Anda di halaman 1dari 8

DIALOG DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Fitriyah Syam’un, S.Ud, M.Ag

Abstrak

Islam mengajak penganutnya untuk beribadah dengan melakukan interaksi dengan baik
kepada sesamanya, baik sesama saudara seiman maupun kepada antarumat beragama lain. Itu
artinya Islam adalah agama Sosial yang menjadi solusi pada setiap permasalahan kecil
maupun besar, seperti halnya Dialog. Dialog menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih
dalam, terkhusus pada era kejayaan teknologi saat ini, yang mana banyak percakapan-
percakapan secara langsung atau tidak langsung begitu mudah dilayangkan tanpa ada rem
pembatas, sehingga secara tidak langsung merusak etika Dialog yang sejatinya telah diatur
oleh Al-Qur’an pada 14 abad yang lalu.

Lantas bagaimana Islam mengatur Dialog dengan baik dan tidak menyakiti? Bagaimana
Ayat-ayat Dialog dalam Al-Qur’an difirmankan? Dalam artikel ini penulis mencoba mengkaji
lebih dalam terkait ayat-ayat Dialog dalam Al-Qur’an dan bagaimana tafisir pada ayat-ayat
tersebut, penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada melalui studi data dokumen
atau kepustakaan (library resarch), yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang
membahas tentang Dialog, sejumlah buku-buku yang masih ada kaitannya dengan objek
penelitian dan bahan-bahan rujukan lain yang relevan dengan objek pembahasan yang
dibahas, sebagai acuan sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa al-Qur’an menggunakan banyak istilah untuk


meunjukkan makna Dialog, bahkan dialog yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan hanya
dialog antar sesama manusia dengan satu keyakinan yang sama, tetapi terdapat juga dialog
antara para rasul dengan kaumnya, antara kekuatan baik dan jahat, atau intern kekuatan jahat
dan baik, dialog dengan ahli kitab, kaum munafik, pengikut fanatik tradisi buruk nenek
moyang, dialog tentang wujud Allah dan keesaan-Nya, hari kebangkitan dan sebagainya. Al-
Qur’an juga mengatur bagaimana etika dalam berdialog, sehingga tidak timbul berat sebelah
ketika salah satu mengutarakan pendapatnya.

Keyword: Al-qur’an, Tafsir, Dialog.


Pendahuluan

Islam datang saat manusia sedang dalam kejahiliahannya menjalani keyakinan, adat dan
tradisi yang keliru tentang kemanusiaan. saat itu mereka mengatur tatanan kehidupan tanpa
mengoreksi apakah hal tersebut sesuai dengan tujuan memanusiakan manusia atau tidak,
karena bagi mereka menjalani tradisi nenek moyang adalah sebuah harga mati yang harus
dipertahankan. Namun Islam datang bak cahaya di ruang gelap, ia datang bak air hujan yang
menyirami tanah yang tandus, Islam datang untuk mengangkat derajat kemanusiaan,
mengatur dengan bijak segala tatanan kehidupan. Muhammad saw datang membawa Islam
dengan ajarannya yang mengatur segala aspek, baik aspek dunia maupun akhirat.

Keragaman dan perbedaan merupakan merupakan salah satu ketentuan tuhan


(sunnatullah) yang menjadikan kehidupan ini menjadi penuh warna, hal itu menjadi lazim
jika kita melihat dari fakta bahwa adanya siklus kehidupan yang menuntut manusia untuk
berinteraksi dan berkompetisi.
Berangkat dari fakta tersebut maka diperlukan sebuah jembatan untuk
menghubungkan perbedaan itu untuk bersama-sama membangun kehidupan di dunia secara
harmonis. Perbedaan akan terasa indah bila bisa kita kelola dengan baik dalam satu wadah
yaitu kebersamaan. Dalam al-Qur’an telah disebutkan bahwa fungsi manusia di muka bumi
ini adalah sebagai khalifah Tuhan yang bertugas untuk menjaga dan memakmurkan bumi di
tengah-tengah banyak perbedaan namun tentang mampu kebersamaan. Hal tersebut
dirumuskan dalam sebuah ungkapan al-Qur’an Lita’arafu (agar kamu saling mengenal).
Karena dengan saling mengenal manusia akan saling memahami dan menghargai perbedaan,
sehingga akan terwujud kerja sama untuk menciptakan kemaslahatan bersama. Dan salah satu
cara untuk saling mengenal adalah terciptanya Dialog.
Dialog merupakan konsekuensi logis dari semua keragaman dan perbedaan, itulah
mengapa dialog menjadi bagian dari perintah agama agar saling mengenal dan bekerja sama.
Oleh karenanya Islam sendirimemberikan perhatian besar terhadap dialog melalui kitabnya
yaitu al-Qur’an, maka tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama
Dialog, karena ajaran Islam menembus setiap tatanan kehidupan baik dunia maupun akhirat.
Permasalahan Dialog menjadi semakin pelik diabad 21, itulah mengapa kajian
tentangnya menjadi sangat penting di masa kemajuan teknologi saat ini, agar manusia
kembali merenungi ayat-ayat Al-Qur’an tentang bagaimana melakukan dialog dengan cara
yang paling baik dan tidak menyakiti satu sama lain, namun justru dengan dialog manusia
semakin mampu menciptakan perbaikan dan kebersamaan untuk sama-sama berlomba-lomba
dalam meraih keridhaan Tuhan.
Dialog
Dialog didefinisikan sebagai percakapan, berdialog artinya melakukan proses tanya jawab
secara langsung, bercakap-cakap. Sedangkan dialogis artinya bersifat terbuka dan
komunikatif. Dialog juga menjadi salah satu caara manusia agar saling mengenal satu sama
lain, selain merupakan konsekuensi logis dari keragaman dan perbedaan, Dialog juga
merupakan salah satu perintah agama Islam, agar penganutnya saling bekerja sama dalam
kebaikan.


 
 
   
     
     
  
         
        
 
 
             
     
  
   
       

    

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Islam memberikan perhatian besar terhadap Dialog dengan meletakkan kaidah dan
etikanya. Tidak kurang dari 120 sikap dialogis ditunjukkan dalam Al-Qur’an dengan
menggunakan sekitar 1000 ayat atau 1/6 kandungannya. Kata ‫ ﻗﺎل‬dengan segala bentuk
derivasinya; ‫ ﯾﻘﻮﻟﻮن‬,‫ ﻗﻮﻟﻮ‬,‫ ﻗﻞ‬,‫ ﯾﻘﻮل‬,‫ ﻗﺎﻟﻮا‬dan lainnya yang menunjukkan bentuk-bentuk dialog
dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 1700 kali.
Objek dan pelaku dialognya pun beragam, diantaranya terdapat dialog antara para
rasul dengan kaumnya, antara kekuatan baik dan jahat, atau intern kekuatan jahat dan baik,
dialog dengan ahli kitab, kaum munafik, pengikut fanatik tradisi buruk nenek moyang, dialog
tentang wujud Allah dan keesaan-Nya, hari kebangkitan dan sebagainya. Hal itu
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan realistis, serta mampu
menyesuaikan diri pada setiap ruang dan waktu.
Dialog menjadi hal yangat penting bagi kehidupan mengingat perkembangan dunia
modern yang diwarnai dengan berbagai pertikaian, perpecahan, permusuhan dan peperangan
antar kelompok maupun individu demi kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh sebab itu
perlu ditanamkan sikap saling memahami eksistensi masing-masing, memperkuat kerja sama
dan mendekatkan keragaman dan pertikaian melalui dialog konstruktif.
Term Dialog dalam al-Qur’an
Padanan kata ini yang biasa digunakan dalam bahasa Arab, yaitu ‫( اﻟﺤﻮار‬al-hiwar). Selain itu,
terkait dengan dialog juga dikenal istilah al-jadal, al-mira’, al-mahajjah dan al-munazharah
yang pengertiannya lebih dekat pada perdebatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
debat diartikan pembahasan dan pertukaran pendapat mengnai suatu hal dengan saling
memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Kata al-hiwar, al-jadal, al-
mira’, al-mahajjah dengan segala derivasinya dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, sedangkan
al-munazharah tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dengan pengertian seperti di atas. Walau
demikian, istilah al-munazharah sangat populer dalam tradisi keilmuan Islam sebagai bentuk
adu argumentasi.
1. Al-Hiwar

   
   
 
   

Artinya: Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada
Tuhannya). (Al-Insyiqaq [84]: 14)
Pada ayat tersebut hiwar bermakna kembali dan Dialog diungkapkan dengan kata
hiwar karena di dalamnya terdapat pembicaraan dan proses tanya jawab secara bergantian
dengan argumentasi masing-masing, dan tidak jarang bila kemudian salah seorang peserta
dialog menarik pandangannya yang ternyata keliru untuk kembali kepada kebenaran yang
terpampang secara benderang (putih) di hadapannya.

  
      
                  
  
    
 
      
      
  

Artinya: Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia Berkata kepada kawannya (yang
mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat" (QS. Al-Kahfi [18]: 34)

  
       
          
    
     
     
  
       
    
  
    
   
    
   
 

 

Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (QS. Al-Mujadalah [58]: 1)
Redaksi yuhawir dan tahawur dalam bahasa Arab mengesankan adanya keikutsertaan
pihak lain (al-musyarakah), tetapi kata yuhawir lebih mengesankan keunggulan pihak yang
melakukannya. Sementara kata tahawur menunjukkan kesetaraan pihak-pihak yang terlibat.
2. Al-Jadal
Dalam sejarah keilmuan Islam, al-jadal menjadi disiplin ilmu tersendiri yang didefinisikan
oleh al-Qanuji sebagai ilmu yang membahas berbagai cara untuk menetapkan atau
membatalkan sebuah sikap atau pandangan. Tujuannya adalah memperkuat kemampuan
untuk meruntuhkan dan melemahkan argumentasi lawan bicara.

       
      
   
   
    
  
    
     
    
       
    
          
  

   

Artinya: Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela)
mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk
(membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka
(terhadap siksa Allah)? (QS. An-Nisa’ [4]: 109)
Dalam al-Qur’an, penggunaan kata al-Jadal pada sejumlah konteks pembicaraan
terangkum menjadi lima poin pembahasan: Pertama, Membandingkan kehidupan dunia dan
akhirat, qur’an surat an-Nisa ayat 109. Kedua, mengalahkan kebatilan dengan kebenaran,
qur’an surat al-Ankabut ayat 46. Ketiga, menolak kebenaran dengan kebatilan, qur’an surat
al-Mu’min ayat5. Keempat, perdebatan dengan cara-cara terpuji, qur’an surat an-Nahl ayat
125. Kelima, perdebatan dengan cara-cara yang kotor, qur’an surat al-Hajjayat 3.
3. Al-Mira’

 
   
  
 
  
  
   
 
     
  
    
  
   
   
  
 
       
   
  
  
    

 

Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui
(bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar
tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang
mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka. (QS. Al-Kahfi [18]: 22)

Ayat di atas berisi perintah untuk tidak berbantah-bantahan dalam hal bilangan
pemuda yang menghuni gua, sebab itu merupakan persoalan gaib dan tidak mendatangkan
manfaat. Yang dimaksud dengan orang yang akan mengatakan ini ialah orang-orang ahli
kitab dan lain-lainnya pada zaman Nabi Muhammad saw.
Berdasarkan penafsiran surat Al-Kahfi ayat 22, dapat disimpulkan bahwa agaknya
padanan yang lebih tepat untuk kata al-mira’ dalam bahasa Indonesia adalah debat kusir,
yaitu debat tanpa disertai alasan yang masuk akal, atau juga dapat dikatakan sebagai sikap
ngeyel yang artinya tidak mau mengalah dalam berbicara dan ingin menang sendiri.
4. Al-Mahajjah/al-Muhajjah
Kata ini berasal dari kata hujjah yang artinya argumentasi/alasan. Bentuk kata al-mahajjah
menunjukkan adanya keikutsertaan pihak lain, sehingga bermakna saling berargumentasi
dalam rangka melemahkan lawan bicara.

 
   
   
   
 
    
    
  
   
     
  
          
            
    

     

Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang[163] yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan
mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (Q.S al-
Baqoroh: 258)
Ayat di atas menceritakan perdebatan yang dilakukan seorang Raja dari Babilonia
bernama Namrudz terhadap Nabi Ibrahim. Yang dimaksud bahwa Raja Namrudz dapat
menghidupkan adalah membiarkan hidup, dan yang dimaksudnya dengan mematikan ialah
membunuh. perkataan itu untuk mengejek Nabi Ibrahim a.s.
Selain empat istilah di atas yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan makna dialog
dan yang sejenis dengannya, dalam tradisi keilmuan Islam juga dikenal ilmu al-munazharah
yang fungsinya sama dengan dialog atau debat.
Tata Cara berdialog menurut al-Qur’an
Pakar sosiolog muslim kenamaan, Ibnu Khaldun, dalam karyanya al-Muqaddimah
mengingatkan betapa pentingnya meletakkan dasar-dasar dan kode etik dialog dan debat.
Daintaranya :

1. Bersih niat dan betujuan mencari kebenaran, (Q.S Hud: 88)


2. Memperhatikan dan mendengarkan lawan bicara dengan baik. (Q.S Thaha : 65)
3. Bersikap adil, obejektif, dan proporsional. (Q.S ali Imran : 113-114)
4. Berbekal ilmu dan argumentasi yang kuat. (Q.S al-Hajj : 3)
5. Menggunakan retorika yang singkat dan jelas. ( Q.S an-Nisa : 46)
6. Memilih kata-kata yang baik, lemah lembut dan tidak keras kepala (Q.S Thaha : 43-
44)
7. Berangkat dari Common Platform (titik persamaan). (Q.S ali Imran : 64)
8. Menghormati lawan bicara dan tidak merendahkannya. (Q.S al-An’am : 108)
9. Menghindari fanatisme berlebihan. ( Q.S al-Baqoroh : 170)
10. Menghindari sikap ngeyel/ingin menang sendiri. ( Q.S al-Kahfi : 22)
Dialog antar umat beragama
Dialog merupakan salah satu bentuk komunikasi dua arah, karena jika komunikasi hanya
berjalan satu arah atau didominasi hanya salah satu pihak, maka itu disebut dengan monolog.
Dialog memberikan kesempatan yang sama bagi kedua belah pihak untuk menyatakan
pendapatnya atau memberikan tanggapan terhadap pendapat pihak lain. Hal itu sejurus
dengan dialog antar umat beragama lain yang diartikan sebagai bentuk komunikasi yang
berbeda dimana masing-masing agama mempunyai kedudukan yang setara dalam proses
komunikasi.
Hubungan baik antar umat beragama memerlukan usaha dari kedua belah pihak untuk
saling menghormati dan saling menjadikan ajaran agama masing-masing sebagai dasar untuk
menghormati hak umat lain dalam sebuah komunitas yang sama. Al-qur’an tidak melarang
komunitas muslim untuk menjalin pertemanan yang baik dengan non muslim, sepanjang
mereka tidak memerangi komunitas muslim dalam agama dan tidak mengusir dari kampung
halaman mereka, sebagaimana dala al-qur’an disebutkan:

               

               

             

Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim. (Qs al-Mumtahanah:8-9)

Menurut ibnu kasir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka tidak membantu (orang-
orang) untuk memerangi dan mengusirmu. dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa allah
tidak melarang kamu menjalin hubungan baik dengan orang-orang kafir yang tidak
memerangimu karena agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka.

Penutup

Ayat-ayat al-Qur’an yang penulis paparkan di atas menunjukkan, bahwa Islam telah
mengatur segala aspek kehidupan termasuk dialog di dalamnya. Dalam Al-Qur’an, istilah
yang berdekatan dengan makna dialog antara lain al-hiwar, al-jadal, al-mira’ dan al-
muhajjah. Mengingat adanya kemungkinan ditolak dan diterimanya suatu argument, maka
diperlukan etika yang mengatur proses selama dialog berlangsung, etika itulah yang harus
diamalkan sehingga sebuah dialog tidak menimbulkan perpecahan.
Dialog merupakan salah satu cara untuk saling mengenal dan bekerja sama sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis, baik sesama antar umat beragama ataupun umat beragama lain.
Al-Qur’an telah mengatur secara jelas melalui ayat-ayatnya terkait etika berdialog, dengan
harapan ketika seseorang mengamalkan ayat-ayat tersebut maka akan timbul sebuah dialog
yang tenang tanpa permusuhan, perpecahan apalagi sampai mengeluarkan kata-kata yang
tidak pantas, sehingga menmbulkan perilaku buruk dalam berdialog.

DAFTAR PUSTAKA
Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik). Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Hubungan Antar Umat Beragama. Jakarta,
Departemen Agama RI:2008
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Terj.Tafsir Ibnu Kasir Juz 28.
Bandung, Sinar Baru Algesindo: 2012

Anda mungkin juga menyukai