Stunting merupakan sebuah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi
dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan adanya gangguan di masa yang akan datang
yakni mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Anak
stunting mempunyai Intelligence Quotient (IQ) lebih rendah dibandingkan rata – rata IQ anak normal
Penyebab stunting
Faktor Genetik
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa tinggi badan orang tua sangat mempengaruhi kejadian
stunting pada anak. Salah satunya adalah penelitian di kota Semarang pada tahun 2011
menyimpulkan bahwa Ibu pendek (< 150 cm) merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th. Ibu
yang tubuhnya pendek mempunyai risiko untuk memiliki anak stunting 2,34 kali dibanding ibu yang
tinggi badannya normal. Ayah pendek (< 162 cm) merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th.
Ayah pendek berisiko mempunyai anak stunting 2,88 kali lebih besar dibanding ayah yang tinggi
badannya normal.7
Tinggi badan orangtua sendiri sebenarnya juga dipengaruhi banyak faktor yaitu faktor internal seperti faktor
genetik dan faktor eksternal seperti faktor penyakit dan asupan gizi sejak usia dini. Faktor genetik adalah faktor
yang tidak dapat diubah sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang dapat diubah. Hal ini berarti jika ayah
pendek karena gen-gen yang ada pada kromosomnya memang membawa sifat pendek dan gen-gen ini
diwariskan pada keturunannya, maka stunting yang timbul pada anak atau keturunannya sulit untuk
ditanggulangi. Tetapi bila ayah pendek karena faktor penyakit atau asupan gizi yang kurang sejak dini,
seharusnya tidak akan mempengaruhi tinggi badan anaknya. Anak tetap dapat memiliki tinggi badan normal
asalkan tidak terpapar oleh faktor-faktor risiko yang lain.
B. Status Ekonomi
Status ekonomi kurang dapat diartikan daya beli juga rendah sehingga kemampuan membeli bahan
makanan yang baik juga rendah. Kualitas dan kuantitas makanan yang kurang menyebabkan
kebutuhan zat gizi anak tidak terpenuhi, padahal anak memerlukan zat gizi yang lengkap untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa orangtua dengn
daya beli rendah jarang memberikan telur, daging, ikan atau kacang-kacangan setiap hari. 7 Hal ini
berarti kebutuhan protein anak tidak terpenuhi karena anak tidak mendapatkan asupan protein yang
cukup. Anak sering diasuh oleh kakak atau neneknya karena ibu harus bekerja membantu suami atau
mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Usia kakak yang masih terlalu muda atau nenek yang terlalu
tua membuat kurangnya pengawasan terhadap anak. Anak sering bermain di tempat yang kotor dan
memasukkan benda-benda kotor ke dalam mulut yang dapat membuat anak menjadi sakit
Pengetahuan pengasuh tentang gizi juga mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Orangtua terkadang
tidak mengetahui makanan apa yang diberikan kepada anak setiap hari.
C. Jarak Kelahiran
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa jarak kelahiran dekat (< 2 th) merupakan faktor risiko stunting
pada anak 1-2 th. Anak yang memiliki jarak atau selisih umur dengan saudaranya <2 th mempunyai
risiko menjadi stunting 10,5 kali dibanding anak yang memiliki jarak ≥2 th atau anak tunggal. Pada
analisis multivariat diperoleh hasil anak dengan jarak kelahiran dekat (<2 th) berisiko menjadi stunting
18 kali dibandingkan anak tunggal sedangkan anak yang memiliki jarak kelahiran ≥ 2 th memiliki
risiko menjadi stunting 4,6 kali dibanding anak tunggal. 7 Penelitian yang dilakukan Andrea M Rehman
dkk yang menyimpulkan bahwa mempunyai paling sedikit satu orang saudara kandung merupakan
faktor risiko stunting pada anak <3 th (OR 2.00, 95% CI 1.14-3.51).9
Jarak kelahiran mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anaknya. Jarak kelahiran dekat membuat
orangtua cenderung lebih kerepotan sehinga kurang optimal dalam merawat anak. Hal ini disebabkan
karena anak yang lebih tua belum mandiri dan masih memerlukan perhatian yang sangat besar.
Apalagi pada keluarga dengan status ekonomi kurang yang tidak mempunyai pembantu atau
pengasuh anak. Perawatan anak sepenuhnya hanya dilakukan oleh ibu seorang diri, padahal ibu juga
masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain. Akibatnya asupan makanan anak kurang
diperhatikan.
Jarak kelahiran kurang dari dua tahun juga menyebabkan salah satu anak, biasanya yang lebih tua tidak
mendapatkan ASI yang cukup karena ASI lebih diutamakan untuk adiknya. Akibat tidak memperoleh ASI dan
kurangya asupan makanan, anak akan menderita malnutrisi yang bisa menyebabkan stunting. Untuk
mengatasi hal ini program Keluarga Berencana harus kembali digalakkan. Setelah melahirkan, ibu atau ayah
harus dihimbau supaya secepat mungkin menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Banyak
orangtua yang enggan menggunakan kontrasepsi segera setelah kelahiran anaknya, sehingga terjadi kehamilan
yang sering tidak disadari sampai kehamilan tersebut sudah menginjak usia beberapa bulan.
Proses menjadi pendek atau stunting anak di suatu wilayah atau daerah miskin, terjadi sejak usia
sekitar enam bulan dan berlangsung terus sampai anak tersebut berusia 18 tahun. Hai ini dapat
terjadi karena tidak disertai dengan tindakan atau intervensi untuk menangani kejadian
stunting .Stunting muncul utamanya pada dua sampai tiga tahun kehidupan pertama, hal itu
dikarenakan pada masa atau usia tersebut anak-anak membutuhkan banyak zat gizi. Zat gizi tersebut
dibutuhkan anak-anak untuk pertumbuhan dan perkembangan. Satu di antara alasan tersebut yakni
bahwa pada usia tersebut laju pertumbuhan mencapai puncak atau tercepat sehingga memerlukan
banyak zat gizi
antropometri
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang
atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi
secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan
standar Z-score dari WHO.Di Indonesia standard Z-score diadopsi kedalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republic Indonesia tentang standard antropometri penilaian status gizi anak.Klasifikasi
Status Gizi Anak berdasarkan indikator
6.2 Tatalaksana Gizi Kurang saat bencana
• Berdasarkan hasil penapisan, balita gizi kurang ditangani mengacu pada Petunjuk Teknis
Pemberian MakananTambahan Berupa Biskuit Bagi Balita Kurus dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis
(KEK), Kemenkes 2019.
6.3 Tatalaksana Gizi Buruk Rawat Inap dan Rawat Jalan
• Berdasarkan hasil penapisan, balita gizi buruk ditangani mengacu pada Pedoman Pencegahan dan
Tatalaksana Gizi Buruk pada Balita, Kemenkes 2019 dan Buku Saku Pencegahan dan Tatalaksana Gizi
Buruk pada Balita bagi Tenaga Kesehatan, Kemenkes 2020
Balita gizi buruk adalah balita usia 0-59 bulan ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: i) edema,
minimal pada kedua punggung kaki; ii) BB/ PB atau BB/TB kurang dari - 3 standar deviasi; iii) lingkar
lengan atas (LiLA) < 11,5 cm.
• Tatalaksana gizi buruk terdiri dari rawat jalan dan rawat inap (Lihat Bagan 8). Khusus bayi gizi
buruk usia 0-6 bulan, harus dilakukan rawat inap di fasilitas kesehatan
Gizi Seimbang untuk bayi usia 0-6 bulan cukup hanya dari ASI. ASI merupakan makanan yang terbaik
untuk bayi karena dapat memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan bayi sampai usia 6 bulan, sesuai
dengan perkembangan sistem pencernaannya, murah dan bersih. Oleh karena itu setiap bayi harus
memperoleh ASI Eksklusif yang berarti sampai usia 6 bulan hanya diberi ASI saja.
4. Gizi Seimbang untuk bayi dan anak usia 6-24 bulan
Pada bayi dan anak usia 6-24 bulan, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin meningkat dan
tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini anak berada pada periode pertumbuhan
dan perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga
kebutuhan terhadap zat gizi harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan
keadaan infeksi. Agar mencapai Gizi Seimbang maka perlu ditambah dengan Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI), sementara ASI tetap diberikan sampai bayi berusia 2 tahun. Pada usia 6 bulan, bayi
mulai diperkenalkan kepada makanan lain, mula-mula dalam bentuk lumat, makanan lembik dan
selanjutnya beralih ke makanan keluarga saat bayi mulai berusia 1 tahun.
Ibu sebaiknya memahami bahwa pola pemberian makanan secara seimbang pada usia dini akan
berpengaruh terhadap selera makan anak selanjutnya. Sehingga pengenalan makanan yang
beranekaragam pada periode ini menjadi sangat penting. Secara bertahap, variasi makanan untuk
bayi usia 6-24 bulan semakin ditingkatkan, bayi mulai diberikan sayuran dan buah-buahan, lauk pauk
sumber protein hewani dan nabati, serta makanan pokok sebagai sumber energi. Demikian pula
jumlahnya ditambahkan secara bertahap dalam jumlah yang tidak berlebihan dan dalam proporsi
yang juga seimbang.
Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada masa
pertumbuhan cepat dan aktivitasnya semakin meningkat. Demikian juga anak sudah mempunyai
pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan jajanan. Oleh karena itu jumlah dan
variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama
dalam memenangkan pilihan anak agar memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu anak
pada usia ini sering keluar rumah sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan, sehingga
perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya.
Anak pada kelompok usia ini merupakan anak yang sudah memasuki masa sekolah dan banyak
bermain diluar, sehingga pengaruh kawan, tawaran makanan jajanan, aktivitas yang tinggi dan
keterpaparan terhadap sumber penyakit infeksi menjadi tinggi. Sebagian anak usia 6-9 tahun sudah
mulai memasuki masa pertumbuhan cepat pra-pubertas, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi mulai
meningkat secara bermakna. Oleh karena itu, pemberian makanan bergizi seimbang untuk anak
pada kelompok usia ini harus mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut.
7. Gizi Seimbang untuk remaja usia 10-19 tahun (Pra-pubertas dan Pubertas)
Kelompok ini adalah kelompok usia peralihan dari anak-anak menjadi remaja muda sampai dewasa.
Kondisi penting yang berpengaruh terhadap kebutuhan zat gizi kelompok ini adalah pertumbuhan
cepat memasuki usia pubertas, kebiasaan jajan, menstruasi dan perhatian terhadap penampilan fisik
citra tubuh (body image) pada remaja puteri. Dengan demikian perhitungan terhadap kebutuhan zat
gizi pada kelompok ini harus memperhatikan kondisi-kondisi tersebut. Khusus pada remaja puteri,
perhatian harus lebih ditekankan terhadap persiapan mereka sebelum menikah.
Malnutrisi merupakan akibat dari multifaktor. Menurut Pongou, et al. (2006), kebijakan
ekonomi makro tentang pangan merupakan faktor mendasar penyebab malnutrisi pada anak.
Hal yang sama terjadi di negara Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun yang
lalu sangat berdampak pada status ekonomi keluarga dan kemudahan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan, demikian pula dengan akses untuk memperolah pangan yang baik dari
segi kuantitas maupun kualitasnya
Bayi usia 6-11 bulan diberikan vitamin A dosis 100.000 IU (kapsul biru), dan anak usia 12-59
bulan diberikan vitamin A dosis 200.000 IU (kapsul merah). Bila kejadian bencana terjadi dalam
waktu kurang dari 30 hari setelah pemberian kapsul vitamin A yaitu pada bulan kapsul vitamin A
(Februari dan Agustus) maka balita tidak perlu diberikan kapsul vitamin A.
Ibu nifas (0-40 hari) diberikan 2 kapsul vitamin A dosis 200.000 IU. Kapsul pertama diberikan
pada hari pertama setelah persalinan sedangkan kapsul berikutnya diberikan pada hari berikutnya
dengan selang waktu minimal 24 jam.
7.3 Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) Bagi Ibu Hamil dan Remaja Putri
Sasaran pemberian TTD adalah seluruh ibu hamil dan remaja putri untuk mencegah anemia dan
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Ibu hamil perlu diberikan 1 TTD setiap hari selama minimum 90 hari (90 tablet) selama masa
kehamilan sedangkan Remaja putri perlu diberikan 1 TTD setiap minggu sepanjang tahun (52
tablet).
Pemberian TTD pada ibu hamil di daerah endemis malaria perlu berkoordinasi dengan
penanggung jawab program Pencegahan Penanggulangan Penyakit.