Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stunting

Stunting definisikan, sebagai rendahnya tinggi badan untuk anak diusianya


dalam satu populasi. Stuning merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan
di seluruh dunia (Fatimah et al., 2020).
Pendek didefinisikan dengan membandingkan tinggi seorang anak dengan
standart tinggi anak pada populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis
kelamin yang sama. Anak dikatakan pendek (stunting) jika tingginya brada di
bawah -2 SD dari standar WHO (Dewey & Begum, 2010 ; WHO 2005).

2.2 Epidemiologi Stunting

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan


salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017
22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka
ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada
tahun 2000 yaitu 32,6% (Pusdatin, 2018). Pada tahun 2017, lebih dari setengah
balita stunting di dunia berasal dari asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya
(39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak
berasal dari Asia selatan (58,7%) dan proporsi paling sedkit di Asia tengah (0.9%)
(Pusdatin, 2018).
Menurut data World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke
dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia
Tenggara/SouthEast Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di
Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Pusdatin, 2018). Prevalesni balita
sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9.8%
dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahu sebelumnya. profinsi dengan
2.3 Faktor Risiko Stunting

Stunting disebabkan oleh berbagai faktor tidak hanya disebabkan oleh


faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang
paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting yaitu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang
menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut (TNP2K, 2017) :

Praktek pengasuhan yang kurang baik.

Praktek pengasuhan yang kurang baik termasuk kurangnya pengetahuan


ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah
ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60%
dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif,
dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas
6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi,
MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan pelayanan kesehatan


untuk ibu selama masa kehamilan Ante Natal Care (ANC), Post Natal Care
dan pembelajaran dini yang berkualitas.
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia
menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari
79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai
ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi
sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan
pembelajaran dini yang berkualitas (sebanyak 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum
terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.

Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong


mahal. Menurut beberapa sumber (Riskesdas 2013, Sdki 2012, Susenas)
komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi,
India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi
pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah


tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3
rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa penyebab
stunting di atas, telah berkontibusi pada masih tingginya prevalensi stunting di
Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana intervensi yang komprehensif
untuk dapat mengurangi pervalensi stunting di Indonesia. Selain intervensi dari
nutrisi, faktor lingkungan juga memiliki peranan dalam angka kejadian stunting,
dimana faktor tersebut termasuk air, sanitasi, dan higienitas (WASH) (Vilcins et
al, 2018).

Akses perbaikan sanitasi dapat meningkatkan perlindungan terhadap


terjadinya stunting pada beberapa penelitian yang dilakukan. Perbaikan mutu
sanitasi termasuk diantaranya adalah kepemilikan jamban pribadi. Terdapat
penelitian yang membuktikan bahwa rumah yang memiliki jamban pribadi
menunjukkan penurunan angka terjadinya stunting. Beberapa penelitian lain
menunjukkan bahwa angka stunting dapat ditekan dengan pengurangan jumlah
jamban umum dibandingkan dengan meningkatkan jumlah jamban pribadi.
Penelitian itu menunjukkan bahwa jumlah jamban umum dalam kilometer persegi
dapat menyumbang 65% variasi tinggi badan anak-anak secara global. Hal
tersebut juga menunjukkan bahwa setiap 10% jamban umum dapat meningkatkan
0,7% prevalensi stunting (Vilcins et al, 2018.).
Higienitas

Higienitas diketahui memiliki peran yang penting dalam kesehatan anak-anak.


Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa perbaikan higienitas diri (seperti
mencuci tangan dan ketersediaan sabun dan air di toilet) dapat menurunkan angka
stunting (Vilcins et al, 2018).
Air Minum

Kandungan arsen dalam air

Beberapa penelitian memastikan bahwa terdapat peranan kandungan


arsen dalam air terhadap pertumbuhan anak. Sebuah penelitian meneliti paparan
arsen dengan mengukur kadar arsen dalam urin. Hal ini berhubungan dengan
reduksi panjang yang signifikan pada anak perempuan ( tapi tidak pada anak
laki-laki). Penelitian tersebut kontras dengan penelitian lainnya dimana
menunjukkan persentasi asam metilarsonik dalam urin berhubungan dengan
tinggi badan anak-anak. Hipotesis dari penulis bahwa pertumbuhan yang cepat (
yang terlihat pada anak-anak) menunjukkan perubahan pada kadar homosistein
dimana biasanya berhubungan dengan peningkatan kadar asam metilarsonik
dalam urin, yang membuat susah untuk menyimpulkan peranan paparan arsen
pada pertumbuhan anak-anak (Vilcins et al, 2018).
Infeksi

Berdasarkan infeksi klinis dan subklinis, kerangka WHO termasuk


infeksi enterik (penyakit diare, environmental enteropathy, dan cacing), infeksi
pernafasan, malaria, penurunan nafsu makan dikarenakan infeksi, dan
inflamasi. Berdasarkan uraian tersebut, hanya infeksi pernafasan dan salah satu
jenis infeksi enterik (penyakit diare) yang memiliki hubungan dengan kejadian
stunting pada anak-anak.
Bardasono et al (2007) melaporkan bahwa penyakit infeksi termasuk
diare, infeksi pernafasan, dan demam berhubungan dengan kejadian stunting
pada anak- anak usia 6-59 bulan yang hidup di daerah urban dan area konflik
(Beal et al, 2018).

2.4 Penilaian Status Gizi

Status gizi pada seorang balita (1 – 5 tahun) membutuhkan nutrisi yang


lebih banyak karena pada masa inilah dianggap sebagai masa keemasan. Dalam
masa ini seorang anak akan mengalami perkembangan fisik, mental, dan akan
menemukan berbagai hal yang baru, sehingga terpenuhinya nutrisi pada masa ini
sangatlah berperan penting (Kemenkes, 2020).
Penilaian status gizi pada dasarnya bisa dilakukan dengan empat macam
penilaian yakni ada antropomentri, klinis, biokimia dan biofisik (Kemenkes,
2020).

A. Pengukuran Antropometri

Antropomentri berasal dari kata antrophos yakni tubuh dan metros yakni
ukuran. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi
seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh
seseorang.

B. Indeks Antropomentri

Antropomentri berasal dari kata antrophos yakni tubuh dan metros yakni
ukuran. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi
seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh
seseorang.
Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indeks status gizi BB/U merupakan indeks masalah gizi yang digambarkan
secara umum. BB/U yang rendah umumnya disebabkan karena pendek (masalah
gizi kronis) ataupun sedang menderita diare serta penyakit infeksi lainnya
(masalah gizi akut) yang tidak dijadikan indikasi masalah gizi kronis dan akut.

Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indeks status gizi berdasarkan TB/U ini dapat menunjukan masalah gizi
yang bersifat kronis. Hal ini disebabkan karena keadaan yang berlangsung cukup
lama seperti kemiskinan, perilaku hidup yang terbilang tidak sehat, dan kurangnya
asupan gizi yang didapatkan anak baik sejak di dalam kandungan yang
mengakibatkan seorang anak menjadi pendek.
Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Indeks BB/TB memberikan indikasi terhadap masalah gizi akut yang


terjadi pada peristiwa yang tidak lama seperti adanya wabah penyakit dan
kekurangan makanan yang akan mengakibatkan seseorang nampak kurus.
C. Cara Pengukuran Antopomentri

Pengukuran berat badan, panjang/tinggi badan dimaksudkan untuk bisa


mendapatkan data status gizi sebuah penduduk (Riskesdas, 2018).
Pengukuran Panjang Badan (PB) dapat digunakan bagi anak usia 0 – 24
bulan dengan pengukuran terlentang, jika pengukuran pada usia anak 0 – 24
bulan dilakukan secara berdiri maka pengukuran dikoreksi dengan
menambahkan 0,7 cm. Sedangkan untuk pengukuran Tinggi Badan (TB) dapat
digunakan bagi anak dengan usia diatas 24 bulan, jika pada usia diatas 24 bulan
pengukuran dilakukan dengan cara terlentang maka dikoreksi dengan
mengurangkan 0,7 cm (Kemenkes, 2020).
1. Pengukuran Tinggi Badan

Pengukuran tinggi badan ini dilakukan pada responden yang sudah


bisa berdiri. Pengukuran tinggi badan (microtoise) yang mempunyai
kapasistas ukur hingga 2 meter dengan ketelitian 0,1 cm (Riskesdas, 2018).

2. Persiapan Pengukuran Tinggi Badan

a) Menggantungkan bandul benang untuk memasang microtoise di


dinding sehingga dapat tegak lurus.
b) Letakan alat pengukur di lantai yang datar tidak jauh dari keberadaan
bandul dan menempel pada dinding. Pastikan dinding rata dan tidak ada
lekukan maupun tonjolan.

c) Tarik papan penggeser tegak lurus ke atas sehingga dapat sejajar


dengan benang berbandul yang tergantung. Tarik hingga angaka pada
jendela baca menunjukan angka 0 (nol). Rekatkan dan lakban pada
bagian atas microtoise.
d) Menghindari adanya perbuahan posisi pita berikan perkeat atau lakban
pada posisi 10 cm dari bagian atas microtoise.
3. Prosedur Pengukuran Tinggi Badan

a) Meminta responden untuk melepas alas kaki (sepatu/sandal), topi (penutup


kepala).

b) Memastikan bahwa alat geser berada diposisi atas.

c) Meminta responden untuk berdiri tegak di bawah alat geser.

d) Posisikan kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit
menempel pada dinding dimana microtoise terpasang.

e) Pastikan pandangan lurus kedepan dan posisi tangan tergantung bebas.

f) Menggerakan alat geser hingga menyentuh bagian atas kepala responden,


pastikan pada bagian tengah kepala. Dengan catatan bahwa bagian
belakang alat geser tetap menempel dinding.

g) Baca hasil tinggi badan pada bagian jendela baca ke arah angka yang lebih
besar (ke bawah). Pembaca tepat berada di depan jendela baca pada garis
merah, sejajar dengan mata petugas.

h) Pencatatan dilakukan dengan ketelitian hingga satu angka dibelakang


koma (0,1 cm) seperti contoh 157,3 dan 163,9.
D. Klasifikasi Status Gizi

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi (Kemenkes, 2020)

Sumber : Kepmenkes No. 2 tahun 2020 tentang standar antropomentri penilaian


status gizi anak.

2.5 Diagnosis Stunting

Stunting sendiri akan mulai nampak ketika bayi berusia dua tahun
(TNP2K, 2017). Stunting didefinisikan sebagai keadaan dimana status gizi pada
anak menurut TB/U mempunyai hasil Zscore - 3,0 SD s/d < -2,0 SD (pendek) dan
Zscore <-3,0 SD (sangat pendek). Hasil pengukuran Skor Simpang Baku (Z-
score) didapatkan dengan mengurangi Nilai Individual Subjek (NIS) dengan Nilai
Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, setelah itu
hasilnya akan dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujuk (NSBR). Jika tinggi
badan lebih kecil dari nilai median, maka NSBR didapatkan dengan cara
mengurangi median dengan – 1 SD. Jika tinggi badan lebih besar dari pada
median, maka NSBR didapatkan dengan cara mengurangi + 1 SD dengan median,
berikut ini rumus yang bisa digunakan:

Gambar 12. Rumus Skor Simpang Baku (Z score) (TNP2K, 2017)

Keterangan :

NIS : Nilai Individual Subjek (Tinggi badan anak) NMBR : Nilai Median Baku
Rujukan NSBR : Nilai Simpang Baku Rujuk

2.6 Kerangka Intervensi Stunting di Indonesia

Pada tahun 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up


Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak
untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada tahun 2012,
Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui perancangan dua
kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka Intervensi Stunting tersebut
kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam program yang dilakukan oleh
Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait. Kerangka Intervensi Stunting yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi
Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif (TNP2K, 2017).

Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan


intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan
intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini
juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif
pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi
Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa
kehamilan ibu hingga melahirkan balita:
a. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil.

Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu
hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi
kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium,
menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari
Malaria.
b. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6
Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong
inisiasi menyusui dini (IMD) terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum
serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.
c. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-

23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian


ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6
bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing,
menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam
makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi
lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua


adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada
70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat
secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat dilaksanakan
melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas
Kementerian dan Lembaga.
Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting
melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut:
1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB).
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada
remaja.
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan


dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional
untuk mencegah dan mengurangi pervalensi stunting (TNP2K, 2017).

2.7 Kebijakan dan Program Terkait Intervensi Stunting yang Telah


Dilakukan

Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani prevalensi stunting,


pemerintah di tingkat nasional kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan serta
regulasi yang diharapkan dapat berkontribusi pada pengurangan pervalensi
stunting, termasuk diantaranya (TNP2K, 2017):

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025


(Pemerintah melalui program pembangunan nasional „Akses Universal Air
Minum dan Sanitasi Tahun 2019‟, menetapkan bahwa pada tahun 2019,
Indonesia dapat menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang layak
bagi 100% rakyat Indonesia).
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015
2019 (target penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019).
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas, 2011.

4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.

5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.

6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional


Percepatan Perbaikan Gizi.
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di
Indonesia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara
Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.

11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka


Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013.
12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK), 2013.

Selain mengeluarkan kebijakan dan regulasi, kementerian/lembaga (K/L)


juga sebenarnya telah memiliki program baik terkait intervensi gizi spesifik
maupun intervensi gizi sensitif, yang potensial untuk menurunkan stunting.
Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1.000 Hari Pertama Kegiatan (HPK).
Berikut ini adalah identifikasi beberapa program gizi spesifik yang telah
dilakukan oleh pemerintah (TNP2K, 2017):
A. Program terkait Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil, yang dilakukan
melalui beberapa program/kegiatan berikut:
• Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis

• Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat

• Program untuk mengatasi kekurangan iodium


• Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu
hamil

• Program untuk melindungi ibu hamil dari Malaria.

Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh pemerintah baik di
tingkat nasional maupun di tingkat lokal meliputi pemberian suplementasi besi
folat minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada ibu hamil untuk
melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali, memberikan imunisasi
Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan tambahan pada ibu hamil, melakukan
upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu hamil, dan memberikan kelambu
serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria.
B. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan
termasuk diantaranya mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD) melalui
pemberian ASI jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu
untuk terus memberikan ASI Eksklusif kepada anak balitanya. Kegiatan
terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), promosi menyusui ASI eksklusif
(konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh
kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara tepat.
C. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui
dan Anak Usia 7-23 bulan:
 Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia
23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI
 Menyediakan obat cacing
 Menyediakan suplementasi zink
 Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
 Memberikan perlindungan terhadap malaria
 Memberikan imunisasi lengkap
 Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Selain itu, beberapa program lainnya adalah Pemberian Makanan Tambahan


(PMT) Balita Gizi Kurang oleh Kementerian Kesehatan/Kemenkes melalui
Puskesmas dan Posyandu. Program terkait meliputi pembinaan Posyandu dan
penyuluhan serta penyediaan makanan pendukung gizi untuk balita kurang gizi
usia 6-59 bulan berbasis pangan lokal (misalnya melalui Hari Makan
Anak/HMA). Terkait dengan intervensi gizi sensitif yang telah dilakukan oleh
pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan sebagai
berikut (TNP2K, 2017):
1. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih melalui program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi berbasis
Masyarakat). Program PAMSIMAS dilakukan lintas K/L termasuk Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas/Kementerian PPN), Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (KemenPUPERA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain pemerintah pusat, PAMSIMAS
juga dilakukan dengan kontribusi dari pemerintah daerah serta masyakart melalui
pelaksanaan beberapa jenis kegiatan seperti dibawah:
 Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat

 Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum dan


sanitasi yang berkelanjutan
 Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal
(pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam penyelenggaraan
layanan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat
 Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang
pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi berbasis
masyarakat.
2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi

Kegiatan ini dilaksanakan melalui Kebijakan Sanitasi Total Berbasis


Masyarakat (STBM) yang pelaksanaanya dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (KemenPUPERA). Kegiatan ini meliputi gerakan
peningkatan gizi/Scaling Up Nutrition (SUN) Movement yang hingga 2015
telah menjangkau 26.417 desa/kelurahan

3. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan (Garam, Terigu, dan Minyak


Goreng), umumnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian.
4. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB) melalui dua program:
 Program KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan
Keluarga) oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional) bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
a. Penguatan advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)
terkait Program KKBPK
b. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata

c. Peningkatan pemahaman dan kesadaran remaja mengenai


kesehatan reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga
d. Penguatan landasan hukum dalam rangka optimalisasi pelaksanaan
pembangunan bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana
(KKB)
e. Penguatan data dan informasi kependudukan, KB dan KS

 Program Layanan KB dan Kesehatan Seksual serta Reproduksi (Kespro) oleh


LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI). Kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Menyediakan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk difabel
(seseorang dengan kemampuan berbeda) dan kelompok marjinal
termasuk remaja
b. Menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tak diinginkan
yang komprehensif yang terjangkau.
c. Mengembangkan standar pelayanan yang berkualitas di semua
strata pelayanan, termasuk mekanisme rujukan pelayanan
kesehatan seksual dan reproduksi
d. Melakukan studi untuk mengembangkan pelayanan yang
berorientasi pada kepuasan klien, pengembangan kapasitas dan
kualitas provider.
e. Mengembangkan program penanganan kesehatan seksual dan
reproduksi pada situasi bencana, konflik dan situasi darurat
lainnya.
f. Mengembangkan model pelayanan KB dan Kesehatan Produksi
(Kespro) melalui pendekatan pengembangan masyarakat.
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan Program


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Penerima Bantuan Iuran (PBI) berupa
pemberian layanan kesehatan kepada keluarga miskin dan saat ini telah
menjangkau sekitar 96 juta individu dari keluarga miskin dan rentan.

6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal) yang


dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan memberikan
layanan kesehatan kepada ibu hamil dari keluarga/ rumah tangga miskin
yang belum mendapatkan JKN-Penerima Bantuan Iuran/PBI.
7. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.

8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal yang


dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
melalui Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Beberapa kegiatan
yang dilakukan berupa:
 Perluasan dan peningkatan mutu satuan PAUD.

 Peningkatan jumlah dan mutu Pendidik dan


Tenaga Kependidikan (PTK) PAUD.
 Penguatan orang tua dan masyarakat.

 Penguatan dan pemberdayaan mitra (pemangku kepentingan,


stakeholders).

9. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat

Program Perbaikan Gizi Masyarakat yang dilaksanakan


oleh Kementerian Kesehatan (melalui Puskesmas dan
Posyandu) Kegiatan yang dilakukan berupa:
 Peningkatan pendidikan gizi.
 Penanggulangan Kurang Energi Protein.

 Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi


kekurangan zinc dan zat besi, mengatasi Ganguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta
kekurangan Vitamin A
 Perbaikan keadaan zat gizi lebih.

 Peningkatan Survailans Gizi.

 Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat.

10. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta Gizi


pada Remaja, berupa Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja yang
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) termasuk pemberian layanan konseling
dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan Pendidikan dan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS).
11. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin,
misalnya melalui Program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (Raskin/Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang
dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Kegiatannya berupa
pemberian subsidi untuk mengakses pangan (beras dan telur) dan
pemberian bantuan tunai bersyarat kepada ibu Hamil, Menyusui dan
Balita.
12. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi melalui Program Ketahanan
Pangan dan Gizi yang dilaksanakan Lintas K/L yaitu Kementerian
Pertanian, Kementerian Koperasi, Kemendagri. Kegiatan yang dilakukan
berupa:
 Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama ibu
hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
 Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua
golongan penduduk.
 Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan gender.
 Pemberdayaan Ekonomi Mikro bagi Keluarga dengan Bumil KEK
(Kurang Energi Protein).

 Peningkatan layanan KB

Pilar 1: Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara. Pada pilar ini,
dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk mengarahkan K/L
terkait Intervensi Stunting baik di pusat maupun daerah. Selain itu, diperlukan
juga adanya penetapan strategi dan kebijakan, serta target nasional maupun daerah
(baik provinsi maupun kab/kota) dan memanfaatkan Sekretariat Sustainable
Development Goals/SDGs dan Sekretariat TNP2K sebagai lembaga koordinasi
dan pengendalian program program terkait Intervensi Stunting.

Pilar 2: Kampanye Nasional berfokus pada Peningkatan Pemahaman,


Perubahan Perilaku, Komitmen Politik dan Akuntabilitas. Berdasarkan
pengalaman dan bukti internasional terkait program program yang dapat secara
efektif mengurangi prevalensi stunting, salah satu strategi utama yang perlu
segera dilaksanakan adalah melalui kampanye secara nasional baik melalui media
masa, maupun melalui komunikasi kepada keluarga serta advokasi secara
berkelanjutan.
Pilar 3: Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional,
Daerah, dan Masyarakat.
Pilar ini bertujuan untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi,
serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga
(K/L) terkait. Di samping itu, dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan program
yang ada (Puskesmas, Posyandu, PAUD, BPSPAM, PKH dll) terutama dalam
memberikan dukungan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan balita pada 1.000
HPK serta pemberian insentif dari kinerja program Intervensi Stunting di wilayah
sasaran yang berhasil menurunkan angka stunting di wilayahnya. Terakhir, pilar
ini juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke
intervensi prioritas Intervensi Stunting.
Pilar 4: Mendorong Kebijakan “Food Nutritional Security”. Pilar ini berfokus
untuk (1) mendorong kebijakan yang memastikan akses pangan bergizi,
khususnya di daerah dengan kasus stunting tinggi, (2) melaksanakan rencana
fortifikasi bio-energi, makanan dan pupuk yang komprehensif, (3) pengurangan
kontaminasi pangan, (4) melaksanakan program pemberian makanan tambahan,
(5) mengupayakan investasi melalui kemitraan dengan dunia usaha, dana desa,
dan lain-lain dalam infrastruktur kampanye nasional berfokus pada peningkatan.
Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi. Pilar yang terakhir ini mencakup
pemantauan exposure terhadap kampanye nasional, pemahaman serta perubahan
perilaku sebagai hasil kampanye nasional stunting, pemantauan dan evaluasi
secara berkala untuk memastikan pemberian dan kualitas dari layanan program
Intervensi Stunting, pengukuran dan publikasi secara berkala hasil Intervensi
Stunting dan perkembangan anak setiap tahun untuk akuntabilitas, Result-based
planning and budgeting (penganggaran dan perencanaan berbasis hasil) program
pusat dan daerah, dan pengendalian program-program Intervensi Stunting
(TNP2K, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Andayani D., Emilia O., Ismail D. 2017. Peran Kelas Ibu Hamil Terhadap
Pemberian Angga. 2016. Manajemen Laktasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang

ASI Eksklusif di Gunung Kidul. Berita Kedokteran Masyarakat, vol.33.


Astria PB, Hadi H, Gunawan A. 2015. Pemberian ASI eksklusif tidak
berhubungan dengan stunting pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia.
Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia;3(3):162-71.
Astuti S., Susanti A., Judistiani T. 2016. Pengaruh Pelatihan Pemberian ASI
Ekslusif terhadap Pengetahuan Menyusui Kelompok Pendukung ASI di
Desa Mekargalih dan Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten
Sumedang. JSK:Vol.1;139-44.
Azwar. 2010. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, edisi 2. Cetakan XII.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Beal T, Tumilowicz A, Sutrisna A, Izwardy D, Neufeld L. 2018. A review of
child stunting determinants in Indonesia. University of California.
Davis. USA
Buku Pedoman Pemberdayaan Ibu Panduan bagi kader untuk bayi prematur dalam
pemberian ASI. 2016. UNISA: Yogyakarta
Cumming O, Cairncross S. 2016. Can water, sanitation, and hygiene help
eliminate stunting? Current evidence and policy implications. Maternal
& Child Nutrition.;12:91-105.

Damayanti RA, Muniroh L, Farapti. 2016. Perbedaan tingkat kecukupan


zat gizi dan riwayat pemberian asi eksklusif pada balita stunting dan
non stunting. Media Gizi Indonesia.;11(1):61-9
Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat . 2013. Profil Kesehatan Kota Surakarta
Tahun 2012 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012.
Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air


Susu Ibu Eksklusif
Ekayanthi N., Suryani P. 2019. Edukasi Gizi pada Ibu Hamil Mencegah Stunting
pada Kelas Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan, 10(3):312-19.
Ernawati, Bakhtiar, Tahlil T. 2016. Peningkatan Pengetahuan, Sikap Dan
Tindakan Ibu Dalam Memberikan Asi Eksklusif Melalui Edukasi
Kelompok. Jurnal Ilmu Keperawatan;110-21.
Fatimah S, Manzoor I, Qayyum S. 2020. Stunting and associated factors in
children of less than five years : A hospital –based study. Pakistan
Journal of Medical Sciences. NCBI.)
Goulet L, Fall A, D‟Amour D, Pineault R. 2007. Preparation for discharge,
maternal satisfaction, and newborn readmission for jaundice:
Comparing postpartum models of care. Birth;34(2):131-9.
Halim, K, Sartika, RAD, Sudiarti, T, Putri, PN, Rahmawati, ND. 2020.
Association of Dietary Diversity and Other Factors with Prevalence of
Stunting among Children Aged 6-35 Month. Universitas Indonesia.
Jakarta
Hariani, I Made Rai Sudarsono, Yeni sostinengar. 2018. Analisis Data Hasil
Pemantauan Status Gizi Dari Faktor Determinan Kejadian Stunting
Pada Balita Health Information : Jurnal Penelitian Volume 10 Nomor 1
Hidayat, Muhammad Syairozi Gusti Ngurah Indraguna Pinatih. 2017. Prevalensi
Stunting Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidemen
Karangasem. Udayana. E-Jurnal Medika,Vol 6 No 7
Kementrian Kesehatan RI, Direktorat jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak, Direktorat Bina Gizi. 2012. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans
Gizi
Kementrian Kesehatan. 2020. Standar Antropomentri Penilaian Status Gizi
Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2013. Pedoman Perencanaan
Program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan. Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta.

Lumbiganon P, Martis R, Laopaiboon M, Festin MR, Ho JJ, Hakimi M. 2012.


Antenatal breastfeeding education for increasing breastfeeding duration.
Cochrane Database Syst Rev.1:9.
Mariani, Murti, B., Joebagio, H. 2016. Optimalisasi Pemberian Asi Eksklusif
Pada Bayi Usia 6 Bulan Di Kabupaten Probolinggo. UNS.
Marpaung R.M. 2021. Posisi Menyusui dan Perlekatan ASI yang Benar.
Diakses pada tanggal 26 April 2021 pukul 21.00 wib
https://mamapapa.id/posisi- menyusui-dan-perlekatan-yang-benar/
Mary S. 2018. How much does economic growth contribute to child stunting
reduction? Economies. ;6(4):55.

Mayo Clinic. 2020. Breast-Feeding: Choosing a Breast Pump


Mediani, H.S. 2020. Predictors of Stunting Among Children Under Five Year of
Age in Indonesia : A Scoping Review. Department of Pediatric
Nursing. Universitas Padjajaran. Bandung. Indonesia
Milward D J. Nutrition, infection, and stunting : the roles of deficiencies of
individual nutrients and food, and of inflammation,as determinans
of reduced linear growth of children.Nutrition. 2017;30(1):50-72
Miranti P, Nanci M, Ratu AJM. 2014. Hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 13-36 bulan di
wilayah kerja Puskesmas Tuminiting Kota Manado.
Manado:Universtitas Sam Ratulangi
Mufdlilah, Subijanto A.A., Sutisna E., Akhyar M. 2017. Menyusui Pada Program
ASI Eksklusif. Yogyakarta.
Nuari, N. A., Kartika Sari, M., & Nur Aini, E. 2020. Optimalisasi Peran Kader
Laktasi Berbasis Lactation Training sebagai Penunjang Keberhasilan
ASI. Jurnal SOLMA, 9(2), 428-435.
Proverawati, K. 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Naha Medika,
Yogyakarta Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
2018. Infodatin Situasi Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia: PUSDATIN, editor. Jakarta: Kementerian
Kesehatan

Rahayu L.S. 2011. Associated of height of parents with changes of stunting status
from 6-12 months to 3-4 years [Thesis]: Universitas Gadjah Mada.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun. 2018. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Ringkasan. Sekretariat Wakil Presiden RI. Jakarta.
Setyawati, VAV. 2018. Kajian Stunting Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di
Kota Semarang. Universitas Dian Nuswantoro. Surakarta
Soetjiningsih. 2012. ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sr. Anita Sampe, SJMJ, etal, 2020, Relationship between Exclusive
Breastfeeding and Stunting in Toddlers, jiksh Vol.11 No. 1 Juni 2020
Stewart CP, Iannotti L, Dewey KG, et al. 2013. Contextualising complementary
feeding in a broader framework for stunting prevention. Maternal &
Child Nutrition.; 9(Suppl 2): 27-45.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 2018. Strategi


Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Jakarta: Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
TNP2K. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil
(Stunting)
Vilcins D, Sly P.D, Jagals P. 2018. Environmental Risk Factors Associated with
Child Stunting : A Systematic review of the Literature. Annals of
Global Health. NCBI
Walyani, E. S. 2015. Perawatan Kehamilan dan Menyusui Anak Pertama agar
Bayi Lahir dan Tumbuh Sehat. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Yusriana, A., Devy, S. 2016. Faktor yang Mempengaruhi Niat Ibu Memberikan
ASI Eksklusif di Kelurahan Magersari, Sidoarjo. Jurnal Promkes:4;11-
21.

Anda mungkin juga menyukai