Anda di halaman 1dari 62

HUKUM NIKAH KANONIK

PINELENG
2022


Bahan Kuliah HNK- JDS

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................................2

BAB I: TERMINOLOGI PERKAWINAN ................................................................................4

1. Perkawinan atau Pernikahan..................................................................................4


2. Matrimonium .........................................................................................................4
3. Nubere, Conubium, Coniugum dan Consortium ...................................................4
4. Dalam CODEX IURIS CIVILIS ...........................................................................4
5. Beberapa Istilah Matrimonium dalam KHK 1983 ................................................5
6. Beberapa Istilah yang Terkait dengan Matrimonium ............................................8

BAB II: PERKAWINAN: DEFINISI, TUJUAN DAN PROPRIETAS .................................10

1. Matrimoniale Foedus dan tujuan Perkawinan (Kan. 1 §1) .................................10


2. Sakramentalitas Perkawinan (Kan. 1055 §§ 1-2)................................................11
3. Proprietas Essensial Perkawinan (Kan. 1056) ....................................................12
a. Unitas ............................................................................................................13
b. Indissolubilitas ...............................................................................................13
3. Syarat-Syarat demi Sahnya Sebuah Perkawinan ................................................14

BAB III: KESEPAKATAN PERKAWINAN ...........................................................................15

1. Apa itu kesepakatan? ..........................................................................................15


2. Kesepakatan merupakan tindakan yang secara otomatis menentukan validitas
sebuah Perkawinan..............................................................................................15
3. Unsur-Unsur yang penting dari sebuah kesepakatan: .........................................15
4. Objek Spesifik dari Sebuah Kesepakatan: ..........................................................16
5. Cacat Kesepakatan (Kan. 1095-1103).................................................................18
6. Menyatakan Kesepakatan (Kan. 1104) ...............................................................29

BAB IV: HALANGAN-HALANGAN YANG MENGGAGALKAN .....................................32

Page 2 of 62




Bahan Kuliah HNK- JDS

1. Prinsip Umum .....................................................................................................32


2. Halangan-Halangan yang Menggagalkan pada Umumnya (Kan. 1073-1082) ...32
3. Halangan-Halangan yang Menggagalkan pada Khususnya (Kan. 1083-1094) ..36

BAB V: FORMA CANONICA/TATA PERAYAAN PERKAWINAN ...................................45

1. Introduksi ............................................................................................................45
2. Perkembangan Historis .......................................................................................45
3. Subjek Forma Kanonika (Kan. 1117) .................................................................46
4. Forma Ordinaria (Kan. 1108-1115).....................................................................47
5. Forma Extraordinaria (Kan. 1116) ......................................................................50
6. Tempat dan Forma Liturgis (Kan. 1118-1120)...................................................51

BAB VI: FAVOR IURIS DAN REKSA PASTORAL PERSIAPAN PERKAWINAN ..........56

1. Perkawinan Orang-Orang yang Dibaptis adalah Subjek Legislasi Kanonik ......56


2. Wewenang Otoritas Sipil ....................................................................................56
3. Favor Iuris (Kan. 1060).......................................................................................56
4. Konsumasi Kanonik (Kan. 1061) .......................................................................57
5. Reksa Pastoral dan Persiapan Perayaan Perkawinan (Kan. 1062-1072) ............57

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................61

Page 3 of 62

















Bahan Kuliah HNK- JDS

BAB I: TERMINOLOGI PERKAWINAN

1. Perkawinan atau Pernikahan


- Dalam Bahasa Indonesia ada dua istilah: 1) Perkawinan; 2) Pernikahan.
- Menurut KBBI:
i. kata nikah, pernikahan: ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
ii. Sedangkan kata perkawinan: membentuk keluarga dengan lawan jenis;
bersuami atau beristri; melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk
hewan).
2. Matrimonium
- Diturunkan dari kata "mater" (ibu) dan "munus" (tugas, kewajiban, fungsi) yang
membentuk kata "Matrismunus" yang diterjemahkan “tugas/kewajiban ibu".
- Penggunaan kata "mater" berasal dari keyakinan bahwa bayi lebih bergantung pada
ibu daripada ayahnya; sementara yang terakhir bekerja untuk memperoleh dan
memelihara hal-hal yang baik yang diperlukan untuk mendukung keluarga.
3. Nubere, Conubium, Coniugum dan Consortium
- Kata Kerja Latin nubere yang berarti menutupi dengan kerudung; demikian, tradisi
bahwa seorang wanita menutupi dirinya dalam kerudung selama pernikahan.
- Kata Latin conubium mewakili berbagi kerudung yang sama oleh kedua pasangan;
Dengan demikian, melambangkan persatuan/kesatuan yang berlangsung seumur
hidup.
- Kata Latin coniungo, coniugum (cum + iugum) yang melambangkan saling
berbagi kuk antara pria dan wanita.
- Akhirnya, kata Latin consortium (cum + sors-sortis), yang berarti partisipasi,
mewakili partisipasi atau pembagian keberuntungan yang sama, dari nasib yang
sama baik oleh pria maupun wanita.
4. Dalam CODEX IURIS CIVILIS
- Dua hal yang bisa diangkat terkait dengan perkawinan adalah:
- “Nuptiae autem sive matrimonium est viri et mulieris coniunctio, individuam
consuetudinem vitae continens” (I 1.9.1). (=Perkawinan sebagai penyatuan antara
seorang pria dan seorang wanita, menciptakan ikatan yang tak terpisahkan
seumur hidup).

Page 4 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- “Nuptiae sunt coniunctio maris et feminae et consortium omnis vitae, divini et


humani iuris communicatio” (D 23.2.0.1). (= Perkawinan adalah penyatuan
seorang pria dan seorang wanita dan Persekutuan untuk seluruh hidup, komunikasi
ilahi dan manusiawi).
5. Beberapa Istilah Matrimonium dalam KHK 1983
a. Matrimonium Promissio: disebut sebagai pertunangan di per sé tidak disebut
sebagai perkawinan sebagaimana yang dimaksud.
b. Matrimonium Canonicum: pernikahan yang diatur oleh sistem legislasi dalam
KHK 1983: sekurang-sekuranganya satu dari pasangan adalah katolik (Kan.
1059).
c. Matrimonium Catholicorum: pernikahan yang dirayakan menurut forma
kanonika, ketika sekurang-kuranganya salah satu pasangan telah dibaptis dalam
Gereja Katolik atau diterima di dalamnya (Kan. 1059; 1117).
d. Matrimonium Inter Catholicos: pernikahan, sejauh dibuat antar orang-orang
beriman subjek dari forma kanonika, haruslah dimanifestasikan juga menurut
“forma liturgis” dan dirayakan di tempat yang ditetapkan (Kan. 1118 §1)
e. Matrimonium christianum: pernikahan yang dirayakan antara dua orang yang
dibaptis kalau perkawinan itu sah disebut sakramen (Kan. 1056; 1063, 10; 1134)
f. Matrimonium inter baptizatos: pernikahan dari mereka yang terikat pada forma
kanonika dan yang diputuskan in favorem fidei (demi membela iman) dari mereka
yang telah menerima pembaptisan, pernikahan ini melahirkan sebuah perkawinan
baru (Kan. 1143 §1).
g. Matrimonium civile: pernikahan yang dirayakan menurut formalitas yang
dituntut oleh otoritas Yuridis Negara yang berwenang. Disebut sebagai sebagai
“Pernikahan Sipil” jika pernikahan itu cacat forma kanonika, karena tidak
diteguhkan oleh ordinaris wilayah, atau pastor paroki, atau imam dan atau diakon
yang diberi delegasi, atau juga oleh kaum awam, tetapi oleh pejabat sipil
pemerintah (Kan. 194 § 1, 30; 1041, 30; 1394 §§1-2; 1063, 10)
h. Matrimonium Validum: pernikahan ini disebut sebagai pernikahan kanonik
karena mengikuti tiga syarat esensial yang harus ada.
i. Matrimonium Nullum: pernikahan seperti ini memiliki kecacatan dari salah satu
syarat esensial.
j. Matrimonium Invalidum: pernikahan dengan mana perayaannya tidak
melahirkan sebuah ikatan pernikahan karena cacat satu dari tiga syarat esensial
dari pernikahan (consensus, abilitas partium et forma canonica).

Page 5 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

k. Matrimonium Irritum: sejajar dengan matrimonium invalidum dan dikategorikan


seperti itu karena species matrimonium.
l. Matrimonium Mixtum (Mixta Religio): pernikahan antara dua orang yang
dibaptis, pasangan yang satu dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di
dalamnya sesudah pembaptis dan tidak meninggalkannya dengan actus formalis,
dan pasangan yang lain tercatat dalam baptisan yang sah di sebuah Gereja atau
komunitas yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja Katolik;
pernikahan mereka ini adalah sakramen dengan alasan bahwa mereka menerima
baptisan yang sah juga untuk pihak yang bukan katolik (kan. 1124-1129).
m. Matrimonium Disparitatis Cultus: pernikahan antara dua orang, satu di antara
mereka dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya sesudah
pembaptisan dan tidak dipisahkan dari Gereja dengan tindakan formal (actus
formalis), dan yang lain tidak dibaptis; pernikahan ini bukanlah pernikahan
sakramental (Kan. 1129).
n. Matrimonium in Fieri (dalam Bahasa Inggris diterjemahkan: marriage in the act
of being constituted atau marriage in the making): “Matrimonium in fieri definiri
potest: contractus legitimus maris ac faminae ad generandam et educandam
prolem ordinatus.”
- Karena itu menunjuk pada momen inisial dan konstitutif, yaitu tindakan (actio)
manusia-yuridis yang memberi hidup pada kesatuan khusus. antara laki-laki dan
perempuan yang merupakan sebuah status coniugalis.
- Penggunaan istilah ini menunjuk pada sebuah consensus antara dua orang,
sebagai dimensi dinamis yang ditunjukkan secara legitim dan menurut forma
canonica yang diatur.
- Demikian pernikahan adalah perjanjian coniugalis.
o. Matrimonium in Facto Esse (dalam bahasa Inggris diterjemahkan marriage in
the act of being lived out atau marriage in fact): “Matrimonium in facto esse
definiri potest: unio legitima viri ac mulieris perpetua et exclusiva, ex mutuo
ipsorum consensu orta, ad prolem procreandam atque educandam ordinata.”
- Di sini perkawinan dilihat sebagai sebagai “relasi” (relatio) dari seorang pria
(vir) dan wanita (mulier) yang bersumber dari “aksi” yang dijelaskan dalam
konsep matrimonium in fieri.
- Karena itu, kontrak/perjanjian yang dibuat antara mereka berdua membentuk
sebuah ikatan kesatuan dan persekutuan perkawinan (totius vitae consortium)
yang permanen (perpetua) dan eksklusif (exclusiva) yang terarah pada

Page 6 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

kelahiran anak-anak dan pendidikan anak (ad prolem procreandam atque


educandam ordinata)
p. Matrimonium legitimum: menurut kan. 1015 §3 KHK 1917 “matrimonium inter
non baptizatos valide celebratum, dicitur legitimum”. Dalam arti teknis, ini
dimengerti sebagai sebuah pernikahan yang dirayakan iuxta legem (canonicam).
Dalam pemahaman seperti ini setiap perkawinan sah, sakramental atau tidak
sakramental, adalah sah, karena merupakan sebuah tindakan yuridis yang dibuat
menurut syarat-syarat hukum.
q. Matrimonium interpretem (Kan. 1106): pernikahan kanonik di mana satu atau
kedua pihak, untuk menunjukkan consensus, memerlukan bantuan penerjemah.
r. Matrimonium per procuratorem (kan. 1071 §1, n. 7; 1105 §1): pernikahan
dengan mana satu atau kedua pihak untuk menunjukkan consensus pernikahannya
diwakilkan per alium; procurator, demi sahnya, harus ditunjuk dengan mandat
khusus dan langsung oleh si pemberi mandat dan harus menunaikan tugasnya
secara pribadi yang diberikan sambil menyertakan surat dan tanda tangan dari
pemberi mandat dan Ordinaris atau dari Pastor paroki tempat mandat itu dibuat
atau dari dua saksi.
s. Matrimonium occultum (kan. 1108): pernikahan yang dirayakan coram
Ecclesiam tetapi tidak palam, artinya tanpa publikasi; perjanjian dibuat dihadapan
petugas gerejawi yang dimaksud daa di hadapan dua saksi, tetapi bukan
merupakan pernikahan rahasia.
t. Matrimonium publicum: pernikahan yang dirayakan coram Ecclesiam dan secara
terbuka atau publik, dengan didahului publikasi atau penyampaian di hadapan
publik, di hadapan petugas yang berwenang dan dua saksi, juga kaum beriman.
u. Matrimonium secretum (Kan. 1130-1133): pernikahan ini mengikuti semua
syarat-syarat dan elemen-elemen perkawinan tertutup sambil mewajibkannya
untuk dibuat secara rahasia.
v. Matrimonium attentatum (Kan. 694 §1; 1041, 30; 1085 §1; 1087-1088; 1090
§§1-2; 1394 §§1-2): pernikahan yang dirayakan secara tidak sah dengan itikad
buruk (mala fide) yang dilakukan oleh salah satu maupun kedua pasangan, baik
karena kuranganya species matrimonii, seperti dalam kasus perkawinan sipil,
maupun karena halangan-halangan nikah, misalnya adanya ikatan perkawinan
sebelumnya, pembunuhan pasangan, tahbisan suci dan kaul kekal publik.
w. Matrimonium putativum (Kan. 1061 §§1-2): pernikahan tidak sah, tetapi
dirayakan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak dan menurut

Page 7 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

forma canonica, meskipun dalam ketidaktahuan akan ketidaksahan dari sebuah


pernikahan.
x. Matrimonium ratum tantum (Kan. 1061 §1; cf. 1142): pernikahan sah antara dua
pihak yang dibaptis juga disebut sakramen; pernikahan tanpa konsumasi ini dapat
diputuskan oleh Romanus pontifex.
y. Matrimonium ratum et consumatum (kan. 1061 §§1-2; 1141; 1697): pernikahan
sah, yang dirayakan oleh dua pihak yang dibaptis, melalui konsumasi humano
modo yang terarah pada kelahiran anak; pernikahan ini tidak dapat diputuskan.
z. Matrimonium morganaticum seu sinistrae manus vel salicum: Istilah
pernikahan seperti yang disebut ini aslinya berasal dari German (Istilah Latin
Morganaticum dari kata Morganatus diadaptasi dari kata B. Jerman antik
Morgangeba dalam B. German modern Morgengabe: Morgen=pagi;
Gabe=hadian/pemberian) sebuah model perkawinan seperti ini nyata dalam kasus
persekutuan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang memiliki
status sosial yang berbeda. Oleh karena itu anak-anak hasil dari persekutuan ini
dikecualikan dalam mengambil bagian atas martabat si lelaki; pernikahan ini tidak
pernah diakui dalam aturan kanonik.
aa. Matrimonium clandestinum: sebuah model historis perkawinan, yang dibuat
tanpa forma kanonika dan tanpa intervensi dari kuasa gerejawi; dalam model
perkawinan ini para saksi tidak dilibatkan, selanjutnya juga tanpa perayaan.
Perayaan perkawinan seperti ini dilarang oleh Konsili Trente.
6. Beberapa Istilah yang Terkait dengan Matrimonium
a. Status Coniugalis (Kan. 226 § 1): istilah ini hendak menunjukkan kondisi yuridis
dari pasangan, sesudah perayaan perkawinan, yang merupakan bagian dari status
yuridis Matrimonium in facto esse, bersama dengan hak dan kewajiban yang
diperoleh melalui kontrak perkawinan.
b. Matrimoniale Foedus (Kan. 1055 § 1): ungkapan ini hendak menegaskan dimensi
kontrak atau perjanjian persekutuan antara laki-laki dan wanita.
c. Totius vitae consortium (Kan. 1055 §1): ungkapan ini mau menunjukkan hasil
dari sebuah perjanjian pernikahan dan pada saat yang sama hendak menegaskan
essensi dari perkawinan, yang merangkum juga bonum coniugum dan prolis
generio et educatio.
d. Foedus irrevocabile (Kan. 1057 §2): sejauh sebagai tindakan kehendak, konsesus
perkawinan menjadi dasar bahwa perkawinan tidak dapat ditarik, dihapus.

Page 8 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

e. Foedus coniugale (Kan. 1063 §4): dalam konteks matrimonium in facto esse,
istilah ini menentukan kekhasan dari perjanjian sebagai satu hubungan, yaitu
persekutuan yang dibuat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
dipersatukan melalui perjanjian, menjadi dan memiliki status suami isteri.
f. Nuptiae (Kan. 1080 §1): istilah ini ekuivalen dengan istilah matrimonium,
meskipun secara etimologis istilah ini hendak menunjukkan aspek berbeda.
Nuptiae pertama-tama mau menegaskan tentang tugas atau peran suami dalam
perayaan dan penggunaan velatio, yang terdapat pada kepala pasangnnya,
flammeum.
g. Consortium permanens (Kan. 1096 §1): ungkapan ini berhubungan erat dengan
totius vitae consortium, yang mengkhususkan tidak hanya bahwa perkawinan itu
adalah persekutuan antara pasangan dalam seluruh hidup tapi juga untuk
sepanjang hidup.
h. Consortium vitae coniugalis (Kan. 1098; 1135): ini adalah realitas dari
perkawinan yang mengindikasikan bahwa kedua pasangan berpartisipasi dalam
satu nasib yang sama sesudah memiliki hidup perkawinanan.
i. Convictus coniugalis (Kan. 1151; 1152 §§ 1-3; 1153 §2): ungkapan ini hendak
menunjukkan hak dan kewajiban satu persekutuan, sebagai konsekuensi dari
senasib dan sepenanggungan dan sebuah manifestasi konkrit dari persekutuan
sepanjang hidup; secara yuridis pasangan yang telah hidup bersama ini,
diandaikan telah terjadi konsumasi.
j. Vita coniugalis (Kan. 1152 §1; 1155): ungkapan ini sejajar dengan hidup bersama
antara pasangan, seperti sebuah konsekuensi natural dari persekutuan.
k. Vita communis (kan. 1153 §1): sejajar dengan ungkapan di atas, bahwa hidup
pasangan pada dasarnya adalah persekutuan bersama, dengan saling memberi dan
menerima antar pasangan.

Page 9 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

BAB II: PERKAWINAN: DEFINISI, TUJUAN DAN PROPRIETAS

1. Matrimoniale Foedus dan tujuan Perkawinan (Kan. 1 §1)


- Kan. 1055 §1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh
hidup, yang menurut sifat khas kodratnya terarah pada kebaikan suami-istri
(bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang
dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
- Kan. 1055 §2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada
kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
- Kanon 1055 §1 membuka paragraf ini dengan kata-kata yang penuh arti yang
mengindikasikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus).
- Perjanjian ini mengarahkan seorang laki-laki dan perempuan pada persekutuan
seluruh hidup (totius vitae consortium).
- Konsep “matrimonium” tak bisa terlepas dari Kitab Suci:
i. Kej 1 >>> bonum prolis (ciptaan laki-laki dan perempuan; bertambah banyak)
ii. Kej 2 >>> bonum coniugum (menjadi satu daging)
- Dua finalitas inilah yang tertulis dalam paragraph 1: “… terarah pada kebaikan
suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan Pendidikan anak (bonum
prolis).
- Dua tujuan ini memiliki nilai yang sama tanpa pembedaan secara hirarkis.
- Tria bona matrimonii (St. Agustinus dari Hipo (354-430): Bonum Prolis:
keturunan; Bonum Fidei: unitas dan kesetiaan antara laki-laki dan perempuan;
Bonum Sacramenti: indisolubilitas dari perkawinan
- Menurut St. Thomas Aquino ada tiga tujuan perkawinan:
i. Bonum ProlisProkreasi tapi juga menyangkut Pendidikan anak; berhubungan
juga dengan keseluruhan hidup perkawinan; Karena itu, bonum prolis secara
implisit juga mengarahkan pasangan pada tujuan yang kedua bonum fidei >
kesetiaan dan kerja sama antar pasangan
ii. Bonum Fidei: Kesetiaan antar pasangan yang menuntu kerja sama antar
mereka
iii. Bonum Sacramenti: Indisolubilitas; Perkawinan adalah tanda persatuan antara
Kristus dan Gereja
- Catatan penting:

Page 10 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

i. Ketika menyebut tria bona matrimonii, Agustinus tidak menegaskan


perbedaan hirarkis dari setiap bonum. Bagi Thomas, bonum sacramenti adalah
yang paling terutama karena dengan perkawinan menunjuk pada rahmat
sakramen. Untuk itu, Sakramen adalah yang lebih esesnsial dari ketiga bona
matrimonii. Dalam hubungan dengan causa, bonum prolis adalah yang lebih
essensial.
ii. Meskipun demikian tria bona ini menguduskan dan menyempurnakan sebuah
perkawinan.
- Kesimpulan:
i. Tujuan perkawinan (bonum coniugum dan bonum prolis) tidak dicatat dengan
cara yang hirarkis.
- Tujuan perkawinan ini merangkum bukan hanya relasi saling menolong,
tapi juga dimensi personalistic dan spiritual dari pasangan.
- Tujuan perkawinan ini tidak membedakan essensi dari matrimonium in
fieri dari matrimonium in facto esse, tetapi menampilkan selalu bahwa
perkawinan mengarahkan pasangan pada totius vitae consortium.
ii. Hendak diungkapkan arti baru dari bonum dengan menampilkan tujuan inter-
subjektif.
- Kata “bonum” mengindikasikan pertama ratio essendi dari perkawinan,
dan selanjutnya ratio agendi.
- Bonum prolis menunjuk pada prokreasi dan edukasi dari anak-anak.
- Bonum coniugum merangkum setiap elemen natural dan penting yang
menjamin realisasi kebaikan secara timbal balik dari pasangan. Menjadi
satu daging, kesatuan dari dua yang berbeda, kasih antar pasangan, kerja
sama timbal balik.

2. Sakramentalitas Perkawinan (Kan. 1055 §§ 1-2)


a. Perkawinan adalah sebuah perintah natural
- Perkawinan bersumber dari hukum natural: Tuhan adalah penciptnya (Kej; Mat
19)
- Institusi dari perkawinan dimulai dari penciptaan manusia (Cf. St. Agustinus).
- Ajaran tradisional Gereja tentang sumber ilahi natural dari perkawinan, oleh
karena itu perkawinan harus dilindungi.

Page 11 of 62
Bahan Kuliah HNK- JDS

- Perkawinan bukanlah temuan manusia atau sebuah komunitas, tetapi muncul


karena kehendak Sang Pencipta. Karena itu, tak seorang pun bisa menghacurkan
institusi perkawinan atau dengan seenaknya menghilangkan dan menghancurkan
nilai essensial dari perkawinan.
b. Perkawinan adalah sebuah rahmat
i. Perkawinan – Sakramen: antara dua orang yang dibaptis
- Kan. 1055 §1 mengutip kembali doktrin gereja Konsili Trente tentang institusi
sacramental dari Kristus. § 2 menegaskan kembali ketidakterpisahan, dalam
perkawinan antara dua orang yang dibaptis, antara kontrak perkawinan dan
sakramen.
- Yang dibaptis > bukan hanya umat katolik tetapi semua yang dibaptis dengan
sah.
- Dalam perkawinan natural, jika keduanya dibaptis, perkawinan menjadi sebuah
sakramen.
ii. Perkawinan Kanonik yang bukan sakramen.
- Tipe dari perkawinan natural
- Perkawinan antara seorang katolik dan yang tak dibaptis.
- Persoalan seputar sakramentalitas atau tidak dari perkawinan antara yang
dibaptis dan yang tidak dibaptis tetap terbuka.
- Tetapi KHK 1983 tetap mengikuti pendapat yang menolak sakramentalitas dari
perkawinan dengan orang yang tak dibaptis.
- Matrimonium non potest claudicare.

3. Proprietas Essensial Perkawinan (Kan. 1056)


- Istilah “proprietas” digunakan dalam dua konteks:
i. Dalam konteks harta benda gereja (kan. 706, 10; 1284 §2, 20)
ii. Dalam konteks perkawinan, - dengan penggunaan istilah ini ditambahkan juga
kata sifat essensial – (kan. 1056; 1125 §3).
- Proprietas essensial perkawinan menunjuk pada kualitas yang memberi karakter pada
perkawinan itu sendiri, karena itu tanpa proprietas essensial ini perkawinan tidak ada.
- Unitas et indissolubilitas dicuntur proprietates essensiales matrimonii, quia sponte ac
necessario ita profluunt ex ipsa coniugii natura, ut sine iisdem matrimonium nec
subsistere neque concipi possit.

Page 12 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Proprietas essensiel bukan unsur konstitutif perkawinan, tetapi terkait dengannya dan
bergantung darinya.
- Proprietas essensial: UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS

a. Unitas
- Berarti monogamia: perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
saja.
- Mengecualikan segala bentuk poligamia: poliandria dan poliginia
- Unitas berdasar dan bersumber dari KS: Kej 2,24; Kej 1,27; Mat 19, 9; Kor 7, 2-4;
Ef 5, 32.
- Konsekuensi yuridis:
i. Terkait dengan tindakan konsitutif perkawinan: dalam consensus harus ada
proprietas perkawinan > unitas; kalau tidak maka perkawinan tidak sah.
ii. Kan. 1095, 20 dan 30 > yang menderita cacat berat (gravis defectus) dalam
penilaian (discretionis iudicium) tentang hak-hak serta kewajiban-kewajiban
hakiki perkawinan … dan mereka yang karena alasan psikis (natura psychica)
tidak mampu mengemban kewajiban hakiki perkawinan > tidak mampu
melangsungkan perkawinan.
iii. Dari perkawinan sah timbul ikatan antara pasangan yang tetap dan eksklusif
(Kan. 1134), demikianlah tindakan yang bertentangan dengan unitas-fidelitas
bukan hanya tidak licit tapi tidak sah (cf. Kan. 1085)

b. Indissolubilitas
- Adalah proprietas essensial dengan mana ikatan yang timbul tidak dapat diputus.
- Ada dua model indissolubilitas: intrinsik dan ekstrinsik
i. Intrinsik
- Disebut juga indissolubilitas relatif
- Karena mengandung kemungkinan untuk diputus oleh otoritas Gereja.
(mis. Privilegio paulinum, privilegio petrinum, ratum et non consumatum,
favor fidei)
ii. Ekstrinsik
- Disebut juga indissolubilitas absolut (ratum et consumatum)
- Karena itu perkawinan ini tidak dapat diputus oleh kuasa manapun

Page 13 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Indissolubilitas berasal dari tujuan natural perkawinan dan dari unsur konstitutif
perkawinan, bahwa satu perkawinan adalah abadi.
- Dasar biblis: Kej 2, 24; Mat 19, 3-9; Ef 5, 32
- Konsekuensi Yuridis: Sama seperti unitas, maka dalam consensus harus
dimasukkan unsur indissolubilitas perkawinan.

3. Syarat-Syarat demi Sahnya Sebuah Perkawinan


- Kan. 1057, yang mengambil kembali kan. 1081 CIC 1917, menyatakan prinsip yuridis-
doctrinal dari sebuah perkawinan.
- Sebuah tindakan yang membentuk perkawinan dan selanjutnya causa efficiens dari
pembentukan itu adalah kesepakatan dari kedua pihak, mereka berdua secara yuridis
memiliki kemampuan, dan dimanifestasikan secara legitim
- Oleh karena itu sebuah perkawinan haruslah memiki tiga syarat:
i. Kesepakatan
ii. Abilitas yuridis secara natural dan kanonik
iii. Manifestasi legitim, natural dan kanonik.

Page 14 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

BAB III: KESEPAKATAN PERKAWINAN


(KAN. 1057; 1095-1107)

1. Apa itu kesepakatan?


- Kesepakatan Perkawinan: Tindakan Kehendak (Actus Voluntatis) dengannya
seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan dan saling
menerima (sese mutuo tradunt et accipiunt) untuk membentuk perkawinan
(matrimonium facit) dengan perjanjian (foedus) yang tidak dapat ditarik kembali
(irrevocabili).
- Kesepakatan menjadi causam efficientem dari perkawinan
- Merupakan momen konklusif dari perkawinan (in fieri) > Kontrak Natural
- Sebuah tindakan kehendak yang menghasilkan efek untuk keseluruhan hidup
perkawinan (in facto esse)

2. Kesepakatan merupakan tindakan yang secara otomatis menentukan validitas


sebuah Perkawinan
- Jika satu dari pasangan tahu bahwa perayaan perkawinan akan menjadi tidak sah
karena halangan-halangan atau cacat forma kanonica atau karena cacat
kesepakatan, kesepakatan itu tidak dapat di-“invalidasi” asalkan kedua pasangan
bermaksud membuat kesepakatan yang benar (bdk. Kan. 1100).
- Meskipun perkawinan dirayakan secara tidak sah karena adanya halangan atau
cacat forma kanonika, kesepakatan yang telah dinyatakan diandaikan berlangsung
terus, sampai jelas ditarik kembali (Kan. 1107).
- Konsekuensinya: Jika kesepakatan adalah valid maka tidak dapat ditarik.

3. Unsur-Unsur yang penting dari sebuah kesepakatan:


- Actus humanus > tindakan manusiawi yang melibatkan aspek intelktual dan
kemauan.
- Internus > sesuai dengan maksud perkawinan
- Liber ac deliberatus > bebas
- Mutuus > bilateral
- Signo sensibili manifestatus > elemen eksternal
- Inter personas habiles elicitus > subjek yang mampu
- Certam determinatam personam rescipiens > yang terarah pada subjek tertentu

Page 15 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

4. Objek Spesifik dari Sebuah Kesepakatan:


- Sebuah tindakan timbal balik (bdk. Kan. 1057 §2) dari laki-laki dan perempuan
yang membentuk perkawinan
- Tetapi sebuah penyerahan dan penerimaan secara timbal balik dengan segala
totalitasnya yang tak dapat ditarik kembali.
- Bukan sekedar sebuah pemberian atau penyerahan ius in corpus sehingga menjadi
sebuah tindakan yang terbuka pada keturunan (bdk. Kan. 1081 §2 CIC 1917).

Page 16 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

1. Karena menderita cacat berat dalam


penilaian diskresi mengenai hak-
hak serta kewajiban-kewajiban
hakiki perkawinan yang harus
diserahkan dan diterima secara
timbal balik.
Ketidakmampuan 2. Karena alasan-alasan psikis tidak
(Incapacitas) mampu mengemban kewajiban-
kewajiban hakiki perkawinan timbal
balik
3. Karena kurangannya penggunaan
akal budi yang memadai

Ketidaktahuan 4. Bahwa suatu persekutuan tetap


(Ignorantia) antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang terarah
pada kelahiran anak, dengan suatu
kerja sama seksual.
Ex Parte
Intelectus
5. Mengenai diri orang (Error in
CACAT KESEPAKATAN persona)
6. Mengenai kualitas diri orang (Error
Kekeliruan (Error) in qualitate personae)
7. Mengenai Martabat Perkawinan

Tipu Muslihat (Dollus)


9. Simulasi Total: Esklusi perkawinan
itu sendiri
10. Simulasi Parsial:
Simulasi a. Esklusi Bonum Coniugum
b. Esklusi Bonum Prolis
c. Esklusi Unitas
Ex Parte d. Esklusi Indisolubilitas
Manifestation
is
Perkawinan Bersyarat
11. Syarat yang akan datang
12. Syarat yang Sekarang dan telah
lewat

Ex Parte Kekerasan dan


Voluntatis Ketakutan 13. Kekerasa fisik (vis)
14. Ketakutan berat (Metus gravis)
15. Ketakutaran referensial (metus
referensialis)

Page 17 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

5. Cacat Kesepakatan (Kan. 1095-1103)


a. Ketidakmampuan - Incapacitas (Kan. 1095)
- Ada tiga pokok yang dibahas dalam kanon ini:
i. Penggunaan akal budi (usu rationis)
ii. Penilaiaan diskresi (discretionis iudicium)
iii. Kapasitas untuk mengemban kewajiban-kewajiban yang hakiki (capacitas
obbligationes essentiales assumendi)
- Untuk memahami ketidakmampuan psikis (incapacitas psichica) kita harus
melihat beberapa prinsip berikut ini
- Sentralitas dari Kesepakatan (consensus): Kan. 1095 mencoba menerjemahkan
persyaratan hukum kodrat ke dalam hukum positif/gerejawi: kemampuan untuk
membuat kesepakatan dengan efek perkawinan, tidak bisa digantikan oleh kuasa
manapun. Kanon ini diredaksikan secara negatif untuk ius conubii (kan. 1058)
dan untuk favor iuris matrimoniorum (kan. 1060).

(1) Kuranganya penggunaan akal budi yang memadai (Kan. 1095)


- Penggunaan Akal Budi:
• Genap berusia 7 Tahun, diandaikan mampu menggunakan akal budi (kan.
97 §2).
• Penggunaan akal budi adalah hakiki untuk membuat actus humanus
volontariatus, dapa dipertanggungjawabkan dan bebas.
• Siapa yang tidak mampu menggunakan akal budi secara memadai adalah
tidak mampu membuat setiap tindakan yuridis.
- Karena itu, mereka yang tidak mampu melakukan kontrak perkawinan adalah
mereka:
• Secara permanen kurang mampu menggunakan akal budi: mis. Orang
idiot
• Secara temporal: karena adanya gangguan secara okasional dan
sementara baik secara fisik maupun psikis: mis. Orang yang mengalami
krisis epilepsi, kecanduan obat terlarang dan minuman keras; keadaan ini
harus ada pada waktu dibuat kesepakatan.
• Kan. 99; kan. 1322.

Page 18 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

(2) Menderita cacat berat dalam penilaian diskresi Mengenai kewajiban-kewajiban


hakiki perkawinan (Kan. 1095, 2)
- Discretio iudicii:
• Kemampuan kritis untuk membuat pembedaan
• Sebuah pemahaman rasional atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perkawinan, mampu membuat penilaian kritis-praktis.
• Kebebasan internal: kapasitas untuk menyatakan keputusan-keputusan
pada tingkatan kemauan
- Juga memiliki kedewasaan yang memadai secara psikis
- Kewajiban dan hak yang hakiki: bonum coniugum, bonum prolis, saling
menyerahkan dan menerima
(3) Alasan-alasan psikis sehingga seseorang tidak mampu mengemban kewajiban-
kewajiban hakiki perkawinan (Kan. 1095, 3)
- Karena alasan-alasan psikis: anomali (penyimpangan) psikis, seksual dan non
seksual > gangguan personalitas, homseksualitas, penyakit saraf, gila;
memnuat seseorang tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki
perkawinan
- “mengemban”: berasal dari ketidakmampuan secara moral untuk memenuhi;
seseorang menjadi “dominus” atas dirinya sehingga mampu memenuhi hidup
perkawinan.
- Kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan: berhubungan dengan kan. 1095, 2
- Ketidakmampuan berbeda sama sekali dengan kesulitan dan tidak dapat
disamakan.
b. Ketidaktahuan (Kan. 1096)
- Pengetahuan minimal tentang perkawinan untuk kesepakatan yang sah:
• Perkawinan sebagai satu persekutuan tetap (Consortium)
• Perkawinan heteroseksual: antara laki-laki dan perempuan
• Sebuah komunitas yang terarah pada prokreasi keturuan melalui kerja sama
seksual
- Pengetahuan ini tidak diandaikan sesudah pubertas (praesumptio iuris)
c. Kekeliruan/Error
- Error: Falsum Iudicium
- Keliruan terdiri atas:

Page 19 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

i. Kekeliruan Mengenai diri orang (error in persona) - Error in Facto


ii. Kekeliruan Mengenai kualitas orang (error in qualitate personae) - Error in
Facto
iii. Kekeliruan mengenai unitas atau indissolubilitas (kan. 1056) atau mengenai
martabat sakramental perkawinan (kan. 1055) - Error in Iure
(1) Error in persona (Kan. 1097 §1)
- “Kekeliruan Mengenai diri orang (error in persona) membuat perkawinan tidak
sah”
- Berkaitan dengan objek, identitas pihak yang lain. Kekeliruan ini disebut juga
kekeliruan substansial yang membuat perkawinan tidak sah. Karena diri Pribadi
sebagai subjek menjadi elemen utama dari sebuah kesepakatan.
- Dalam tradisi kanonik: diri pasangan diartikan sebagai Pribadi fisik dan
individual bukan personalitas seseorang.
- Kekeliruan seperti ini bisa terjadi mis. dalam KS perkawinan antara Yakub dan
Lea; pernik dengan seseorang yang memiliki saudara atau saudari kembar;
salah satu atau kedua belah pihak buta; perkaiwnan lewat prokurator (kan.
1105); perkawinan lewat biro jodoh.
(2) Error in qualitate personae (Kan. 1097 §2)
- “Kekeliruan Mengenai kualitas orang (error in qualitate personae), meskipun
memberikan alasan kontrak, tidak membuat perkaiwinan tidak sah, kecuali
kualitas itu merupakan tujuan langsung dan utama”
• Kualitas diri bersifat aksidental pada setiap pribadi manusia. Kekeliruan
ini tidak berdampak pada identitas substansial seseorang. Karena itu
kekeliruan mengenai kualitas diri tidak mengahalangi atau mengivalidasi
substansi kesepakatan nikah.
• Selama perkenalan dan persiapan perkawinan salah satu pasangan bisa
mengalami satu atau lebih kekeliruan mengenai kualitas yang ada dalam
diri pasangan. Kekeliruan itu bahkan bisa jdi menyertai kesepakatan
nikahnya. Kalau kekeliruan ini bukan menjadi tujuan langsung dan utama
maka tidak membuat perkawinan menjadi tidak sah.
- Tetapi jika kualitas itu menjadi tujuan langsung dan utama menjadikan
perkawinan itu tidak sah > ada hubungan dengan kekeliruan terhadap orang
secara moral

Page 20 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

• Tujuan langsung: objek langsung dari sebuah tindakan kehendak dari


pasangan, bukan sekadar objek generik atau tak langsung.
• Tujuan utama: kualitas adalah motif yang menentukan dari perkawinan,
bila kehendak mengejar kualitas itu secara lebih utama.
- Berkenaan dengan kualitas Paus Yohanes Paulus II mengatakan: kualitas ini
bukanlah sembarang kualitas yang sepele, ringan, tidak serius atau tidak
Penting, melainkan kualitas yang dari hakikatnya sendiri (ex natura rei) sangat
relevan untuk pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban hakiki
perkawinan. Kualitas ini harus secara objektif Penting menurut kebiasaan,
adat, atau pandangan setempat.
- Beberapa kualitas yang dipandang berat menurut Yurisprudensi Rota Romana:
kualitas moral, status sipil atau yuridis, gadis, jejaka, cerai, orang sipil, imam
yang telah menerima dispensasi dari selibat, tingkat pendidikan, status
profesional, keperawanan, sterilitas, fertilitas, sehat jasmani atau mental, bebas
dari penyakit tertentu (epilepsi, alkoholisme, kusta, HIV/AIDS), anak sah,
bebas dari penggunaan atau penyalahgunaan obat terlarang, homoseksual,
biseksual, bebas dari transvestisme.
- Kualitas-kualitas lain yang pernah ditangani oleh Rota Romana, namun sangat
diragukan dan pantas dipertanyaan tingkat serius atau beratnya: partner ideal,
teman hidup yang baik, supportif, penuh afeksi dan pekerja keras, isteri dan
ibu yang baik, suka akan anak-anak, seorang katolik yang baik.
- Cat: kualitas yang menjadi tujuan langsung dan utama haruslah serius dan
berat secara obejektif dan subjektif. Karena untuk menyatakan bahwa
perkawinan tidak sah untuk kualitas yang tidak serius dan berat akan
menimbulkan celah besar terhadap penyalagunaan.
(3) Error in Iure (Kan. 1099)
- “Kekeliruan mengenai unitas atau indissolubilitas (kan. 1056) atau mengenai
martabat sakramental perkawinan (kan. 1055), asalkan tidak menentukan
kemauan, tidak meniadakan kesepakatan perkawinan”
- Kekeliruan mengenai proprietas essensial dan sakramentalitas dari sebuah
perkawinan tidak meniadakan kesepakatan perkawinan.
- Tetapi jika kekeliruan ini menentukan kehendak, maka kesepakatan menjadi
tidak sah.
- Tidak ingin membuat kontrak perkawinan jika tahu kalau perkawinan itu tidak
dapat diputuskan.

Page 21 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

d. Tipu Muslihat (Kan. 1098)


- “Yang melangsungkan perkawinan karena tertipu oleh muslihat yang dilakukan
untuk memperoleh kesepakatan, mengenai suatu kualitas dari pihak lain yang
menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan hidup
perkawinan, melangsungkan perkawinan dengan tidak sah.
• Kekeliruan disebabkan oleh adanya penipuan: yang dibuat oleh partner atau
dari yang lain dan harus berhasil.
• Tujuan dari penipuan ini adalah mendapatkan kesepakatan
• Objek dari penipuan adalah kualitas dari yang lain yang pada hakikatnya akan
mengacaukan Persekutuan hidup perkawinan.
- Penipuan menghalangi realisasi yang Penuh antara kedua pasangan untuk saling
menyerahkan dan menerima, yang menjadi objek khusus dari kesepakatan.
- Unsur-unsur penilaian dalam kesepakatan untuk kekeliruan ini: apakah subjek
secara benar dan nyata keliru; kualitas ini mengacaukan hidup bersama; situasi
keliru ini didorong atau disebabkan oleh sebuah tindakan; apakah tipu muslihat ini
diprovokasi secara bebas oleh yang menerima kesepakatan; tujuan dari penipuan.
e. Simulasi dalam Kesepakatan Perkawinan (Kan. 1101 §2)
- Simulasi: ketidaksesuaian antara kehendak internal dengan yang dimanifestasi.
- Simulasi berbeda dengan kekeliruan.
- Simulasi harus ditempatkan bersama dengan TINDAKAN KEHENDAK.
(1) Simulasi Total
- Seseorang menikah tetapi mengecualikan perkawinan itu sendiri
- Tidak ada kehendak untuk membuat perkawinan:
• Tidak ingin membuat kontrak perkawinan dengan siapapun
• Tidak ingin menikah dengan orang tertentu
• Tidak ingin membentuk persekutuan untuk seluruh hidup (kan. 1055 §1),
tetapi Hanya sebuah persekutuan sederhana (mungkin sedikit bermain-
main)
(2) Simulasi Parsial: mengecualikan unsur-unsur atau proprietas esensial dari
perkawinan
i. Mengecualikan bonum coniugum
- Tujuan perkawinan: bonum coniugum = kesejahteraan suami isteri.

Page 22 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Dengan demikian perkawinan yang mengecualikan bonum coniugum >


seeorang menikah tetapi tidak mengkui atau mengecualikan kebaikan dan
kesejahteraan pasangannya.
- Menolak inegrasi timbal balik dan persekutuan melalui cinta kasih
perkawinan yang terwujud dalam persekutuan perkawinan untuk seluruh
hidup
- Gambaran yuridis yang paling tepat menjadi tidak jelas dan kerap kali
Masuk pada pengecualian secara total dari perkawinan itu sendiri.
ii. Mengecualikan bonum prolis
- Tujuan perkawinan: terarah pada kelahiran, pendidikan dan pendidikan
anak.
- Karena itu, pihak yang menikah yang mengecualikannya berarti: menolak
kelahiran, pendidikan dan pembinaan anak-anak.
- Juga menolak hak dan kewajiban tindakan perkawinan secara penuh dan
tidak terbuka pada prokreasi anak-anak.
iii. Mengecualikan Unitas (bonum fidei)
- Menolak sebuah persekutuan dan kesatuan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan.
- Seseorang menikah tetapi punya keinginan untuk memiliki perkawinan
yang kedua.
- Seseorang menikah tapi sejak awal memelihara hidup dengan seorang
wanita yang bukan pasangannya.
- Memiliki intensi untuk tetap melanjutkan hubungan dengan wanita lain.
iv. Mengecualikan indisollubilitas (bonum sacramenti)
- Penolakan pada persekutuan untuk seluruh hidup.
- Seseorang menikah seperti mencoba-coba atau perkawinan coba-coba
- Seserorang menikah tetapi ingin bebas dari ikatan perkawian untuk
seluruha hidup atau melihat perkawinannya ad tempus determinata.
- Seseorang menikah tetapi memelihara dalam keinginan dan maksud untuk
bercerai.
f. Paksaan dan Ketakutan (Kan. 1103)
- “Tidak sahlah perkawinan yang dilangsungkan karena paksaan atau ketakutan
berat yang dikenakan dari luar, meskipun tidak dengan sengaja, sehingga untuk
melepaskan diri dari ketakutan itu seseorang terpaksa memilih perkawinan”

Page 23 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Kesepakatan perkawinan lahir dari kehendak bebas. Kebebasan untuk memilih


status hidup dan memilih pasangan adalah hak dasar setiap orang.
- Karena itu paksaan (vis) atau ketakuatan yang berat (Metus gravis) yang
dikenakan dari luar (externus), meskipun tidak sengaja, dan kemudian untuk
melepaskan diri dari ketakutan/paksaan ini orang memilih untuk menikah, maka
perkawinan adalah tidak sah.
- Ini bertentangan dengan hukum kodrat.
(1) Apa itu paksaan?
- Paksaan/vis (secara fisik/material), pada dasarnya, terjadi melalui tindakan
eksternal.
- Adalah sebuah pelanggaran yang dibuat oleh seseorang atas tubuh orang lain
dengan menggunakan organ-organ yang penting atau dengan mencegah atau
menghalangi pelaksanaan bebas pihak lain untuk mendapatkan secara mekanis
sebuah pernyataan kehendak.
- Karakteristik dari paksaan ini adalah aksi fisik dan langsung atas tubuh subjek
pasif bersama dengan ketidakmungkinan darinya untuk melakukan
perlawanan.
- Objek langsung dalam kasus ini adalah tubuh subjek dalam segala gerakannya
dan pergerakan ekpresifnya yang menjadi sarana komunikasi baginya untuk
mengkomunikasikan kehendaknya.
Konsekuensinya
- Paksaan yang dimaksud menghalangi kemampuan eksternal melalui mana
tindakan kehendak dimanifestasikan, demikian sehingga kehendak bebas tidak
ada secara total.
- Karena itu, setiap tindakan yuridis yang dibuat berlawan dengan kehendaknya
sendiri karena paksaan dengan mana seseorang tidak dapat melawan adalah
tidak sah berdasarkan hukum natural (kan. 125 §1)
- Terkait dengan perkawinan, setiap kesepakatan perkawinan yang berlawanan
dengan kehendak bebas (karena paksaan) menjadikan perkawinan tidak sah
(kan. 1103)
(2) Apa itu Ketakutan?
- Ketakutan/metus (moral atau kondisional) terjadi melalui tindakan internal.
- Adalah paksaan, tekanan yang diberikan dari luar, melalui ancaman yang
jahat, atas kehendak seseorang yang diintimidasi melalai tindakan yang jahat,

Page 24 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

demikian sehingga untuk menghindarinya, seseorang dipaksa untuk


melakukan sesuatu yang dia tidak inginkan.
- Ketakutan haruslah ab extrinseco dari sebuah tindakan yang nyata secara
objektif dan bukanlah buah dari imajinasi dari si “penderita”.
- Paksaan dan Ketakutan dicatat dalam kanon yang sama dengan menggunakan
kata penghubung vel (atau) > vis vel metus. Formula vis vel metus berarti: vis
per metum operavit atau metus qui a vi procedit.
- Ada keterkaitan sebab dan akibat.
- Paksaan menjadi penyebab dari sebuah ketakutan. Karena adalah tidak jika
relevan sebuah paksaan dalam bentuk kekerasan fisik tidak menimbulkan
ketakutan
- Karena itu, ketakutan adalah sebuah paksaan moral ketika seseorang
mengalami tekanan psikologis yang diintimidasi oleh orang lain.
(3) Karakteristik dari sebuah ketakuatan:
- Gravis: absolut atau relatif
• absolut: jika kejahatan yang dimaksud biasanya dianggap sebagai
kejahatan besar bagi semua orang normal (mis. Ancaman kematian/
pembunuhan, pemenjaraan)
• atau relatif: jika kejahatan yang dibuat hanya berlaku untuk subjek
tertentu karena kondisi pribadinya (mis. Kehilangan nama baik,
kehilangan beasiswa, kehilangan pekerjaan atau pengusiran dari rumah)
- Externus: dilakukan dari luar dan bebas
- Inevitabilis: pihak yang menderita tidak memiliki solusi yang lain kecuali
menikah.
- Etiam inconsultus: meskipun pihak yang menciptakan ketakutan tidak
melakukannya secara langsung, perkawinan tidaklah sah.
(4) Syarat-syarat yang menginvalidasi perkawinan:
- Dikenakan atau datang dari penyebab eksternal, personal, independen dalam
arti bukan disebabkan oleh korban itu sendiri.
- Harus ada keburukan yang akan ditimpakan (ancaman) pada korban.
- Ancaman harus benar-benar menimbulkan ketakutan berat pada korban.
- Ketakutan haruslah ada dan terjadi sebelum pernikahan.
- Ketakutan harus menyebabkan kesepakatan nikah yang terpaksa.

Page 25 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

(5) Ketakutan Reverensial (Metus Reverentialis)


- Terjadi karena ada relasi subordinasi.
- Sebuah ketakutan yang dikenakan oleh seseorang dengan mana subjek pasif
memiliki relasi ketataan, hormat atau cinta (hubungan keluarga, kekerabatan,
pekerjaan atau profesi) yang menghantar si “penderita” untuk takut kehilangan
relasi afeksinya atau menderita konsekuensi-konsekuensi berat lainnya.
- Ketakutan ini diakitbatkan oleh adanya relasi dan sentimen ketergantungan,
ketaatan dan hormat dari anak terhadap orang tua (kandung atau angkat), atau
dari bawahan terhadap atasan.
- Ketakutan reverensial bisa ditandai dengan paksaan oleh orang tua atau atasan,
berupa penyiksaan, tuntutan yang mendesak, atau ancaman-ancaman dan cara
lain yang tidak adil. Tidak jarang ancaman hanya bersifat implisit.
- Jika seseorang “menyerah” atau “pasrah” terhadap permintaan dan tuntutan
orang tua, atau atasan baik demi ketaatan kepada mereka karena melihat
adanya keuntungan bagi diri sendiri atau bagi keluarga/atasan, maka
perkawinan itu tidak sah.

g. Kesepakatan dengan Syarat (Kan. 1102)


(1) Definisi syarat (condicio)
- Syarat (condicio) adalah fakta, situasi atau peristiwa dengan mana validitas
kesepakatan seseorang bergantung.
- Condicio propia: fakta yang akan datang dan tidak pasti yang harus
direalisasikan.
- Condicio impropria: fakta yang bukan di masa mendatang, sekarang atau telah
lewat, tetapi tidak dikenal secara objektif. Secara subjektif tidak diketahui.
(2) Distingsi dari syarat (condicio)
- Condicio dibedakan atas bentuk, waktu, objek dan hukum
i. Bentuk:
• Suspensif: menangguhkan nilai tindakan yuridis sampai terpenuhinya
syarat yang diminta
• Resolutif: membubarkan/memutuskan nilai tindakan yuridis yang dibuat
secara sah
ii. Waktu:
• De praesenti: ketika terjadi bersamaan dengan tindakan yuridis.

Page 26 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

• De praeterito: sebuah syarat dalam arti luas, sejauh telah terjadi.


• De futuro: syarat dalam arti sempit dan dapat bersifat kontingen (sesuatu
yang tidak pasti/diluar jangkauan), jika dapat terjadi, atau perlu, jika
harus terjadi.
iii. Objek
• Impossibilis: ketika itu benar-benar melebihi kemampuan pembuat
syarat;
• Possibilis: jika itu sepenuhnya tergantung pada kehendak pembuat
syarat;
• Potestativa: ketika semuanya bergantung pada si pembuat syarat;
• Casualis: ketika bergantung hanya pada si pembuat syarat sejauh dia
sendiri yang memilih;
iv. Hukum
• honesta: sesuai dengan hukum ilahi dan hukum kanoni;
• turpis: berlawanan dengan hukum ilahi dan hukum kanonik;
• Substantialiter: berlawanan dengan substansi tindakan yuridis;
• Accidentaliter: tidak berlawan dengan substasi tindakan yuridis;
(3) Prinsip yang harus dipegang:
- Kesepaktan haruslah absolut, utuh, penuh dan tak bersyarat dalam perkawinan.
- Gereja membela kesejahteraan dan kebaikan publik. Kesejahteraan publik
menuntut ikatan nikah yang bersifat pasti dan jelas, serta status yudiridis orang
yang ditetapkan secara definitif.
- Karena itu, pernikahan bersyarat memungkinan salah satu atau kedua pihak
menarik kesmblai kesepakatannya ketika persyaratan yang diajukan tidak
terpenuhi.
- Hal ini menimbulkan skandal publik, karena publik mengira bahwa pasangan
tertentu adalah suami isteri namun kenyataannya mereka bukanlah suami
isteri, apalagi jika mereka sudah tinggal bersama dan sudah melaksanakan hak
dan kewajiban suami isteri.
- Dengan demikian, pernikahan bersyarat bertentangan dengan moral dan tradisi
Gereja.
(4) Persyaratan Mengenai yang akan datang (§1)

Page 27 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Artinya persyaratan yang dibuat pada kesepakatan nikah mengenai sesuatu


yang masih harus terjadi di kemudian hari setelah perayaan nikah itu sendiri.
- Konsekuensinya: nikah baru akan efektif kalau situasi atau peristiwa atau fakta
di masa mendatan itu telah terpenuhi atau terjadi.
- Pada akhirnya: kehendak menikah menjadi tidak jelas, tidak pasti, karena
terkait langsung dan semata-mata oleh terjadi tidaknya sesuatu di masa
mendatang yang juga tiak jelas dan pasti.
- Persyaratan seperti ini bersifat suspensif atau risolutif.
- Bersifat suspensif: Akibatnya penundaan efektivitas kesepakatan nikah sampai
terpenuhinya persyaratan yang dibuat di masa mendatang
- Bersifat risolutif: kesepakatan nikah ditarik kembali dan perkawinan
“dibubarkan” pada saat peristiwa atau situasi yang disyaratkan itu tidak
terjadi.
- Persyaratan seperti ini membuat kesepakatan perkawinan tidak sah menurut
hukum kodrat itu sendiri.
- Dengan demikian semua jenis persyaratan mengenai sesuatu yang akan
datang, tanpa kekecualiaan apa pun, membuat kesepakatan perkawinan nikah
tidak sah.
- Kesepakatan perkawinan menjadi tidak sah langsung pada saat pernikahan itu
diteguhkan tanpa bergantung pada terpenuhi-tidaknya persyaratan itu sendiri
di kemudian hari.
(5) Persyaratan Mengenai sesuatu di masa lampau atau saat ini (§2)
- Persyaratan yang dibuat dengan cara seperti ini tidak menggantungkan
terciptanya perkawinan pada saat terjadinya sesuatu yang ilicit di masa
mendatang.
- Persyaratan ini diperbolehkan, karena mengenai sesuatu yang secara objektif
dan definitif sudah ada tau terjadi, hanya saja pihak yang membuat persyaratan
ini memiliki ketidakpastian subjektif atau tiak bisa memverifikasi keberadaan
atau kejadiannya secara jelas dan pasti.
- Persyaratan seperti ini tidak menimbulkan suspensi objektif atas efektivitas
secara objektif atas kesepakatan nikah.
- Karena itu, demi sahnya persyaratan yang dibuat mengenai sesuatu di masa
lampau atau saat ini:

Page 28 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

i. haruslah ada kehendak positif untuk mengaitkan efektivitas


kesepakatan nikah dengan terpenuhinya peristiwa atau situasi yang
dijadikan persyaratan ini.
ii. Kehendak positif ini tidak ditarik kembali sebelum atau pada saat
peneguhan nikah.
- Membuat atau menarik persyaratan harus terjadi sebelum pemberian
kesepakatan
- Dan baik pembuatan ataupun penarikan persyaratan haruslah merupakan
sebuah tindakan positif kehendak dari pihak yang bersangkutan.
(6) Syarat yang lampau atau masa kini membutuhkan izin Ordinaris Wilayah (§3)
- Melengkapi apa yang disebut dalam paragraf kedua, legislator menambahkan:
perkawinan yang dilangsungkan dengan syarat mengenai sesuatu yang lampau
atau mengenai sesuatu yang Sekarang, demi licitnya, harus dibuat dengan izin
dari Ordinaris Wilayah yang dibuat secara tertulis.
• Demi licit: legislator hendak membatasi pembuatan persyaratan dalam
kesepakatan nikah; Ordinaris wilayah dalam memberi izin harus menilai
persyaratan-persyaratan yang akan dibuat.
• Izin tertulis: bukti dokumental yang penting.
• Pastor paroki, sebagai peneguh nikah, janganlah merayakan sakramen
nikah: jika ia melihat adanya kemungkinan pernikahan bersyarat atau jika
ketiadaan izin tertulis dari Ordinaris Wilayah.

6. Menyatakan Kesepakatan (Kan. 1104)


a. Caranya:
- Kehadiran fisik: di tempat yang sama dalam wujud kehadiran personal atau melalui
prokurator yang legitim.
- Kehadiran simultan: bersamaan, serentak > menyatakan tindakan saling memberi
dan menerima secara timbal balik
- Kehadiran aktif: untuk pernyataan kesepakatan menurut cara dan modalitas yang
ditentukan oleh hukum > melalui kata-kata atau isyarat yang senilai
b. Kesepakatan melalui Prokurator
- Procurator est qui aliena negotia mandatu domini administrat.
- Definisi ini berasal dari regula hukum kuno: Qui facit per alium est perinde ac si
faciat per seipsum.

Page 29 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Atau qui mandat, ipse fecisse videtur.


- Pemegang manda melakukan tindakan yang ditentukan atas dasar mandat dan atas
nama pemberi mandat.
- Karena itu yang menikah bukanlah pemegang mandat tetapi pemberi mandat.
- Penggunaan prokorator harus memenuhi syarat.
i. Syarat-syarat ad validitatem untuk perkawinan melalui prokurator:
• Prokurator ditunjuk oleh pemberi mandat.
• Prokurator melaksanakan tugasnya secara Pribadi (bukan lewat orang lain
atau digantikan oleh orang lain)
• Mandat harus ditandatangani oleh pemberi mandat dan pastor paroki atau
Ordinaris Wilayah tempat manda dibuat; atau imam yang diberi delegasi
dari Pastor paroki atau Ordinaris Wilayah atau sekurang-kurangnya oleh
dua orang saksi; atau dibuat dengan dokumen otentik menurut norma
hukum sipil.
ii. Mandat menjadi tidak sah:
• Dalam surat mandat: jika pemberi mandat tidak dapat menulis, maka itu
harus diberikan keterangan dan hendaknya ditambahkan saksi lain juga
yang menandatangani. Jika tidak mandat menjadi tidak sah.
• Jika pemberi mandat menarik kembali mandatnya
• Jika pemberi mandat menjadi gila
• Jika pemberi mandat meninggal dunia (prinsip hukum: mandatum solvitur
morte)
c. Perkawinan dengan penerjemah (kan. 1106)
- Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak mampu berbicara dalam
bahasa yang dapat saling mereka pahami atau keduanya berbicara dalam bahasa
yang tidak dimengerti oleh pelayan nikah.
- Penerjemah berbeda dengan prokurator.
- Siapapun bisa menjadi penerjemah asalkan dia dapat dipercaya, unggul dalam
kejujuran dan bebas dari kepentingan Pribadi.
- Bisa dipilih oleh Pastor paroki, kedua pihak yang menikah atau keluarga mereka.
d. Status Yuridis (kan. 1107)

Page 30 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- “Meskipun perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sah karena halangan atau
karena cacat sehubungan dengan formanya, kesepakatan yang telah dinyatakan
diandaikan berlangsung terus, sampai jelas ditarik kembali.”
- Ini adalah sebuah presumsi hukum (=pengandaian berdasarkan hukum) > Kan.
1584 – Presumsi ialah perkiraan yang mungkin mengenai suatu hal yang tidak
pasti; disebut presumsi hukum (praesumptio iuris), jika ditentukan oleh undang-
undang sendiri; disebut presumsi orang (praesumptio hominis), jika dilakukan oleh
hakim.

Page 31 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

BAB IV: HALANGAN-HALANGAN YANG MENGGAGALKAN


(Kan. 1073-1082, 1083-1094)

1. Prinsip Umum
- Kemampuan yuridis (abilitas iuridica) dari kedua pihak, baik natural maupun
kanonis, menyatakan/membuat sebuah perkawinan sah.
- Syarat ini sesuatu yang sifatnya eksternal (berbeda dengan kehendak yang sifatnya
internal).
- Istilah “HALANGAN” (IMPEDIMENTUM) terkait dengan Lex Inhabilitans (kan.
10).
- Halangan-Halangan yang menggagalkan: hukum ilahi-positif, natural atau gerejawi
yang menyatakan atau membuat seseorang tidak mampu membuat kontrak
perkawinan yang sah (bdk. Kan. 1073.

2. Halangan-Halangan yang Menggagalkan pada Umumnya (Kan. 1073-1082)


a. Klasifikasi Halangan-Halangan
- Pembedaan halangan publik dan yang tersembunyi
i. Halangan publik: jika dapat dibuktikan melalui forum externum
ii. Halangan yang tersembunyi: jika tidak dapat dibuktikan melalui forum
externum
- Pembedaan berdasarkan hukum natural, ilahi dan hukum gerejawi
i. Halangan > Hukum Ilahi > tidak dapat didispensasi
• Halangan hubungan darah dalam garis lurus (kan. 1078, n. 3 & 1091)
• Halangan impotensi (kan. 1084)
• Halangan ikatan nikah sebelumnya (kan. 1085)
ii. Halangan > Hukum Gerejawi
• Direservasi oleh Tahta Apostolik (Tahbisan Suci, Kaul kekal publik,
pembunuhan)
• Direservasi oleh Ordinaris Wilayah (Usia, Disparitas cultus, hubungan
Darah garis menyamping, dll).
- Pembedaan berdasarkan durasi:

Page 32 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

i. Halangan-halangan temporal, jika dapat berhenti. (Halangan usia; Halangan


disparitas cultus, jika pasangan tidak dibaptis menerima baptisan; Halangan
penculikan, berlangsung sesudah pasangan dipisahkan dari penculiknya serta
berada ditempat yang aman dan bebas)
ii. Halangan-halangan perpetual, jika berlangsung sepanjang hidup (contoh:
tahbisan)
- Pembedaan berdasarkan pembatasan atau keluasan:
i. Yang sifatnya absolut > jika membuat seseorang tidak mampu melangsungkan
perkawinan dengan siapapun (Impotensi absolut, Ikatan nikah)
ii. Yang sifatnya relative > jika dengan orang-orang tertentu (mis. Halangan
peculikan, hubungan darah, impotensi relativ)
- Pembedaan berdasarkan tingkatan pengetahuan:
i. Halangan yang pasti, jika dapat dibuktikan.
ii. Halangan yang diragukan, jika ada keraguan hukum atau keraguan fakta.

b. Kewenangan Otoritas Gereja


- Kompetensi atas halangan baru atau lex inhabitans dari perkawinan:
i. Hukum ilahi > hanya otoritas tertinggi gereja yang dapat mengaturnya.
• Menyatakan halangan-halangan yang menggagalkan atau larangan dari Hukum
Ilahi
• Menyatakan lex irritans yang menyatakan bahwa perkawinan tidak sah
berdasarkan hukum ilahi (mis. Hukum tentan consensus, forma kanonika)
• Pernyataan di atas atas hukum ilahi mempunyai efek berlaku surut dan sah di
manapun dan untuk siapa pun
ii. Hukum gerejawi > hanya otoritas tertinggi gereja yang dapat menetapkan
halangan-halangan lain untuk orang-orang yang dibaptis (katolik dan a-katolik).
Kebiasaan yang memasukkan halangan yang berlawanan dengan yang ada ditolak.
- Kompetensi atas larangan perkawinan (kan. 1077)
i. Ordinaris Wilayah dapat melarang perkawinan (hanya untuk licit-nya)
• Untuk bawahannya, dimana pun dia berada.
• Untuk semua orang yang sedang berada diwilayahnya
• Dalam kasus khusus, hanya untuk waktu tertentu
• Untuk alasan yang berat dan selama alasan itu ada

Page 33 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

ii. Hanya otoritas tertinggi Gereja yang bisa menambahkan pada larangan klausul
yang menggagalkan.
c. Dispensasi atas Halangan
- Dalam kasus khusus (kan. 1078)
i. Semua ordinaris wilayah dapat memberikan dispensasi: Semua bawahannya
dimanapun berada; Semua yang berada di wilayahnya; Semua halangan
berdasarkan hukum gerejawi yang tidak direservasi kepada Tahta Apostolik.
ii. Halangan-halangan yang dapat didispensasi oleh Ordinaris Wilayah: Halangan
usia (Kan. 1083); Halangan disparitas cultus (kan. 1086); Halangan kaul kekal
(kan. 1088); Halangan penculikan (kan. 1089); Halangan hubungan darah dalam
garis menyamping tingkat ketiga dan keempat (kan. 1091), Halangan hubungan
semenda (kan. 1092); Halangan kelayakan publik (kan. 1093); Halangan karena
adopsi (kan. 1094)
iii. Halangan yang direservasi kepada Tahta Apostolik: Halangan tahbisan suci (kan.
1078 & 1087); Halangan kaul kekal publik untuk lembaga hidup bakti tingkat
pontifical (kan. 1093); Halangan pembunuhan (kan. 1078 & 1090)
- Dispensasi dalam kasus bahaya maut (kan. 1079)
i. Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi:
ii. Dalam bahaya maut dan dalam kasus di mana Ordinaris tidak dapat dihubungi
(jika hanya bisa dihubungi via telegram atau telpon), mereka yang bisa mendapat
fakultas yang sama adalah: pastor paroki, pelayan suci yang mendapat delegasi,
maupun imam atau diakon yang melayani perkawinan menurut norma kan. 116
par 2.
iii. Dalam bahaya maut bapa pengakuan memiliki fakultas untuk mendispensasi
halangan-halangan yang tersembunyi dalam forum internum sacramental atau di
luar sakramen.
- Dalam kasus “rumit dan membingungkan” (kan. 1080)
i. Situasi-situasi yang penting untuk menerapkan dispensasi ini:
• Cum omnia parata sunt (ketika segala sesuatu sudah siap) > semua tindakan
persiapan berdasarkan hukum universal dan particular yang diminta sudah
dipenuhi (bdk. Kan. 1063-1072)
• Ditemukan adanya halangan
• Adalah tidak mungkin, tanpa bahaya kerugian yang berat, melangsungkan
perkawinan sampai tidak diperoleh dispensasi dari Otoritas yang berwenang.

Page 34 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

ii. halangan-halangan yang mendapat dispensasi dari kasus ini: halangan yang
sifatnya gerejawi, kecuali yang disebut dalam kan. 1078 par 2, n. 1: halangan
tahbisan suci dan kaul kekal publik dari lembaga hidup bakti tingkat pontifical.
iii. Mereka yang memiliki kompetensi untuk memberikan dispensasi adalah:
• Ordinaris Wilayah
• Semua yang disebut dalam kan. 1079 par 2 & 3:
(1) Pastor paroki, pelayan suci yang mendapat delegasi dan para imam atau
daikon yang melayani perkawinan menurut norma kan. 1116 par 2 dan
bapa pengakuan
(2) Dalam kondisi di mana tidak memungkinkan untuk menghubungi
Ordinaris Wilayah (Bdk. Kan. 1079 par 2 & 4)
(3) Dalam kasus tersembunyi: tidak hanya menurut norma kan. 1074 dengan
menepati syarat-syarat yang ditentukan di situ.
iv. Perluasan atas kasus yang rumit dan membingunkan ini: dalam konvalidasi (kan.
1080 par 2)
• Dalam situasi yang penting:
(1) melalui convalidatio simplex untuk perkawinan yang tidak sah yang
disebabkan oleh halangan-halangan yang menggagalkan (kan. 1156)
(2) Berada dalam bahaya yang sama kalau tertunda untuk mendapatkan
dispensasi dari otoritas yang berwenang
(3) Tiada waktu untuk menghubungi tahta Apostolik atau Ordinaris wilayah
mengenai halangan-halangan yang dapat didispensasi olehnya
• Pelayan suci yang sama dapat memberi dispensasi dari halangan yang sama
menurut norma kan. 1080 par 1.

e. Pencatatan Dispensasi
- Dalam forum externum (kan. 1081):
1) Pastor paroki atau imam atau diakon (bdk. Kan. 1079 §2 dan 1080) hendaknya
menginformasikan kepada Ordinaris Wilayah tentang dispensasi yang diberikan
2) Dan dispensasi ini dicatat dalam buku perkawinan
- Dalam forum internum non sacramental (kan. 1082) > Dispensasi yang diberikan oleh
Penitentiaria Apostolica > dicatat dalam arsip rahasia kuria; Dan dalam forum
externum > tidak dibutuhkan dispensasi lain, bila kemudian halangan yang
tersembunyi menjadi publik.

Page 35 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Dalam forum internum sacramental:


1) Bapa pengakuan tidak harus menginformasikan kepada seorangpun
2) Tidak harus dibuat registrasi.

3. Halangan-Halangan yang Menggagalkan pada Khususnya (Kan. 1083-1094)

DUA BELAS HALANGAN NIKAH


1) Halangan usia (kan. 1083)
2) Halangan impotensi kopulatif (kan. 1084)
3) Halangan ikatan perkawinan sebelumnya (kan. 1085)
4) Halangan perkawinan beda agama – disparitas cultus (kan. 1086)
5) Halangan tahbisan suci (kan. 1087)
6) Halangan kaul kekal publik kemurnian dari tarekat religious (kan. 1088)
7) Halangan penculikan (kan. 1089)
8) Halangan pembunuhan (kan. 1090)
9) Halangan hubungan darah (kan. 1091)
10) Halangan hubungan semenda (kan. 1092)
11) Halangan kelayakan publik (kan. 1093)
12) Halangan hubungan legal lewat adopsi (kan. 1094)

a. Halangan Usia (Kan. 1083)


- Kanon ini menetapkan bahwa: untuk menikah sah minimal berusia> 16 Tahun
untuk laki-laki; 14 Tahun untuk perempuan.
- Penentuan batasan usia minimal ini dibuat bukan berdasarkan kriteria usia
dewasa, tetapi lebih pada kriteria biologis dan perkiraan pubertas, dengan mana
“biasanya” diasumsikan bahwa pada batasan usia itu seseorang sampai pada
kemampuan/kecapakan/kesanggupan secara fisik dan psikis.
- Halangan ini: Hukum Gerejawi > bisa mendapat dispenasi dari Ordinaris Wilayah
- Jika perkawinan dirayakan tanpa dispensasi, maka halangan tidak berhenti ipso
facto; karena itu perkawinan demikian dirayakan tidak sah dan harus disembuhkan
melalui convalidatio simplex atau sanatio in radice.
- Konferensi Para Uskup berwenang menetapkan usia yang lebih di tas hanya demi
licitnya perayaan pernikahan

Page 36 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- UU Perkawinan tahun 1974 yang dipasal 7 yang dibaharui tahun 2019 berbunyi:
i. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.
ii. Dalam hal terjadi penyimpanagan terhadap ketentuan umur sebagaimana yang
dimaksud pada ayat 1, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak Wanita
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak
disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

b. Halangan Impotensi Kopulatif (Kan. 1083)


- Impotensi Kopulatif (Impotentia coëundi)mencakup ketidakmampuan
(incapacitas) untuk melaksanakan persetubuhan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan (actus coniugalis) secara manusiawi (actus humanus) dengan
sebuah tindakan perkawinan konsumatif, yakni tindakan di per se terbuka pada
kelahiran anak dan dengannya kedua pasangan menjadi satu daging (bdk. Kan.
1061 §1).
- Impotensi copulatif terkait erat dengan tindakan manusiawi yakni sebuah tindakan
- eksterior, visibel - intim seksual yang menyatukan juga secara fisik pasangan
dengan mana seorang laki-laki bertindak dengan adanya penetrasi dan ejakulasi
ke dalam vagina seorang perempuan (isterinya) dan perempuan itu “bertindak”
menerima penis dan benih dari si laki-laki.
- Impotensi copulatif berbeda dengan impotensi generatif.
- Penyatuan pasangan dalam sebuah perkawinan secara sah mengandaikan laki-laki
dan perempuan itu memiliki potentia.
- Dalam tindakan perkawinan komsumatif (konsumasi) haruslah:
i. Seorang laki-laki:
• Organ biologis: Penis, testis, sel sperma
• Proses: Ereksi, Penetrasi dan Ejakulasi
• Disebut impotensi kopulatif hanya jika tidak ada kemampuan
(incapacitas) ereksi untuk melakukan penetrasi pada vagina atau
incapacitas untuk melakukan ejakulasi.
ii. Seorang perempuan:
• Organ biolgis: vagina, uterus, ovarium, sel telur.
• Proses: mampu menerima penetrasi dari penis yang ereksi dan ejakulasi
dari sel sperma.

Page 37 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

• Disebut impotensi kopulatif jika tidak ada vagina atau tidak bisa
dipenetrasi dengan ejakulasi juga secara parsial, tetapi natural dari pihak
laki-laki.
- Karakteristik halangan ini: antecedens (yang mendahului perkawinan), perpetua
(bersifat tetap), certa (pasti), absoluta (absolut) atau relativa (relatif).
i. Antecedens: harus terjadi pada momen manifestasi konsensus (pada saat
pertama dan sebelum), bukan sesudah.
ii. Perpetua: tetap dan secara terus menerus serta tidak bisa disembuhkan.
iii. Certa: adanya kepastian secara biologis dan psikis.
iv. Absoluta: mencegah hubungan perkawinan dengan pasangan mana pun.
v. Relativa: membuat seseorang tidak mampu melakukan hubungan perkawinan
hanya dengan orang tertentu.
- Pembuktian: melalui kesaksian ahli medis yang memeriksa.
- Karena halangan impotensi terkait erat dengan tujuan pernikahan, hal itu
umumnya dianggap berasal dari hukum kodrat ilahi.
- Oleh karena itu, halangan ini tidak bisa mendapat dispensasi. Karena halangan
impotensi membatasi pelaksanaan bebas dari hak natural untuk menikah,
pernikahan harus dihalangi hanya jika adanya halangan itu pasti. Maka, jika tidak
ada keraguan yang prudential (berdasarkan fakta dan hukum) tentang impotensi
kopulatif, perkawinan tidak bisa dihalangi.
- Sterilitas tidak menghalangi dan menggagagalkan perkawinan, sambil tetap
memperhatikan norma kanon. 1098. Sterilitas memungkinkan terjadi persekutuan
secara fisik yang faktnya tidak subur. Ada kapasitas kopulatif.

c. Halangan Ikatan Perkawinan (Kan. 1084)


- Kesepakatan perkawinan yang dibuat secara sah membentuk sebuah ikatan yang
tetap dan eksklusif antara seorang suami dan seorang isteri entah dibaptis atau
dibaptis (bdk. Kan. 1134).
- “Menurut sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cinta kasih suami-
isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai
puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya. Maka dari itu pria dan wanita, yang
karena janji perkawinan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6),
saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antarpribadi dan kerja
sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan

Page 38 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

mereka. Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu
pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-isteri yang sepenuhnya,
dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu.” (GS 48)
- Halangan ini bersumber dari ciri-ciri hakiki esesial perkawinan.
- Karena itu, halangan ini digolongkan pada hukum ilahi dan demikian tidak bisa
mendapat dispensasi.
- Keabsahan perkawinan baru/kedua/selanjutnya bisa terjadi karena:
i. Untuk perkawinan sakramental/kanonik/natural: kematian salah satu
pasangan; Deklarasi nullitas atas perkawinan sebelumnya
ii. Untuk perkawinan non sakramental: Ratum et non consumatum (kan. 1142;
1697-1079), Privilegium paulinum (kan. 1143-1147), Privilegium petrinum
(Kan. 1148), in favorem fidei (kan. 1149).

d. Halangan Disparitas Cultus (Kan. 1086)


- Halangan ini mengagalkan perkawinan antara orang yang dibaptis katolik atau
yang diterima menjadi katolik dengan mereka yang tidak dibaptis.
- Alasannya: adanya kesulitan dan bahaya riil, baik untuk iman dari pihak katolik
maupun hak dan kewajiban untuk mendidik dan membina anak-anak mereka.
- Halangan ini adalah halangan berdasarkan hukum gerejawi karena itu bisa
mendapat dispensasi dengan syarat (Kan. 1125):
i. Pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman
serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu
dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja
katolik;
ii. Mengenai janji-janji (cautiones) yang harus dibuat oleh pihak katolik itu
pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga
jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
iii. Kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki
perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

e. Halangan Tahbisan Suci (Kan. 1087)


- aTahbisan yang dimaksud: tahbisan episkopat, presbiterat, diakonat (kan. 1009
§1); dengan tahbisan ini, seseorang ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan

Page 39 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

(kan. 1008) melalui penumpangan tangan dan doa konsekrasi, yang ditetapkan
dalam buku-buku liturgi (kan. 1009 §2).
- Halangan ini terkait dengan tarak sempurna dan selamanya demi Kerajaan Surga
dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah(kan. 277
§1).
- “Karena alasan-alasan yang di dasarkan pada misteri Kristus serta perutusannya
itulah, maka selibat, yang semula dianjurkan kepada para imam, kemudian dalam
Gereja Latin di wajibkan berdasarkan hukum bagi siapa saja, yang akan menerima
Tahbisan suci. Mengenai mereka yang diperuntukkan bagi imamat, ketetapan
hukum itu oleh Konsili suci ini sekali lagi disetujui dan dikukuhkan.” (PO 16)
- Sebagai sebuah halangan yang berdasar pada hukum Gerejawi. Maka Tahbisan
suci sekali diterima dengan sah, tak pernah pernah menjadi tidak sah. Tetapi
seorang klerikus kehilangan status klerikalnya (kan. 290):
i. dengan putusan pengadilan atau dekret administratif yang menyatakan tidak-
sahnya tahbisan suci;
ii. oleh hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara legitim;
iii. oleh reskrip Tahta Apostolik; tetapi reskrip itu diberikan oleh Tahta Apostolik
bagi para diakon hanya karena alasan- alasan yang berat dan bagi para
presbiter hanya karena alasan-alasan yang sangat berat
- Apa maksudnya kehilangan status klerikal:
i. Kehilangan hak-hak Khas status klerikalnya dan tidak lagi terikat oleh
kewajiban-kewajiban status klerikalnya.
ii. Dilarang melaksankan kuasa tahbisan, dengan tetap memperhatikan ketentuan
kan. 976.
iii. Kehilangan semua jabatan, tugas dan kuasa delegata apa pun.
iv. Tidak dapat diterima kembali di antara para klerikus kecuali oleh reskrip
Tahta Apostolik.
- Keabsahan sebuah perkawinan untuk halangan ini bisa terjadi Jika:
a. Adanya putusan/pernyataan batal atas tahbisan yang diterima (bdk. Kan.
1708-1712; 1400-1500); terkait dengan ini lihat keterangan lebih lanjut dalam
Kan. 1024 dst yang berbicara tentang calon-calon tahbisan.
b. Adanya dispensasi dari kewajiban-kewajiban imam.

Page 40 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Mereka yang ditahbisan kemudian dipecat/dikeluarkan karena adanya


pelanggaran-pelanggaran pidana (kan. 1425) tidak serta merta mendapatkan
dispensasi. Karena dispensasi ini harus dimohonkan oleh yang bersangkutan.

f. Halangan Kaul Kekal Publik Kemurnian (Kan. 1088)


- Halangan ini bersumber secara langsung dari norma kanonik yang
menetapkannya sebagai kewajiban bertarak sempurna dalam selibat (continentia
perfecta in caelibatu) (kan. 599).
- Karena itu, anggota tarekat religius menurut hukum masing-masing mengucapkan
kal kekal publik (kan. 607 §2)
- Sebagai hukum gerejawi kaul (votum) haruslah: publik: diterima oleh superior
yang legitim atas nama Gereja (kan. 1192); tetap: secara formal dan tidak hanya
dalam hati ; religius dan dinyatakan secara sah dalam sebuah tarekat religius
menurut norma kan. 656).
- Halangan ini tidak terkait dengan: anggota serikat hidup kerasulan (kan. 371 §2);
tarekat sekular (kan. 712); eremit, anakoret, para perawan (603 §2 dan 604 §1);
juga tarekat religus yang hanya menyatakan kaul sementara.
- Halangan Gerejawi karena itu bisa mendapat dispensasi:
1) Untuk anggota tarekat religius tingkat pontifikal diberikan oleh Tahta Suci
(Kan. 1078 §2, 10);
2) Untuk anggota tarekat religus tingkat diosesan dari Ordinaris Wilayah (kan.
1079 §1); cat: kan. 1116 untuk dispesnasi karena bahaya mati mendesak.

g. Halangan Penculikan (Kan. 1089)


- Tidak ada perkawinan sah antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau
sekurang-kurangnya ditahan dengan tujuan akan melangsungkan perkawinan.
- Alasan: pemaksaan yang berat dan tidak adil atas kesepakatan . Bdk. kan. 1397 >
kejahatan melawan kebebasan manusia.
- Halangan yang sifatnya gerejawi.
- Batasan: a). Hanya perempuan yang diculik atau ditahan; b). Penculikan atau
penahanan ini bertujuan untuk perkawinan.
- Berhentinya halangan ini: a). Perempuan dipisahkan dari penculiknya secara fisik
maupun psikis; b). Perempuan berada ditempat yang aman dan bebas; 3)
perempuan dengan bebas atau sukarela memilih untuk menikah.

Page 41 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

h. Halangan Pembunuhan (Kan. 1090)


- Secara historis fokus pertama dari halangan ini adalah perselingkuhan dan
perzinahan.
- Halangan ini menggarisbawahi prinsip: tak seorang pun bisa memperoleh
keuntungan atas hasil dari kejahatannya.
- Kanon ini menyebut tentang dua hal:
1. Membunuh pasangan untuk menikah dengan yang lain;
2. Bekerja sama secara fisik maupun moral untuk membunuh salah satu
pasangan.
- Ada beberapa konsekuensi dari kanon ini yang bisa kita perlihatkan:
- Alasan: tindakan kriminal > kan. 1397 > kejahatan melawan hidup pasangan dan
martabat perkawinan
- Pada dasarnya halangan ini bersifat gerejawi dan tetap
- Jika terjadi diketahui publik/forum externum: berhenti hanya dengan dispensasi
dari Tahta Suci dan diberikan karena alasan yang sangat berat.
- Kalau halangan ini tersembunyi/forum internum: menjadi kewenangan dari
Paenitentiaria Apostolica (lih. Ionnes Paulus II, Constitutio Apsotolica Pastor
Bonus, artt. 117-118, dalam AAS, LXXX (1988), p. 890 atau Sacra Paenitentiaria
Apostolica, Intructio Suprema Ecclesiae Bona, Omnibus Ordinariis Diocesanis et
Religiosis, de materiis quae a Sacra Paenitentiaria pertractantur, 15 Iulii 1984, in
EV Supplementum 1/910)

i. Halangan Hubungan Darah (Kan. 1091)


- Consanguinitas (hubungan darah): hubungan kekerabatan faktor geneologis dari
orang-orang yang terikat secara legitim atau tidak legitim/natural dari moyang
yang sama.
- Dibedakan atas hubungan darah garis lurus dan hubungan darah garis
menyamping; hubungan darah ini dihitung dengan garis dan tingkat (kan. 108 §1).
1) Untuk garis lurus: jumlah tingkat sama dengan jumlah keturunan ataupun.
jumlah orang tanpa menghitung moyangnya (108 §2)
2) Untuk garis menyamping: jumlah tingkat sama dengan jumlah orang dalam
kedua garis bersama-sama, tanpa menghitung moyangnya (108 §3)
- Perkawinan tidak sah/menjadi halangan:

Page 42 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

1) Garis lurus > ke atas dan ke bawah, baik yang legitim maupun yang natural.
2) Garis menyamping > sampai dengan tingkat keempat

A A+B

B C D E

C F G H

D I J K

- Halangan ini dipengaruhi pada hukum musa (Im 18:6-18) dan hukum romawi
(yang melarang perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan darah).
- Hubungan darah garis lurus dalam tingkat manapun dan hubungan garis
menyamping tingkat kedua adalah halangan hukum ilahi. Tidak pernah bisa diberi
dispensasi (Kan. 1078 §3).
- Hubungan darah dalam garis menyamping dalam tingkat ketiga dan keempat
adalah halangan hukum gerejawi. Bisa mendapat dispenasi dari Ordinaris
Wilayah. Cat: perhatikan UU sipil dan Hukum Adat.
- Kalau dalam keraguan (dubium) Jika yang mau menikah masih ada hubungan
Darah entah garis lurus maupun dalam garis menyamping tingkat kedua, maka
tidak pernah bisa diizinkan (kan. 1091 .

j. Halangan Hubungan Semenda (Kan. 1092)


- Hubungan yang muncul karena adanya perkawinan yang sah, baik yang
consumatum maupun yang non consumatum.
- Halangan ini tidak berhenti baik dengan kematian pasangan maupun terjadinya
pemutusan perkawinan.Halangan ini sifatnya gerejawi > dispensasi

Page 43 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

A+B H+I

C F G J

D K

E L

k. Halangan Kelayakan Publik (Kan. 1093)


- Timbul dari perkawinan yang tidak sah setelah terjadi hidup bersama atau dari
konkubinat yang diketahui umum.
- Bisa disebut juga «quasi-affinitas».
- Perkawinan tidak sah dalam garis lurus tingkat pertama antara pihak laki-laki
dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak perempuan atau sebaliknya.
- Halangan sifatnya gerejawi > dispensasi
l. Halangan Adopsi (Kan. 1094)
- Kekerabatan legal: ikatan yang dibentuk oleh hukum melalui adopsi.
- Soal adopsi > legalitas melalui hukum sipil
- Dalam garis lurus untuk semua tingkatan
- Dalam garis menyamping hanya dalam tingkat yang kedua.Halangan sifatnya
gerejawi > dispensasi.

Page 44 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

BAB V: FORMA CANONICA/TATA PERAYAAN PERKAWINAN


Kan. 1108 - 1123

1. Introduksi
a. Forma Canonica: kompleksitas formalitas eksternal sebagaimana disyaratkan
oleh hukum kanonik atas perayaan perkawinan itu sendiri (Kan. 1057 §1).
- Forma ini mencakup perayaan yang diwajibkan oleh Gereja yang mengakui
kesatuan pasangan secara sah.
- Forma liturgis yang digunakan seturut ritus bertujuan untuk memastikan Bahwa
perayaan itu “membawa hasil agar dengan itu memancarlah bahwa pasangan
menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta- kasih
yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya” (Kan. 1063, 30)
b. Tentang forma perayaan perkawinan perlu dibedakan atas tiga level:
- Forma yuridis: yang dibuat berdasarkan ketententuan hukum, dengan mana
pelaksanaannya adalah demikian penting sehingga kesepakatan perkawinan
dinyatakan oleh pasangan itu memiliki efek hukum.
- Forma sakramental: yang dinyatakan melalui kesepakatan dari pasangan,
sebagai bentuk penyerahaan dan penerimaan secara timbal balik merupakan
sebuah materi sakramental
- Forma liturgis (kan. 1119-1120): mencakup ritus dan upacara keagamaan yang
menyertai perkawinan kristiani, yang mengungkapkan karakter gerejawi dan
sakramentalnya.
c. Forma perayaan disusun dengan cara berbeda dalam Gereja Latin dan Timur.
- Dalam Gereja Latin perayaan ini menggarisbawahi peran consensus dari
pasangan yang membawa perkawinan pada eksistensinya, demikian sehingga
merekalah yang dilihat sebagai pelayan sakramen itu sendiri.
- Sementara Gereja Timur, yang mengakui pentingnya konsensus personal dari
pasangan, pertama-tama menggarisbawahi peran imam dalam memahkotai dan
memberkati pasangan yang menghantar menuju pada sakramen perkawinan,
demikian sehingga imam dilihat sebagai pelayannya.

2. Perkembangan Historis
a. Tidak ada ritual kristen untuk perayaan perkawinan. Sebaliknya berkembang
model perayaan berdasarkan kebiasaan setempat. Selanjutnya unsur-unsur
kekristenan dimasukkan ke dalam kebiasaan itu dan peran komunitas gerejawi

Page 45 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

diakui: uskup atau presbiter hadir untuk memberkati. Pada abad IV ada kesaksian
eksplisit tentang perkawinan antara. Orang-orang kristen yang dirayakan “sub
benedictione Sacerdotis” dengan doa dan berkat. Ritus-ritus liturgis muncul dan
diincorporasikan dengan kebiasaan dalam konteks Perayaan Ekaristi. Umat
Beriman didorong untuk melaksanakan liturgi ini tetapi bukan menjadi syarat
sebagai pengakuan gereja atas validitas perkawinan.
b. Pada tahun 802, Carolus Magnus (800-814) mewajibkan perayaan perkawinan
dibuat di hadapan imam untuk seluruh wilayah kekaisaran.
c. Pada tahun 1215, Konsili Lateran (1512-1517) melarang para imam, tetapi hanya
secara licit, Melayani perayaan perkawinan tanpa ada publikasi sebelumnya.
d. Dalam Bab I Canones super reformatione circa matrimonium dokumen Konsili
Trente (1545-1547, 1551-1552 dan 1562-1563) yang dipromulgasi dengan dekret
Tametsi terungkap pentingnya hukum nikah kanonik dalam Gereja. Ditetapkan
bahwa berangkat dari promulgasi:
- Adalah wajib publikasi Sebelum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan oleh
Konsili Lateran;
- demi sahnya perkawinan harus dirayakan dengan adanya kehadiran Pastor
Paroki atau Ordinaris Wilayah atau imam yang mendapat otorisasi dari mereka
dan dua atau tiga saksi.
- Pelayanan yang hadir harus memastikan adanya kesepakatan timbal balik dan
dibuat secara verbal pada perayaan dan dicatat pada register.
e. Apa yang ditetapkan oleh Dekret Temetsi menjadi jelas dalam Dekret Ne temere,
2 Agustus 1907 yang dikeluarkan oleh Sacra Congregatio Concilii, dengan mana
menetetapkan kehadiran aktif dari pastor paroki sebagai pelayanan untuk validitas
dari perkawinan > adalah sebuah kewajiban yang mengikat di seluruh Gereja
Latin kehadiran pelayan yang memenuhi syarat.
f. CIC 1917, Can. 1097 menyatakan yang sama: “Ea tantum matrimonia valida sunt
quae contrahuntur coram parocho, vel loci Ordinario, vel sacerdote alterutro
delegato et duobus saltem testibus, secundum tamen regulas expressas in
canonibus qui sequuntur, et salvis exceptionibus de quibus in cann. 1098, 1099”

3. Subjek Forma Kanonika (Kan. 1117)


Tiga subjek forma kanonika:
- Salah satu pasangan Katolik

Page 46 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Atau diterima di dalam Gereja Katolik


- dan tidak meninggalkankan iman dengan tindakan formal.

4. Forma Ordinaria (Kan. 1108-1115)


a. Prinsip Umum (kan. 1108): “hanyalah sah perkawinan yang dilangsungkan di
hadapan Ordinaris Wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon yang diberi
delegasi oleh salah satu dari mereka, serta di hadapan 2 orang saksi”
- Pelayan: Ordinaris Wilayah; pastor paroki; imam atau diakon yang mendapat
delegasi dari OW atau PP
- Saksi-Saksi:
• Legislator tidak menentukan syarat-syarat untuk para saksi
• Tetapi pada prinsipnya berlaku ketentuan umum (kan. 1549-1554) haruslah
paling kurang berusia di atas 14 tahun
• Haruslah memiliki kapasitas (mampu menggunakan akal budi)
• Tanda tangan dari para saksi harus dicantumkan pada tindakan yuridis
perkawinan ini
b. Kekecualian:
- Kan. 144: Ecclesia supplet dalam kasus kekeliruan umum mengenai fakta atau
hukum dan dalam kasus keraguan positif dan probabel.
- Kan. 1112 §1: delegasi kepada orang-orang awam di mana tiada imam atau
diakon.
- Kan. 1116: forma extra ordinaria
- Kan. 1127 §1-2: forma untuk perkawinan campur jika dibuat dispensasi dari
forma canonica
c. Fungsi yuridis dari assistens:
- Fungsi pelayan dicatat dalam bentuk yang dibatasi dengan penggunaan kata
keterangan tantum, demikian sehingga dialah pelayan yang meminta pernyataan
kesepakatan.
- Fungsi ini adalah fungsi aktif, karena selain dia meminta tetapi dia juga yang
menerima kesepakatan atas nama Gereja. Bertindak atas nama Gereja
menunjukkan dari tindakan publik.
- Pelayan harus memenuhi tugasnya dengan kebebasan sebagaimana syarat
sebuah tindakan yuridis: bebas dari paksaan dan ketakutan.

Page 47 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

d. Pelayan perkawinan dengan kewenangan secara teritorial (kan. 1109) - ad


validitatem:
- Memiliki tugas berdasarkan jabatan sebagai Ordinaris Wilayah dan Pastor
Paroki.
- Melayani perkawinan di wilayahnya: orang-orang bawahanya (penduduk dan
penduduk sementara) juga mereka yang bukan bawahannya (pendatang dan
pengembara), asalkan salah satu pihak dari ritus latin.
- Tidak dijatuhi (ferendeae sententiae) atau dinyatakan (latae sententiae) putusan
atau dekret ekskomunikasi, interdik atau suspensi dari jabatan.
e. Pelayan berdasarkan kewenangan secara personal (kan. 1110) - ad validitatem:
- Memiliki tugas berdasarkan jabatan sebagai Ordinaris dan Pastor Paroki
Personal (kan. 372, 518, 134).
- Perkawinan dari sekurang-kuranganya salah satu dari kedua calon berada dalam
batas-batas kewenangannya.
- Tetapi mereka juga (yang hendak menikah) tetap bisa mengalihkannya pada
Ordinaris Wilayah dan Pastor Paroki Teritorial.
f. Delegasi pelayan perkawinan untuk kaum Klerus (Kan. 1111):
- Kuasa Delegasi (potestas delegata): Kuasa yang diberikan kepada seseorang
tidak berdasarkan jabatan (kan. 131 §1).
- Kuasa delegasi ini bisa terbagi atas:
i. Delegasi Umum (delegatio generalis)
ii. Delegasi khusus (delegatio specialis)
- Delegasi untuk pelayan perkawinan bisa diberikan kepada imam dan diakon
baik dengan delegasi umum atau khusus dalam batas-batas teritorinya (§1).
- Delegasi ini haruslah (ad validitatem) diberikan: secara jelas (expresse) dan
kepada pribadi-pribadi tertentu (personis determinatis) (§2). Penggunaan kata
keterangan “secara jelas” (expresse) memberi penekanan pada kata pribadi-
pribadi yang ditentukan, sehingga mereka yang ditentukan itu haruslah
memenuhi kelayakan sebagaimana yang dituntut oleh hukum.

DELEGASI UMUM DELEGASI KHUSUS


(DELEGATO GENERALIS) (DELEGATO SPECIALIS)

Delegatio ad universitatem casuum Delegatio ad casum

Page 48 of 62


Bahan Kuliah HNK- JDS

Harus diberikan secara jelas kepada imam Harus diberikan secara jelas kepada imam
yang ditentukan. yang ditentukan

Harus diberikan secara tertulis Tidak harus diberikan secara tertulis

Untuk beberapa perkawinan di Wilayah tsb. Diberikan hanya untuk satu perkawinan.

Bisa disubdelegasikan hanya untuk satu kasus Tidak dapat disubdelegasikan.

g. Delegasi pelayan perkawinan untuk kaum awam (Kan. 1112):


- Otoritas yang bisa memberikan delegasi adalah Uskup Diosesan bukan oleh
para vikaris (bdk. Kan. 134 §3).
- Sesudah ada votum dari Konferensi Para Uskup.
- Dengan mendapat izin dari Tahta Suci.
- Dengan syarat:
• tiada imam dan diakon.
• Awan yang cakap: mampu memberikan pengajaran kepada mempelai dan
cakap untuk liturgi perkawinan dengan baik.
h. Kepastian tentang Status liber dari pasangan untuk perayaan perkawinan dari
pelayan yang mendapat delegasi(Kan. 1113-1114):
- Pelayan perkawinan harus mendapat kejelasan dan kepastian status bebas dari
kedua pasangan
- Mereka yang mendapat delegasi umum, harus juga mendapat kepastian tentang
izin dari pastor paroki
- Sebelum memberikan delegasi khusus, semua yang berhubungan dengan
ketentuan hukum harus dibereskan. Ketentuan yang dimaksud berhubungan
dengan pembuktian status bebas (Kan. 113)
i. Paroki tempat perayaan perkawinan (Kan. 1115):
- Untuk penduduk dan penduduk sementara: Paroki tempat domisili (kan. 102
§1) atau kuasi domisili (102 §2) dari salah satu pasangan. Ini menerapkan
prinsip umum de Ordinatione territoriali in Ecclesia bahwa setiap persona fisik
secara yuridis dihubungkan dengan Gereja berdasarkan teritori (bdk. 107 §1).
- Pengembara: di paroki tempat mereka berada (bdk. 107 §2).
- Bisa merayakan di tempat lain (paroki lain) di luar dari paroki pasangan, paroki
tempat tinggal selama sebulan, paroki tempat pengembara sedang berada,
dengan izin Ordinaris atau Pastor Paroki.

Page 49 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

5. Forma Extraordinaria (Kan. 1116)


a. Gagasan dan Syarat-Syarat:
- Forma kanonika perayaan perkawinan ini memungkinan perjanjian perkawinan
dibuat secara sah Tanpa kehadiran pelayan resmi/berwenang (yang ditentukan
berdasarkan kan. 1108), tetapi hanya dengan kehadiran saksi-saksi.
- Syarat-syarat: objekif dan subjektif.
i. Objektif: Pelayan yang berwenang tidak tersedia
• Ada kesulitan yang besar bagi pelayan yang berwenang mengunjungi
pasangan atau pasangan tidak dapat mengunjuni karena kesulitan yang
besar (grave incommodum).
• Kesulitan yang besar: secar fisik (baik saksi maupun pasangan tidak
bisa mencapai tempat perayaan perkawinan, karena jarak, sarana
transportasi atau komunikasi yang tidak memadai) dan moral (tidak
bisa melaksanakan tugasnya berdasarkan norma hukum karena perang,
penganiayan atau hukum sipil yang tidak adil)
ii. Secara Subjektif: adanya keinginan untuk merayakan perkawinan yang
sah
- Dapat menikah di hadapan dua orang saksi secara sah dan licit dalam dalam
situasi:
i. Dalam bahaya maut (in periculo mortis): didasarkan pada perkiraan/
pendapat yang beralasan bahwa salah satu atau keduanya yang
mengadakan perjanjian berada dalam situasi sakit atau bahaya sehingga
kematian mereka dapat diperkirakan akan segera terjadi.
ii. Di luar bahaya maut (extra periculum mortis): asalkan diperkirakan
dengan arif bahwa keadaan itu akan berlangsung selama satu bulan.
b. Jika ada imam lain atau diakon yang bisa hadir, harus dipanggil, bersama dengan
kedua saksi, menghadiri perkawinan itu.
- Kata “menghadiri” diterjemahkan dari kata “adesse”, dan kenapa bukan
menggunakan kata “assistere”.
- Karena dengan menggunakan kata menghadiri, peran imam lain atau diakon
seperti menjadi saksi saja, bukan bertindak sebagai pelayan yang meneguhkan
perkawinan.
- Padahal imam lain atau diakon bisa bertindak sebagai peneguh untuk kasus
extraordinaria.

Page 50 of 62
Bahan Kuliah HNK- JDS

6. Tempat dan Forma Liturgis (Kan. 1118-1120)


a. Tempat Perayaan Liturgis (kan. 1118)
(1) Gereja Paroki
- Untuk perkawinan 2 orang katolik atau salah satu katolik dengan yang
dibaptis bukan katolik.
- Perkawinan 2 orang yang dibaptis adalah sakramental dan gerejawi dan
bukan perayaan pribadi atau keluarga. Pasangan menyatakan kesepakatan di
hadapan Allah dan Gereja.
- Mereka akan menjalankan komitmen itu di dalam dan dengan dukungan
komunitas gerejawi setempat. Oleh karena itu, sudah sepatutnya perayaan ini
diadakan di gereja paroki. Di sinilah komunitas lokal dikumpulkan oleh
pemberitaan Injil Kristus, dan misteri perjamuan Tuhan dirayakan, sehingga
seluruh persekutuan disatukan oleh tubuh dan darah Tuhan”
(2) Gereja lain dan Ruang doa (Oratorium)
- Gereja lain (Kan. 1214): “Dengan sebutan gereja dimaksudkan bangunan
suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi dimana umat beriman berhak
untuk masuk melaksanakan ibadat ilahi, terutama ibadat yang dilangsungkan
secara publik.”
- Ruang doa/Oratorium (Kan. 1223): “Dengan sebutan ruang doa (oratorium)
dimaksudkan suatu tempat yang dengan izin Ordinaris diperuntukkan bagi
ibadat ilahi untuk kegunaan suatu komunitas atau kelompok umat beriman
yang berkumpul di situ, sedangkan umat beriman lain dengan persetujuan
Superior yang berwenang juga dapat masuk.”
- Izin dari Ordinaris Wilayah atau Pastor Paroki.
(3) Tempat lain yang layak (in alio convenienti loco)
- Bukan gereja paroki; bukan gereja di luar paroki dari kedua pasangan atau
salah satu; bukan oratorium.
- Posibilitas:
• kapel pribadi (kan. 1226): “Dengan sebutan kapel privat dimaksudkan
suatu tempat yang dengan izin Ordinaris Wilayah diperuntukkan bagi
ibadat ilahi untuk kegunaan satu atau beberapa orang (persona
physica).”

Page 51 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

• Gereja dari pihak non katolik: harus mendapat izin dari Ordinaris
Wilayah dan Kalau dibuat misa maka harus ada alasan yang wajar
(kan. 933)
(4) Gereja atau Tempat lain yang layak untuk perkawinan disparitas cultus
- Gereja Paroki sebagai prinsip umum
- Gereja lain dan tempat lain sebagaimana disebutkan dalam poin b dan c.
- Tidak disebutkan mendapatkan izin baik dari ordinaris wilayah atau pastor
paroki. Karena itu, kebijakan dari pelayan yang berwenang perlu dibuat.
b. Ritus Perayaan Perkawinan (kan. 1119)
- Tata Perayaan Sakramen perkawinan berdasarkan ketentutan Liturgi Gereja.
- Konferensi Para Uskup dapat menyusun ritus perkawinan sendiri, yang harus
diperiksa oleh Tahta Suci;
- Tata-perayaan ini: selaras dengan kebiasaan tempat dan bangsa itu disesuaikan
dengan semangat kristiani, tetapi dengan mempertahankan ketentuan bahwa
pelayan perkawinan hadir, meminta pernyataan kesepakatan mempelai dan
menerima itu.
c. Pencatatan Perkawinan di LM - Liber Matrimoniorum(kan. 1121) - Tentang
pencatatan berlaku ketentuan seperti berikut ini:
- Sesudah perayaan: SESEGERA/SECEPAT MUNGKIN (QUAM PRIMUM).
• Dalam buku Perkawinan: nama-nama mempelai, pelayan serta para saksi,
tempat dan Hari perayaan.
• Dicatat oleh Pastor tempat perayaan pemberkatan atau yang
menggantikannya.
- Dalam kasus Extraordinaria (bdk. Kan. 1116): Imam atau diakon yang
menghadiri atau para saksi bersama dengan para mempelai wajib
memberitahukan perkawinan yang telah dilangsungkan kepada Pastor Paroki
atau Ordinaris Wilayah.
- Perkawinan yang dilangsungkan dengan dispensasi dari Forma Kanonik:
• Ordinaris Wilayah yang memberikan dispensasi hendaknya mengusahakan
agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam buku perkawinan: di Kuria dan di
Paroki pihak katolik yang pastor parokinya melaksanakan penyelidikan
mengenai status bebasnya.

Page 52 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

• Mempelai katolik diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan


yang telah dirayakan kepada ordinaris itu atau pastor paroki dengan
menyebutkan tempat serta forma publik yang telah digunakan.

d. Pencatatan Perkawinan di LB - Liber Baptizaptorum (kan. 1122):


- Tempat baptis pasangan.
- Jika pemberkatan perkawinan tidak di paroki tempat ia dibaptis: pastor paroki
tempat perayaan SECEPAT MUNGKIN mengirim berita tentang perkawinan
yang dilangsungkan kepada pastor paroki tempat orang itu dibaptis.
5. Perkawinan yang telah dibatalkan lewat putusan pengadilan karena tidak sah atau
juga lewat kematian (kan. 1123):
- Pastor paroki tempat perayaan perkawinan (yang dulu telah dilangsungkan) dan
pembaptisan harus diberi tahu, agar dibuat catatan semestinya dalam buku
Perkawinan dan buku Pembaptisan.

Page 53 of 62
Bahan Kuliah HNK- JDS

Page 54 of 62
Bahan Kuliah HNK- JDS

Page 55 of 62
Bahan Kuliah HNK- JDS

BAB VI: FAVOR IURIS DAN REKSA PASTORAL PERSIAPAN


PERKAWINAN

1. Perkawinan Orang-Orang yang Dibaptis adalah Subjek Legislasi Kanonik


- Semua perkawinan adalah subjek dari hukum ilahi dan hukum natural.
- Gereja memiliki wewenang untuk menginterpretasi hukum ilahi dan hukum
natural.
- Otoritas tertinggi Gereja memiliki kuasa untuk mengatur secara positif halangan-
halangan untuk orang-orang yang dibaptis (Kan. 1075 §2)
- Meskipun demikian, dalam hubungan dengan hukum perkawinan, Gereja
membatasinya hanya pada perkawinan orang-orang katolik (kan. 1059; Cf. Kan.
11).
- Oleh karena itu, yang akhirnya menjadi subjek dari legislasi kanonik:
i. Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis.
ii. Perkawinan antara seorang katolik dan seorang yang dibaptis a-katolik (mixta
religio)
iii. Perkawinan antara seorang katolik dan seorang yang tidak dibaptis (disparitas
cultus)

2. Wewenang Otoritas Sipil


- Otoritas sipil memiliki wewenang seputar efek yag murni milik otoritas
pemerintah dalam perkawinan itu sendiri (baca undang-undang tentang
perkawinan tahun 1974).
- Undang-undang negara tentang perkawinan tentu saja harus sesuai dengan hukum
ilahi dan natural.

3. Favor Iuris (Kan. 1060)


- Definisi favor iuris : Sikap atau bisa juga dikatakan disposisi dari Legislator untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap institusi perkawinan, baik sebelum
dan sesudah terbentuknya perkawinan itu sendiri (favor antecedens dan favor
consequens).
- Praesumptio atas validitas perkawinan
Perkawinan yang dirayakan secara sah (biarpun ada keragu- raguan) haruslah
tetap dipertahakankan bahwa perkawinan itu sah, sampai dibutktikan
kebalikannya (praesumptio iuris tantum – kan. 1584)

Page 56 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Efek perkawinan untuk forum externum dan forum internum


- Presumsi atas validitas perkawinan yang dirayakan berada dalam lingkup yudisial
 forum externum
- Bagaimana kalau terjadi dalam forum internum?

4. Konsumasi Kanonik (Kan. 1061)


- Unsur-unsur siologis: persetubuhan yang tearah pada kelahiran anak
• Unsur-unsur kopula:Ereksi dari organ genital laki-laki, Penetrasi dan Ejakulasi
dalam organ genital perempuan.
• Persetubuhan yang menggunakanalatkontrasepsiatau onanistis bukanlah sebuah
konsumasi perkawinan.
- Unsur-unsur psikologis
• GS 49, 50 - tindakan-tindakan (yang khas bagi perkawinan) harus dipandang
luhur dan terhorma; bila dijalanakan secara sungguh manusiawi, tindakan-
tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan timbal balik; terarah pada
keturunan dan Pendidikan anak.
- Perkawinan ratum et non consumatum bisa diputus oleh Otoritas Tertinggi Gereja:
Paus.

5. Reksa Pastoral dan Persiapan Perayaan Perkawinan (Kan. 1062-1072)

a. Pertunangan: Janji untuk Menikah (Kan. 1062)


- Wewenang atas Pertunangan:
• Baik model unilateral maupun bilateral, diatur oleh hukum partikular yang
ditetapkan oleh Konferensi Para Uskup.
• Dalam penetapan ini Konferensi Para Uskup> mempertimbakan kebiasaan
dan aturan-aturan pemerintah.
- Batasan yuridis untuk Pertunangan:
• Pertunangan tidak membentuk ikatan secara yuridis antara kedua pasangan.
• Tidak ada kewajiban yuridis untuk memenuhi pertunangan ini.
• Hanya ada kewajiban untuk mengganti jika ada kerugian berdasarkan norma
hukum
b. Sikap Pastoral (Kan. 1063-2065)

Page 57 of 62

fi

Bahan Kuliah HNK- JDS

- Kewajiban Para Gembala Jiwa-Jiwa (1063)


• Para gembala jiwa-jiwa bertanggung jawab dan wajib mengusahakan >
pendampingan (pemeliharaan) kepada umat beriman > status perkawinan
terpelihara dan berkembang dalam kesempurnaan.
• Pendampingan itu dalam bentuk:
i. Pewartaan, katekese > sarana-sarana komunikasi sosial > anak-anak,
orang muda serta orang dewasa.
ii. Persiapan personal untuk perayaan perkawinan.
iii. Perayaan liturgis yang membawa hasil
iv. Bantuan untuk pasangan > keluarga yang semakin suci dan penuh.
- Tugas dari Ordinaris Wilayah (Kan. 1064)
• Adanya pendampingan yang terorganisir
• Melibatkan kaum awam dengan kualifikasi: teruji karena pengalaman dan
keahlian.
- Beberapa rekomendasi dari legislator (Kan. 1065)
• Sakramen Penguatan/Krisma: menerima sak. Krisma sebelum merayakan
perkawinan
• Sakramen Tobat dan Ekaristi: supaya dapat menerima sak. Perkawinan
dengan membawa hasil, maka dianjurkan untuk menerima kedua sak. Ini.
c. Kepastian Tidak ada Halangan
- Verifikasi Surat Sakramen Baptis dan Status Bebas
• Melalui cacatan penerimaan surat pembaptisan terbaru dari kedua pihak
• Melalui pernyataan status bebas dari kedua pihak yang dikeluarkan oleh
Gereja dan/atau Pemerintah Setempat, agar supaya tak ada halangan dan
larangan.
• Catatan: Dalam bahaya mati, jika tidak dapat diperolah bukti-bukti lain,
kecuali ada indikasi sebaliknya: Cukuplah pernyataan dari mempelai bahwa
mereka dibaptis dan tidak memiliki halangan; Jika perlu mintalah agar dibuat
dibawah sumpah.
- Penyelidikan Kanonik (Kan. 1067): Media untuk mendapatkan kepastian
tiadanya halangan baik secara licit dan sah dari kedua pihak.

Page 58 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

• Wewenang Konferensi Wali Gereja


i. Menentukan norma pemeriksaan (examen)
ii. Menentukan norma mengenai pengumuman nikah
iii. Atau cara-cara lain yang tepat untuk melakukan penyelidikan
(investigatio) secara saksama
• Tugas Pastor Paroki
i. Melaksanakan pemeriksaan kedua pihak
ii. Mengumumkan rencana perayaan perkawinan.
iii. Memastikan bahwa tidak ada halangan
iv. Ada pembinaan persiapan nikah dengan materi-materi yang disiapkan.
- Dua catatan penting terkait ini:
• Pemeriksaan ini dibuat agar supaya sebelum perayaan perkawinan kedua
calon nikah bebas dari halangan dan ada garansi validitas dari perkawinan,
demikian sehingga pastor paroki mendapatkan kepastian bahwa kedua calon
tidak ada halangan dan bersepakat untuk menikah. Karena itu jika
penyelidikan kanonik bukan dibuat oleh pastor paroki maka pastor lain
“hendaknya ia selekas mungkin memberitahukan hasil pemeriksaan itu
dengan dokumen otentik kepada pastor paroki” (Kan. 1070)
• Pengumuman nikah bukanlah syarat dari validitas perkawinan, tetapi satu
proses menuju pada validitas, karena itu pengumuman nikah itu wajib dibuat,
tetapi karena alasan yang tepat, bisa didispensasi.
- Dokumen-dokumen lain yang penting:
• Dokumen kesaksian kalau pasangan sudah meninggal
• Dokumen yang berhubungan dengan dispensasi dari halangan-halangan.
• Dalam hubungan dengan pemerintah, maka musti disiapkan dokumen-
dokumen yang dituntut oleh aturan- aturan pemerintah.
d. Larangan Pelayanan Perkawinan
(1) Perkawinan para pengembara
(2) Perkawinan yang menurut norma-norma uu pemerintah tidak dapat diakui atau
tidak dapat dirayakan.

Page 59 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

(3) Perkawinan orang yang terikat kewajiban-kewajiban kodrati terhadap pihak


lain atau terhadap anak-anak yang lahir dari kesatuan sebelumnya.
(4) Perkawinan orang yang telah meninggalkan iman katolik secara terbuka.
(5) Perkawinan orang yang terkena censura.
(6) Perkawinan anak-anak yang belum dewasa tanpa diketahui atau secara masuk
akal tidak disetujui oleh orang tuanya.
(7) Perkawinan yang akan dilaksanakan dengan perantaraan orang yang
dikuasakan, menurut kan. 1105.
- Pelayanan perkawinan terkait kasus yang sudah disebut sebelumnya (tujuh
model) bisa dibuat dengan dua syarat:
• Dalam keadaan yang membutuhkan;
• Harus ada izin dari Ordinaris Wilayah.
e. Tindakan-Tindakan Persiapan Perkawinan
- Tugas dari Ordinaris Wilayah (Kan. 1064)
• Adanya pendampingan yang terorganisir
• Melibatkan kaum awam dengan kualifikasi: teruji karena pengalaman dan
keahlian.
- Beberapa rekomendasi dari legislator (Kan. 1065)
• Sakramen Penguatan/Krisma: menerima sak. Krisma sebelum merayakan
perkawinan
• Sakramen Tobat dan Ekaristi: supaya dapat menerima sak. Perkawinan
dengan membawa hasil, maka dianjurkan untuk menerima kedua sak. Ini.

Page 60 of 62


Bahan Kuliah HNK- JDS

DAFTAR PUSTAKA

Beal, John P., Coriden James A., Green Thomas J. (eds.), New Commentary on the Code
of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000.

Bianchi Paolo, Quando il Matrimonio è Nullo?: Guida ai Motivi di Nullità Matrimoniale


per Pastori, Consulenti e Fedeli, Roma: Ancora, 2007.

Chiapetta Luigi, Il Codice del Diritto Canonico: Commento Giuridico-Pastorale 2, edisi


ke-3, Bologna: Edizione Dehoniane Bologna (EDB), 2011.

D’Auria Angelo, Il Consenso Matrimoniale: Dottrina e Giurisprudenza Canonica, Roma:


Aracne editrice, 2007.

D’Ostilia Francesco, Prontuario del Codice di Diritto Canonico, Città del Vaticano:
Urbaniana University Press, 2013.

KIllen, Brendan, What Brings a Marriage into Existence?, London: University of


Scrancton Press, 2009.

Llobel Joaquin, I Processi Matrimoniali nella Chiesa, Roma: ESC, 2015.

Mendonça, Augustine, “The Theological and Juridical Aspects of Marriage”, dalam http://

www.canonlawsocietyofindia.org/research/the-theological-and-juridical-aspects-

of-marriage/13.04-14.01.21.

Navarrette, Urbano, Structura Iuridica Matrimonii secundum Concilium Vaticanum II,


Roma: Pontificia Università Gregoriana, 1994.

Örsy, Ladislas, Marriage in Canon Law, Wilmingtong, Delaware: Michael Grazier, 1986.

Paulus VI, Konsitutusi Pastoral tentang Tugas Gereja dalam Dunia Dewasa ini Gaudium
et Spes (7 Desember 1965), Edisi Resmi Bahasa Indoensia, diterjemahkan oleh R.
Hardawiryana. DokPen KWI, 2021.

Page 61 of 62

Bahan Kuliah HNK- JDS

Raharso, Alf. Catur Raharso, Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik,
Malang: Dioma, 2008.

Sabbarese Luigi, Il Matrimonio Canonico nell’Ordine della Natura e della Grazia, Città
del Vaticano: Urbaniana University Press, 2006.

Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (22 November 1981), Edisi
Resmi Bahasa Indoensia, DokPen KWI, Juli 2021.

Yohanes Paulus II, Kitab Hukum Kanonik (25 Januari 1983), Edisi Resmi Bahasa
Indonesia, Cet. Ke-5. November 2018.

Page 62 of 62

Anda mungkin juga menyukai