Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh:
Alisha Nurdya Irzanti

Pembimbing
dr. Vonny E Pandara

RSUD JAGAKARSA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER UMUM
AGUSTUS 2022 - FEBRUARI 2023

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Program Internship Dokter Indonesia

Di Rumah Sakit Umum Daerah Jagakarsa

Oleh:
Alisha Nurdya Irzanti

Pembimbing
dr. Vonny E Pandara

RSUD JAGAKARSA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER UMUM
AGUSTUS 2022 - FEBRUARI 2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT serta shalawat dan salam
untuk Nabi Muhammad S.A.W, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “DEMAM TIFOID” yang
merupakan salah satu tugas program internship dokter Indonesia di Rumah Sakit
Umum Daerah Jagakarsa. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Vonny E Pandara selaku pembimbing dalam penyusunan
laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima semua
saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan laporan kasus ini. Akhir
kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, Januari 2023

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................................................................................


Lembar Pengesahan ........................................................................................i
Kata Pengantar ...............................................................................................ii
Daftar Isi .......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ........................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...............................................................13
Demam Tifoid ..............................................................................................13
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................45
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 46

BAB I
Pendahuluan

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serta
berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang.1
Pada tahun 1813 Bretoneau melaporkan pertama kali tentang gambaran klinis dan
kelainan anatomis dari demam tifoid, sedangkan Cornwalls Hewett (1826) melaporkan
perubahan patologisnya. Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah
typhoid yang berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata
Yunani typhos yang berarti asap/kabut. Terminologi ini dipakai pada penderita yang
mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word
Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth
menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe
mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan
memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Pada tahun 1896 A. Pfeifer
berhasil pertama kali menemukan bakteri Salmonella dari feses penderita, kemudian Haeppe
menemukan bakteri Salmonella di dalam urin, dan R. Neuhauss menemukan bakteri
Salmonella di dalam darah. Pada tahun yang bersamaan Widal berhasil memperkenalkan
diagnosis serologis demam tifoid. Pfeifer dan Wright mencoba vaksinasi terhadap demam
tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi bakteri hidup yang
dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1948 Woodward
dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan penyakit
demam tifoid.1,2
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung meningkat
pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah. 96 % kasus demam
tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. 91 %
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang
nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit

yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.3
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat
pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat
bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (oral-fecal).3


BAB II
Laporan Kasus

I. Identitas Pasien
Nama : An. SB
Usia : 12 th
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 136490

II. Anamnesis
Alloanamnesa dengan ibu kandung penderita dilakukan di IGD RSUD Jagakarsa pada
tanggal 1 Januari 2023.
a. Keluhan Utama
Demam sejak 13 hari SMRS (19/12/2022)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan demam yang sudah dirasakan sejak 13 hari SMRS. Demam
yang dirasakan naik turun, demam turun tidak mencapai suhu normal, demam disertai
menggigil dan dirasakan lebih tinggi pada sore ke malam hari. Selain demam, pasien
juga mengeluhkan rasa mual namun tidak sampai muntah dan nyeri ulu hati. Nafsu
makan juga menurun. Riwayat BAB cair sejak 4 hari yang lalu, hari ini bab cair
sebanyak 1 x tidak disertai dengan ampas. Pasien juga merasakan nyeri kepala, nyeri
sendi, dan pegal-pegal di seluruh tubuh. Tidak ada keluhan batuk, pilek, nyeri
tenggorok, sulit menelan, keluar cairan dari telinga, mimisan, dan gusi berdarah. Pada
kulit tidak ada perubahan warna menjadi pucat, kuning, ataupun ruam kemerahan.
BAK normal, terakhir BAK pukul 21.00, warna kuning. Pasien merupakan anak
pesantren dan biasanya mendapat makanan dari asrama. Terdapat teman di pesantren
mengeluhkan hal yg sama.
Riwayat pengobatan sebelumnya pasien sudah berobat ke RSUD Jagakarsa pada
tanggal 28/12/22 dan diberikan Lactulax 3x1, Paracetamol 3x500 mg, Cefixime
2x100mg namun tidak ada perbaikan.



c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit demam dengan gejala serupa sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat penyakit asma disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa
e. Riwayat Sosial Ekonomi
- Pasien tidak merokok, meminum alkohol maupun obat-obatan terlarang
- Riwayat keluarga, lingkungan tempat tinggal dan sekolah ada yang mengalami
gejala yang sama seperti penderita
- Riwayat keluarga, lingkungan rumah maupun sekolah mengalami sakit demam
dengue disangkal
- Riwayat keluarga berpergian ke daerah endemis malaria disangkal
- Riwayat keluarga atau lingkungan mengalami TB disangkal
f. Riwayat Kebiasaan
- Penderita jarang mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan.
g. Anamnesis
- Kepala : (+) Nyeri (-) Trauma (-) Pingsan (-) Kejang
- Mata : (-) Nyeri (-) Gangguan Pengelihatan (-) Sekret
- Telinga : (-) Nyeri (-) Tinnitus (-) Sekret (-) Gangguan pendengaran
- Hidung : (-) Nyeri (-) Trauma (-) Gangguan penciuman (-) Sekret
- Mulut : (-) Bibir (-) Gangguan pengecapan (-) Gusi (-) Luka
• (-) Lidah (-) Gigi berlubang
- Leher : (-) Disfagia (-) Nyeri tenggorokan (-) Perubahan suara
- Toraks : (-) Nyeri (-) Sesak (-) Palpitasi (-) Ortopnea
- Abdomen : (+) Nyeri (+) Mual (+) Muntah (-) Bloating (-) BAB cair
• (-) BAB darah / lendir (-) Bejolan
- Ekstremitas: (+) Nyeri seluruh tubuh
i. Riwayat Imunisasi
- HB0 : segera setelah lahir
- BCG : 1 bulan












- Polio 1 : 1 bulan
- DPT 1 : 2 bulan
- Hepatitis B 1 : 2 bulan
- HiB 2 : 2 bulan
- Polio 2 : 2 bulan
- DPT 2 : 3 bulan
- Hepatitis B 2 : 3 bulan
- HiB 2 : 3 bulan
- Polio 3 : 3 bulan
- DPT 3 : 4 bulan
- Hepatitis B 3 : 4 bulan
- HiB 3 : 4 bulan
- Polio 4 : 4 bulan
- Campak : 8 bulan
- Campak booster :-

III.Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 1 Januari 2023
a. Tanda Vital
- Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
- Kesadaran: Somnolen, GCS E4M6V5
- Nadi: 130 kali/menit
- Laju Nafas: 20 kali/menit
- Suhu: 39,1o C
- Saturasi Oksigen: 97%
- Berat Badan: 42,35kg
b. Status Generalis
- Kulit : Turgor kulit baik, pucat (-).
- Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut.
- Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+),
mata cekung (-), edema palpebra (-)
















- Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-/-), sekret (-/-)
- Telinga : Bentuk normal, sekret (-), hiperemis (-)
- Mulut : Mukosa dan bibir basah, ulcer (-), sianosis (-), geographic tongue (-)
- Leher : Tidak tampak pulsasi vena pada leher, tidak teraba adanya massa atau
pembesaran KGB
- Thoraks Pulmo
• Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-),
pelebaran sela iga (-)
• Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan dan kiri, krepitasi (-)
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
• Auskultasi : Suara dasar vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
- Thoraks COR
• Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
• Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra
• Perkusi : Kesan batas jantung dalam batas normal
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-) gallop (-)
- Abdomen
• Inspeksi : Cembung, darm contour (-), darm steifung (-), spider naevi (-)
• Auskultasi : Bising usus (+)
• Palpasi : Supel, turgor baik, organomegaly (-), nyeri tekan epigastrium (+)
• Perkusi : Timpani di semua lapang abdomen, nyeri ketok CVA (-/-)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (-), rumple leed (-)














IV.Pemeriksaan Penunjang

V. Resume
Seorang anak perempuan berusia 12 tahun datang ke IGD RSUD Jagakarsa

diantar oleh ibunya dengan keluhan demam yang sudah dirasakan sejak 13 hari
SMRS. Demam yang dirasakan naik turun, demam turun tidak mencapai suhu normal,
demam meningkat terutama pada malam hari. Pasien juga mengeluhkan rasa mual
Nafsu makan juga menurun. Riwayat BAB cair sejak 4 hari yang lalu, hari ini bab cair

sebanyak 1 x tidak disertai dengan ampas. Pasien juga merasakan nyeri kepala, nyeri
sendi, dan pegal-pegal di seluruh tubuh. Tidak ada keluhan batuk, pilek, nyeri
tenggorok, sulit menelan, keluar cairan dari telinga, mimisan, dan gusi berdarah. Pada
kulit tidak ada perubahan warna menjadi pucat, kuning, ataupun ruam kemerahan.
BAK normal, terakhir BAK pukul 21.00, warna kuning. Riwayat berpergian ke daerah
endemis malaria sebelumnya tidak ada.Sebelumnya pasien sudah diobati dengan
Lactulac 3x1, Paracetamol 3x500 mg, Cefixime 2x100mg namun tidak ada perbaikan.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan epigastrium, lainnya dalam batas
normal. Dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan widal test positif.

VI.Diagnosis Kerja
- Prolonged fever ec Demam Tifoid

VII.Tatalaksana
a. IGD
IVFD RL Loading 500cc/jam lanjut maintenance 50cc/jam
Inj Paracetamol drip 430 mg
Inj Omeprazole 40 mg
Inj. Ondansetron 4 mg
b. Bangsal
IVFD RL maintenance 50cc/jam
Inj Ranitidin 2 x 40 mg
Inj Ceftriaxone 1 x 2gr
Paracetamol Tab 5x500 mg bila demam

VIII.Prognosis
Quo ad vitam : Ad Bonam
Quo ad functionam : Ad Bonam
Quo ad sanactionam : Ad Bonam

BAB III
Tinjauan Pustaka

Demam Tifoid

I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.1 Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid,
demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kumam berbentuk basil yaitu
Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar feses
manusia.

II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 22 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dan menyebabkan 216.000–600.000 kasus
kematian tiap tahun.3 Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia
pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif
mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar
400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan
di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk. Di Indonesia pada
tahun 2008 dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut
lelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4
tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini
menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-15 tahun.3

Gambar 1 Epidemiologi Demam Tifoid (WHO, 2003)

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa
minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada
pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw
sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa bakteri, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal). Dapat
juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang
ibu pembawa bakteri pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber bakteri
berasal dari laboratorium penelitian.1

III.Etiolologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).1
Taksonomi Salmonella typhi adalah sebagai berikut:
Phylum : Eubacteria

Class : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella enterica
Subspesies : Enteric (I)
Serotipe : Typhi
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul,
tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Salmonella typhi mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Selain itu, Salmonella
typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan
luar dari dinding sel yang dinamakan endotoksin.1

IV.Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel-sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ-organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.1,3
Masuknya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan ataupun benda lainnya yang terkontaminasi bakteri. Dosis
infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis ataupun subklinis pada manusia
adalah sebesar 105 – 108 Salmonella. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung
karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus.1,3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer









Patch, merupakan port de entry dari bakteri ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.1,3
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, bakteri yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ-organ RES ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda-tanda
dan gejala infeksi sistemik.1,3
Di dalam hepar, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian bakteri dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis bakteri Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada
anak-anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut-turut.1,3
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.1,3
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.4

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam
hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan
anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.8

V. Manifestasi Klinis
1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti
gejala influenza, berupa: anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri
otot, lidah kotor, dan nyeri perut.4
2. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya
sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berpanjangan yaitu setinggi 39oC hingga 40oC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut
lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung
dan merasa tidak enak, sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian.4
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis
dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang.
Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan
gejalagejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam
kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah
satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari,
kemudian hilang dengan sempurna.2 Roseola terjadi terutama pada penderita
golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok,

timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan
memucat bila ditekan.3
3. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam
keadaan tinggi/demam.3
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Gejala toksemia semakin berat yang
ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan
pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi
semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih
sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran
hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran.
Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.3
4. Minggu Ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan
pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi dan pasien
mengalami takipnea dengan suara crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi
abdominal. Beberapa individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai
dengan apatis, bingung, dan bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch mungkin
dapat menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis.4 Degenerasi miokardial
toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid
pada minggu ketiga.5
5. Minggu Keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika fokus
infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.7
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung
dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer
tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.

Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps.5

VI.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang
diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu
ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem
normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,3,5
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Metode
pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh
karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang
dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).5

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi:
a. Uji widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap bakteri S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen bakteri S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah
yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.6
Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu:
1. Aglutinin O (dari tubuh bakteri)
2. Aglutinin H (flagel bakteri)
3. Aglutinin Vi (simpai bakteri).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi bakteri ini.6
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit.
Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya
tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.6
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella
typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.6

Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid.6
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid.
Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang
yang dilakukan selangwaktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.6
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:
- Titer O yang tinggi ( ≥ 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
- Titer H yang tinggi ( ≥ 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi.
- Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
b. Tes TUBEX
Tubex test sering dijadikan pilihan untuk menegakan diagnosis demam
tifoid karena mudah dilakukan serta hasilnya bisa langsung dilihat hanya
dalam waktu 2 menit. Tes Tubex menunjukan hasil yang lebih spesifik karena
tes ini mendeteksi antibodi tehadap antigen tunggal yang terdapat di
Salmonella typhi yaitu antigen O9 yang merupakan antigen yang sangat
spesifik yang tidak ditemukan di mikroorganisme lain. Hasil Tubex yang
positif dapat dijadikan penunjang ditegakannya diagnosis demam tifoid.3
c. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi

tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada
metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot®
telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.5
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%,
nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar
91.66%.1,5 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144
kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas
sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.5
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat.5
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga
dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan bakteri. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum
pasien.5
d. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap

antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen
klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel
urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100%
pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.5
e. Pemeriksaan dipstik
IgM dipstick test didesain untuk diagnosis serologi dari demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi IgM spesifik Salmonella typhi yang terdapat
dalam serum. Pemeriksaan dengan menggunakan IgM dipstick ini mudah dan
efisien sehingga sering digunakan untuk menegakan diagnosis demam tifoid
ketika kultur darah tidak tersedia.3
3. Kultur
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid,
akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotic, pertumbuhan bakteri dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.

2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan bakteri
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan
darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
4. Pemeriksaan PCR
Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah
mendeteksi deoxyribonucleic acid (DNA) atau asam nukleat bakteri Salmonella
typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara polymerase chain reaction (PCR). Dasar spesifisitas reaksi hibridisasi
adalah kemampuan asam nukleat utas/rantai tunggal untuk mendeteksi dan
membentuk ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan asam nukleat utas tunggal yang
mengandung urutan asam nukleat padanannya. Reaksi hibridisasi merupakan reaksi
kinetik yang efisien dan dapat mendeteksi sejumlah sangat kecil asam nukleat
bakteri dalam waktu yang sangat pendek. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah
molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target
DNA (bakteri). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini
tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah bakteri dalam darah yang sangat
rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi / ml darah dari pasien demam tifoid.
Dengan kemajuan teknologi di bidang molekular, target DNA telah dapat
diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target
DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase.6 Cara ini
dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil satu pikogram namun usaha
untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan.9

VII.Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul
setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan
(3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi
demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri
dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu
ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi
dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots
(bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen,
ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan
letargi menetap sampai 1-2 bulan.3,4
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.3,4

VIII.Penatalaksanaan
Pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan
bakteriemia, maka pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama (pendekatan
imunologis) sebagai suatu terapi kausatif. Secara umum dasar pemilihan antibiotik
berdasarkan pada jenis bakteri penyebab. Maka pada demam tifoid antibiotik yang
dipilih adalah antibiotik yang sensitif terhadap Salmonella typhi. Prinsip
penatalaksanaan demam tifoid masih menggunakan penatalaksanaan yang meliputi:

istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif),
serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan tatalaksana komplikasi demam
tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.2
1. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah
baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia
orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.2
Diet dan Terapi Penunjang Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. Memberikan diet bebas
yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada
penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar
meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. Pemberian
cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare juga harus
diperhatikan. Primperan (metoclopramide) dapat diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan
saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
3. Pemberian Antibiotik
Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi menjadi lini pertama dan lini
kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat demam
tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah
18 tahun), sefiksim, dan seftriakson.
Tabel 1. Obat dan dosis antimikroba untuk demam tifoid (Kemenkes, 2006)

Antibiotik Dosis Kelebihan


Kloramfenikol Dewasa: 4 x 500 mg (2 - Merupakan obat yang paling lama


gr) / hari selama 14 hari. digunakan dan dikenal paling
Anak: 50 - 100 mg / efektif terhadap demam tifoid.
kgBB / hari maks 2 gr, - Murah, dapat diberikan peroral,
selama 10-14 hari. dan sensitivitas masih tinggi.
- Pemberian PO/IV
Seftriakson Dewasa: 2 – 4 gr / hari - Cepat menurunkan suhu, dapat
selama 3 – 5 hari. dosis tunggal, serta cukup aman
Anak: 80 mg / kgBB / untuk anak.
hari dosis tunggal - Pemberian IV
selama 5 hari
A m p i s i l i n d a n Dewasa: 3 – 4 gr / hari - Aman untuk penderita hamil.
amoksisilin selama 14 hari. - Sering dikombinasi dengan
Anak: 100 mg / kgBB / kloramfenikol untuk pasien kritis.
hari dosis tunggal - Tidak mahal.
selama 10 hari. - Pemberian PO/IV
TMP-SMX Dewasa: 2 x (160 - 800)
(kotrimoksazol) selama 2 minggu.
Anak: TMP 6-10 mg /
kgBB / hari
atau SMX 30-50 mg /
kgBB / hari selama 10
hari
Quinolon Siprofloksasin: 2 x 500 - Efektif dalam mencegah relaps
mg selama satu minggu dan karier.
Ofloksasin: 2 x - Pemberian peroral
(200-400) mg selama - Anak: tidak dianjurkan karena
satu minggu efek samping pada pertumbuhan
tulang.
Cefixim Anak: 15-20 mg / - Aman untuk anak
kgBB / hari selama 10 - Pemberian peroral
hari dibagi menjadi 2 - Efektif.
dosis
Timfenikol Dewasa: 4x500 mg - Dapat untuk anak dan dewasa.
Anak: 50 mg/kgBB/hari - Dilaporkan sensitif pada beberapa
selama 5-7 hari bebas daerah.
panas.

4. Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari


aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan
keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya
sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain
atau Novalgin.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

IX.Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian:3
1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan
tanda – tanda renjatan.
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus

a. Bronkitis dan bronkopneumonia


Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
b. Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c. Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f. Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g. Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung bakteri Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer-ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.9

X. Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
- Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih
tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
- Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar
botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.
- Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah
buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan
sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak

segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
- Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh bakteri Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
- Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan
sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum
makan dan setelah menggunakan toilet.
- Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.
- Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa
anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan
anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
- Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah
dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi,
dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu,
beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan

cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2 Di Indonesia telah ada 3 jenis
vaksin tifoid, yakni:
- Vaksin oral Ty 21a (bakteri yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang 2 hari. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam,
sedang minum antibiotik. Vaksin Ty- 21a diberikan pada anak berumur diatas 6
tahun. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efi kasi perlindungan
67-82%.
- Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar bakteri setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL, anak 6-12 tahun 0,25 mL, dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan
subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan
bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada
keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini
sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama
perlindungan yang pendek.
- Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3
tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2
tahun.

XI.Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik

yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya


>10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.
Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi.1
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.1

BAB IV
Kesimpulan

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serta
berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung meningkat
pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah. Penyakit demam tifoid
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular
dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat
pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat
bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (oral-fecal).
Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul
setelah inkubasi dapat dibagi menjadi demam, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan demam tifoid
meliputi darah tepi, serologis, dan bakteriologi. Terapi untuk pasien demam tifoid yaitu
istirahat, diet tinggi kalori tinggi protein, antibiotik, serta obat-obatan simtomatik sesuai
dengan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada demam tifoid, antibiotik pilihan yang digunakan
sebagai lini pertama, yaitu kloramfenikol, kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin.
Sementara lini keduanya adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun),
sefiksim, dan seftriakson.
Demam tifoid yang tidak diobati dengan adekuat dapat menyebabkan komplikasi serius
baik pada usus halus maupun di luar usus halus, seperti paru, sistem saraf pusat, jantung, dll.
Penting untuk melakukan pencegahan demam tifoid dengan mencuci tangan, menghindari air
minum yang tidak dimasak, menjaga kebersihan dan higenitas.

Daftar Pustaka

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan
penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman.
Pengendalian Demam Tifoid.
5. Hadinegoro SR., Kadim M., Davaera Y., dkk. Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam
Tifoid. Dalam: Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2012. H. 9-15.
6. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam: Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta: Salemba
Medika, 2002:1-43.
7. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC; 2000.
8. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2003. h. 2-20.
9. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya: FK UNAIR; 2010. h. 1-10.
10. Hoffman SL.1991. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter's Textbook of
Pediatrics, edition7. Philadelphia: WB Saunders, 344-58.
11. Purba IE., Wandra T., Nugrahini N., dkk. Program Pengendalian Demam Tifoid di
Indonesia: tantangan dan peluang. Medan: Universitas Sari Mutiara Indonesia,
Medan, Sumatera Utara, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI, dan Ikatan Dokter Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai