Anda di halaman 1dari 12

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Ad-Dakhil Fi Al-Tafsir Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH.,Ph.D

MAKALAH
AD-DAKHIL DALAM PERKARA AKIDAH

Disusun Oleh:
Kelompok 9

FITRI RAHMAWATI (11930220450)


ISMI AZIZ (11930220882)
MELISA SAPUTRI (11930220898)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada kita
nanti-nantikan syafaatnya diakhirat nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada
Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun
akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas yang berjudul “Ad-Dakhil Dalam Perkara Akidah”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen Ad-Dakhil fi Al-Tafsir. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pekanbaru, 14 Juni 2022

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................ii

Daftar Isi......................................................................................................….......iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................….........4
B. Rumusan Masalah..................................................................………....4
C. Tujuan Penelitian...................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Keyakinan umat Islam terhadap Allah SWT………………………….5


B. Bentuk Ad-Dakhil Dalam Perkara Akidah…………………………....6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………..........................................................................…11
B. Saran.................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA …......................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Infiltrasi atau dakhil dalam perkara akidah bukanlah sesuatu yang biasa sehingga
dianggap remeh dan digampangkan. Perkara ini menyangkut keyakinan kita terhadap
sang pencipta sebagai umat Islam. Infiltrasi ini terjadi karena adanya oknum-oknum yang
ingin membenarkan pemikiran akalnya secara sepihak tanpa mendalami kebenaran yang
tersirat.

Penafsiran ayat-ayat allah tidak lepas dari infiltrasi atau penyusupan makna sehingga
keluar dari kebenaran yang sesungguhnya. Dakhil dalam penafsiran perkara ayat akidah
adalah satu diantara perkara yang tidak lepas dari infiltasi.

Adapun yang bertentangan dengan akidah, seperti kisah al-Gharaniq. Deceritakan


bahwa ketika Rasulullah membaca surah Al-Najm, sehingga membuat kaum kafir ikut
bersujud bersama ummat Islam. Mengenai hal tersebut, kita harus menolaknya karena
sangat bertentangan dengan akidah islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ad-dakhil dalam akidah?
2. Apa saja bentuk ad-dakhil dalam perkara akidah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami ad-dakhil dalam akidah
2. Untuk mengetahui bentuk ad-dakhil dalam perkara akidah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ad-Dakhil Dalam Perkara Akidah

Akidah adalah ajaran agama tentang keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan.
Semua agama samawi mengajarkan tentang akidah sebagai dasar dan prinsip ketauhidan,
sehingga sejak dini materi akidah diajarkan kepada peserta didik. Akidah (segala sesuatu
yang mengikat dan menambat hati manusia, sehingga hatinya terpaut). Jadi, akidah adalah
bagaikan ikatan perjanjian yang kokoh yang tertanam jauh di dalam lubuk hati sanubari
manusia.1

Mempercayai Allah sebagai Tuhan Yang Esa adalah asas dari akidah Islam. Allah
sebagai Tuhan semesata alam-menguasai alam dan seisinya. Demikianlah yang harus
diyakini oleh setiap umat Islam. Apabila tidak meyakini hal tersebut, maka ia keluar dari
tauhid sebagai prinsip dasar umat Islam, berarti ia termasuk orang yang musyrik. Lebih
ekstrim dari itu, ia disebut sebagai orang mulhid (atheis)-orang yang tidak mempercayai
adanya Tuhan. Adapun yang bertentangan dengan akidah, seperti kisah al-Gharaniq.
Diceritakan bahwa ketika Rasulullah membaca surah al-Najm ayat 1-20, Beliau memuji
berhala; lata, uzzah, dan manat, karena ia kerasukan setan. Sehingga membuat kaum kafir
ikut bersujud bersama ummat Islam.2 Mengenai hal tersebut, kita harus menolaknya,
karena sangat bertentangan akidah umat Islam.

Pada dasarnya, setiap Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah swt. mempunyai misi
yang sama, yaitu mengajak manusia kepada tauhid (beriman kepada Allah semata).
Mereka itulah orang-orang yang tunduk dan patuh terhadap perintah Allah swt.

Kita juga bisa melihat upaya lain yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk
merusak akidah umat islam. Misalnya cerita tentang Allah yang pernah lelah ketika
menciptakan alam, bukankah cerita yang semacam ini akan mengakibatkan keyakinan
kita terhadap ke Maha Kuasa-an Allah luntur.3 Tentunya, cerita tersebut bertentangan
dengan apa yang tertulis di dalam al-Qur‟an bahwa Allah pencipta segala sesuatu yang

1
Elce Yohana Kodina dkk, “Hakikat Materi Akidah Perspektif Pendidikan Agama Islam Dalam Kurikulum
Sekolah Dasar Kelas V”, Jurnal Diskursus Islam Vol 4, No 3, Desember 2016, hlm. 525-526.
2
https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/ad-dakhil-dalam-tafsir/pengaruh-al-dakhil-terhadap-
akidah-umat-islam/" \l "_ftn1
3
https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/ad-dakhil-dalam-tafsir/pengaruh-al-dakhil-terhadap-
akidah-umat-islam/" \l "_ftn2

5
ada di langit dan bumi {QS. al-Baqarah (2): 29}, dan berkuasa atas segala sesuatu {QS.al-
Baqarah (2): 282}. Karena termasuk perbuatan men-tajassum-kan Allah, sedangkan Allah
sendiri tidak serupa dengan sesuatu.

        ....

“... Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar
dan melihat.”4 (QS. as-Syuura (42): 11)

B. Bentuk Ad-Dakhil Dalam Perkara Akidah

Dakhil dalam perkara akidah tidak dapat terhindari karena pondasi akidah yang tidak
kuat akan mempengaruhi keyakinannya terutama kepada pencipta kita yaitu Allah SWT.
Diantara dakhil dalam perkara akidah sebagai berikut.

1. Dakhil Dalam Penafsiran Kata Bersemayam Diatas ‘Arsy (Al-A’raf : 54)

.... 
      
 
   
  
  
     
  
  
   
  
 
  
  
 
   
  
 
   
 

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy....”5( QS. al-A‟raf : 54)

Dakhil: Suatu ketika al-Imâm Abu Hanifah ditanya makna istawa, beliau
menjawab: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau
barada di bumi maka ia telah menjadi kafir”.

Harus kita waspadai terkait dengan perkataan al-Imam Abu Hanifah di atas, yaitu
pernyataan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat
kontroversi dan melakukan kedustaan sama seperti seperti yang biasa dilakukan gurunya
sendiri, yang ia nisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait sya‟ir
yang dikenal dengan Nuniyyah Ibn al-Qayyim, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai
berikut:

“Demikian telah dinyatakan oleh al-Imâm Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh
al-Imâm Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari
pernyataan al-Imâm Abu Hanifah...,

Bahwa orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di Arsy-Nya, dan bahwa Dia di
atas langit serta di atas segala tempat...,

4
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, (Jakarta: Pustaka Lajnah, 2019), hlm. 704
5
Ibid., hlm. 75

6
Demikian pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas Arsy, di
mana perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia...,

Maka itulah orang yang tidak diragukan lagi dalam pengkafirannya. Inilah pernyataan
yang telah disampaikan oleh Imam masa sekarang (maksudnya adalah gurunya sendiri;
yaitu Ibn Taimiyah).

Inilah pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya al-Imâm Abu
Hanifah) di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.

Ibn al-Qayyim sama persis dengan gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah, memiliki
keyakinan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas Arsy. Pernyataan Ibn al-
Qayyim di atas bahwa keyakinan tersebut adalah aqidah al-Imam Abu Hanifah adalah
kebohongan belaka.6

Bantahan: Kita yakin sepenuhnya bahwa al-Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli
tauhid, mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk-Nya. Bukti kuat untuk itu
mari kita lihat karya-karya al-Imam Abu Hanifah sendiri, seperti al-Fiqh al-Akbar, al-
Washiyyah, atau lainnya. Dalam karya-karya tersebut terdapat banyak ungkapan beliau
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya, Dia tidak
membutuhkan kepada tempat atau „arsy, karena „arsy adalah makhluk Allah sendiri dan
mustahil Allah membutuhkan kepada makhluk-Nya.

Di antara bukti Abu Hanifah berkeyakinan Allah ada tanpa tempat dalam al-Fiqh al-
Akbar, al-Imâm Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:

“Dan sesungguhnya allah itu satu bukan dari segi hitungan tapi dari segi bahwa
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu
apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat
benda. Dia tidak memiliki batasan (artinya bukan benda), Dia tidak memiliki
keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama
dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatuapapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu
apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya”7

6
Kholilurrohman, Aqidah Imam Empat Madzhab Menjelaskan Tafsir Istawa dan Kesucian Allah dari Tepat dan
Arah, (Tangerang: Nurul Hikmah Press, 2019), hal. 9-12
7
Abu Hanifah An-Nu‟man Ibn Tsabit Al-Kufiy (W. 150 H), Al-Fiqh Al-Akbar, Ta‟liat Dr. Jamil Halim, Cet.
Dar Al-Masyari‟, Bairut, 1436-2015, hal. 11-12

7
Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian
tauhid. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Ini menjadi bukti bahwa
perkataan-perkataan Ibn Taimiyyah dan muridnya adalah dusta belaka dan bohong besar.

Penafsiran: Selain daripada pernyatan dari Imam Abu Hanifah, dalam tafsir al-
Qurtubhi juga menafsirkan firman Allah SWT, "Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy,"
adalah ayat yang berkaitan dengan permasalahan bersemayam. Ada beberapa pendapat
ulama mengenai hal ini. Mayoritas ulama dahulu dan ulama sekarang berpendapat bahwa
jika Allah itu harus disucikan dari sifat memiliki arah dan menempati ruangan, maka
sudah semestinya Allah dijauhkan dari sifat berada pada arah tertentu dan Dia tidak
berada di atas. Karena jika Allah berada pada arah tertentu, berarti Allah itu berada pada
suatu ruangan atau menempati ruang. Sehingga Dia bergerak atau diam di ruangan
tersebut, atau berpindah tempat. Ini adalah pendapat para ahli ilmu kalam.

Sementara kaum salaf generasi pertama tidak menafikan arah dan tidak
mengomentari hal tersebut. Akan tetapi, mereka dan semua orang menetapkan bahwa
Allah menempati ruangan, sebagaimana yang disebutkm di dalam Al-Qur'an dan
informasi yang diberitakan oleh para rasul-Nya. Tidak ada satu pun dari kaum
salafushshalih yang mengingkari bahwa Allah bersemayam diatas „arsy-Nya secara
hakiki. Penyebutan „arsy dikhususkan karena „arsy termasuk makhluk-Nya yang paling
agung. Mereka tidak mengetahui bagaimana Allah bersemayam, karena semayam Allah
tidak dalam bentuk yang sebenarnya seperti gambaran dan imajinasi manusia.

Malik berkata “Bersemayamnya Allah itu adalah suatu hal yang diketahui, akan
tetapi bagaimana Dia bersemayam tidak kita ketahui. Sedangkan mempertanyakan
bagaimana Allah bersemayam adalah perbuatan bid‟ah".8

2. Ahmadiyah dan Kenabian Mirza Ghulam Ahmad

Pada tahun 1880 M seorang kewarganegaraan India yang bernama Ahmad Badr
Khan, atas perintah raja Inggris yang kala itu menjajah India, mencoba menafsirkan Al-
Qur‟an dan menolak serta menghilangkan ayat-ayat yang mewajibkan jihad, dengan
alasan bahwa berperang melawan pemerintah Inggris adalah bentuk pemberontakan
terhadap pemerintah yang sah. Dari sinilah awal mula berdirinya ajaran Ahmadiyah
dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabinya. Sepeninggalan Ahmad Badr Khan,
8
Imam Al-Qurtubhi, Penerjemah Fathurrahman, Tafsir Al-Qurtubhi, Jilid 7, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),
hal. 523

8
pemerintah kolonial kemudian menunjuk Mirza Ghulam Ahmad untuk melanjutkan dan
menyebarkan ajaran yang sempat tertunda yang telah telah diprakarsai oleh Ahmad Badr
Khan dan pemerintahannya. Selanjutnya ia membentuk ajaran baru dalam Islam (lebih
tepatnya sebagai agama baru) dengan nama Ahmadiyah yang diambil dari namanya serta
nama pendahulunya, dari sinilah kemudian ia memproklamirkan diri sebagai Nabi baru
Ahmadiyah sebagai penerus Nabi Muhammad SAW.

Demi menguatkan ajarannya, Ghulam Ahmad serta para pengikutnya menukil ayat
Al-Qur‟an dan menyelewengkannya dengan membuat tafsiran baru, agar klaim kenabian
Ghulam Ahmad dapat diterima, mereka berdalil dengan ayat Al-Qur‟an:

            

“Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia, sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”9 (QS. Al-Hajj: 75).

Dakhil: Dengan menggunakan ayat inilah Ahmadiyah mengklaim kenabian Ghulam


َ ‫ص‬
Ahmad, mereka mengatakan bahwa kata “‫ط ِفى‬ ْ َ‫” ي‬adalah bentuk kata kerja yang sedang
berlangsung, itu artinya Allah selalu mengutus makhluk-Nya baik itu dari golongan
malaikat maupun manusia sebagai Rasul atau Nabi. Mereka beranggapan bahwa
kenabian tidak terputus hanya sampai Nabi Muhammad SAW saja, melainkan terus
berlanjut dan akan ada Nabi selanjutnya sebagai pelengkap dan penerus risalah Islam
juga pembaharu Syariat.

Bantahan: Tidak semua fi’il mudhari’ dalam Al-Qur‟an itu menunjukkan kejadian
atau kegiatan yang sedang berlangsung, karena sebagian besar kisah-kisah umat
terdahulu yang ada dalam kitab suci kita menggunakan fi’il mudhari’, hikmah dari itu
semua adalah agar seseorang yang membaca ayat-ayat tersebut dapat merasakan dan
merenunginya lebih dalam, seolah-olah baru saja terjadi. Karena ada juga dalam Al-
Qur‟an ayat menggunakan kata kerja bentuk lampau (madhi) padahal itu belum terjadi.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir surah al-Hajj ayat 75, Allah ta‟ala memberitahukan bahwa
Dia memilih utusan-utusan dari malaikat untuk menyampaikan sesuatu yang berkenaan
dengan syariat dan kekuasaan yang dikehendaki-Nya dan Dia pun memilih rasul-rasul

9
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hlm. 466

9
dari manusia untuk menyampaikan risalah-Nya. “Sesungguhnya, Allah Maha mendengar
dan Maha melihat,” yaitu Dia Maha mendengar terhadap perkataan hamba-hamba-Nya,
Maha melihat mereka, dan Maha mengetahui siapa yang berhak menjadi utusan. Hal ini
sebagaimana firman Allah, “Allah mengetahui kepada siapa Dia akan memberikan
risalah-Nya.”(Al-An‟am:124).10

Untuk lebih menguatkan lagi ajarannya, para ulama Ahmadiyah juga menggunakan
ayat Al-Qur‟an dalam surat al-Ahzab ayat 40 :

                  

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”11(QS Al-Ahzab: 40)

Dakhil: Mereka menafsirkan kalimat “ََ‫ ” َخات َ َمَ ٱلنَّ ِبَِين‬bukan sebagai penutup para Nabi
melainkan mengartikan maknanya sebagai tanda/stampel kenabian, jadi kesimpulan
mereka dalam menterjemahkan makna kata ”َ‫ ” َخات َ َم‬adalah cap tanda atau stampel. Mereka
meyakini pintu kenabian belumlah tertutup dan Muhammad bukanlah Nabi terakhir yang
diutus Allah. Ahmadiyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan penguat para
Nabi terdahulu bukan sebagai Nabi terakhir.

Bantahan: Memang benar Rasulullah datang sebagai penguat dan penta‟kid, tapi
yang dimaksudkan sebagai penguat para Nabi bukan seperti yang mereka yakini
melainkan pada ayat tersebut di atas itu suatu bukti yang menunjukkan bahwa arti dari
kalimat ََ‫ َخاتَ َمَ ٱلنَّ ِبَِين‬adalah penutup para Nabi, bukan penguat atau pembenar para Rasul
sebagaimana yang dikatakan Ahmadiyah adalah keliru/sesat.

10
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, (Depok: GEMA INSANI, 2012), hlm. 290
11
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya... hlm. 610

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ad-dakhil dalam perkara akidah merupakan satu diantara berbagai bentuk perkara
yang coba disusupi oleh pihak-pihak yang ingin merusak keyakinan umat Islam. Mereka
mempermainkan akidah seolah-olah yang dikatakannya itu benar berdasarkan
pemikirannya yang terbatas. Sebagai manusia, kita tidak bisa mencapai pemikiran tentang
Allah karena akal kita terbatas dengan hanya mengetahui tuhan dan ciptaannya, tanpa
perlu sampai pada tahap bagaimana rupa Allah dan sebagainya. Hal yang penting untuk
diketahui adalah meyakini Allah sebagai tuhan yang maha atas segala-galanya.
Bentuk infiltrasi dalam perkara akidah dapat terlihat dari berbagai pernyataan yang
keliru atau benar-benar salah dalam memahami ayat akidah tersebut. Salah satu
diantaranya ialah dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad sesungguhnya bukanlah
nabi penutup melainkan akan datang nabi setelahnya. Pernyataan seperti ini tentu
bertentangan dengan ayat Allah dan penafsirannya. Serta banyak lagi inflitrasi memuat
perkara akidah yang bisa mengguncang dan meragukan keyakinan akan ayat yang telah
Allah turunkan.
Dakhil ini harus dibantah dengan mengungkapkan kebenaran melalui ayat itu secara
langsung maupun melalui penafsiran para ulama tafsir yang otentik. Sehingga kebenaran
tersebut tidak lagi diselewengkan hanya karena ingin membenarkan pandangan yang jauh
dari makna ayat akidah yang dimaksud.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Kufiy, Abu Hanifah An-Nu‟man Ibn Tsabit . 2015. Al-Fiqh Al-Akbar, Ta‟liat Dr. Jamil
Halim, Cet. Dar Al-Masyari‟, Bairut.
Al-Qurtubhi, Imam. Penerjemah Fathurrahman. 2007. Tafsir Al-Qurtubhi. Jilid 7. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. 2012. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 3. Depok: GEMA
INSANI.
Https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/ad-dakhil-dalam-tafsir/pengaruh-al-
dakhil-terhadap-akidah-umat-islam/" \l "_ftn1
Https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/ad-dakhil-dalam-tafsir/pengaruh-al-
dakhil-terhadap-akidah-umat-islam/" \l "_ftn2
Kholilurrohman. 2019. Aqidah Imam Empat Madzhab Menjelaskan Tafsir Istawa dan
Kesucian Allah dari Tepat dan Arah. Tangerang: Nurul Hikmah Press.
Kodina, Elce Yohana, dkk. “Hakikat Materi Akidah Perspektif Pendidikan Agama Islam
Dalam Kurikulum Sekolah Dasar Kelas V”, Jurnal Diskursus Islam Vol 4, No 3,
Desember 2016
LPMQ. 2019. Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, Jakarta: Pustaka
Lajnah.

12

Anda mungkin juga menyukai