Mengutip dari Buletin Stunting yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan
RI, stunting adalah kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Mudahnya, stunting adalah kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan tubuhnya lebih pendek ketimbang teman-teman seusianya dan memiliki penyebab utama kekurangan nutrisi. Banyak yang tidak tahu kalau anak pendek adalah tanda dari adanya masalah gizi kronis pada pertumbuhan tubuh si kecil. Hanya saja, perlu diingat bahwa anak pendek belum tentu stunting, sedangkan anak stunting pasti terlihat pendek. Anak masuk ke dalam kategori stunting ketika panjang atau tinggi badannya menunjukkan angka di bawah -2 standar deviasi (SD). Terlebih lagi, jika kondisi ini dialami anak yang masih di bawah usia 2 tahun dan harus ditangani dengan segera dan tepat. Penilaian status gizi dengan standar deviasi tersebut biasanya menggunakan grafik pertumbuhan anak (GPA) dari WHO. Tubuh pendek pada anak yang berada di bawah standar normal merupakan akibat dari kondisi kurang gizi yang telah berlangsung dalam waktu lama. Hal tersebut yang kemudian membuat pertumbuhan tinggi badan anak terhambat sehingga mengakibatkan dirinya tergolong stunting. Namun, anak dengan tubuh pendek belum tentu serta merta mengalami stunting. Kondisi ini hanya terjadi ketika asupan nutrisi harian anak kurang sehingga memengaruhi perkembangan tinggi badannya.
Apa penyebab stunting pada anak?
Masalah kesehatan ini merupakan akibat dari berbagai faktor yang terjadi pada masa lalu. Berbagai faktor tersebut antara lain asupan gizi yang buruk, berkali-kali terserang penyakit infeksi, bayi lahir prematur, serta berat badan lahir rendah (BBLR). Kondisi tidak tercukupinya asupan gizi anak ini biasanya tidak hanya terjadi setelah ia lahir saja, melainkan bisa dimulai sejak ia masih di dalam kandungan. Di bawah ini dua poin utama yang menjadi faktor penyebab stunting pada anak. 1. Kurang asupan gizi selama hamil WHO atau badan kesehatan dunia menyatakan bahwa sekitar 20% kejadian stunting sudah terjadi saat bayi masih berada di dalam kandungan. Hal ini disebabkan oleh asupan ibu selama hamil yang kurang bergizi dan berkualitas sehingga nutrisi yang diterima janin cenderung sedikit. Akhirnya, pertumbuhan di dalam kandungan mulai terhambat dan terus berlanjut setelah kelahiran. Oleh karena itu, penting untuk mencukupi berbagai nutrisi penting selama hamil. 2. Kebutuhan gizi anak tidak tercukupi Selain itu, kondisi ini juga bisa terjadi akibat makanan balita saat masih di bawah usia 2 tahun yang tidak tercukupi, seperti posisi menyusui yang kurang tepat, tidak diberikan ASI eksklusif, hingga MPASI (makanan pendamping ASI) yang kurang berkualitas. Banyak teori yang menyatakan bahwa kurangnya asupan makanan juga bisa menjadi salah satu faktor utama penyebab stunting. Khususnya asupan makanan yang mengandung protein serta mineral zinc (seng) dan zat besi ketika anak masih berusia balita. Melansir buku Gizi Anak dan Remaja, kejadian ini umumnya sudah mulai berkembang saat anak berusia 3 bulan. Proses perkembangan tersebut lambat laun mulai melambat ketika anak berusia 3 tahun. Setelah itu, grafik penilaian tinggi badan berdasarkan umur (TB/U), terus bergerak mengikuti kurva standar tapi dengan posisi berada di bawah. Ada sedikit perbedaan kondisi stunting yang dialami oleh kelompok usia 2 – 3 tahun dan anak dengan usia lebih dari 3 tahun. Pada anak yang berusia di bawah 2 – 3 tahun, rendahnya pengukuran grafik tinggi badan menurut usia (TB/U) bisa menggambarkan proses stunting yang sedang berlangsung. Sementara pada anak yang berusia lebih dari itu, kondisi tersebut menunjukkan kalau kegagalan pertumbuhan anak memang telah terjadi (stunted).
3. Faktor penyebab lainnya
Selain itu yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan stunting pada anak, yaitu: Kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi sebelum hamil, saat hamil, dan setelah melahirkan. Terbatasnya akses pelayanan kesehatan, termasuk layanan kehamilan dan postnatal (setelah melahirkan). Kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Masih kurangnya akses makanan bergizi karena tergolong mahal. Untuk mencegahnya, ibu hamil perlu menghindari faktor di atas.
Ciri-ciri stunting pada anak
Perlu dipahami bahwa tidak semua anak balita yang berperawakan pendek mengalami stunting. Masalah kesehatan ini merupakan keadaan tubuh yang sangat pendek dilihat dari standar baku pengukuran tinggi badan menurut usia dari WHO. Menurut Kemenkes RI, balita bisa diketahui stunting bila sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran di bawah normal. Seorang anak termasuk dalam stunting atau tidak, tergantung dari hasil pengukuran tersebut. Jadi tidak bisa hanya dikira-kira atau ditebak saja tanpa pengukuran. Selain tubuh yang berperawakan pendek dari anak seusianya, ada juga ciri- ciri lainnya yakni: Pertumbuhan melambat Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya Pertumbuhan gigi terlambat Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata terhadap orang di sekitarnya Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun. Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi pertama anak perempuan). Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi. Sementara untuk tahu apakah tinggi anak normal atau tidak, Anda harus secara rutin memeriksakannya ke pelayanan kesehatan terdekat. Anda bisa membawa si kecil ke dokter, bidan, posyandu, atau puskesmas setiap bulannya. Apa dampak masalah kesehatan ini pada anak? Stunting adalah gagal tumbuh akibat akumulasi ketidakcukupan zat gizi yang berlangsung lama dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Maka itu, kondisi ini bisa memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara keseluruhan. Dampak jangka pendek stunting adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pada pertumbuhan fisiknya, serta gangguan metabolisme. Dampak jangka panjangnya, stunting yang tidak ditangani dengan baik sedini mungkin berdampak: Menurunkan kemampuan perkembangan kognitif otak anak Kekebalan tubuh lemah sehingga mudah sakit Risiko tinggi munculnya penyakit metabolik seperti kegemukan Penyakit jantung Penyakit pembuluh darah Kesulitan belajar Bahkan, ketika sudah dewasa nanti, anak dengan tubuh pendek akan memiliki tingkat produktivitas yang rendah dan sulit bersaing di dalam dunia kerja. Bagi anak perempuan yang mengalami stunting, ia berisiko untuk mengalami masalah kesehatan dan perkembangan pada keturunannya saat sudah dewasa. Hal tersebut biasanya terjadi pada wanita dewasa dengan tinggi badan kurang dari 145 cm karena mengalami stunting sejak kecil. Ibu hamil yang bertubuh pendek di bawah rata-rata (maternal stunting) akan mengalami perlambatan aliran darah ke janin serta pertumbuhan rahim dan plasenta. Bukan tidak mungkin, kondisi tersebut berdampak pada kondisi bayi yang dilahirkan. Bayi yang lahir dari ibu dengan tinggi badan di bawah rata-rata berisiko mengalami komplikasi medis yang serius, bahkan pertumbuhan yang terhambat. Perkembangan saraf dan kemampuan intelektual bayi tersebut bisa terhambat disertai dengan tinggi badan anak tidak sesuai usia. Selayaknya stunting yang berlangsung sejak kecil, bayi dengan kondisi tersebut juga akan terus mengalami hal yang sama sampai ia beranjak dewasa. Meski stunting berdampak hingga dewasa, kondisi ini dapat ditangani. Melansir Buletin Stunting milik Kemenkes RI, stunting dipengaruhi oleh pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, serta ketahanan pangan. Salah satu penanganan pertama yang bisa dilakukan untuk anak dengan tinggi badan di bawah normal yang didiagnosis stunting, yaitu dengan memberikannya pola asuh yang tepat. Dalam hal ini meliputi inisiasi menyusui dini (IMD), pemberian ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan, serta pemberian ASI bersama dengan MP-ASI sampai anak berusia 2 tahun. World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) menganjurkan agar bayi usia 6-23 bulan untuk mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang optimal. Ketentuan pemberian makanan tersebut sebaiknya mengandung minimal 4 atau lebih dari 7 jenis makanan, meliputi serealia atau umbi-umbian, kacang- kacangan, produk olahan susu, telur atau sumber protein lain, dan asupan kaya vitamin A atau lainnya. Di sisi lain, perhatikan juga batas ketentuan minimum meal frequency (MMF), untuk bayi usia 6-23 bulan yang diberi dan tidak diberi ASI, dan sudah mendapat MP-ASI. Untuk bayi yang diberi ASI Umur 6 – 8 bulan: 2 kali per hari atau lebih Umur 9 – 23 bulan: 3 kali per hari atau lebih Sementara itu untuk bayi yang tidak diberi ASI usia 6 – 23 bulan yaitu 4 kali per hari atau lebih. Bukan itu saja, ketersediaan pangan di masing-masing keluarga turut berperan dalam mengatasi stunting. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan meningkatkan kualitas makanan harian yang dikonsumsi.
Bagaimana cara mencegah stunting?
Kejadian anak dengan tinggi badan pendek bukan masalah baru di dunia kesehatan dunia. Di Indonesia sendiri, stunting adalah masalah gizi pada anak yang masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan dengan baik. Terbukti menurut data Pemantauan Status Gizi (PSG) dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah anak pendek terbilang cukup tinggi. Kasus anak dengan kondisi ini memiliki jumlah tertinggi jika dibandingkan dengan permasalahan gizi lainnya, seperti anak kurang gizi, kurus, dan gemuk. Pertanyaan selanjutnya adalah, bisakah stunting pada anak dicegah sejak dini? Jawabannya, bisa. Stunting pada anak merupakan satu dari beberapa program prioritas yang dicanangkan oleh pemerintah agar angka kasusnya diturunkan setiap tahun. Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016. Cara mencegah stunting menurut Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, yakni: Belakangan stunting sedang hangat diperbincangkan banyak orang, khususnya para ibu. Berdasarkan WHO, stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun stimulasi yang tak memadai.Jumlah penderita stunting di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2018 terus menurun. Tetapi langkah pencegahan stunting sangat perlu dilakukan, apa sajakah caranya? Simak selengkapnya berikut ini.
1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil
Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account Indonesia menyarankan agar ibu yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat nan bergizi maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter atau bidan.
2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat
Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat akan menentukan produk tambahan tersebut. Konsultasikan dulu dengan dokter. 4. Terus memantau tumbuh kembang anak Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya.
5. Selalu jaga kebersihan lingkungan
Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia. Semoga informasi ini membantu para ibu mencegah stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan anak.