Anda di halaman 1dari 22

Analisis Multilevel Faktor Risiko Stunting Pada Anak Balita di Jawa Tengah

ABSTRAK
Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara
berpenghasilan rendah dan menengah diseluruh bagiannya, termasuk Indonesia
tepatnya di Jawa Tengah. Studi sebelumnya telah melaporkan kompleksitas yang
terkait dengan pemahaman faktor penentu stunting. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji determinan stunting di tingkat rumah tangga, kecamatan, dan provinsi di
Indonesia dengan menggunakan model multilevel hierarchical mixed effect.
Kata Kunci:Stunting, Berjenjang, Jawa Tengah

PENDAHULUAN
Stunting adalah masalah yang sedang berlangsung di banyak negara berpenghasilan
rendah dan menengah. UNICEF/WHO dan Bank Dunia [1] menunjukkan bahwa
jumlah anak stunting adalah sekitar 151 juta, terhitung 22,2% dari anak-anak di
dunia. Selain itu, proporsi anak pendek terkonsentrasi di negara berpenghasilan
rendah (16%) dan berpenghasilan menengah ke bawah (47%) dibandingkan dengan
negara berpenghasilan menengah ke atas (27%) dan berpenghasilan tinggi (10%) [1 ].
Sekitar 83,8 juta anak stunting tinggal di Asia, terutama di Asia Selatan dan Tenggara,
58,7 juta di Afrika, dan 5,1 juta di Amerika Latin dan Karibia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban gizi buruk yang tinggi,
termasuk stunting [1]. Hasil kesehatan anak buruk, meskipun ekonomi Indonesia
adalah yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ke-17 di dunia [2]. Data yang
diterbitkan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kejadian stunting pada anak
usia lima tahun ke bawah masih tinggi yaitu 30,8% [3]. Bank Dunia (2020) [4]
mencatat bahwa Indonesia memiliki kinerja yang kurang baik dalam hal penurunan
tingkat stunting dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah ke atas dan
negara lain di kawasan. Mengingat tingginya prevalensi stunting dan dampaknya
terhadap perkembangan kognitif anak, maka tingkat produktivitas generasi penerus
Indonesia diperkirakan setengah dari potensinya [4]. Oleh karena itu, penanggulangan
stunting pada anak tetap menjadi komitmen utama pemerintah,
Literatur yang lebih luas tentang stunting mengungkapkan bahwa berbagai
karakteristik tingkat anak, orang tua, rumah tangga, dan komunitas terkait dengan
stunting [7-13]. Pada tingkat orang tua dan rumah tangga, beberapa faktor pola
makan dan sosial ekonomi terbukti berkorelasi dengan risiko stunting. Sehubungan
dengan faktor risiko, Beal et al. [7], misalnya, menetapkan bahwa risiko stunting di
Indonesia lebih tinggi pada rumah tangga yang tidak memiliki akses air minum yang
aman. Status kekayaan rumah tangga adalah prediktor signifikan lainnya, karena
anak-anak yang berasal dari rumah tangga miskin lebih mungkin mengalami stunting
[11, 12]. Sementara itu, di tingkat masyarakat, prevalensi stunting terbukti lebih
tinggi pada masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan [7].
Dalam hal faktor protektif untuk stunting, penelitian sebelumnya telah menunjukkan
bahwa kemungkinan stunting lebih rendah di masyarakat di mana layanan perawatan
antenatal dan layanan kesehatan dan gizi terpadu tersedia [8, 9, 13]. Selain itu,
konsumsi beragam makanan dalam rumah tangga juga ditemukan dapat menurunkan
kemungkinan stunting [14]. Selain itu, pendidikan orang tua terbukti signifikan,
dengan anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang berpendidikan memiliki
risiko stunting yang lebih rendah. Semba dkk. [11] menjelajahi saluran di mana
pendidikan orang tua berdampak pada pengerdilan dan berpendapat bahwa orang tua
yang berpendidikan memberikan lebih banyak perhatian (dalam bentuk
mengimunisasi anak mereka dan memberi mereka vitamin A dan garam beryodium),
yang pada gilirannya akan menurunkan risiko pengerdilan. 9, 13]. Selain itu,
konsumsi beragam makanan dalam rumah tangga juga ditemukan dapat menurunkan
kemungkinan stunting [14]. Selain itu, pendidikan orang tua terbukti signifikan,
dengan anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang berpendidikan memiliki
risiko stunting yang lebih rendah. Semba dkk. [11] menjelajahi saluran di mana
pendidikan orang tua berdampak pada pengerdilan dan berpendapat bahwa orang tua
yang berpendidikan memberikan lebih banyak perhatian (dalam bentuk
mengimunisasi anak mereka dan memberi mereka vitamin A dan garam beryodium),
yang pada gilirannya akan menurunkan risiko pengerdilan. 9, 13]. Selain itu,
konsumsi beragam makanan dalam rumah tangga juga ditemukan dapat menurunkan
kemungkinan stunting [14]. Selain itu, pendidikan orang tua terbukti signifikan,
dengan anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang berpendidikan memiliki
risiko stunting yang lebih rendah. Semba dkk. [11] menjelajahi saluran di mana
pendidikan orang tua berdampak pada pengerdilan dan berpendapat bahwa orang tua
yang berpendidikan memberikan lebih banyak perhatian (dalam bentuk
mengimunisasi anak mereka dan memberi mereka vitamin A dan garam beryodium),
yang pada gilirannya akan menurunkan risiko pengerdilan.
Prevalensi stunting di Jawa Tengah bervariasi menurut wilayah, seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 1 di bawah ini [3]. Ini meningkat di semua provinsi
antara tahun 2013 dan 2018, kecuali di Kalimantan Timur (Kalimantan Timur).
Ibukota Provinsi Jakarta memiliki prevalensi terendah pada tahun 2018 sebesar
17,7%, sedangkan Nusa Tenggara Timur tercatat tertinggi sebesar 42,6%. Provinsi di
Indonesia bagian timur yang indikator pembangunannya banyak tertinggal dari
daerah lain memiliki prevalensi stunting yang lebih tinggi. Bank Dunia (2020) [4]
juga menyoroti variasi regional dalam kejadian stunting di Indonesia dan lebih lanjut
mencatat bahwa risiko stunting lebih tinggi di kabupaten miskin dan padat penduduk
di mana akses ke infrastruktur dasar air, sanitasi dan kebersihan (WASH ) kurang.
Angka1Prevalensi stunting di seluruh provinsi di Indonesia.

Makalah ini mengkaji determinan stunting di tingkat individu, rumah tangga,


kecamatan, dan provinsi dengan menggunakan model multilevel mixed effects.
Secara metodologis, ini merupakan peningkatan dari sebagian besar literatur
sebelumnya di lapangan [lihat, misalnya, 13-15], karena studi sebelumnya meneliti
faktor penentu stunting di Jawa Tengah menggunakan regresi logistik dan probit.
Model multilevel cocok untuk analisis kami karena struktur data kami yang hierarkis
atau berkerumun. Anak kecil yang tinggal di rumah tangga dan komunitas yang sama
diperkirakan memiliki risiko stunting yang lebih mirip dibandingkan dengan mereka
yang tinggal di rumah tangga dan komunitas yang berbeda [11, 12, 15]. Lebih-lebih
lagi, anak-anak di provinsi yang sama lebih cenderung memiliki risiko stunting yang
sama karena mereka memiliki akses yang sama ke layanan kesehatan dan
infrastruktur lainnya [8, 9, 13]. Selain itu, karakteristik orang tua dan latar belakang
sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap kebiasaan makan dan status gizi
anak [14, 15]. Pemodelan multilevel memungkinkan kita untuk menyelidiki
heterogenitas individu dan heterogenitas antar cluster dan meningkatkan teknik
estimasi yang digunakan dalam studi pengerdilan sebelumnya [lihat, misalnya, 13-
15]. Selain itu, dengan mempertimbangkan pengelompokan dalam data menghasilkan
kesalahan standar koefisien regresi yang lebih andal [16]. Pemodelan multilevel
memungkinkan kita untuk menyelidiki heterogenitas individu dan heterogenitas antar
cluster dan meningkatkan teknik estimasi yang digunakan dalam studi pengerdilan
sebelumnya [lihat, misalnya, 13-15]. Selain itu, dengan mempertimbangkan
pengelompokan dalam data menghasilkan kesalahan standar koefisien regresi yang
lebih andal [16]. Pemodelan multilevel memungkinkan kita untuk menyelidiki
heterogenitas individu dan heterogenitas antar cluster dan meningkatkan teknik
estimasi yang digunakan dalam studi pengerdilan sebelumnya [lihat, misalnya, 13-
15]. Selain itu, dengan mempertimbangkan pengelompokan dalam data menghasilkan
kesalahan standar koefisien regresi yang lebih andal [16].
Makalah ini menjawab dua pertanyaan penelitian utama: Apakah variasi di
tingkat provinsi, kecamatan, rumah tangga dan individu menjelaskan stunting pada
anak di Jawa Tengah? Apa determinan multilevel stunting pada anak di Jawa Tengah?
Bagian kertas yang tersisa disusun sebagai berikut. Bagian 2 membahas data dan
metodologi yang digunakan dalam makalah, termasuk variabel hasil dan berbagai
variabel kontrol yang termasuk dalam estimasi. Bagian 3 menyajikan dan membahas
hasil estimasi kami. Bagian terakhir menyajikan kesimpulan dan memberikan
rekomendasi kebijakan berdasarkan temuan penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA
Stunting
Menurut World Health Organization (WHO) stunting adalah kegagalan pertumbuhan
dan perkembangan yang dialami anak karena kekurangan nutrisi, terkena infeksi yang
berulang, dan kurang mendapat stimulasi psikososial (Kemendikbud, 2019). Stunting
adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (Setiawan, 2018).
Menurut Kementerian Kesehatan stunting adalah anak balita stunting bila nilai
zscorenya kurang dari -2SD (standar deviasi) dan stunting berat bila kurang dari -
3SD. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) (Kementerian PPN,
2018). Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh
pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan kronis dan infeksi
berulang terutama pada periode 1.000 HPK, yaitu dari janin hingga anak berusia 23
bulan gizi (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan , 2018). Jadi stunting adalah kondisi seorang anak yang lebih pendek
dibanding anak tumbuh normal yang seumuran, akibat dari kekurangan gizi kronis
dan infeksi berulang yang berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan
anak balita.

Stunting Patofisiologi
Tinggi badan anak dipengaruhi oleh genetik, hormon, zat gizi dan penyakit. Proses
pertumbuhan dikendalikan oleh genetik dan pengaruh lingkungan pada waktu tertentu
selama masa pertumbuhan. Ketika lingkungan dalam kondisi netral yang tidak
memberikan pengaruh negatif terhadap proses pertumbuhan, maka akan terwujud
sepenuhnya potensi genetik, tetapi kemampuan lingkungan tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kapan terjadinya, jumlah kemunculan, usia dan jenis kelamin
anak, serta kekuatan dan durasi. Bila bayi lahir sudah pendek, maka pertumbuhannya
pun akan terhambat, bahkan berdampak sampai dewasa akan resiko menderita
penyakit tidak menular. Apabila anak ini menjadi ibu akan melahirkan generasi yang
pendek, demikian seterusnya sehingga terjadilah lintas generasi yang pendek.
Hormon utama yang mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan manusia yaitu
hormon pertumbuhan atau Growth Hormon (GH), hormon perangsang tiroid,
gonadotropin, hormon prolaktin, dan hormon adrenokortikotropik. Hormon tidak
bekerja sendiri tetapi ada kolaborasi dari hormon lain untuk mempengaruhi sel-sel
tulang rawan serta otot rangka di tulang panjang untuk meningkatkan penyerapan
asam amino yang dimasukkan ke dalam protein yang baru, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan linier selama bayi dan masa kecil (Candra, 2020) .

Indikator Stunting
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB).
Untuk data perolehan berat badan dapat digunakan tim bangan dacin ataupun
timbangan injak yang memiliki presisi 0,1 kg. Timbangan dacin atau timbangan anak
digunakan untuk menimbang anak sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa
dibaringkan/duduk dengan tenang. Panjang badan diukur dengan length-board dengan
presisi 0,1 cm dan tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoice dengan
presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB anak ini dapat disajikan dalam bentuk tiga
indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Majestika
Septikasari , 2018). Sedangkan indikator dari stunting ada 2 yaitu :
A. Tinggi Badan(TB) / Panjang Badan (PB)
B. Umur
Berdasarkan indikator tersebut, terdapat istilah terkait satus gizi yang sering
digunakan (Kemenkes RI, 2011) yaitu pendek dan sangat pendek adalah status gizi
yang berdasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan
menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted/pendek dan highly
stunted/sangat pendek (Majestika Septikasari, 2018).

PEMBAHASAN
Analisis kami menemukan bahwa stunting berhubungan dengan beberapa variabel
tingkat individu, keluarga/rumah tangga dan komunitas. Sering ngemil tidak sehat,
berjenis kelamin laki-laki, berat badan lahir rendah dan diare meningkatkan risiko
stunting. Karakteristik keluarga yang berkontribusi terhadap risiko stunting antara
lain perawakan ibu yang pendek dan memiliki keluarga dengan status sosial ekonomi
yang rendah. Dari segi karakteristik masyarakat, penelitian ini menemukan bahwa
tinggal di pedesaan meningkatkan risiko stunting sebesar 19%. Risiko stunting juga
lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal di komunitas yang tidak memiliki akses
WASH bersih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
frekuensi konsumsi jajanan yang tinggi dengan risiko anak mengalami stunting. Studi
menunjukkan bahwa ngemil menjadi lebih lazim di Jawa Tengah, baik di pedesaan
maupun di perkotaan. Sebuah studi oleh Sekiyama et al. [19] menunjukkan bahwa
sepertiga dari makanan yang dikonsumsi oleh anak kecil di Jawa Tengah, Indonesia
dapat dikategorikan sebagai makanan jajanan. Konsumsi jajanan yang tinggi
berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak karena jajanan sebagian besar
mengandung lemak (59,6%) dan energi (40%) tetapi memiliki kepadatan protein dan
zat gizi mikro yang lebih rendah. Hitam dkk. [31] dan Tarwotjo dkk. [32]
mengemukakan bahwa kurangnya asupan mikronutrien, seperti kalsium dan vitamin
A, berdampak buruk pada pertumbuhan linear anak-anak. Organisasi Kesehatan
Dunia telah melaporkan bahwa kekurangan kronis mikronutrien dialami oleh lebih
dari 2 miliar orang di seluruh dunia [29]. Mikronutrien sangat penting untuk
perkembangan anak karena mereka memiliki peran penting dalam pembentukan
tulang (kalsium), pertumbuhan tulang panjang (seng) dan peningkatan panjang femur
intrauterin (suplemen) [33-35].
Pentingnya mikronutrien untuk anak-anak juga telah ditetapkan oleh
penelitian lain yang mengukur pengaruh School Feeding Program (SFP) terhadap
perkembangan anak [36-38]. Sebuah studi kuasi-eksperimental oleh Metwally et al.
[36] mengungkapkan bahwa memberi makan pai anak-anak yang terbuat dari tepung
yang diperkaya dengan vitamin dan mineral memiliki efek positif pada
perkembangan kognitif. Namun demikian, efek SFP terhadap status gizi
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terwujud, sehingga efeknya tidak
signifikan secara statistik. Studi lain tentang SFP di pedesaan Kenya menunjukkan
bahwa asupan mineral, seperti seng dan besi, serta vitamin dapat meningkatkan nafsu
makan anak, pertumbuhan otot, dan aktivitas fisik [37]. Pentingnya mikronutrien
pada makanan anak-anak juga ditemukan dalam evaluasi dampak program SFP di
pedesaan Uganda [38].
Temuan kami bahwa anak laki-laki memiliki risiko stunting yang lebih tinggi
daripada anak perempuan konsisten dengan penelitian sebelumnya. Adair dan
Guilkey [35], Moestue [34] dan Wamani et al. [33], misalnya, menemukan bahwa
skor z tinggi badan menurut usia untuk anak perempuan lebih tinggi daripada anak
laki-laki; dengan demikian, anak perempuan memiliki prevalensi stunting yang lebih
rendah di Afrika Sub-Sahara dan Cina. Literatur menunjukkan bahwa prevalensi
stunting yang lebih tinggi di antara anak laki-laki dapat dijelaskan dengan praktik
pemberian makanan pendamping ASI. Anak laki-laki menerima makanan
pendamping prematur, karena orang tua menganggap bahwa menyusui tidak cukup
untuk memenuhi asupan energi yang lebih besar yang mereka yakini diperlukan
untuk bayi laki-laki [18]. Sebuah studi oleh Tumilowicz et al. [39] menunjukkan
bahwa di antara anak-anak Guatemala, lebih banyak anak laki-laki daripada anak
perempuan berusia 2-3 bulan yang diberi makanan pendamping. Kumpulan data IFLS
untuk anak-anak muda Indonesia juga menunjukkan bahwa pemberian makanan
pendamping ASI dimulai untuk anak laki-laki lebih awal daripada anak perempuan.
Rata-rata pemberian makanan pendamping ASI untuk balita Indonesia pada data
IFLS Gelombang 4 dan 5 dimulai pada 19,74 minggu untuk bayi perempuan dan
18,91 minggu untuk bayi laki-laki; perbedaannya signifikan secara statistik dalam uji-
t.
Selain itu, praktik pemberian makanan pendamping ini tidak menguntungkan
anak laki-laki karena mereka lebih mungkin diberi makan lebih banyak daripada anak
perempuan. Tumilowicz dkk. [39] menyajikan bukti bahwa bayi laki-laki diberi
makan dua kali lebih banyak daripada bayi perempuan dalam periode 24 jam. Praktik
pemberian makanan pendamping ASI prematur memiliki efek yang merugikan pada
anak kecil karena menimbulkan risiko lebih besar terkena penyakit menular [40, 41].
Selain itu, pengenalan makanan secara dini sebelum bayi mencapai usia 6 bulan tidak
berpengaruh signifikan terhadap perkembangan panjang atau berat badan anak [23].
Seperti yang disajikan di bagian Hasil, kami menemukan bahwa bayi dengan
berat lahir rendah (kurang dari 2,5 kg saat lahir) memiliki risiko dua kali lebih tinggi
untuk mengalami stunting dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Temuan ini
konsisten dengan studi oleh Tiwari et al. [23], yang menemukan bahwa bayi baru
lahir dengan berat badan rata-rata dan di atas rata-rata memiliki kemungkinan lebih
rendah untuk mengalami stunting daripada bayi yang lebih kecil. Selanjutnya, A
Saleemi [42] dan Varela-Silva et al. [43] juga menunjukkan bahwa risiko bayi kecil
mengalami stunting tiga kali lebih tinggi daripada bayi lain.
Menurut Schmidt et al. [26], berat badan neonatal dan khususnya panjang
adalah indikator yang baik dari status gizi anak di masa depan. Berat bayi baru lahir
yang rendah dan pendek mungkin merupakan indikasi pembatasan pertumbuhan
intrauterin (IUGR), yang berarti bayi tidak tumbuh dengan kecepatan normal di
dalam rahim selama kehamilan. Berat dan tinggi badan neonatal yang lebih rendah
juga dapat dikaitkan dengan malnutrisi ibu selama kehamilan, yang pada gilirannya
memengaruhi perkembangan bayi [23]. Selain itu, bayi kecil mungkin juga lahir
prematur, yang berarti mereka mungkin belum berkembang sempurna selama
kehamilan [23]. Dalam jangka panjang, IUGR dapat menyebabkan berbagai masalah
perkembangan, seperti retardasi pertumbuhan, perkembangan kemampuan kognitif
yang lebih rendah, dan hasil perkembangan saraf yang buruk.
Dalam hal infeksi diare, temuan kami konsisten dengan penelitian sebelumnya
oleh Bardosono et al. [44], Beal dkk. [7] dan Tiwari dkk. [23]. Para penulis ini juga
menemukan bahwa diare berhubungan dengan stunting. Menurut Richard et al. [45],
diare adalah masalah kesehatan yang sangat umum di negara berkembang, karena
rumah tangga tidak memiliki akses ke air bersih dan sanitasi. Minum dari sumber air
yang tidak layak dan minum air yang tidak diolah meningkatkan risiko diare akibat
infeksi usus dari berbagai bakteri, parasit, dan virus. Richard dkk. [45] menunjukkan
bahwa dampak diare pada pertumbuhan linier sangat kuat ketika anak-anak kecil
menderita beberapa episode diare dalam 24 bulan pertama kehidupan mereka. Lebih-
lebih lagi, diare dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan jika kejadian diare
bersamaan dengan kurangnya makanan berkualitas baik dan akses yang buruk ke
perawatan kesehatan. Diare memiliki efek merugikan pada pertumbuhan linear dan
ponderal, karena menurunkan asupan makanan, meningkatkan kebutuhan
metabolisme dan mengurangi penyerapan nutrisi di usus [45].
Analisis kami menemukan hubungan yang kuat antara perawakan ibu dan
pengerdilan masa kanak-kanak. Semba dkk. [11] juga membentuk hubungan yang
kuat antara perawakan ibu dan stunting, dan Schmidt et al. [26] berpendapat bahwa
tinggi badan ibu dan berat badan bayi baru lahir adalah prediktor terkuat dari stunting
anak. Perawakan ibu dianggap sebagai indikator yang baik untuk kekurangan gizi
intragenerasi. Prendergast dan Humphrey [46] berpendapat bahwa memiliki ibu yang
pendek relevan dalam menjelaskan prevalensi stunting pada anak karena pentingnya
status gizi ibu terhadap stunting pada anak. Ibu yang menderita gizi kurang memiliki
risiko lebih tinggi untuk memiliki anak stunting karena pengaruhnya yang signifikan,
terutama pada 500 hari pertama kehidupan seorang anak.
Hubungan antara lama sekolah ibu dan risiko stunting juga didukung oleh
penelitian sebelumnya [lihat, misalnya, 8, 19, 41]. Pengasuh yang berpendidikan
lebih baik dianggap memiliki pengetahuan gizi ibu yang tepat [44]. Selanjutnya,
Semba et al. [11] menemukan bahwa orang tua yang berpendidikan lebih baik
cenderung terlibat dalam pengasuhan yang lebih protektif; misalnya, mereka dapat
melakukannya dengan memastikan bahwa anak-anak mereka menerima kapsul
vitamin A, diimunisasi lengkap, memiliki akses ke sanitasi yang lebih baik dan
mengonsumsi garam beryodium.

Hasilnya juga memberikan bukti bahwa anak-anak dari rumah tangga miskin lebih
berisiko mengalami stunting. Hubungan kuat yang kami temukan antara kekayaan
keluarga dan stunting telah ditetapkan dalam literatur [7, 11, 13, 27, 47–50].
Bardosono, Sastroamidjoo dan Lukito [44] berpendapat bahwa keluarga miskin
kekurangan sumber daya untuk mengkonsumsi makanan bergizi berkualitas tinggi
dan mengakses layanan kesehatan.
Hasil kami menunjukkan hubungan positif antara tinggal di daerah pedesaan
dan risiko stunting. Studi sebelumnya mendukung temuan bahwa anak-anak yang
tinggal di pedesaan memiliki risiko stunting yang lebih tinggi daripada teman
sebayanya di perkotaan [lihat, misalnya, 15, 23, 28]. Menurut Mahendradata dkk.
[51] dan Mulyanto, Kurst dan Kringos [52], baik permintaan maupun penyediaan
layanan kesehatan bervariasi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Masyarakat yang
tinggal di perkotaan memiliki lebih banyak akses ke layanan kesehatan dan
infrastruktur terkait lainnya, seperti jalan raya yang mengurangi waktu perjalanan ke
fasilitas layanan kesehatan. Sedangkan akses pelayanan kesehatan di perdesaan
semakin terbatas. Menurut Sparrow dan Vothknecht [53], 6,3% kecamatan di Jawa
Tengah tidak memiliki akses ke Puskesmas. Kabupaten-kabupaten tersebut sebagian
besar berada di pedesaan di luar Pulau Jawa. Lebih-lebih lagi, studi mereka
melaporkan bahwa 4,2% Puskesmas di daerah pedesaan tidak memiliki dokter yang
bertugas di fasilitas kesehatan. Infrastruktur kesehatan fisik, seperti inkubator yang
berfungsi, fasilitas lab, dan poliklinik rawat jalan, juga lebih terbatas di daerah
pedesaan.
Studi lain oleh Schmidt et al. [26] mengemukakan bahwa prevalensi stunting
yang lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan terkait
dengan kepekaan yang lebih besar terhadap perubahan harga pangan. Keluarga di
perdesaan lebih sensitif terhadap kenaikan harga pangan karena mengalokasikan dua
per lima anggarannya untuk kebutuhan pokok. Seiring dengan kenaikan harga
pangan, daya beli keluarga pedesaan menurun, sehingga semakin sulit untuk
memenuhi kebutuhan gizi esensial anak-anak mereka.
Hasil kami juga menunjukkan bahwa kurangnya akses ke WASH
berhubungan dengan stunting pada anak kecil di Jawa Tengah. Akses yang aman ke
infrastruktur WASH sangat penting. Anak kecil lebih rentan terhadap diare, infeksi
cacing usus, dan enteropati lingkungan ketika rumah tangga memiliki fasilitas WASH
yang buruk [9]. Infeksi ini dapat menyebabkan masalah gizi. Misalnya, anak-anak
mungkin kehilangan nafsu makan, sehingga mereka mungkin mengonsumsi makanan
lebih sedikit dari yang mereka butuhkan. Selain itu, jenis infeksi ini dapat
menyebabkan malabsorpsi nutrisi dan aktivasi kekebalan kronis. Terakhir, infeksi
dapat menyebabkan demam, yang mengharuskan tubuh membakar lebih banyak
makanan dan mengerahkan energi untuk melawan infeksi alih-alih menggunakannya
untuk perkembangan fisik.
Hubungan yang tidak signifikan yang kami temukan antara stunting dan akses
ke layanan gizi di Puskesmas mungkin disebabkan oleh terbatasnya kapasitas
program gizi Indonesia, seperti yang ditunjukkan dalam laporan UNICEF [54].
Dalam hal cakupan intervensi khusus gizi yang direkomendasikan oleh The Lancet
[55], pemerintah Indonesia hanya mengadopsi 4 dari 10. Dari enam program yang
tersisa, empat tercakup sebagian, dan dua tidak tercakup. Dari segi infrastruktur
kesehatan, proporsi ahli gizi per kapita di Jawa Tengah rendah dan bervariasi antar
daerah. Di provinsi yang lebih besar di Pulau Jawa, seperti di Jawa Tengah, jumlah
ahli gizi per 1.000 orang mencapai 43,14 pada tahun 2017. Namun, jumlahnya jauh
lebih rendah di provinsi di luar Pulau Jawa. Misalnya di Nusa Tenggara Timur,
Hasil kami juga menunjukkan bahwa risiko stunting pada anak kecil lebih
tinggi pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2007. Studi sebelumnya mengungkapkan
bahwa setelah penurunan prevalensi stunting yang signifikan di Indonesia pada tahun
1990-an dan awal 2000-an [28], prevalensi tetap tidak berubah di tahun 2000-an [56].
Temuan kami sejalan dengan data nasional dari Survei Sosial Ekonomi Indonesia dan
Survei Kesehatan Dasar, yang menunjukkan bahwa prevalensi stunting lebih tinggi
pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2007. Sebuah publikasi Bank Dunia mengakui
peran penting program dan surveilans gizi di tingkat desa dalam Tahun 1980-an
berperan dalam menurunkan prevalensi gizi buruk di Jawa Tengah. Namun, program
masif ini mengalami kemunduran dan kehilangan perhatian dari pemerintah.
Selanjutnya, Jawa Tengah telah mengalami desentralisasi,

PENUTUP
Stunting masih menjadi masalah pembangunan di Indonesia, dengan sekitar 30%
anak balita mengalami stunting. Penelitian ini mengkaji determinan multilevel
stunting pada anak usia dini di Jawa Tengah. Pada level kontekstual, ICC
menunjukkan adanya korelasi risiko stunting pada anak yang tinggal di provinsi yang
sama. Korelasi menjadi lebih kuat untuk anak-anak yang tinggal di kecamatan yang
sama. Terakhir, korelasi terkuat dari risiko stunting ditemukan di antara anak-anak
yang tinggal di rumah yang sama. Selain itu, uji rasio kemungkinan menunjukkan
bahwa stunting di Jawa Tengah bervariasi menurut provinsi, kecamatan, dan tingkat
rumah tangga, dan analisis stunting perlu mempertimbangkan variasi pada semua
level ini.
Pada tingkat anak dan keluarga, hasil kami mengidentifikasi beberapa
determinan yang signifikan secara statistik dari pengerdilan masa kanak-kanak.
Dalam hal karakteristik individu, anak laki-laki, berat badan lahir rendah dan
mengalami diare akut berhubungan dengan stunting. Dalam hal karakteristik
keluarga, kami menemukan bahwa karakteristik ibu, khususnya tinggi badan ibu dan
pendidikan ibu, berhubungan dengan stunting. Sebaliknya, tinggal di keluarga dengan
status sosial ekonomi yang lebih tinggi menurunkan risiko stunting, dan risiko
stunting jauh lebih rendah untuk anak-anak di kuartil distribusi kekayaan tertinggi.
Terakhir, dalam hal karakteristik masyarakat, kami menemukan bahwa tinggal di
pedesaan meningkatkan risiko stunting sebesar 20%.
Dari perspektif kebijakan, temuan kami menunjukkan bahwa penanggulangan
stunting di Jawa Tengah memerlukan upaya yang substansial untuk menciptakan
ruang yang membantu implementasi kebijakan dalam menciptakan kondisi multilevel
yang mendukung. Ini termasuk menangani baik faktor tingkat individu maupun
rumah tangga yang mendukung nutrisi dan perkembangan anak yang baik. Pola
makan sehat, pendidikan dan kesadaran ibu, karakteristik sosial ekonomi dan
ketersediaan bahan WASH.

DAFTAR PUSTAKA
1. UNICEF/WHO/Grup Bank Dunia. Estimasi Malnutrisi Anak Gabungan edisi 2018.
2018 Mei.
2. Bank Dunia. Data Bank Dunia. Data Bank Dunia. 2019.
3. Kementerian Kesehatan. Survei Kesehatan Dasar. Jakarta; 2018.
4. Bank Dunia. Pengeluaran Lebih Baik untuk Mengurangi Stunting di Indonesia:
Temuan dari Tinjauan Pengeluaran Publik. Washington DC; 2020. [beasiswa
Google]
5. Kementerian PPN/ Bappenas. Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2015–
2020. Kementerian PPN/Bappenas Indonesia; 2015.
6. Kementerian PPN/ Bappenas. Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2020–
2024. Kementerian PPN/Bappenas Indonesia; 2020.
7. Beal T, Tumilowicz A, Sutrisna A, Izwardy D, Neufeld LM. Kajian determinan
stunting anak di Indonesia. Vol. 14, Gizi Ibu dan Anak. Blackwell Publishing
Ltd; 2018. doi: 10.1111/mcn.12617 [artikel bebas PMC] [PubMed]
[CrossRef] [beasiswa Google]
8. Anwar F, Khomsan A, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES. Partisipasi yang
tinggi dalam program gizi Posyandu meningkatkan status gizi anak. Penelitian
dan Praktek Nutrisi. 2010;4(3):208. doi: 10.4162/nrp.2010.4.3.208 [artikel
bebas PMC] [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
9. Barber SL, Gertler PJ. Petugas kesehatan, kualitas perawatan, dan kesehatan anak:
Mensimulasikan hubungan antara peningkatan staf kesehatan dan panjang
anak. Kebijakan Kesehatan [Internet]. 2009;91(2):148–55. Tersedia
dari:http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0168851008002819doi
: 10.1016/j.healthpol.2008.12.001 [artikel bebas PMC] [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
10. Mahmudiono T, Sumarmi S, Rosenkranz RR. Keragaman pola makan rumah
tangga dan stunting anak di Jawa Timur, Indonesia. Jurnal Nutrisi Klinis Asia
Pasifik. 2017;26(2):317–25. doi: 10.6133/apjcn.012016.01 [PubMed]
[CrossRef] [beasiswa Google]
11. Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW. Pengaruh
pendidikan formal orang tua terhadap risiko stunting pada anak di Indonesia
dan Bangladesh: studi cross-sectional. Lanset. 2008. Jan 26;371(9609):322–8.
doi: 10.1016/S0140-6736(08)60169-5 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa
Google]
12. Skoufias E. Pendidikan orang tua dan gizi anak di Indonesia. Buletin Studi
Ekonomi Indonesia. 1999;35(1):99–119. [beasiswa Google]
13. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Penentu stunting pada anak
Indonesia: Bukti dari survei cross-sectional menunjukkan peran penting sektor
air, sanitasi dan kebersihan dalam pengurangan stunting. Kesehatan
Masyarakat BMC. 2016. Jul 29;16(1). doi: 10.1186/s12889-016-3339-8
[artikel bebas PMC] [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
14. Mahmudiono T, Sumarmi S, Rosenkranz RR. Keragaman pola makan rumah
tangga dan stunting anak di Jawa Timur, Indonesia. Jurnal Nutrisi Klinis Asia
Pasifik. 2017;26(2):317–25. doi: 10.6133/apjcn.012016.01 [PubMed]
[CrossRef] [beasiswa Google]
15. de Silva I, Sumarto S. Malnutrisi Anak di Indonesia: Bisakah Pendidikan,
Sanitasi, dan Layanan Kesehatan Meningkatkan Peran Pendapatan? Jurnal
Pembangunan Internasional. 2018. Jul 1;30(5):837–64. [beasiswa Google]
16. Snijders T, Bosker R. Analisis Multilevel: Pengantar Analisis Multilevel Dasar
dan Terapan. Edisi ke-2. Sage; 2012. [beasiswa Google]
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes Republik Indonesia,
Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 Kemenkes Republik Indonesia; 2010.
18. Custodio E, Herrador Z, Nkunzimana T, Węziak-Białowolska D, Perez-Hoyos A,
Kayitakire F. Keanekaragaman makanan anak-anak dan faktor terkait di
Rwanda dan Burundi: Analisis bertingkat menggunakan Survei Demografi
dan Kesehatan 2010. Fisher F, penyunting. PLOS SATU [Internet]. 2019. 9
Okt [dikutip 7 Juli 2020];14(10):e0223237. Tersedia
dari:https://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0223237doi:
10.1371/journal.pone.0223237 [artikel bebas PMC] [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
19. Sekiyama M, Roosita K, Ohtsuka R. Konsumsi makanan jajanan berkontribusi
terhadap gizi buruk anak pedesaan di Jawa Barat, Indonesia. 558 Asia Pac J
Clin Nutr. 2012;21(4):558–67. [PubMed] [beasiswa Google]
20. Custodio E, Descalzo MÁ, Roche J, Molina L, Sánchez I, Lwanga M, dkk.
Transisi ekonomi dan nutrisi di Guinea Khatulistiwa bertepatan dengan beban
ganda kelebihan dan kekurangan gizi. Ekonomi dan Biologi Manusia. 2010.
Mar;8(1):80–7. doi: 10.1016/j.ehb.2009.10.001 [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
21. Wang D, van der Horst K, Jacquier EF, Afeiche MC, Eldridge AL. Pola Ngemil
pada Anak: Perbandingan antara Australia, Cina, Meksiko, dan AS. Nutrisi.
2018. Feb 11;10(2). [artikel bebas PMC] [PubMed] [beasiswa Google]
22. Bork KA, Diallo A. Anak laki-laki lebih kerdil daripada anak perempuan sejak
bayi hingga usia 3 tahun di pedesaan senegal. Jurnal Nutrisi.
2017;147(5):940–7. doi: 10.3945/jn.116.243246 [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
23. Tiwari R, Ausman LM, Agho KE. Determinan stunting dan stunting berat pada
balita: Bukti dari Survei Demografi dan Kesehatan Nepal 2011. BMC
Pediatri. 2014. Sep 27;14(1). doi: 10.1186/1471-2431-14-239 [artikel bebas
PMC] [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
24. Organisasi Kesehatan Dunia. Target Gizi Global 2025: Ringkasan kebijakan berat
badan lahir rendah. 2014.
25. Stewart Christine P, Iannotti Lora, Dewey Kathryn G, Michaelsen Kim F,
Onyango Adelheid W. Mengontekstualisasikan pemberian makanan
pendamping dalam kerangka yang lebih luas untuk pencegahan stunting.
Nutrisi Anak Matern. 2013;9(Sup 2(Sup 2):27–45):27–45. [artikel bebas
PMC] [PubMed] [beasiswa Google]
26. Schmidt MK, Muslimatun S, CE Barat, Schultink W, Gross R, Hautvast JGAJ.
Komunitas dan Gizi Internasional Status Gizi dan Pertumbuhan Linear Bayi
Indonesia di Jawa Barat Lebih Ditentukan oleh Lingkungan Prenatal daripada
Faktor Postnatal 1. J Nutr [Internet]. 2002;132:2202–7. Tersedia
dari:https://academic.oup.com/jn/article-abstract/132/8/2202/4687633doi:
10.1093/jn/132.8.2202 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
27. Mani S. Determinan sosial ekonomi kesehatan anak: Bukti empiris dari Indonesia.
Jurnal Ekonomi Asia. 2014. Mar;28(1):81–104. [beasiswa Google]
28. Rachmi CN, Agho KE, Li M, Baur LA. Stunting, underweight, dan overweight
pada anak usia 2,0–4,9 tahun di Indonesia: Tren prevalensi dan faktor risiko
terkait. PLo SATU. 2016. Mei 1;11(5). [artikel bebas PMC] [PubMed]
[beasiswa Google]
29. Penny ME, Creed-Kanashiro HM, Robert RC, Narro R, Caulfield LE, Black RE.
Pendahuluan Keefektifan intervensi pendidikan yang disampaikan melalui
layanan kesehatan untuk memperbaiki gizi pada anak-anak: uji coba
terkontrol secara acak kelompok. Lanset [Internet]. 2005;365(28 Mei):1863–
72. Tersedia dari:www.thelancet.com[PubMed] [beasiswa Google]
30. Haddad L, Cameron L, Barnett I. Beban ganda malnutrisi di Asia Tenggara dan
Pasifik: prioritas, kebijakan, dan politik. Kebijakan dan Perencanaan
Kesehatan. 2015. Nov;30(9). doi: 10.1093/heapol/czu110 [PubMed]
[CrossRef] [beasiswa Google]
31. Black RE, Williams SM, Jones IE, Goulding A. Anak-anak yang menghindari
minum susu sapi memiliki asupan kalsium yang rendah dan kesehatan tulang
yang buruk. Jurnal Nutrisi Klinis Amerika. 2002. Sep 1;76(3). doi:
10.1093/ajcn/76.3.675 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
32. Tarwotjo I, Katz J, West KP, Tielsch JM, Sommer A. Xerophthalmia dan
pertumbuhan anak Indonesia prasekolah. Jurnal Nutrisi Klinis Amerika. 1992.
Jun 1;55(6). [PubMed] [beasiswa Google]
33. Wamani H, Åstrøm AN, Peterson S, Tumwine JK, Tylleskär T. Anak laki-laki
lebih kerdil daripada anak perempuan di Afrika Sub-Sahara: meta-analisis dari
16 survei demografi dan kesehatan. BMC Pediatri. 2007. Des 10;7(1). doi:
10.1186/1471-2431-7-17 [artikel bebas PMC] [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
34. Moestue H. Apakah antropometri dapat mengukur diskriminasi gender? Analisis
menggunakan standar WHO untuk menilai pertumbuhan anak-anak
Bangladesh. Gizi Kesehatan Masyarakat. 2009. 1 Agustus;12(8). doi:
10.1017/S1368980008003959 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
35. Adair LS, Guilkey DK. Determinan Spesifik Stunting Pada Anak Filipina. Jurnal
Nutrisi. 1997. Feb 1;127(2). doi: 10.1093/jn/127.2.314 [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
36. Metwally AM, El-Sonbaty MM, el Etreby LA, Salah El-Din EM, Abdel Hamid
N, Hussien HA, dkk. Dampak program pemberian makan sekolah nasional
Mesir terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan prestasi sekolah anak
sekolah. Jurnal Pediatri Dunia. 2020. 13 Agustus;16(4). [PubMed] [beasiswa
Google]
37. Murphy SP, Gewa C, Liang LJ, Grillenberger M, Bwibo NO, Neumann CG.
Jajanan Sekolah yang Mengandung Makanan Sumber Hewani Meningkatkan
Kualitas Pola Makan untuk Anak-anak di Pedesaan Kenya. Jurnal Nutrisi.
2003. Nov 1;133(11). doi: 10.1093/jn/133.11.3950S [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
38. Baum JI, Miller JD, Gaines BL. Efek suplementasi telur pada parameter
pertumbuhan pada anak-anak yang berpartisipasi dalam program pemberian
makan sekolah di pedesaan Uganda: studi percontohan. Riset Pangan & Gizi.
2017. Jan 6;61(1). [artikel bebas PMC] [PubMed] [beasiswa Google]
39. Tumilowicz A, Habicht JP, Pelto G, Pelletier DL. Persepsi gender memprediksi
perbedaan jenis kelamin dalam pola pertumbuhan bayi dan anak kecil
penduduk asli Guatemala. Jurnal Nutrisi Klinis Amerika. 2015. Nov 1;102(5).
doi: 10.3945/ajcn.114.100776 [artikel bebas PMC] [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
40. Organisasi Kesehatan Dunia. Pemberian makanan pendamping ASI pada anak
kecil di negara berkembang Tinjauan pengetahuan ilmiah saat ini. 1998.
41. Kramer MS, Kakuma R. Durasi Optimal Pemberian ASI Eksklusif Tinjauan
Sistematis. 2002. [PubMed] [beasiswa Google]
42. A Saleemi RNALM M. Penentu stunting pada 6, 12, 24 dan 60 bulan dan
pertumbuhan linier postnatal pada anak-anak Pakistan. Acta Pediatri. 2001.
Nov 1;90(11). [PubMed] [beasiswa Google]
43. Varela-Silva MI, Azcorra H, Dickinson F, Bogin B, Frisancho AR. Pengaruh
perawakan ibu, usia kehamilan, dan berat lahir bayi pada pertumbuhan selama
masa kanak-kanak di Yucatan, Meksiko: Uji hipotesis efek antar generasi.
Jurnal Biologi Manusia Amerika. 2009. Sep;21(5). [PubMed] [beasiswa
Google]
44. Bardosono S, Sastroamidjojo S, Lukito W. Penentu kekurangan gizi anak selama
krisis ekonomi 1999 di beberapa daerah miskin di Indonesia. Jurnal Nutrisi
Klinis Asia Pasifik. 2007;16(3):512–26. [PubMed] [beasiswa Google]
45. Richard SA, Black RE, Gilman RH, Guerrant RL, Kang G, Lanata CF, dkk. Diare
pada anak usia dini: hubungan jangka pendek dengan berat badan dan
hubungan jangka panjang dengan panjang. Jurnal Epidemiologi Amerika.
2013. 1 Okt;178(7):1129–38. doi: 10.1093/aje/kwt094 [artikel bebas PMC]
[PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
46. Prendergast AJ, Humphrey JH. Sindrom stunting di negara berkembang. Pediatri
dan Kesehatan Anak Internasional. 2014. Nov 1;34(4):250–65. doi:
10.1179/2046905514Y.0000000158 [artikel bebas PMC] [PubMed]
[CrossRef] [beasiswa Google]
47. CM Terbaik, Sun K, de Pee S, Sari M, Bloem MW, Semba RD. Ayah yang
merokok dan peningkatan risiko kekurangan gizi pada anak di kalangan
keluarga di pedesaan Indonesia. Pengendalian Tembakau. 2008. Feb 1;17(1).
doi: 10.1136/tc.2007.020875 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
48. Fernald LCH, Kariger P, Hidrobo M, Gertler PJ. Gradien sosial ekonomi dalam
perkembangan anak pada anak yang sangat muda: Bukti dari India, india,
Peru, dan Senegal. Prosiding National Academy of Sciences. 2012. 16
Okt;109(Tambahan_2). [artikel bebas PMC] [PubMed] [beasiswa Google]
49. Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, Dibley MJ. Prevalensi dan faktor
risiko stunting dan stunting berat pada balita di Provinsi Maluku Utara
Indonesia. BMC Pediatri. 2009. Des 6;9(1). doi: 10.1186/1471-2431-9-64
[artikel bebas PMC] [PubMed] [CrossRef] [beasiswa Google]
50. Sari M, de Pee S, Bloem MW, Sun K, Thorne-Lyman AL, Moench-Pfanner R,
dkk. Pengeluaran Rumah Tangga yang Lebih Tinggi untuk Pangan Sumber
Hewani dan Nongrain Menurunkan Risiko Stunting pada Anak Usia 0–59
Bulan di Indonesia: Implikasi Kenaikan Harga Pangan. Jurnal Nutrisi. 2010.
Jan 1;140(1). doi: 10.3945/jn.109.110858 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa
Google]
51. Mahendradata Y, Trisnantoro L, Listyadewi S, Soewondo P, Marthias T,
Harimurti P, dkk. Tinjauan Sistem Kesehatan Republik Indonesia. 2017.
[beasiswa Google]
52. Mulyanto J, Kunst AE, Kringos DS. Ketimpangan geografis dalam pemanfaatan
layanan kesehatan dan kontribusi faktor komposisi: Analisis multilevel
terhadap 497 kabupaten di Indonesia. Kesehatan dan Tempat. 2019. Nov 1;60.
doi: 10.1016/j.healthplace.2019.102236 [PubMed] [CrossRef] [beasiswa
Google]
53. Sparrow R, Vothknecht M. 'Laporan Sensus Infrastruktur PODES 2011 tentang
Kesiapan Pasokan Infrastruktur di Indonesia—Pencapaian dan Kesenjangan
yang Tersisa. Jakarta; 2007. [beasiswa Google]
54. Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF). Penilaian Kapasitas
Gizi di Indonesia [Internet]. Jakarta; Agustus 2018 [dikutip 4 Agustus
2021].https://www.unicef.org/indonesia/media/1816/file/Nutrition
%20Assessment%202018.pdf
55. Lutter CK, Peña-Rosas JP, Pérez-Escamilla R. Gizi ibu dan anak. Lanset. 2013.
Nov;382(9904). doi: 10.1016/S0140-6736(13)62319-3 [PubMed] [CrossRef]
[beasiswa Google]
56. Hanifah L, Wulansari R, Meiandayati R, Achadi EL. Tren stunting dan faktor
terkait di antara anak Indonesia usia 0–23 bulan: Bukti dari Survei Kehidupan
Keluarga Indonesia (IFLS) 2000, 2007 dan 2014. Mal J Nutr [Internet]. 2018.
[dikutip 16 Februari 2021];24(3):315–22. Tersedia
dari:https://nutriweb.org.my/mjn/publication/24-3/b.pdf[beasiswa Google]
57. Bank Dunia. Aming Tinggi: Ambisi Indonesia Kurangi Stunting [Internet].
Washington DC; 2018 [dikutip 16 Februari
2021].http://documents1.worldbank.org/curated/en/913341532704260864/
pdf/128954-REVISED-WB-Nutrition-Book-Aiming-High-11-Sep-2018.pdf

Anda mungkin juga menyukai