Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia saat ini masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak
serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) salah satu masalah gizi yang
menjadi perhatian utama saat ini ialah tingginya angka kejadian stunting. Stunting
merupakan suatu keadaan tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB) yang tidak
sesuai dengan umur, yang penentuannya dilakukan dengan menghitung indeks Z-
Score yaitu tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur
(PB/U). Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seorang anak balita
dikatakan stunting bila nilai Z-Score kurang dari -2 SD (Standar Deviasi) pendek
dan kurang dari -3 SD sangat pendek. Stunting atau pendek merupakan kondisi
gagal tumbuh pada bayi (0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari
kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan, sehingga
anak terlalu pendek untuk usianya. Pada fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan sangat
menentukan kesehatan anak yang dimulai dari masa janin dalam kandungan hingga
anak usia 2 tahun, pertumbuhan tersebut terjadi sangat pesat. Pada fase ini juga
terjadi pertumbuhan otak yang sangat cepat, sehingga periode pertumbuhan otak
hanya berlangsung sampai usia 5 tahun, sehingga usia 5 tahun tersebut disebut
sebagai golden periode. Periode emas pertumbuhan memerlukan dukungan gizi
yang tepat. Kekurangan gizi yang terjadi pada awal kehidupan dapat mengakibatkan
terjadinya Growth Faltering (Gagal Tumbuh) sehingga bayi tumbuh menjadi anak
yang lebih pendek dari ukuran normalnya. Salah satu pencegahan stunting adalah
pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil, upaya tersebut
diperlukan dikarenakan stunting dapat berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan
anak dan status kesehatan pada saat dewasa.
Kekurangan gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan bersifat permanen
dan sulit untuk diperbaiki. Saat ini, jumlah anak balita di Indonesia sekitar 22,4 juta
setiap tahun, setidaknya ada 5,2 juta perempuan di Indonesia yang hamil, dari
mereka rata-rata bayi yang lahir setiap tahun berjumlah 4,9 juta anak. Terdapat 3
dari 10 balita di Indonesia mengalami stunting atau memiliki tinggi badan lebih
rendah dari standar usianya. Stunting merupakan permasalahan gizi di dunia, sekitar
165 juta balita di dunia dalam kondisi pendek (stunting), 80% balita stunting
tersebar pada 14 negara di dunia dan Indonesia menduduki ranking ke lima dengan
negara yang memiliki jumlah stunting terbesar. Balita atau baduta yang mengalami
stunting akan memiliki tingkat kecerdasan yang tidak maksimal, menjadikan anak
menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada
menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar
ketimpangan. Balita pendek yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya
dialami oleh keluarga yang kurang mampu, karena stunting juga dapat dialami oleh
keluarga yang tidak miskin yang berada di atas 40% tingkat kesejateraan sosial dan
ekonomi. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di
Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi
35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu
menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya diperoleh dari hasil Riskesdas
2018 yang menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh
pemerintah menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia mengalami
penurunan menjadi 30,8%.
Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh karena faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.
Kejadian stunting merupakan dampak dari asupan gizi yang kurang, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Kondisi tersebut sering dijumpai di negara dengan faktor
kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan gizi sebelum dan masa kehamilan,
serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta yang ada menunjukkan bahwa 60%
dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan
2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI). MP-ASI diberikan atau sudah mulai diperkenalkan ketika balita berusia
diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi,
MP-ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bagi bayi yang tidak dapat
lagi disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan
sistem imunologis anak terhadap makanan dan minuman. Oleh karena itu pada masa
ini sangat penting peran orang tua terutama ibu dalam pemberian makanan kepada
balita. Kejadian stunting balita juga dipengaruhi oleh faktor pola asuh, balita yang
memiliki pola asuh yang kurang memiliki peluang 14,5 kali mengalami stunting jika
dibandingkan dengan balita yang mempunyai riwayat pola asuh yang baik. Jika hal
tersebut terjadi pada masa golden age maka akan menyebabkan otak tidak dapat
berkembang secara optimal dan kondisi ini sulit untuk pulih kembali. Ibu yang
mengalami anak stunting memiliki kebiasaan menunda ketika memberikan makan
kepada balita. Selain itu, ibu memberikan makan kepada balita tanpa
memperhatikan kebutuhan zat gizinya. Kondisi ini menyebabkan asupan makan
balita menjadi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya sehingga balita
rawan mengalami stunting.
Kejadian stunting juga memiliki faktor lainnya yaitu kondisi sosal ekonomi
juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Beberapa kondisi faktor lainnya yaitu
masih kurangnya akses keluarga terhadap makanan yang bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal. Status
ekonomi yang rendah memiliki pengaruh dominan terhadap kejadian stunting pada
anak. Keluarga dengan pendapatan yang memadai akan memiliki kemampuan untuk
menyediakan semua kebutuhan anak. Keluarga dengan status ekonomi yang baik
juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik. Anak pada keluarga
dengan status ekonomi rendah cenderung mengkonsumsi makanan dalam segi
kuantitas, kualitas serta variasi yang kurang, sedangkan anak dengan status ekonomi
keluarga tinggi mampu memilih dan membeli makanan yang bergizi serta
bervariasi. Stunting dapat dilakukan dengan penanganan melalui intervensi gizi
spesifik dan intervensi gizi sensitif pada sasaran 1.000 Hari Pertama Kehiupan
sampai berusia 6 tahun. Intervensi gizi spesifik mencakup mendorong inisiasi
menyusui dini dengan pemberian ASI kolostrum, mendorong pemberian ASI
ekslusif, mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi
oleh pemberian MP-ASI, memberikan imunisai yang lengkap serta memberikan
makanan tambahan bagi ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein
kronis. Sedangkan untuk intervensi gizi sensitif mencakup menyediakan dan
memastikan akses air bersih dan juga sanitasi, menyediakan akses pelayanan
kesehatan, memberikan pendidikan gizi masyarakat serta meningkatkan ketahanan
pangan dan gizi.

Anda mungkin juga menyukai