantangan bagi kesehatan dalam memberikan pendidikan
kesehatan baik melalui kelas ibu balita, kelas gizi, dan penyuluhan media film. Karena itu,
penyuluhan tidak hanya dilakukan di posyandu saja tapi disekolah dan di kelas khusus.

2.2.5 Sosial Budaya


Dalam sosial budaya yang berkaitan dengan kesehatan adalah pola asuh, dimana
banyak mitos tentang makanan yang menjadi penghambat misalnya saja makanan yang tidak
boleh dimakan ibu hamil dan bayi. Karena itu, penyuluhan dalam kelas gizi dan kelas ibu
hamil sangat membantu merubah paradigma terhadap mitos tersebut. Kelas gizi dan kelas ibu
hamil ini telah digalakkan sejak tahun 2009, sehingga untuk pergeseran paradigma mitos
tersebut baru dirasakan dampaknya saat ini, meski demikian pemberian penyuluhan tentang
pola asuh atau pola makan tidak hanya melalui media kelas ibu dan kelas gizi saja. Namun
bekerja sama dengan pihak pihak yang terdekat dengan masyarakat seperti tokoh agama,
PKK dan tokoh masyarakat.
Selain penghambat, budaya juga dapat dijadikan peluang dalam pembangunan
kesehatan. Misalnya saja budaya berayan, yaitu makan bersama-sama dapat dilakukan pada
saat posyandu, dalam memberikan contoh makanan seimbang dan bagi anak dengan kondisi
BGM, bisa membantu semangat makan karena diyakini dengan makan bersama anak seusia
mereka akan meningkatkan nafsu makan.
Bahkan program yang saat ini digerakkan kembali yaitu sarapan pagi bersama agar
membiasakan anak sekolah untuk sarapan pagi sehingga mereka dapat menerima pelajaran
dengan baik dan asupan gizi yang baik juga dapat menurunkan kasus anemia pada remaja,
yang dampak akhirnya diharapkan menurunkan kasus stunting. (Profil Kesehatan Kab
Lombok 2019)
Daftar Pustaka

Aguaayo, V. M., Nair, R., Badgaiyan, N., & Krishna, V. (2016). Determinants of stunting
and poor liner growth in children under 2 years of age in India: An in-depth analysis of
Maharashtra’s comprehensive nutrition survey. Maternal and Child Nutrition, 12, 121-
140. https://doi.org/10.1111/men.12259.
Alam, M. A., Mahfuz, M., Islma, M.M., Mondal, D., Ahmed, A. M. S., Haque, R., …
Hossain, M. I (2017). Contextual factors for stunting among children of age 6 to 24
month in an under-privileged community of Dhaka, Bangladesh. Indian Pediatrics,
54(5),373-376. https://doi.org/10.1007/s13312-017-1109-z
Albayani, M. I., Mardani, R. A. D., & Arifin, Z. (2020). Hubungan Berat Badan Lahir Bayi
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Gunungsari
Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Kesehatan Qamarul …, 8, 42–46.
http://jkqh.uniqhba.ac.id/index.php/kesehatan/article/view/193
Al-fariqi, M. Z., Yunika, R. P., Gizi, P. S., Kesehatan, F., & Mataram, U. B. (2021).
Pengaruh Budaya Dan Pengetahuan Ibu Terhadap Praktik Pemberian Makan Pada Bayi
Di Wilayah Kerja Puskesmas Narmada Lombok Barat. Nutriology Jurnal: Pangan, Gizi,
Kesehatan, 2(1), 77–81.
Alonso, E. B., Cockx, L., & Swinnen, J, (2017). LICOS discussion Paper Series Culture and
Food Security. Genewa: LICOS.
Batiro, B., Demissie, T., Halla, Y., & Anjulo, A. A. (2017). Determinants of stunting among
children aged 6-59 month at Kindo Didaye woreda, Wolaita Zone, Southern Ethiopia:
Unmatched case control study. PLoS ONE.12(12), 1-15.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0189106
Berendsen, M.L.T., Smits, J., Netea, M.G., & van der Ven, A. (2016). Non-specific Effects of
Vaccines and Stunting: Timing May be Essential. EbiioMedicine, 8, 341-348.
https://doi.org/10.1016/j.ebiom.2016.05.010.
Briend, A., Khara, T., & Dolan, C. (2015). Wasting and stunting-similarities and differences:
Policy and programmatic implications. Food and Nutrition Bulletin, 36 (1), 217.
Casale, D., Desmond, C., & Richter, L. (2014). The association between stunting and
psychosocial development among preschool children: A studi using the south African
birth to twenty cohort data. Child: Care, Health and Development, 40(6), 900-910.
https://doi.org/10.1111/cch.12143
De Onis, M., & Branca, F. (2016). Childhood stunting: A global perspective. Maternal and
Child Nutrition, 12, 12-26. https://doi.org/10.1111/mcn.12231
Dorsey, J.L., Manohal, S., Neupane, S., Shrestha, B., Klemm, R. D. W., & West, K. P.
(2017). Individual household, and Community level risk factors of stunting in children
younger than 5 years: Findings from a national surveillance system in Nepal. Maternal
& Child Nutrition, 14(1), e12434. https://doi.org/10.1111/men.12434
Efevbera, Y., Bhabha, J., Farmer, P.E., & Fink, G. (2017). Girl Child marriage as a risk
faktor for early childhood development and stunting. Social Science & Medicine, 185,
91-101. https://doi.org/10/1016/j.socscimed.2017.05.027
Fenske, N., Burns, J., Hothorn, T., & Rehfuess, E. A. (2013). Understanding child stunting in
India: A comprehensive analysis of socio-economic, Nureirional and environmental
determinants using additive quuantile regression. PLoS INE, 8(11).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0078692.
Haryati, E. (2015). Pengalaman melakukan pantang makan pada ibu menyusui paska bedah
sesar. Jurnal Keperawatan dan Kesehatan medisina Akper YPIB Majalengka, 1(2).
Hagos, S., Hailemariam, D., WoldeHanna, T., & Lindtjorn, V. (2017). Spatial hererogeneity
and risk factors for stunting among children under age five in Ethiopia: A Bayesian geo-
statistical model. PLoS ONE, 12(2), 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0170785
Hatton, T. J., Sparrow, R., Suryadarma, D., & van der Eng,P. (2018). Fertility and the health
of children in indonesia. Economics and Human Biology, 28, 67-78.
https://doi.org/10.1016/j.ehb.2017.12.002.
Keino, Susan, Guy Plasqui, Grace Ettyang, Bart van den Borne. (2014). Determinants of
stunting and overweight among young children and adolescents in sub-Saharan Africa.
Food and Nutrition Bulletin, vol. 35 no. 2
Kemenkes RI.2018. Buletin Jendela data dan informasi Kesehatan, Situasi Balita Pendek
(stunting) di Indonesia.https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/
pusdatin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf, diakses 24-11-2021
Kismul, H., Acharya, P., Mapatano, M. A., & Harloy, A. (2017). Determinants of childhood
stunting in the Democratic Republic of Congo: Further analysis of demographic and
health survey 2013-14. BMC Public Health, 18(1), 1-15. https://doi.org/10.1186/s12889-
017-4621-0.
Koritsas, S., & Iacono, T. (2016). Weight, nutrition, food choice, and physical activity in
adults with intellectual disability. Journal of intellectual Disability Research, 60(4), 355-
364. https://doi.org/10.1111/jir.12254
Mbwana, H. A., Kinabo, J., Lambert, C., & Biesalski, H.K. (2017). Faktors influencing
stunting among children in rural Tanzania: An agro-climatic zone perspective. Food
Security, 1-15. https://doi.org/10/1007/s12571-017-0672-4.
Millward, D.J. (2017). Nutrition, infection and stunting: The roles of deficiencies of
individual nutrients and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear
growth of children. Nutrition Research Reviews, 30(1), 50-72.
https://doi.org/10.10.17/S0954422416000238
Mgongo, M., Chotta, N. A. S., Hashim, T. H., Uriyo, J.G., Damian, D.J., Stray-Pedersen, B.,
…Vangen, S. (2017). Underweight, stunting and wasting among children in kilimanjaro
region, Tanzania: A population-based cross- sectional study. International journal of
environmental research and public health, 14(5), 1-12.
https://doi.org/10.3390/ijerh14050509
Muliani, S., Supiana, N., & Hidayati, N. (2020). Kejadian dan Penyebab Stunting di Desa
Mambalan kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat Tahun 2020. Jurnal Ilmu
Kesehatan dan Farmasi, 8(2),
49-55.http://ejournal.unwmataram.ac.id/jikf/article/view/536
Nkurunziza, S., Meessen, B., Van geertruyden, J. P., & Korachais, C. (2017). Determinants
of stunting and severe stunting among Burundian children aged 6-23 months: Evidence
from a national cross-sectional household survey, 2014. BMC pediatrics, 17(1), 1-15.
https://doi.org/10.1186/s12887-017-0929-2.
Nurbaiti, L., Adi, A. C., Devi, S. R., & Harthana, T. (2014). Kebiasaan makan balita stunting
pada masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 27(2), 104.
https://doi.org/10.20473/mkp.v27i22014.104-112
Permadi, M. R., Hanim, D., Kusnandar, K. & Indarto, D. (2016). Risiko inisiasi menyusu dini
dan praktik ASI Ekslusif terhadap kejadian stunting pada anak 6-24 bulan (early
breastfeeding initiation and exclusive breastfeeding as risk factors of stunting children 6-
24month-old). Penelitian Gizi dan makanan, 39(1), (-14,
gttps://doi.org/10.22435/pgm.v39iL.5965.9-14.
Dinas Kesehatan Lombok Barat. 2020. Profil Kesehatan tahun 2019
Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing
countries. Paediatrics and international child Health, 34(4), 250-256.
https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158
Rakotomanana, H., Gates, G. E., Hildebrand, D., & Stoecker, B. J. (2017). Determinants of
stunting in children under 5 years in madagascar. Maternal and Child Nurtrition, 13(4).
https://doi.org/10.1111/men.12409
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2017). 100 kabupaten/kota prioritas
untuk intervensi anak kerdil (Stunting). Jakarta Pusat:Tim Nasional Percepatan
penanggulangan kemiskinan.
Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016).
Determinants of stunting in Indonesian children: Evidence from a cross-sectional survey
indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting
reduction. BMC Public Health, 16(1), 1-12.https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8.
United Nation Children’s Fund. (2015). Stop Stunting. Pakistan: United Nation Children’s
Fund\
United Nation Children’s Fund. (2017). First 1000 days: The critical windows to ensure that
children survive and thrive. South Africa: United Nation Children’s Fund
Vieni, G., Faraci, S., Collura, M., Lombardo, M., Traverso, G., Cristadoro, S., … Magazzu,
G. (2013). Stunting is Independent predictor of mortality in patients with cystic fibrosis.
Clinical Nutrition, 32(3), 382-385. http://doi.org/10.1016/j.clnu.2012.08.017
Woodruff, B.A., Wirth, J. P., Bailes, A., Matji, J., Timmer, A., & Rohner, F. (2017).
Determinants of stunting reduction in ethiopia 2000-2011. Maternal and Child Nutrition,
13 (2), 1-17. https://doi.org/10.1111/men.12307.
World health organization, United nation Children’s Fund, United states agency for
international development (2015). Improving Nutrition Outcomes with better water,
sanitation and hygiene. Washington DC: World Health Organization, United Nation
Children’s Fund, United States Agency for international development
Zanello, G., Srinivasan, C. S., & Shankar, B. (2006). What explains Cambodia,s success in
reducing child stunting-2000-2014? PLos ONE, 11(9), 1-22.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162668.

Anda mungkin juga menyukai