Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Disusun oleh:

Melita Husna

Pembimbing:

dr. Diarum Puspasari, Sp.A, M.Sc

PROGRAM INTERNSIP DOKTER PIDI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
JAGAKARSA PERIODE 13 AGUSTUS – 12
FEBRUARI 2023
TAHUN 2022

i
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas
Program Internship Dokter Indonesia
Di Rumah Sakit Umum Daerah Jagakarsa

DISUSUN OLEH:
MELITA HUSNA

Telah Disahkan dan Dimbimbing oleh,

Pembimbing

dr. Diarum Puspasari, Sp.A, M.Sc

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAGAKARSA
PERIODE 13 AGUSTUS 2022-12 FEBRUARI
2023
TAHUN 2022

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT serta shalawat dan
salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, karena berkat rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Kejang Demam
Sederhana” yang merupakan salah satu tugas program internship dokter
Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Jagakarsa. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Diarum Puspasari, Sp.A, M.Sc
selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun
guna penyempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 30 November 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................i
Lembar Pengesahan.................................................................................................ii
Kata Pengantar........................................................................................................iii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................1
1.4 Metode Penulisan......................................................................2
BAB 2 LAPORAN KASUS.....................................................................................3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................20
2.1 Kejang Demam.......................................................................20
2.2 Anemia Defisiensi Besi...........................................................31
2.3 Diare Akut...............................................................................42
2.4 Dermatitis Diaper....................................................................56
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................60
BAB 5 PENUTUP..................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................64

iv
BAB 1
PENDAHULUA
N

1.1 Latar Belakang


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks.1,2
Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Pada kejang demam sederhana kejang bersifat umum,
singkat, dan hanya sekali dalam 24 jam Kejang demam kompleks adalah kejang
fokal, kejang yang lama yaitu lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam.3,4
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor
demam, usia, riwayat keluarga, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat
perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat lahir rendah).5
Prognosis kejang demam baik, angka kematian hanya 0,64% - 0,75%.
Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang
menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Walaupun prognosis kejang demam baik,
bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya. Kejang
demam juga dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan
intelegensi dan pencapaian tingkat akademik.4
Pasien yang dilaporkan pada kasus ini didiagnosis kejang demam
sederhana dengan faktor pencetus diare cair akut dan anemia. Pasien datang dalam
keadaan kejang. Hemodinamik pasien stabil dan mengalami perbaikan klinis saat
dilakukan tatalaksana awal. Kasus ini menunjukkan bahwa pentingnya kecepatan
diagnosis dan tatalaksana awal pada kasus kejang demam sederhana agar dapat
mencegah komplikasi dan menurunkan angka mortalitas.

1.2 Batasan Penulisan


Penulisan laporan kasus ini dibatasi mengenai kejang demam, anemia
defisiensi besi, diare cair akut dan dermatitis diaper yang mencakup definisi,

1
epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, manfestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, prognosis dan komplikasi.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah membahas mengenai kejang
demam, anemia defisiensi besi, diare cair akut dan dermatitis diaper yang
mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, klasifikasi, manfestasi
klinis, diagnosis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan laporan kasus berupa hasil pemeriksaan pasien, rekam
medis pasien, tinjauan kepustakaan yang mengacu pada berbagai literatur
termasuk buku teks dan artikel ilmiah.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama : An. AR
Jenis : Laki-laki
No. RM 118448
Usia : 14 bulan

Alamat : Ciganjur,
Jagakarsa Tanggal masuk : 12
September 2022 Nama OT : Ny. MI

Identitas Orang Tua Pasien


Nama : Ny MI
Umur : 28 tahun
Alamat : Jl. M. Khafi 1, Jagakarsa

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : STMK

ALLOANAMNESIS (dengan ibu dan ayah pasien)


Dilakukan di Ruang Rawat Inap Bougenville pada tanggal 12 September 2022.

1.2.Pemeriksaan

Keluhan utama : Kejang saat masuk instalasi gawat darurat rumah sakit
Keluhan Tambahan : Demam, diare dan muntah

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Jagakarsa dalam


keadaan kejang. Kejang merupakan yang pertama dan muncul sejak  2
menit sebelum masuk rumah sakit. Saat kejang posisi kedua kaki dan
tangan kaku, kedua tangan mengepal disertai mata mendelik ke atas.
Durasi kejang 5 menit. Anak sadar setelah kejang. Setelah kejang anak

3
menangis dan muntah satu kali isi makanan. Keluhan kejang disertai
demam sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Demam sampai 39C
saat diukur di rumah, demam tidak menggigil dan tidak berkeringat
banyak. Pasien sudah mengonsumsi parasetamol 1 sendok 1 kali 8 jam
sebelum masuk rumah sakit untuk meringankan demamnya, suhu
sempat turun, namun naik lagi 4 jam kemudian.

Keluhan tidak disertai batuk pilek. Tidak ada keluhan pada


telinga. Pasien masih mau minum namun sulit makan saat demam.
Sesak napas disangkal.

Tidak ada perdarahan spontan, BAB 4 kali sebelum masuk


rumah sakit, warna kuning kecoklatan dan konsistensi cair, tidak ada
lender dan darah. BAK jumlah dan warna biasa. Popok sudah diganti 5
kali sebelum masuk rumah sakit.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Kejang
merupakan yang pertama. Riwayat gigi berlubang dan keluar cairan dari
telinga disangkal. Riwayat trauma kepala dan riwayat kelainan
neurologis disangkal.
Riwayat pengobatan paru disangkal. Riwayat alergi, riwayat
paparan zat kimia atau lainnya disangkal.

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak dari ayah pasien memiliki riwayat kejang saat usia SD.

d. Riwayat Persalinan
Pasien lahir dari ibu dengan status obstetrik G1P1A0 yang
berusia 28 tahun, lahir secara normal, dengan usia kehamilan 37-38
minggu, ketika lahir langsung menangis, berat badan pasien saat lahir
adalah 3.450 gram dengan panjang badan 49 cm. Selama masa
kehamilan, ibu pasien rutin memeriksa kehamilannya ke SpOG, dan
rutin melakukan USG selama masa kehamilannya. Selama hamil ibu
pasien

4
tidak pernah mengalami keputihan, terjatuh/terbentur, tidak memiliki
riwayat darah tinggi, ataupun kencing manis. Ibu pasien juga tidak
pernah mengonsumsi obat-obatan maupun jamu-jamuan selama hamil.

e. Personal dan Sosial


Pasien adalah anak tunggal. Pasien tinggal satu rumah dengan
ibu, ayah, dan nenek. Pasien biasa diasuh oleh ibu sehari-hari. Ayah
merokok, namun tidak pernah merokok didalam rumah. Pasien tinggal
di rumah permanen, lingkungan padat penduduk namun dengan
ventilasi baik. Sumber air minum berasal dari air galon isi ulang dan air
PDAM. Pasien sudah stop minum ASI. Makan tiga kali sehari setengah
porsi dewasa. Makanan berisi nasi, daging, sayur dan buah. Sanitasi dan
higienitas cukup baik. Pendidikan orang tua adalah STMK.

f. Riwayat Perkembangan
Tumbuh kembang sesuai seusianya, tidak pernah mengalami
kenaikan BB sulit ataupun masalah perkembangan lainnya.
g. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap di Posyandu sesuai usianya.

PEMERIKSAAN FISIK

Di instalasi gawat darurat RSUD Jagakarsa (Tanggal 12/9/22)

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis, GCS
15 (E4M6V5)
Tanda vital :
● Frekuensi nadi : 108x/menit, reguler, kuat, isi cukup
● Frekuensi napas : 28x/menit, reguler, cepat, dangkal
● Suhu : 38,4° C
● Saturasi O2 : 99% nasal kanul 1 lpm (95-96% room air)

5
Status Gizi
Laki-laki usia 1 tahun 2 bulan, TB 73cm, BB 10,8kg
● BB/U median < Z score < 2 SD : BB Baik
● TB/U -1 < Z score < -2 SD : Perawakan pendek
● BB/TB 1 < Z score < 2: gizi lebih
● Kesan : BB baik, perawakan pendek, dan gizi lebih

Gambar 2.1 Kurva pertumbuhan berat badan menurut usia WHO

6
Gambar 2.2 Kurva pertumbuhan panjang badan menurut usia WHO

Gambar 2.3 Kurva pertumbuhan berat badan menurut panjang badan WHO

7
Status generalis :
● Kepala : Normocephali, rambut hitam tersebar merata, wajah simetris
● Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor
diameter 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+, gerakan mata kesegala
arah, edem palpebra -/-
● Hidung : Septum deviasi (-), konka edema (-), sekret -/-, warna
putih kuning, napas cuping hidung -/-
● Telinga : AD/ AS MAE lapang, tidak ada secret, MT intak, tidak ada
nyeri Tarik tragus atau nyeri tekan.
● Mulut : Mukosa bibir basah, lidah kotor (-), atrofi lidah (-), gigi karies (-
)
● Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1,
arkus faring simetris, uvula terletak ditengah, detritus (-), kripta
tidak melebar
● Leher : Trakea terletak ditengah, KGB tak teraba
● Paru :
- Inspeksi : Pergerakan dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi iga (-)

- Auskultasi : Vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-


● Jantung
- Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
● Abdomen
- Inspeksi : Datar
- Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar/lien tak teraba
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus positif normal
● Ekstremitas atas. : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
● Genital : Tidak diperiksa
● Kulit : Lembab, turgor kembali cepat, petekie (-), ikterik (-
), sianosis (-)

1.3.Diagnosis Kerja
Kejang demam sederhana

8
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah lengkap (12/09/2022)
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Elektrolit
Natrium 140 135-145
Kalium 4,43 3,50-5,50
Klorida 106 98-108
Glukosa sewaktu
Glukosa sewaktu 137 <200
Darah Rutin I
Hemoglobin 10,5 13,4-17,7
Eritrosit 4,63 4,0-5,5
Leukosit 9.300 4.300-10.300
Hematokrit 33 40,0-47,0
Trombosit 323.000 142.000-424.000
Neutrophil 78,9 51-67
Limfosit 18,0 25-33
MXD 3,1
MCV 71 80-93
MCH 23 27-31
MCHC 32 32-36
NLR 4,3
ALC 1.700

Feses Lengkap (14/09/2022)


Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Warna HIJAU KUNING
Konsistensi LUNAK LUNAK
Lendir NEGATIF NEGATIF
Darah NEGATIF NEGATIF
Leukosit 2-3 3-5
Eritrosit 0-1 0-1
Lemak NEGATIF <60
E. Coli TIDAK DITEMUKAN TIDAK DITEMUKAN
E. histolytica TIDAK DITEMUKAN TIDAK DITEMUKAN

9
Serat Otot NEGATIF 51 - 67
Serat Tumbuhan POSITIF 25 - 33
Telur Cacing TIDAK DITEMUKAN TIDAK DITEMUKAN
1.4. Diagnosis
Kejang demam
sederhana Diare cair akut
Anemia mikrositik hipokrom ec susp. defisiensi besi

1.5. Tatalaksana
a. Non Medikamentosa
1. Anjuran rawat inap
2. Istirahat cukup
3. Makan makanan lunak
4. Memberitahukan cara penanganan kejang dan apa yang
harus dikerjakan bila anak kejang
5. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
6. Memberitahukan bahwa pemberian obat profilaksis untuk
mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.
7. Monitor tanda-tanda vital, demam, tanda dehdrasi dan
klinis sepsis.
8. Konsul spesialis anak.

b. Medikamentosa
Tatalaksana IGD:
- Diazepam supp 10 mg
- O2 nasal canul 1 lpm
- Inj Paracetamol drip 110 mg

Advis DPJP:
- IVFD KaEN 1 B kec 40 cc/jam
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg (masuk pelan dalam 30 menit)
- Inj. Ranitidin 3 x 10 mg
- Zinc sirup 1 x 20 mg
- Diazepam puyer 3 x 1 mg (rutinkan 3 hari ke depan)
- Paracetamol drip 120 mg/kali bila demam 38C

1
- Asam folat puyer 1x 1 mg
- Bila kejang berikan stesolid supp 5 mg + oksigen NK 1 lpm

1.6 Rencana Pemeriksaan


Feses lengkap

1.7 Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

1.8 Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit

13/09/22 S/ Demam masih ada, naik turun, tidak


menggigil, tidak berkeringat banyak, semalam
BAB 4 kali, muntah (+), batuk (+)
Kejang tidak ada
Batuk tidak ada, sesak tidak ada, tidak ada
kebiruan

O/
KU: tampak sakit sedang, composmentis,
HR: 100 x/menit,
RR: 22x/menit,
Suhu: 37,4oC.
SpO2: 98%
Mata: konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-
/-)
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Thoraks: simetris
Paru: SNV +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal.

1
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam sederhana
- GEA
- Anemia

P/
- Cek FL
- IVFD KaEN 1 B kec 40 cc/jam
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg (masuk
pelan dalam 30 menit)
- Inj. Ranitidin 3 x 10 mg
- Zinc sirup 1 x 20 mg
- Diazepam puyer 3 x 1 mg (rutinkan 3
hari ke depan)
- Paracetamol drip 120 mg/kali bila demam
38C
- Asam folat puyer 1x 1 mg
- Bila kejang berikan stesolid supp 5 mg
+ oksigen NK 1 lpm

14/10/22 S/ Batuk (+) berdahak, pilek (+), sudah bebas


kejang dan demam sejak rawat. BAB cair (+) 2x
hari ini. Lendir (-), darah (-)

O/
KU: tampak sakit sedang, composmentis,
HR: 130 x/menit,
RR: 24x/menit,
Suhu: 37,5oC.
SpO2: 98%
Mata: konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-
/-)
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)

1
Thoraks: simetris
Paru: SNV +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam sederhana
- Diare cair akut
- Anemia
P/
- IVFD KaEN 1 B kec 40 cc/jam
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg
- Inj. Ranitidin 3 x 10 mg
- Zinc sirup 1 x 20 mg
- Diazepam puyer 3 x 1 mg
- Paracetamol drip 120 mg/kali bila demam
38C
- Asam folat puyer 1x 1 mg
Bila kejang berikan stesolid supp 5 mg + oksigen
NK 1 lpm

15/09/22 S/ Batuk (+) berkurang, pilek (+), sudah bebas


kejang dan demam sejak rawat. Muntah (-),
BAB cair (-), pantat kemerahan (+) pada bagian
selangkangan hingga testis

O/
KU: tampak sakit sedang, composmentis,
HR: 99 x/menit,
RR: 22x/menit,
Suhu: 36,7oC.
SpO2: 99%
Mata: konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-
/-)

1
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Thoraks: simetris
Paru: SNV +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Genitalia: diaper rash (+)

A/
- Kejang demam sederhana
- Diare cair akut
- Anemia
- Diaper rash

P/
- IVFD KaEN 1 B kec 40 cc/jam
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg
- Inj. Ranitidin 3 x 10 mg
- Zinc sirup 1 x 20 mg
- Diazepam puyer 3 x 1 mg
- Paracetamol drip 120 mg/kali bila demam
38C
- Asam folat puyer 1x 1 mg
- Bila kejang berikan stesolid supp 5 mg
+ oksigen NK 1 lpm
- Salep racikan miconazole 5 gr +
hidrokortison 2,5% 5gr oles tipis tiap ganti
popok dan cebok.
- Enzyplex puyer 1 x ½ tab
- Diet extra pisang, buah lain sementara stop.
- Intake susu SF LLM selama diare.

Advis DPJP:
- Tatalaksana tambah enziplex
- Diazepam puyer rutin stop
- Oles salep racikan tiap BAB
- Tatalaksana lain sementara lanjut
16/09/22 S/ Demam (-), muntah (+) 2 kali sejak tadi

1
malam berisi susu, sulit BAB (+) 3x hari ini,
ampas (+), pantat merah (+) berkurang

O/
KU: tampak sakit sedang, composmentis,
HR: 130 x/menit,
RR: 24x/menit,
Suhu: 37,5oC.
SpO2: 98%
Mata: konjungtiva anemis (+/+) , sklera ikterik (-
/-)
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Thoraks: simetris
Paru: SNV +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam sederhana
- Diare cair akut
- Anemia
- Diaper rash

P/
- IVFD KaEN 1 B kec 40 cc/jam
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg
- Inj. Ranitidin 3 x 10 mg
- Zinc sirup 1 x 20 mg
- Paracetamol drip 120 mg/kali bila demam
38C
- Asam folat puyer 1x 1 mg
- Bila kejang berikan stesolid supp 5 mg
+ oksigen NK 1 lpm

1
- Salep racikan miconazole 5gr +
hidrokortison 2,5% 5 gr oles tipis tiap ganti
popok dan cebok
- Enzyplex puyer 1 x ½ tab
- Diet extra pisang. Buah lain sementara stop
- Intake susu SF LLM selama diare

Advis DPJP:
- IVFD ganti stopper
- Resepkan enziplex puyer 1x1/3 tab
- Besok rencana rawat jalan bila
tidak demam dan BAB membaik
- Tatalaksana lain sementara lanjut

17/09/22 S/ demam (-), batuk (+) berkurang, mual (-),


muntah (-), pantat merah (-)

O/
KU: tampak sakit sedang, composmentis,
HR: 108 x/menit,
RR: 24x/menit,
Suhu: 36,6oC.
SpO2: 98%
Mata: konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-
/-)
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Thoraks: simetris
Paru: SNV +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam sederhana
- Diare cair akut
- Anemia

1
- Diaper rash

P/
- Inj ceftriaxone 2 x 500 mg
- Inj. Ranitidin 3 x 10 mg
- Zinc sirup 1 x 20 mg
- Paracetamol drip 120 mg/kali bila demam
38C
- Asam folat puyer 1x 1 mg
- Bila kejang berikan stesolid supp 5 mg
- Enzyplex puyer 1 x ½ tab
- Diet extra pisang. Buah lain sementara stop
- Intake susu SF LLM selama diare

Advis DPJP:
- Stopper di stop
- Cefixime oral 2 x 40mg pulv
- Observasi sampai besok pagi
- Bila baik besok pagi boleh pulang
- Edukasi jika punya anak dengan kejang
demam, biasanya bisa sampai 5
tahun. Untuk pencegahan kejang
berulang di rumah atau dimanapun
harus punya thermometer dan
paracetamol. Jadi jika demam supaya
tidak kejang langsung diberi
paracetamol dan jika demam >38,5
diberi diazepam oral.
- Selain itu anemia juga berpengaruh
terhadap sering kejang. Jadi setelah
ranap, control rutin ke poli terapi
besi
- Observasi sampai besok. Malam ini
minum cefixime. Bila besok tidak
demam boleh pulang setelah
masuk cefixime oral.
18/09/22 S/ demam (-), batuk (+) berkurang, mual (-),
muntah (-), pantat merah (-)

O/
KU: cukup, composmentis,
HR: 120x/menit,
RR: 24x/menit,

1
Suhu: 36,7oC.
SpO2: 99%
Mata: konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-
/-)
Tenggorok : tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Thoraks: simetris
Paru: SNV +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam sederhana
- Diare cair akut
- Anemia
- Diaper rash membaik

P/ Advis DPJP:
- Boleh pulang, terapi pulang:
- Cefixime 2x40mg
- Zinc 1x 20mg
- Asam folat 1x1 mg
- Paracetamol syrup 5ml bila demam >37,5
- Diazepam puyer 3x1 mg bila suhu
>38 setelah minum paracetamol
- Stesolid 5mg (supp) simpan di kulkas.
Bila kejang di rumah diberikan.
- Salep diberikan, stop bila sudah tidak
ada ruam kemerahan
- Edukasi tanda bahaya.

1
1.9 Resume

Pasien anak laki-laki usia 14 bulan di bawa ke instalasi gawat darurat


RSUD Jagakarsa dalam keadaan sejak ±2 menit SMRS. Kejang merupakan yang
pertama. Saat kejang posisi kedua kaki dan tangan kaku, kedua tangan mengepal
disertai mata mendelik ke atas. Durasi kejang 5 menit. Anak sadar setelah kejang.
Setelah kejang anak menangis dan muntah satu kali isi makanan. Keluhan kejang
disertai demam sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Demam sampai 39C
saat diukur di rumah. Pasien sudah mengonsumsi parasetamol 1 sendok 1 kali 8
jam sebelum masuk rumah sakit untuk meringankan demamnya, suhu sempat
turun, namun naik lagi 4 jam kemudian. Pasien masih mau minum namun sulit
makan saat demam. BAB 4 kali sebelum masuk rumah sakit, warna kuning
kecoklatan dan konsistensi cair.
Keadaan umum : Composmentis, tampak sakit sedang.
Tanda vital : Suhu 38,4 C
Pemeriksaan fisik : Dalam batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium : Hemoglobin 10,5 gr/dL, Neutrofil 78,9%.

1
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam


2.1.1 Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C ,dengan
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.Kejang demam bukan merupakan akibat dari infeksi sistem saraf
pusat ataupun ketidakseimbangan metabolik apapun, dan tidak ada riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya.1,2
2.1.2 Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana
Merupakan kejang umum, biasanya tonik klonik, serangannya
berhubungan dengan demam, berlangsung maksimum 15 menit, dan tidak
berulang dalam 24 jam. Tidak ada efek jangka panjang dari mengalami kejang
demam simpleks baik satu kali ataupun lebih. Sebagian besar kejang demam
sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.1,2,3
b. Kejang demam kompleks
Merupakan kejang demam dengan salah satu dari ciri berikut: kejang lama
(berlangsung lebih dari 15 menit); kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial; kejang berulang dalam 24 jam.1,2,3
2.1.3 Epidemiologi
Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan
puncak insiden pada usia 18 bulan. Sebanyak 2% - 5% bayi dan anak yang sehat
secara neurologis akan mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode kejang
demam, biasanya merupakan kejang demam simpleks.1,2 Anak berumur antara 1 -
6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi yang berusia kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi kejang demam melainkan
termasuk ke dalam kejang neonatus. Kejang demam sangat bergantung pada
umur, 85%

2
kejang pertama sebelum usia 4 tahun, terbanyak antara usia 17-23 bulan. Kejang
demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejang demam.20-30% kejang
demam sederhana berpotensi menjadi kejang demam kompleks. Di Asia,
prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat dibandingkan di Eropa dan
Amerika. Di Jepang, kejang demam terjadi sekitar 8,3% - 9,9%. Demam yang
terjadi paling banyak disebabkan oleh infeksi saluran napas atas. Kejang yang
paling sering terjadi adalah kejang yang bersifat umum dan jenisnya didominasi
oleh kejang tonik-klonik. 4,5,6
2.1.4 Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pada anak adalah:7
a. Demam, yang dapat disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, infeksi
saluran pencernaan, infeksi telinga, hidung, dan tenggorok (THT), infeksi
saluran kemih, roseola infantum/infeksi virus akut lainnya, dan
pascaimunisasi.
b. Usia, yaitu usia 6 bulan-6 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 17-23
bulan. Kejang demam sebelum usia 5-6 bulan mungkin disebabkan oleh
infeksi SSP. Kejang demam di atas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan
febrile seizure plus (FS+)
c. Gen. Risiko akan meningkat 2-3x bila saudara kandung mengalami kejang
demam. Risiko akan meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang
demam.
d. faktor resiko intrauterine juga mempengaruhi kejang demam karena
kurangnya berat lahir dan kehamilan kurang bulan.
2.1.5 Patogenesis Kejang Demam pada Anak
Otak memerlukan energi untuk energi untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sel yang diperoleh dari proses metabolisme. Bahan baku
untuk metabolisme yang terpenting adalah glukosa melalui proses oksidasi.
Proses tersebut akan menghasilkan CO2 dan air.8
Sel dilapisi oleh suatu membran yang bersifat lipoid pada permukaan
dalam dan ionik pada permukaan luar. Dalam keadaan normal, membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya, konsentrasi ion

2
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah sedangkan kondisi di
luar sel neuron pada kondisi sebaliknya. Perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel menyebabkan adanya perbedaan potensial yang disebut
sebagai potensial membran sel neuron. Oleh karena itu, untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATPase yang terdapat pada permukaan sel.8
Keseimbangan potensial membran ini dapat berubah pada beberapa
kondisi. Penyebab pertama adalah adanya perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler. Selain itu, perubahan juga dapat terjadi akibat rangsangan mendadak
yang datang, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik, dan sebagainya.
Penyebab lainnya adalah perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan8
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada kenaikan suhu
tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron.
Dalam waktu singkat, ion kalium maupun ion natrium akan berdifusi melalui
membran sel sehingga lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik sangat
besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran tetangganya dengan
bantuan neurotransmiter dan kejang terjadi.8
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Kejang pada seorang
anak ditentukan oleh tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Kejang demam
berulang lebih sering terjadi pada anak ambang kejang yang rendah sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
mengalami kejang.8
2.1.6 Manifestasi Klinis
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti,
anak tidak memberikan reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beeberapa menit atau
detik terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
dengan hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangung beberapa jam
hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis

2
yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering pada kejang
demam pertama.9
2.1.7 Diagnosis
Setiap anak dengan kejang demam membutuhkan penggalian riwayat yang
lengkap dan pemeriksaan umum dan neurologis yang menyeluruh. Kejang demam
sering terjadi sebagai akibat dari otitis media, infeksi roseola dan Human Herpes
Virus, Shigella, ataupun infeksi lainnya.2,4
a. Anamnesis
□ Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
□ Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan
anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf
pusat (gejala ISPA, ISK, OMA, dll)
□ Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
□ Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
menyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)3
b. Pemeriksaan Fisik
□ Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
□ Suhu tubuh: apakah terdapat demam
□ Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig,
Laseque
□ Pemeriksaan nervus kranial
□ Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
□ Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
□ Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek
patologis3
c. Pemeriksaan Penunjang
□ Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi direkomendasikan untuk anak usia <12 bulan.
Kemungkinan meningitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding
karena kejang merupakan tanda mayor dari meningitis pada 13-15% anak.

2
Usia 12-18 bulan masih dianjurkan lumbal pungsi karena gejala klinis
meningitis masih belum jelas, sedangkan pada anak diatas usia 18 bulan
dapat dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal untuk mendiagnosis
apakah kejang disertai dengan meningitis atau tidak. Pertimbangkan
lumbal pungsi pada anak yang tidak diketahui status imunisasi HiB atau
Streptococcus pneumonia.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.1,2,4
□ EEG
Elektroensefalografi tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
bila terdapat kejang fokal untuk menentukan ada atau tidaknya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut. EEG tidak dapat
memprediksi rekurensi dari kejang demam ataupun epilepsi bahkan jika
ditemukan hasil yang abnormal. EEG dilakukan atau diulangi dua minggu
atau lebih setelah kejang demam. EEG dilakukan pada kasus yang
dicurigai adanya epilepsi dan digunakan untuk menentukan tipe epilepsi,
bukan memprediksi rekurensinya.1,2,4
□ Laboratorium Darah
Laboratorium darah (elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium,
dan hitung darah lengkap) tidak direkomendasikan untuk anak dengan
kejang demam simpleks pertama. Pemeriksaan laboratorium dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam karena
bakteri merupakan penyebab terbanyak yang menimbulkan kejang demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya
darah perifer, elektrolit, dan gula darah Evaluasi gula darah harus
dilakukan pada anak dengan prolonged postictal obtundation atau anak
dengan intake per oral yang sedikit. Pada anak dengan klinis dehidrasi,
pemeriksaan seum

2
elektrolit harus dilakukan.Rendahnya kadar natrium berhubungan dengan
tingginya rekurensi kejang demam dalam 24 jam pertama.1,2,8
□ Neuroimaging
CT ataupun MRI tidak direkomendasikan untuk anak dengan
kejang demam simpleks pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila
terdapat indikasi seperti anak dengan evaluasi neurologi yang abnormal,
hemiparesis, atau paresis nervus kranialis. Sekitar 11% anak dengan status
epileptikus febris, biasanya mengalami edema hipokampus unilateral akut,
yang kemudian dapat menjadi atrofi hipokampus.1,2
2.1.8 Diagnosis Banding
Infeksi SSP dapat disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang
menimbulkan hemiparesis hingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Anak dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil,
pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam. Malaria juga dijadikan
salah satu diagnose banding.8,9
2.1.9 Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang
Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang
dan tidak panik. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila
anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun terdapat kemungkinan
(yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu
kedalam mulut. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10
kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Pada umumnya kejang
berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit.1,2
Apabila saat pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, obat yang

2
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Algoritma
tatalaksana kejang ditunjukkan oleh gambar 2.1.1
b. Tatalaksana saat Demam
□ Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.1,2
□ Antikonvulsan Intermieten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi.1,2
□ Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam
jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit

2
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
4. pengobatan rumat dipertimbangkan bila kejang berulang dua kali atau lebih
dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan, kejang
demam
 4 kali per tahun.1

Gambar 2.1 Algoritma Tatalaksana Kejang akut dan status epileptikus9

2
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1
tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan
tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.1,2
Terapi tersebut dapat dapat mengurangi, tapi tidak menghilangkan
kemungkinan rekurensi kejang demam. Defisiensi besi berhubungan dengan
peningkatan risiko kejang demam, sehingga skrining keadaan tersebut serta
memberikan tatalaksana sebaiknya dilakukan.1,2

c. Indikasi rawat3,10
□ Kejang demam kompleks
□ Hiperpireksia
□ Usia dibawah 6 bulan
□ Kejang demam pertama kali
□ Terdapat kelainan neurologis
2.1.9 Prognosis dan Komplikasi
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.10

2
Gambar 2.2 Faktor Risiko Rekurensi Kejang Demam2

Kejang demam akan berulang kembali pada sekitar 30% anak yang
mengalami episode pertama kejang demam, 50% setelah dua atu lebih episode
kejang demam, dan pada 50% anak dengan onset kejang demam dibawah usia 1
tahun. Gambar 2.2 menunjukkan faktor risiko rekurensi kejang demam, dimana
jika tidak memiliki faktor risiko sama sekali risiko berulang sekitar 12%, dengan
satu faktor risiko 25-50%, dua faktor risiko 50-59%, tiga atau lebih faktor risiko
73- 100%.1,2
Walaupun sekitar 15% anak dengan epilepsi pernah mengalami kejang
demam, hanya sekitar 2-7% anak yang mengalami kejang demam yang
berkembang menjadi epilepsi dikemudian hari. Faktor risiko kejadian epilepsi
dikemudian hari ditunjukkan oleh gambar 2.3. Masing-masing faktor risiko
meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor
risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumatan pada kejang demam.1,2

2
Gambar 2.3 Faktor risiko kejadian epilepsi setelah kejang demam2
Hampir setiap tipe epilepsi dapat didahului oleh kejang demam, dan
beberapa sindroma epilepsi secara khas diawali dengan kejang demam, yaitu
generalized epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+); Dravet syndrome; dan
pada kebanyakan pasien, epilepsi lobus temporal sekunder akibat sklerosis mesial
temporal. 2
GEFS+ merupakan sindroma autosomal dominan dengan fenotip yang
sangat bervariasi. Onset biasanya pada masa kanak-kanak awal dan remisi
biasanya pada pertengahan masa kank-kanak. GEFS+ ditandai dengan kejang
demam multipel, dan beberapa kejang selanjutnya yang merupakan kejang umum
tanpa demam, termasuk kejang tonik klonik umum, kejang absen, kejang
myoklonik, kejang atonik, atau kejang mioklonik astatik, dengan berbagai derajat
keparahan.2
Sindroma Dravet merupakan fenotip epilepsi-terkait kejang demam yang
paling berat. Onsetnya dikarakteristikkan dengan kejang klonik unilateral dengan
ataupun tanpa demam berulang setiap 1 atau 2 bulan. Kejang awalnya diinduksi
oleh demam, namun berbeda dengan kejang demam biasanya dimana kejang ini
lebih lama, lebih sering, dan juga fokal. Kejang kemudian mulai terjadi dengan
suhu demam yang lebih rendah, dan kemudian terjadi tanpa demam. Sindrom ini
biasanya disebabkan oleh mutasi de novo, terkadang diwariskan secara autosomal
dominan namun sangat jarang. Gen yang mengalami mutasi sama dengan gen
pada GEFS+. Kebanyakan pasien dengan kejang demam prolonged dan pasien
dengan
3
ensefalopati vaksin kemudian akan mengalami mutasi Sindrom Dravet.2

2.2 Anemia Defisiensi Besi

2.2.1 Definisi
Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh.
Anemia defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat
sehingga menyebabkan eritropoesis terganggu dan menyebabkan terjadinya
anemia. Keadaan ini akan menyebabkan kelemahan sehingga menjadi halangan
untuk beraktivitas dan juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada
anak.11
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada
anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia
sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak perempuan 2,6% dan gadis
remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1 – 2 tahun
diketahui kekurangan besi, 3 % menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis
remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia,
sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat
pubertas. 12
Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih.
Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit
hitam yang lebih rendah. 13
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di indonesia prevalensi
ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 2016 prevalensi
ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%. 1 Hasil survai rumah tangga
tahun 2015 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah
menderita ADB.11
2.2.3 Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diet
yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang
hilang1 Berikut tabel penyebab anemia defisiensi berdasar umur :14

3
Tabel 1 Penyebab anemia defisiensi menurut umur11

Kekurangan besi dapat disebabkan oleh : 13


1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan
masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden
ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan
massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir.
Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat
badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi. 14
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan
makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap
lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang
menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang
terkandung

3
dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu
formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan
dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsropsi. 14

Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI
lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.13
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun
penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya
jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus,
tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status
besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg,
sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi.13,15
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus
bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.14
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi
melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan

3
laboratorium berisiko untuk menderita ADB.14
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru
yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul.
Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl
dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40%
remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang
timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.16
2.2.4 Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini
menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3
tahap defisiensi besi, yaitu

a. Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini
terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.17

Hemoglobin Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3


normal Sedikit menurun Menurun jelas
(mikrositik/hipokromik)

Cadangan besi < 100 0 0

Fe serum Normal < 60 <40

TIBC 360 – 390 >390 >410

Saturasi transferin 20 – 30 <15 <10

Feritin serum < 20 <12 <12

3
Sideroblas 40 – 60 <10 <10

FEP >30 >100 >200

MCV normal Normal Menurun

Tabel 2 Tahapan kekurangan besi 17

b. Tahap kedua

Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin
atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC
meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat. 17

c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.17

2.2.5 Manifestasi Klinis


Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan
gejala dan baru terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan.
Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah:14
1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak
licin dan mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.
Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang
paling mengkhawatirkan adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu

3
menurunnya fungsi intelektual, terganggunya fungsi motorik dapat muncul
lebih dahulu sebelum anemia terbentuk. Telah banyak penelitian dilakukan
mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan uji kognitif. di
Guatemala terhadap bayi berumur 6-24 bulan, ditemukan bahwa terdapat
perbedaan skor mental dan skor motoric antara kelompok anak dengan
anemia defisiensi besi dan dengan anak normal. Penelitian juga dilakukan
terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris yang menunjukkan bahwa anak
dengan anemia defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih rendah terhadap
uji oddity learning jika dibandingkan kelompok kontrol.18 Terdapat bukti
bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat menetap walaupun dengan
penanganan, sehingga pencegahan menjadi sangat penting. Pica, keinginan
untuk mengkonsumsi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna, atau pagofagia,
keinginan untuk mengkonsumsi es batu merupakan gejala sistemik lain dari
defisiensi besi. Pica dapat menyebabkan pengkonsumsian bahan-bahan
mengandung timah sehingga akan menyebabkan plumbisme.16

2.2.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai
hematologi dan biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya
simpanan besi pada jaringan. Penurunan ini akan ditunjukkan melalui
menurunnya serum ferritin, sebuah protein yang mengikat besi dalam tubuh
sebagai simpanan.17 Kemudian jumlah serum besi akan menurun, kapasitas
pengikatan besi dari serum (serum transferrin) akan meningkat, dan saturasi
transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring dengan menunrunnya
simpanan, besi dan protoprofirin akan gagal untuk membentuk heme. Free
erythrocyte protoporphyrins (FEP) terakumulasi, dan kemudian sintesis
hemoglobin terganggu. Pada titik ini, defisiensi besi berlanjut menjadi anemia
defisiensi besi. Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada tiap sel, sel
merah menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering tampak
beriringan dengan berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean
corpuscular hemoglobin (MCH). Perubahan variasi ukuran sel darah merah
terjadi dengan digantikkannya sel normositik dengan sel mirkositik, variasi ini

3
ditunjukkan dari peningkatan red blood cell distribution width (RDW).
Jumlah sel darah merah juga akan berkurang. Jumlah persentase retikulosit
akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan menunjukkan
sel darah merah yang hipokrom dan mikrositik dengan variasi sel yang tetap.
Bentuk sel darah elips atau seperti cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan
reseptor transferrin dan berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosit
mendukut terhadap penegakkan diagnosis.16
Jumlah sel darah putih normal, trombositosis juga sering tampak.
Trombositopenia terkadang muncul pada defisiensi besi yang sangat berat,
sehingga akan menimbulkan sebuah kerancuan dengan gangguan pada
sumsum tulang. Pemeriksaan pada feses untuk melihat perdarahan pada
sistem gastrointestinal harus selalu dilakukan untuk eksklusi perdarahan
sebagai penyebab defisiensi besi.18
Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan anemia
mikrositer dengan peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal, dan
jumlah platelet yang meningkat atau normal. Pemeriksaan laboratorium
lainnya, seperti penurunan ferritin, penurunan serum besi, dan peningkatan
kapasitas pengikatan besi total, biasanya belum dibutuhkan kecuali terdapat
anemia berat yang membutuhkan penegakan diagnosis cepat, terdapat
komplikasi atau pada anemia yang tidak memberikan respon terhadap terapi
besi.17

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas.12 Ada beberapa kriteria diagnosis
yang dipakai untuk menentukan ADB Kriteria diagnosis ADB menurut
WHO:12
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin <15 % (N ; 20 – 50%)

3
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:19
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >100 ug/dl
4. Kadar feritin serum <12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum,
dan FEP harus dipenuhi)
Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:17
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang
dikonfirmasi dengan MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
2. Red cell distribution width (RDW) > 17%
3. FEP meningkat
4. Feritin serum menurun
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10
setelah pemberian besi
b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari
atau PCV mengkat 1% / hari.
7. Sumsum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma
b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau
besi berkurang Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah
dengan trial pemberian preparate besi. Penentuan ini penting untuk
mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat
mudah, praktis, sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang
berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi
dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 – 4 minggu terjadi peningkatan kadar
Hb 1-2 mg/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan
menderita ADB. 16

2.2.8 Diagnosis Banding


Penyebab alternatif paling sering dari anemia mikrositer adalah

3
thalassemia α atau β dan hemoglobinopati, yaitu hemoglobin E dan C.
Karakteristik talasemia yang paling sering muncul adalah menurunnya jumlah
sel darah merah namun dengan jumlah RDW normal atau meningkat sedikit.
Keracunan timbal dapat menyebabkan anemia mikrositer namun lebih sering
terjadi anemia defisiensi besi menyebabkan pica yang kemudian menyebabkan
keracunan timbal.20

Pemeriksaan Anemia defisiensi besi Talasemia Anemia penyakit


α atau β kronis
Hemoglobin Turun Turun Turun

MCV Turun Turun Normal-turun

RDW Naik Normal Normal-naik

RBC Turun Normal- Normal-turun


naik
Serum Ferritin Turun Normal Naik

Total Iron Binding Capacity Naik Normal Turun

Transferrin Saturation Turun Normal Turun

FEP Naik Normal Naik

Transferin Receptor Naik Normal Naik

Reticulocyte hemoglobin Turun Normal Normal-turun


concentration

Tabel 2.3 Perbandingan nilai laboratorium17

2.2.9 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80 – 85% penyebab ADB dapat diketahui dengan penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat dilakukan secara oral atau parenteral.
Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama efektifnya dengan pemberian
secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang
tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat dipenuhi
secara

3
peroral karena ada gangguan pencernaan. 12
a. Pemberian preparat besi
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam
feri. Preparat terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering
dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous
glukonat, ferous fumarat, dan ferous suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk
bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop). 13
Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg besi
elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi
elemental yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi
elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan meninmbulkan
efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek
penyembuhan yang lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik adalah pada saat
lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan
efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi
dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan
mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis
sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan
meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan
selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. 12
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis
dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini

Waktu setelah Respons


pemberian besi

12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular, keluhan subyektif berkurang, nafsu
makan bertambah

36 – 48 jam Respon awal dari sumsum tulang, hiperplasia eritroid

48 – 72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5 – 7

4 – 30 hari Adar Hb meningkat

4
1 – 3 bulan Penambahan cadangan besi

Tabel 2.4 Respon terhadap pemberian besi pada ADB11


Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada
orang dewasa diabndingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang berifat
sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian
belakang lidah dengan cara tetesan.14

Gambar 2.5 Dosis dan lama pemberian suplementasi besi 19

b. Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral. 1
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50
mg besi/ ml. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
c. Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada
keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat
mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu
secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan
hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan
dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu

4
respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb
< 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian
disertai pemberian diuretik seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang
nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC
yang segar.19
2.2.10 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi
saja dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan
beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlansgung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti :
infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan
pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).20

2.3 Diare Cair Akut

2.3.1 Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir
dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair,
keadaan ini sudah dapat disebut diare. Perubahan konsistensi tinja lebih bermakna
daripada frekuensi BAB.21,22

4
Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3
– 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat
fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut
tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum
sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara
eksklusif definisi diare yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air
besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak
seperti biasanya.23
2.3.2 Epidemiologi
Setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita, dan
hampir tidak ada perubahan dalam dua dekade terakhir. Diare pada balita tersebut
lebih dari separohnya terjadi di Afrika dan Asia Selatan, dapat mengakibatkan
kematian atau keadaan berat lainnya. Insidens diare bervariasi menurut musim dan
umur. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap diare, insiden diare
tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan menurun dengan
bertambahnya usia anak.1 Insiden diare pada kelompok usia balita di Indonesia
pada tahun 2012 adalah 10,2 persen.21
2.3.3 Klasifikasi

Diare akut terbagi dua berdasarkan manifestasi klinis yaitu diare akut
berair atau acute watery diarrhea dan diare akut berdarah atau bloody diarrhea.
Acute watery diarrhea paling banyak disebabkan rotavirus, Norwalk-like virus,
enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus,
Clostridium difficile, Giardia, dan cryptosporidia. Patogen yang paling sering
menyebabkan acute bloody diarrhea adalah Shigella and Entamoeba histolytica.
Campylobacter sp, invasive Escherichia coli, Salmonella, Aeromonas organisms,
C. difficile, dan Yersinia sp dapat menyebabkan acute bloody diarrhea.5 Diare
akut juga diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasi yaitu tanpa dehidrasi,
dehidrasi ringan-sedang, dan dehidrasi berat.22,24
2.3.4 Etiologi dan Faktor Risiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu
melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak
langsung

4
tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita
atau tidak langsung melalui lalat ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).24,25
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara
lain tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan
bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja,
kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara
penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain :
gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya
motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.25
Diare dapat disebabkan infeksi dan non infeksi. Penyebab infeksi utama
timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Di negara
berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu:
Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan
Cryptosporidium, Vibrio Cholera. Rotavirus merupakan penyebab tersering diare
akut pada anak (75-90%).24,26
Adapun penyebab non infeksi yaitu:27

- Defek Anatomis: Malrotasi, penyakit Hirchsprung, Short Bowel Syndrome,


Atrofi microvilli, Stricture
- Malabsorpsi: Defisiensi disakaridase, malabsorpsi glukosa – galaktosa, cystic
fibrosis, penyakit Celiac
- Endokrinopati: Thyrotoksikosis, penyakit Addison, sindroma Adrenogenital
- Keracunan makanan: logam berat, mushrooms
- Neoplasma: Neuroblastoma, phaeochromocytoma, sindroma Zollinger Ellison
- Lain -lain : Infeksi non gastrointestinal, alergi susu sapi, penyakit Crohn,
defisiensi imun, colitis ulserosa, gangguan motilitas usus, pellagra
2.3.5 Patogenesis
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang
menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan
sel-sel ujung-ujung villus pada usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan
berbagai

4
tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina propria.
Perubahan- perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi dengan keparahan
gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare.24
Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang
villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu.
Sel- sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk
kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami
atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya,
cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan
koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta
makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan
diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna. Bakteri yang
memproduksi enterotoksin seperti ETEC, Clostridium perfringens, dan Giardia
lamblia juga mengganggu proses absorbsi dan sekresi usus sehingga timbul diare
berair tanpa lendir dan darah.21,25
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida
dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut
bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel
yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan
merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus
selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio
penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat
kompleks, terutama laktosa.24,27
Diare berair juga dapat diakibatkan oleh bakteri penghasil enterotoksin
seperti V. Cholerae, ETEC, Giardia Lamblia, dan Cry. Perlekatan V. Cholerae
pada epitel usus dimediasi oleh faktor kolonisasi fimbrial. Setelah melekat, V.
Cholerae mensekresi toksin kolera. Toksin kolera mengandung dua subunit,
subunit A toksik aktif tunggal, dan subunit pentamer B yang berperan untuk
mengikat toksin ke sel epitel usus melalui reseptor ganglioside (GM 1). Toksin
yang telah terikat masuk ke dalam sel epitel usus. Subunit A kemudian terpisah
menjadi dua peptide, A1 dan A2. A1 merangsang ribosilasi Gs sehingga terjadi
aktivasi ireversibel adenilat

4
siklase. Konsentrasi cAMP, cGMP, dan kalsium intra sitoplasma meningkat,
terjadi aktivasi protein kinase. Aktivasi protein kinase menyebabkan terjadiya
perubahan transport elektrolit oleh enterosit dengan meningkatkan sekresi klorida
oleh sel kripta dan menurunkan absorbsi ion natrium dan klorida oleh sel-sel vilus
sehingga terjadi diare.23,27
Diare karena bakteri invasif seperti Shigella sp., Salmonella sp., EIEC,
Entamoeba hystolitica terjadi akibat invasi kuman patogen pada mukosa usus.
Invasi mikroba tersebut menyebabkan inflamasi akut, rusaknya sawar epitel, dan
ditandai dengan diare berdarah, berlendir, serta temuan leukosit PMN pada feses.
Diare berdarah dan/atau berlendir juga dapat disebabkan oleh kuman yang
memproduksi sitotoksin seperti EHEC, EAEC, Clostridium difficile. Sitotoksin
menyebabkan inflamasi akut pada mukosa usus.21,26
2.3.6 Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala
lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik.
Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan
manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.28
2.3.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila
disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk,
pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare:
memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-
obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya. Selain itu juga perlu ditanyakan
adakah gejala invaginasi yaitu tangisan keras atau kepucatan pada bayi.24,26

4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan
pernapasan serta tekanan darah. Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya
asidosis metabolic.27
a. Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat:
- rewel atau gelisah
- letargis/kesadaran berkurang
- mata cekung

- cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat


- haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum
- mukosa mulut dan lidah kering atau basah
- ubun-ubun datar, cekung, atau sangat cekung
b. Perut kembung dan bising usus lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi.

c. Darah dalam tinja


d. Tanda invaginasi (massa intra-abdominal, tinja hanya lendir dan darah)
e. Tanda-tanda gizi buruk

4
Tabel 2. Klasifikasi Diare Akut Berdarkan Derajat Dehidrasi.26
2.3.8 Tatalaksana

Salah satu strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan


pemerintah adalah melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di
sarana kesehatan melalui lima langkah tuntaskan diare (LINTAS Diare) sesuai
dengan derajat dehidrasi. Lima langkah tersebut adalah:29
1. Rehidrasi
2. Pemberian Zink

3. Pemberian ASI/makanan
4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
5. Edukasi

4
A. Tatalaksana Dehidrasi Berat

Gambar 1. Rencana Terapi C pada Dehidrasi Berat29

4
Setelah rehidrasi dimulai, lakukan pemantauan yaitu:29
- Nilai kembali anak setiap 15 – 30 menit hingga denyut nadi radial anak
teraba. Jika hidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan infus lebih cepat.
Selanjutnya, nilai kembali anak dengan memeriksa turgor, tingkat kesadaran
dan kemampuan anak untuk minum, sedikitnya setiap jam, untuk memastikan
bahwa telah terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang cekung akan membaik lebih
lambat dibanding tanda-tanda lainnya dan tidak begitu bermanfaat dalam
pemantauan. Jika jumlah cairan intravena seluruhnya telah diberikan, nilai
kembali status hidrasi anak
- Jika tanda dehidrasi masih ada, ulangi pemberian cairan intravena seperti
yang telah diuraikan sebelumnya. Dehidrasi berat yang menetap (persisten)
setelah pemberian rehidrasi intravena jarang terjadi; hal ini biasanya terjadi
hanya bila anak terus menerus BAB cair selama dilakukan rehidrasi.
- Jika kondisi anak membaik walaupun masih menunjukkan tanda dehidrasi
ringan, hentikan infus dan berikan cairan oralit selama 3-4 jam (lencana
Terapi B).
- Jika anak bisa menyusu dengan baik, semangati ibu untuk lebih sering
memberikan ASI pada anaknya.
- Jika tidak terdapat tanda dehidrasi, lakukan Rencana Terapi A
- Jika bisa, anjurkan ibu untuk menyusui anaknya lebih sering.
- Lakukan observasi pada anak setidaknya 6 jam sebelum pulang dari rumah
sakit, untuk memastikan bahwa ibu dapat meneruskan penanganan hidrasi
anak dengan memberi larutan oralit. Semua anak harus mulai minum larutan
oralit (sekitar 5ml/kgBB/jam) ketika anak bisa minum tanpa kesulitan
(biasanya dalam waktu 3–4 jam untuk bayi, atau 1–2 jam pada anak yang
lebih besar). Hal ini memberikan basa dan kalium, yang mungkin tidak cukup
disediakan melalui cairan infus. Ketika dehidrasi berat berhasil diatasi, beri
tablet zinc.29

B. Tatalaksana Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan-Sedang


- Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai
dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak tidak

5
diketahui), yaitu 75 ml/kgBB. Namun demikian, jika anak ingin minum lebih
banyak, beri minum lebih banyak.
- Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, satu sendok teh
setiap 1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak yang
lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan menggunakan
cangkir.
- Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah
• Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih
lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit)
• Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri minum
air matang atau ASI.
- Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.
- Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu cara
menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa bungkus oralit secukupnya
kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi di rumah ditambah untuk
rehidrasi dua hari berikutnya.
- Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang
terlihat sebelumnya (Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila anak
tidak bisa minum larutan oralit atau keadaannya terlihat memburuk.)
• Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah (i) beri cairan tambahan, (ii) beri tablet Zinc selama 10
hari, (iii) lanjutkan pemberian minum/makan, (iv) kunjungan ulang jika
terdapat tanda berikut ini: anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu,
kondisi anak memburuk, anak demam, terdapat darah dalam tinja anak
• Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan
untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas dan mulai beri
anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering mungkin
• Jika timbul tanda dehidrasi berat, lakukan terapi A

•Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak
bisa minum oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan
infus dengan cara: beri cairan intravena secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB
cairan

5
Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl)
yang dibagi sebagai berikut :29
UMUR Pemberian 70 ml/kg selama

Bayi (di bawah umur 12 bulan) 5 jam


Anak (12 bulan sampai 5 tahun) 2½ jam

- Periksa kembali anak setiap 1-2 jam, juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam)
segera setelah anak mau minum. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau
anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan Dehidrasi. Kemudian pilih rencana terapi
yang sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan penanganan.26

Gambar 2. Rencana Terapi B pada Dehidrasi Ringan-Sedang29

5
C. Tatalaksana Diare Akut Tanpa Dehidrasi
- Anak yang menderita diare tetapi tidak mengalami dehidrasi harus
mendapatkan cairan tambahan di rumah guna mencegah terjadinya dehidrasi.
Anak harus terus mendapatkan diet yang sesuai dengan umur mereka,
termasuk meneruskan pemberian ASI.26
- Anak dirawat jalan
- Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:23,26,29
a. Beri cairan tambahan
Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui
anaknya lebih sering dan lebih lama pada setiap pemberian ASI. Jika anak
mendapat ASI eksklusif, beri larutan oralit atau air matang sebagai
tambahan ASI dengan menggunakan sendok. Setelah diare berhenti,
lanjutkan kembali ASI eksklusif kepada anak, sesuai dengan umur anak.
Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri satu atau lebih cairan
berikut: larutan oralit, cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah
sayuran), air matang. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu
untuk memberi cairan tambahan – sebanyak yang anak dapat minum:
untuk anak berumur < 2 tahun, beri + 50–100 ml setiap kali anak BAB dan
untuk anak berumur 2 tahun atau lebih, beri + 100–200 ml setiap kali.
Ajari ibu untuk memberi minum anak sedikit demi sedikit dengan
menggunakan cangkir. Jika anak muntah, tunggu 10 menit dan berikan
kembali dengan lebih lambat. Ibu harus terus memberi cairan tambahan
sampai diare anak berhenti. Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit dan
beri 6 bungkus oralit (200 ml) untuk dibawa pulang.
b. Beri tablet Zinc
Ajari ibu berapa banyak zinc yang harus diberikan kepada anaknya:
Di bawah umur 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari, Umur 6 bulan ke atas :
1 tablet (20 mg) per hari Selama 10 hari. Ajari ibu cara memberi tablet
zinc: pada bayi larutkan tablet zinc pada sendok dengan sedikit air matang,
ASI perah atau larutan oralit. Pada anak-anak yang lebih besar: tablet
dapat

5
dikunyah atau dilarutkan. Ingatkan ibu untuk memberi tablet zinc kepada
anaknya selama 10 hari penuh.
c. Lanjutkan pemberian makan
Melanjutkan pemberian makan yang bergizi merupakan suatu
elemen yang penting dalam tatalaksana diare. ASI tetap diberikan
Meskipun nafsu makan anak belum membaik, pemberian makan tetap
diupayakan pada anak berumur 6 bulan atau lebih. Jika anak biasanya
tidak diberi ASI, lihat kemungkinan untuk relaktasi atau beri susu formula
yang biasa diberikan. Jika anak berumur 6 bulan atau lebih atau sudah
makan makanan padat, beri makanan yang disajikan secara segar: dimasak,
ditumbuk atau digiling. Berikut adalah makanan yang direkomendasikan:
1. Sereal atau makanan lain yang mengandung zat tepung dicampur
dengan kacang-kacangan, sayuran dan daging/ikan, jika mungkin,
dengan 1-2 sendok teh minyak sayur yang ditambahkan ke dalam
setiap sajian.
2. Makanan Pendamping ASI lokal yang direkomendasikan dalam
pedoman Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di daerah
tersebut.
3. Sari buah segar seperti apel, jeruk manis dan pisang dapat diberikan
untuk penambahan kalium.
Bujuk anak untuk makan dengan memberikan makanan setidaknya 6 kali
sehari. Beri makanan yang sama setelah diare berhenti dan beri makanan
tambahan per harinya selama 2 minggu.
d. Nasihati kapan harus kembali
Nasihati ibu untuk membawa anaknya kembali jika anaknya
bertambah parah, atau tidak bisa minum atau menyusu, atau malas minum,
atau timbul demam, atau ada darah dalam tinja. Jika anak tidak
menunjukkan salah satu tanda ini namun tetap tidak menunjukkan
perbaikan, nasihati ibu untuk kunjungan ulang pada hari ke-5. Nasihati
juga bahwa pengobatan yang sama harus diberikan kepada anak di waktu
yang akan datang jika anak mengalami diare lagi.6

5
Gambar 3. Rencana Terapi A pada Diare Akut Tanpa Dehidrasi29
D. Pemberian medikamentosa
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian
diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis) dan suspek
kolera. Jangan pernah memberi obat untuk menghilangkan gejala simtomatis dari
nyeri pada perut dan anus, atau untuk mengurangi frekuensi BAB, karena obat-
obatan ini dapat menambah parah penyakit yang ada.. Obat anti muntah tidak di
anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun
meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping

5
yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti
diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).22,25,28
Di tingkat pelayanan primer semua diare berdarah selama ini dianjurkan
untuk diobati sebagai shigellosis dan diberi antibiotik kotrimoksazol. Jika dalam 2
hari tidak ada perbaikan, dianjurkan untuk kunjungan ulang untuk kemungkinan
mengganti antibiotiknya. Yang paling baik adalah pengobatan yang didasarkan
pada hasil pemeriksaan tinja rutin, apakah terdapat amuba vegetatif. Jika positif
maka berikan metronidazol dengan dosis 50 mg/kg/BB dibagi tiga dosis selama 5
hari. Jika tidak ada amuba, maka dapat diberikan pengobatan untuk Shigella. Beri
pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang sensitif terhadap sebagian besar
strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif terhadap strain shigella di Indonesia
adalah siprofloxasin, sefiksim dan asam nalidiksat.27,28

2.4 Dermatitis Diaper


2.4.1 Definisi
Dermatitis diaper atau dermatitis popok atau diaper rash adalah dermatitis
yang pada awalnya berlokasi didaerah yang ditutupi popok (daerah popok).
Umumnya dijumpai pada bayi dan anak tetapi dapat juga pada orang dewasa yang
memakai popok berlama-lama.30
Pada dekade terakhir ini dermatitis diaper menurun sejalan dengan
pemakaian popok super absorben.31
2.4.2 Etiopatogenesis
Penyebab dermatitis diaper multifaktorial. Faktor inisial adalah
kelembaban kulit yang berlangsung lama. Kelembaban ini berasal dari keringat
ataupun urine yang tidak dapat menyerap akibat terhambat popok. Kelembaban
ini mengakibatkan mudah terjadi friksi antar kulit atau antara kulit dengan popok
sehingga terjadi kerusakan sawar kulit.32
Faktor lain adalah kontak daerah popok dengan urin, feses, enzim
proteolitik dan lipolitik dari saluran cerna, peninggian pH kulit dan paparan
mikroorganisme atau bahan iritan/alergen.31
Urin akan meningkatkan pH kulit melalui pemecahan urea menjadi
amonia. Peninggian pH kulit ini akan meningkatkan aktifitas enzim protease dan
lipase sehingga terjadi kerusakan sawar kulit.31,33

5
Rusaknya sawar kulit akan meningkatkan permeabilitas kulit sehingga
memudahkan mikroorganisme dan bahan-bahan iritan/alergen masuk melalui kulit
dan menimbulkan gangguan dikulit.34
2.4.3 Manifestasi Klinis
Dermatitis popok mempunyai bentuk klinis yang beragam tergantung
penyebabnya, yaitu:35,36,37,38

1. Dermatitis diaper kontak iritan

Merupakan bentuk DP yang paling banyak. DP ini bisa terjadi pada segala
usia. Gambaran klinis berlokasi pada daerah popok yang cembung dan berkontak
erat dengan popok. Lesinya berupa ruam yang basah, eritematous, kadang-kadang
dijumpai skuama dan erosi.
2. Dermatitis diaper kandida
Merupakan bentuk DP kedua tersering. Lesi berupa plak eritema,
berskuama, berbatas tegas disertai lesi satelit. Kadang-kadang DP kandida ini
bersamaan dengan oral trush.

3. Miliaria rubra (MR)


Biasanya dijumpai pada bokong yang tertutup popok plastik yang
menyebabkan muara kelenjar ekrin yang tertutup. MR juga bisa dijumpai pada
daerah lipatan, leher dan dada bagian atas.
4. Pseudoveritocous papules dan nodules
Dijumpai pada daerah popok dan perianal dan kelainan ini disebabkan
kelembaban yang berlama-lama.
5. Infantile granular parakeratosis
Merupakan bentuk retensi keratosis dan bersifat idiopatik, ada dua bentuk
klinis :
- Plak linier bilateral
- Plak eritematous geometrik
- Pada lipatan inguinal
6. Jacquet erosive dermatitis
Kelainan ini mempunyai gambaran lekas berupa ulkus punched-out
dengan batas tegas atau erosi dengan pinggir meninggi. Penyebabnya adalah
kontak lama dengan urin dan feses pada permukaan kulit yang tertutup.
Sekarang dengan ada

5
popok yang superabsorben kelainan ini jarang dijumpai.

7. Granuloma gluteale infantum


Bentuk DP ini jarang dijumpai. Lesinya berupa nodul merah ungu dengan
ukuran 0,5 – 3 cm, dijumpai pada daerah popok. Pada pemeriksaan histopatologi,
tampak lapisan dermis di infiltrasi limfosit, sel plasma, netrofil, eosinofil dan
tidak ada granuloma. Faktor penyebabnya antara lain faktor iritasi, infeksi
kandida dan pemakaian steroid topikal.
Penatalaksanaannya adalah dengan menghindarkan pajanan bahan iritan,
penggunaan barier pasta, menghindarkan pemakaian steroid. Perbaikan biasanya
terjadi dalam beberapa bulan.
8. Dermatoses yang penyebabnya tidak berkaitan dengan penggunaan popok
Penyebabnya, primer bukan karena pemakaian popok. Kelainan ini bisa
berupa dermatitis seboroika, dermatitis atopik, psoriasis, impetigo,
akrodermatitis enteropatika, skabies, hand-foot & mouth disease, herpes
simpleks dan histiosis
sel Langerhans.
2.4.4 Penatalaksanaan

I. Non medikamentosa:35,37,39
A. Air
Daerah popok dibiarkan terbuka selama mungkin agar tidak
lembab, misalnya ketika bayi tidur.

B. Barrier ointments
Barrier ointments dioleskan setiap kali popok diganti.
Contoh barrier ointments : seng oksida, petrolatum, preparat barier non
mediated.
C. Cleansing dan pengobatan anti kandida
Daerah popok dibersihkan dengan air ataupun minyak mineral dan
dilakukan hati- hati agar tidak terjadi kerusakan kulit akibat friksi. Bila
dijumpai oral trush dapat diberi anti kandida topikal atau nistatin oral

D. Diaper
Frekuensi penggantian popok perlu diperhatikan. Popok diganti
sesegera mungkin bila telah kotor.

5
E. Education
Pendekatan edukasi diberikan kepada orang tua atau pengaruh bayi.
Pembelajaran dan membiasakan toilet training pada bayi akan
mengurangi kebiasaan memakai popok.

II. Medikamentosa:36,40
1. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal yang dianjurkan adalah yang berpotensi
ringan (mis : krim Hidrokortison 1% - 2,5 %) dan umumnya diberi untuk
jangka waktu 3 – 7 hari. Penggunaan steroid poten merupakan indikasi
kontra karena dapat menimbulkan efek samping yang cukup banyak.
2. Antifungal topikal
Nistatin atau imidazol terbukti aman dan efektif untuk pengobatan
diaper rash kandida klotrimazol dan mikonazol nitral juga dapat
digunakan.
3. Anti bakterial
Bila terjadi infeksi ataupun infeksi sekunder pada DP dapat
diberikan beberapa anti mikroba, termasuk benzalkonium chlorida dan
triklosan.

Penggunaan bedak talkum tidak dianjurkan karena beberapa produknya


dapat menyebabkan iritasi. Penggunaan bedak bayi dapat menimbulkan talcum
powder granuloma karena potensi toksiknya, corn starch powder dapat
menginhibisi pertumbuhan candida albicans tetapi bila memasuki saluran nafas
bayi dapat menimbulkan pneumonia aspirasi.35

5
BAB 4
PEMBAHASAN

Anak laki-laki usia 14 bulan datang dengan ke instalasi gawat darurat


RSUD Jagakarsa dalam keadaan kejang sejak  2 menit SMRS, disertai dengan
demam, diare dan muntah sejak 8 jam SMRS. Kejang merupakan yang pertama.
Saat kejang posisi kedua kaki dan tangan kaku, kedua tangan mengepal disertai
mata mendelik ke atas. Durasi kejang 5 menit. Anak sadar setelah kejang. Setelah
kejang anak menangis dan muntah satu kali isi makanan. Keluhan kejang disertai
demam 39C saat diukur di rumah, demam tidak menggigil dan tidak berkeringat
banyak.

Terdapat riwayat BAB cair 4 kali sebelum masuk rumah sakit yang lalu,
warna tinja kuning, konsistensi lunak. Terdapat muntah 1 kali setelah kejang.
Kejang pada kejang demam terjadi karena kenaikan suhu tubuh, Kejang demam
dapat disebabkan oleh dehidrasi merupakan komplikasi dari kejadian diare yang
disebabkan karena tubuh mengalami kehilangan cairan. Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit akan menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler sehingga terjadi ketidakseimbangan potensial membrane ATP ASE,
difusi Na, K ke dalam sel, depolarisasi neuron dan lepas muatan listrik dengan
cepat melalui neurotransmitter sehingga timbul kejang.12 Tidak ada riwayat
terbentur pada kepala, serta riwayat kejang sebelumnya dapat meningkirkan
kemungkinan terjadinya kejang karena kerusakan pada sistem saraf.

Hasil pemeriksan fisik ditemukan anak sadar, terdapat peningkatan suhu


tubuh. Tidak ada tanda-tanda kelainan neurologis yang dialami pasien ini, tanda
rangsang meningeal tidak ada, reflex fisiologis normal, dan reflex patologis tidak
didapatkan. Pada pasien ini, dapat disingkirkan kemungkinan kejang yang
disebabkan infeksi sistem saraf pusat.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan natrium, kalium dan klorida
dalam batas normal. Pada pasien ini, dapat disingkirkan kemungkinan kejang
yang disebabkan gangguan elektrolit. Hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan
hemoglobin 10,4 g/dL. Prevalensi tertinggi kejang demam adalah usia 14-18
bulan,

6
bersamaan dengan prevalensi anemia defisiensi besi pada anak. Anemia defisiensi
besi merupakan defesiensi nutrisi yang paling umum ditemukan di dunia. Besi
merupakan mikronutrien esensial sebagai kofaktor metabolisme neutransmiter,
monoamine, dan aldehyde oxidase pada otak. Demam dapat memperburuk
metabolisme neuron akibat rendahnya serum ferritin di otak dan memicu
terjadinya kejang. Hemoglobin yang rendah menyebabkan berkurangnya
kemampuan transport oksigen ke dalam jaringan. Kurangnya oksigen dalam
jaringan dapat menyebabkan hipoksia dimana oksigen dibutuhkan dalam proses
transport aktif ion Na-K yang berguna untuk menstabilkan kondisi membran sel
syaraf. Terganggunya kestabilan membran sel syaraf dapat mengakibatkan
konsentrasi ion Na intrasel meningkat sehingga memicu terjadinya depolarisasi.
Jika kondisi ini berada pada level yang tetap dan mendapat rangsang yang
adekuat maka dapat memicu timbulnya kejang.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana cairan IVFD KaEN 1B kec 40
cc/jam, diazepam supp 10 mg, O2 nasal canul 1 lpm, Inj Paracetamol drip 110
mg, Inj ceftriaxone 2 x 500 mg (masuk pelan dalam 30 menit), Inj. Ranitidin 3 x
10 mg, Zinc sirup 1 x 20 mg, Diazepam puyer 3 x 1 mg, Paracetamol drip 120 mg
bila demam, asam folat 1x 1 mg, Bila kejang berikan stesolid 5 mg + oksigen
nasal kanul 1 lpm.
Pasien diberikan KaEN 1B sebagai pengganti cairan, nutrisi dan elektrolit
yang hilang. Pasien diberikan paracetamol jika suhu ≥ 38,50C sebagai
antipiretik.13 Diazepam dapat mencegah terjadinya kejang berulang dengan
meningkatkan aktifitas GABA dan dapat menekan sistem saraf pusat termasuk
system limbik dan formasio retikularis. Ceftriaxone merupakan antibiotik
sefalosporin generasi ketiga diberikan pada pasien karena terdapat peningkatan
neutrofil. Ranitidin merupakan golongan antagonis reseptor H2 dapat menekan
produksi asam intragastrik saat antibiotik mengeradikasi infeksi. Suplementasi
zink pada pasien bertujuan untuk memodifikasi mekanisme resistensi host
terhadap agen infeksi sehingga daapt mengurangi risiko, frekuensi dan durasi
diare. Zinc berperan dalam memodulasi sel membrane dan fungsi sel sehingga
meningkatkan system imun. Pemberian asam folat yaitu sebagai pembawa karbon
tunggal dalam bembentukan heme, dimana heme merupakan komponen dari
hemoglobin dan asam folat berperan

6
dalam proses eritropoiesis.
Pada rawatan hari ketiga, terdapat ruam kemerahan pada bokong pasien.
Pasien mendapat salep racikan mikonazol 5 gr dan hidrokortison 2,5% 5 gr.
Kombinasi antifungal-kortikosteroid potensi lemah dapat mengurangi inflamasi,
iritasi, dan rasa tidak nyaman akibat ruam popok.
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal.14 Berikan edukasi kepada orang tua agar mengetahui cara penanganan
kejang, memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali,
pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang dengan tetap
mengingat adanya efek samping obat, serta rutin mengganti popok dan jaga
kebersihan dan kelembapan bokong pasien. 1,2

6
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pasien dengan kejang demam sederhana dengan hasil pemeriksaan
laboratorium terdapat penurunan kadar hemoglobin yang menunjukkan anemia
pada pasien. Berdasarkan hasil tersebut, maka tatalaksana dapat diberikan dengan
tepat untuk menentukan prognosis yang lebih baik kepada pasien, berupa
medikamentosa serta edukasi. Pada pasien ini sudah tatalaksana di IGD dan rawat
inap, terdapat perbaikan klinis sehingga pasien boleh dipulangkan.

5.2 Saran
Saran pada kasus dapat dilakukan pemeriksaan gambaran darah tepi dan
evaluasi status besi untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya namun
tidak dilakukan karena keterbatasan waktu dan sarana rumah sakit.

6
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,


penyunting. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI
2016.h1-14
2. Mikati MA, Hani AJ. Febrile Seizure. Dalam Kliegman RM, Behrman RE,
Stanton BF, St Gemme VW, Schor NF, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier, 2016. h2829-31.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Indris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, penyunting. Pedoman Pelayanan Medis jilid I. Jakarta: IDAI,
2010. h150- 153
4. Heydarian F, Bakhtiari E, Yousefi S, Heidarian M. The first febrile seizure:
An updated study for clinical risk factors. Iranian Journal of Pediatrics.
2018;28(6).
5. Smith DK, Sadler KP, Benedum M. Febrile seizures: Risks, evaluation, and
prognosis. American family physician. 2019 Apr 1;99(7):445-50.
6. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of pediatric febrile seizures.
International journal of environmental research and public health. 2018
Oct;15(10):2232.
7. Hasibuan DK, Dimyati Y. Kejang Demam sebagai Faktor Predisposisi
Epilepsi pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2020 Nov 1;47(11):668-72.
8. Hassan R, Alatas H. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
9. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999.
h:244-52
10. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,
penyunting Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI
2016. H4
11. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak.
Sari Pediatri. 2016 Nov 24;11(3):207-11.
12. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono
HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting.
Buku ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: BP- IDAI; 2005; 30-43.
13. Rezky IZ, Ringoringo HP, Panghiyangani R, Hartoyo E, Rahmiati R.
Prevalensi Anemia Defisiensi Besi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
pada Anak Balita dengan Gizi Buruk. Homeostasis. 2022 Aug 31;5(2):255-
62.
14. Faiqah S, Ristrini R, Irmayani I. Hubungan usia, jenis kelamin dan berat
badan lahir dengan kejadian anemia pada balita di Indonesia. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 2018;21(4):281-9.
15. Mantadakis E, Chatzimichael E, Zikidou P. Iron deficiency anemia in
children residing in high and low-income countries: risk factors, prevention,
diagnosis and therapy. Mediterranean Journal of Hematology and Infectious
Diseases. 2020;12(1).
16. Finkelstein JL, Herman HS, Guetterman HM, Peña‐Rosas JP, Mehta S. Daily
iron supplementation for prevention or treatment of iron deficiency anaemia
in infants, children, and adolescents. The Cochrane Database of Systematic
Reviews. 2018 Dec;2018(12).

6
17. Ergul AB, Turanoglu C, Karakukcu C, Karaman S, Torun YA. Increased iron
deficiency and iron deficiency anemia in children with zinc deficiency. The
Eurasian journal of medicine. 2018 Feb;50(1):34.
18. Turawa E, Awotiwon O, Dhansay MA, Cois A, Labadarios D, Bradshaw D,
Pillay-van Wyk V. Prevalence of anaemia, iron deficiency, and iron
deficiency anaemia in women of reproductive age and children under 5 years
of age in south africa (1997–2021): A systematic review. International
Journal of Environmental Research and Public Health. 2021 Dec
4;18(23):12799.
19. Camaschella C. Iron deficiency. Blood, The Journal of the American Society
of Hematology. 2019 Jan 3;133(1):30-9.
20. Albaroudi IN, Khodder M, Al Saadi T, Turk T, Youssef LA. Prevalence,
diagnosis, and management of iron deficiency and iron deficiency anemia
among Syrian children in a major outpatient center in Damascus, Syria.
Avicenna Journal of Medicine. 2018 Jul;8(03):92-103.
21. Stockmann C, Pavia A, Graham B. Detection of 23 Gastrointestinal
Pathogens Among Children Who Present With Diarrhea. Article. Journal of
the Pediatric Infectious Disease Society Advance Access. May 4,2016.
22. Zhou SX, Wang LP, Liu MY, Zhang HY, Lu QB, Shi LS, Ren X, Wang YF,
Lin SH, Zhang CH, Geng MJ. Characteristics of diarrheagenic Escherichia
coli among patients with acute diarrhea in China, 2009‒2018. Journal of
Infection. 2021 Oct 1;83(4):424-32.
23. Jap AL, Widodo AD. Diare Akut yang Disebabkan oleh Infeksi. Jurnal
Kedokteran Meditek. 2021 Sep 24;27(3):282-8.
24. Anggraini D, Kumala O. Diare Pada Anak. Scientific Journal. 2022 Jul
30;1(4):309-17.
25. Indriyani DP, Putra IG. Penanganan terkini diare pada anak: Tinjauan
pustaka. Intisari Sains Medis. 2020 Aug 1;11(2):928-32.
26. Nolitriani N, Jurnalis YD, Sayoeti Y. Peran Peran Selenium pada Diare Akut.
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia. 2020 Nov 16;1(2).
27. Wielgos K, Setkowicz W, Pasternak G, Lewandowicz-Uszyńska A.
Management of acute gastroenteritis in children. Polski Merkuriusz Lekarski:
Organ Polskiego Towarzystwa Lekarskiego. 2019 Aug 1;47(278):76-9.
28. Fitzwater S, Shet A, Santosham M, Kosek M. Infectious diarrhea. Water and
Sanitation‐Related Diseases and the Changing Environment: Challenges,
Interventions, and Preventive Measures. 2019 Jan 16:63-93.
29. Subagyo B, Santoso NB. Diare akut. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY,
Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar
gastroenterologi- hepatologi. Jakarta:IDAI;2012.h.87 – 120.
30. Sharifi-Heris Z, Amiri Farahani L, Hasanpoor-Azghadi SB. A review study of
diaper rash dermatitis treatments. Journal of Client-Centered Care. 2018 Feb
10;4(1):1-2.
31. Meiranny A, Ghina RU, Susilowati E. Literature Review Penatalaksanaan
Diaper Rash pada Bayi. Promotif: Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2021 Dec
6;11(2):225-30.
32. Šikić Pogačar M, Maver U, Marčun Varda N, Mičetić‐Turk D. Diagnosis and
management of diaper dermatitis in infants with emphasis on skin microbiota
in the diaper area. International journal of dermatology. 2018 Mar;57(3):265-
75.

6
33. Dhawan SR, Sharawat IK, Saini AG, Suthar R, Attri SV. Diaper rash in an
infant with Seizures. The Journal of Pediatrics. 2019 Mar 1;206:296.
34. Blume‐Peytavi U, Kanti V. Prevention and treatment of diaper dermatitis.
Pediatric Dermatology. 2018 Mar;35:s19-23.
35. Fölster‐Holst R. Differential diagnoses of diaper dermatitis. Pediatric
dermatology. 2018 Mar;35:s10-8.
36. Carr AN, DeWitt T, Cork MJ, Eichenfield LF, Fölster‐Holst R, Hohl D, Lane
AT, Paller A, Pickering L, Taieb A, Cui TY. Diaper dermatitis prevalence
and severity: global perspective on the impact of caregiver behavior. Pediatric
dermatology. 2020 Jan;37(1):130-6.
37. Sukhneewat C, Chaiyarit J, Techasatian L. Diaper dermatitis: a survey of risk
factors in Thai children aged under 24 months. BMC dermatology. 2019
Dec;19(1):1-6.
38. Johnson TS, Harris-Haman PA, Zukowsky K. An integrative review of
clinical characteristics of infants with diaper dermatitis. Advances in
Neonatal Care. 2020 Aug 1;20(4):276-85.
39. Dall’Oglio F, Musumeci ML, Puglisi DF, Micali G. A novel treatment of
diaper dermatitis in children and adults. Journal of Cosmetic Dermatology.
2021 Apr;20:1-4.
40. Oranje AP, Bonifazi E, Honig PJ, Yan AC. Napkin dermatitis. Harper's
Textbook of Pediatric Dermatology. 2019 Nov 20:265-78.

Anda mungkin juga menyukai