Anda di halaman 1dari 14

MAQASHID ALQURAN PERSPEKTIF 'IZZUDDIN BIN SA'ID

KASYNIT AL - JAZAIRIY DALAM KITAB UMMAH


MAQASHID

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tafsir Maqashidi

Disusun Oleh:

DYAH AYU KUSUMA WARDANI


NIM: E73218035

LULUK ITA NUR ROSIDAH


NIM: E73218045

DosenPengampu:
DR. MOH. YARDHO, M.TH.I

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan


rahmat, karunia, serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga tugas makalah ini
dapat terselesaikan. Sholawat serta senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
Saw beserta para keluarga, sahabat, dan seluruh insan yang dikehendaki-Nya.
Makalah yang berjudul “Maqashid Alquran Perspektif 'Izzuddin Bin Sa'id
Kasynit Al - Jazairiy dalam Kitab Ummah Maqashid” Ini merupakan prasyarat
aspek penilaian mata kuliah Tafsir Maqashidi. Tidak lupa ucapan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga tugas makalah ini dapat
terselesaikan.
Pada makalah ini dapat terselesikan meski masih banyak salahnya. Sehingga
penyusun memohon maaf dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi terciptannya makalah yang lebih baik lagi.
Terima kasih bagi siapapun yang telah membaca makalah ini dan semoga
bermanfaat.

Surabaya, Mei 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alquran dan Hadis merupakan sumber baku dalam penetapan hukum
Islam dan tidak akan pernah lagi mengalami penambahan setalah wafatnya
Rasulullah SAW. Teks-teks Alquran bersifat global, untuk memahaminya
dibutuhkan berbagai macam kajian serta pendekatan-pendekatan baru sesuai
perkembangan kehidupan manusia, dengan adanya pendekatan-pendekatan
tersebut muncul tren baru dalam beberapa dekade terakhir ini untuk menafsirkan
ayat-ayat Alquran melalui pendekatan maqâshid yang dikenal dengan al-tafsîr al-
maqâshid. Hal ini banyak dikembangkan oleh para ulama kontemporer yang
berupaya menafsirkan ayat-ayat Alquran melalui pendekatan maqâshid baik itu
maqâshid al-Qurân maupun maqâshid al-shari‟ah yang terlebih dahulu dijadikan
sebagai landasan kaidah dalam menginterpretasikan ayat-ayat Alquran.
Maqâshid al-Qurân sudah dikenal sejak lama dalam khazanah keilmuan
namun secara parsial, dan telah ditulis dalam berbagai sumber, berdasarkan dari
data-data yang menunjukkan penggunaan istilah maqâshid Alquran itu sendiri
dalam berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu tafsir dan maqashid al-shari‟ah.
Dalam makalah ini penulis ingin menjelaskan terkait pandangan Izzudin bin Sa‟id
Kasynit, karena ia memiliki pandangan yang berbeda dalam melakukan
pengkajian terhadap maqashid Alquran.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Definisi Maqashid alQur‟an?
2. Bagimana pandangan Maqashid dalam Kitab Ummah Maqashid menurut
prespektif 'Izzuddin Bin Sa'id Kasynit Al – Jazairiy?
3. Bagaimana Cara Mengetahui Maqashid Alquran Perspektif 'Izzuddin Bin
Sa'id Kasynit Al - Jazairiy dalam Kitab Ummah Maqashid ?
BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Maqashid Alquran

Dari segi Bahasa Maqashid maknanya adalah maksud, tujuan yang


terambil dari kata ‫قصذ‬-‫ صذ ُيق‬kemudian berubah bentuk menjadi maqsud dengan
jamaknya maqashid. Manna‟ Al-Qattan dalam kitabnya menyebutkan bahwa kata
Maqashid al Qur‟an adalah bentuk plural dari kata Maqashad yang bermakna
tempat yang diorientasikan atau dituju. Sedangkan Alquran diambil dari kata
qara‟a yang bermakna kumpulan atau himpunan, karena Alquran menghimpun
huruf kalimat dan ayat-ayat Alquran.

Maka secara bahasa, makna Maqashid Alquran mempunyai arti sebagai


orientasi atau tujuan Alquran. Maqashid dalam istilah Penggunaan istilah
“maqasid” belum ada istilah yang disepakati ulama‟ tentang makna Maqashid
Alquran, arti dari kata ini (yaitu kehendak hasil dari tindakan, tetapi Alquran
menggunakan beberapa persamaanya sebagai penggantinya. Muhammad Rasyid
Ridha dalam Wahyu al-Muhammadiy mengatakan bahwa seseungguhnya
Maqashid Alquran adalah untuk memperbaiki individu, masyarakat dan kaum.
Mereka diarahkan ke ajlan yang benar, terbentuknya persaudaraan sesama
manusia, meningkatkan akal, serta mensucikan hati mereka.1

Pandangan Maqashid dalam Kitab Ummah Maqashid Menurut Prespektif


'Izzuddin Bin Sa'id Kasynit Al – Jazairiy

Perbedaan antara tujuan Al-Qur'an dan tujuan hukum Islam. Sehingga dua
konsep dari dua frasa tersebut bertepatan: tujuan Al-Qur'an dan tujuan hukum
Islam. Masalahnya dapat diteliti dari dua sudut: yang satu adalah dengan
membandingkan definisi satu sama lain. Pandangan pertama pada dua frasa
1
Zul Anwar Akim Harahap, Konsep Maqasid Al-Syariah Sebagai Dasar Penetapan dan
penerapannya dalam Hukum Islam, Tazkir Vol. 9 Juli-Desember 2014.
sebelumnya mengarahkan kita untuk mempersingkat perbandingan antara Al-
Qur'an dan Syariah Islam. Artinya apakah Quran itu hukum Islam? Adapun yang
kedua, untuk mempertimbangkan sejauh mana mata pelajaran yang dibahas oleh
para ulama tentang tujuan syariah.2

Persyaratan pertama: Syariah dalam bahasa adalah pernyataan dan


demonstrasi. Dan Syariah, cara menyiram, katanya, adalah: jalan yang melaluinya
seseorang dapat mencapai air di mana kehidupan berada. Dan dari situ jalan
karena itu jalan menuju tujuan. Syariah adalah jalan dalam beragama.
Berdasarkan hal ini, Al-Qunawi mendefinisikannya sebagai “metode yang tampak
dalam agama.” Al-Qurtubi mendefinisikannya sebagai “metode nyata yang
dengannya dia mencapai keselamatan”. Syariah adalah setiap metode yang
ditetapkan oleh status ketuhanan. didirikan oleh salah satu Nabi.

Dia juga berkata: "Syariah" adalah apa yang Tuhan Yang Maha Kuasa
telah undang-undang untuk hamba-hamba-Nya dari putusan bahwa bukunya Al-
Manzil, dan Rasul-Nya, diturunkan kepadanya dari-Nya Yang Maha Kuasa,
apakah itu berhubungan dengan cara dia bekerja; mereka disebut pembantu dan
praktis, dan tanpa ilmu fikih. Atau bagaimana keyakinan; mereka disebut orisinal
dan berkeyakinan, tanpa Dia memiliki ilmu teologi. Syariah disebut juga agama
dan agama. ”Demikian yang dikatakan Al-Shatibi sebelumnya dengan
mengatakan:“ Makna Syariah adalah bahwa hal itu mendesak mereka yang
dituntut dengan batasan dalam tindakan, perkataan dan keyakinan mereka, dan ini
adalah keseluruhan dari apa yang termasuk”. Inilah yang didefinisikan oleh Al-
Thanawi dalam pramuka. Kemudian dia berkata: "Hukum itu seperti syariat,
setiap perbuatan atau kelalaian adalah khusus untuk salah satu nabi, baik secara
eksplisit maupun indikatif. ” Adapun keaslian makna idiomatik dalam arti
linguistik, kata Abu al-Saud dalam tafsirnya. : “Syariah dan Syariah adalah jalan
menuju air. Siapa yang menyamakannya sebagai jalan penghubung. Untuk apa
penyebab kehidupan kekal seperti air adalah penyebab kehidupan fana. Al-Tabari

2
Izzudin bin Said Kasynit al Jazairiy, Ummahatu Maqoshidul Qur'an, (Jordan: Dar
Majdalawi Pub&Dis, 2011), hal 70.
mengutip dengan rantai transmisi dari Qatada yang mengatakan: “Agama itu satu
dan Syariah itu berbeda”. Dan itu adalah pepatah dari sebagian besar komentator
dalam interpretasi perkataan Yang Mahakuasa: Di samping kalian masing-masing
kami telah membuat hukumnya dan menyerang mereka, dan jika Tuhan
menghendaki, dia akan mengatakan bahwa itu adalah Oujda.

Dan dia menyimpulkan apa yang dibuktikan dalam Bukhari atas otoritas
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw Dan dia berkata: Kami adalah para nabi,
saudara yang saleh, agama kami adalah satu. Dia berkata: “Dengan ini berarti
tauhid yang dikirim Tuhan setiap utusan yang Dia kirim dan termasuk setiap kitab
yang Dia ungkapkan, seperti Yang Maha Kuasa berkata: Dia berkata kepada:
{Kami tidak mengirim darimu sebelum kamu dari seorang utusan kecuali wahyu
yang ada di sana tidak ada tuhan selain aku, jadi sembahlah aku 4 nabi: Dia juga
berkata: Yang Maha Kuasa berkata: {Dan kamu menjual kami dalam arti bahwa
aku percaya dan tidak menyembah Tuhan dan membawa catatan 6) Al-Nahl: ayat
36. Adapun hukumnya berbeda dalam perintah dan larangannya, sehingga sesuatu
dalam syariat ini mungkin saja dilarang.

Maka diperbolehkan dalam Syariah lain dan sebaliknya, dan itu adalah
keringanan, sehingga ada lebih banyak kesusahan dalam hal ini, karena
kebijaksanaan agung dan argumen yang meyakinkan yang Maha Kuasa miliki
dalam. Dan mereka mendukung bahwa dengan mengatakan Yang Mahakuasa
setelah itu: Aku datang kepadamu) yaitu, untuk membuat hukummu satu, tetapi
untuk membuat hukummu berbeda dan untuk menguji kamu. 3

Dari beberapa pendapat tadi bisa disimpulan bahwa Maqashid al Syari‟ah adalah
tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu
dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan
logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia. Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa, baik secara bahasa maupun
istilah, maqashid al syari‟ah erat kaitannya dengan maksud dan tujuan Allah yang

3
Ibid., 74.
terkandung dalam penetapan suatu hukum yang mempunyai tujuan untuk
kemaslahatan umat manusia.1 Kedua, perbedaan yang nampak diantara maqashid
al-Qur‟an dan maqashid syari‟ah yaitu: kalau Maqasid al-Qur‟an merupakan Usul
al-Maqasid (pokok-pokok Maqasid), sedangkan Maqasid al-Syari‟ah adalah Furu‟
al-Maqasid (cabang-cabang dari Maqasid). Berangkat dari pernyataan di atas,
bahwa Maqasid al-Syari‟ah termasuk bagian dari Maqâsid al-Qur‟an. Karena
Maqasid al-Syari‟ah hanya bertumpu pada ayat al-Ahkam (ayat-ayat hukum) saja,
sedangkan Maqasid al-Qur‟an meliputi seluruh ayat-ayat al-Qur‟an.4

Memperkenalkan Al-Qur’an dan Sifatnya

Cara mengetahui Maqashid alqur‟an, dan mengambilnya.

Masuk dalam dua bagian:


1. Mengetahui cara Maqashid al-Qur‟an
Pembahasan pertama : Metode ekstraksi Maqashid al-Qur‟an dari lafz al
Iradah ilahiyyah dalam al-Qur‟an.
Pembahasan kedua : Metode ekstraksi Maqashid al-Qur‟an dari
penjelasan interupsi kitab dan sunnah.
Pembahasan ketiga : Metode ekstraksi Maqashid al-Qur‟an melalui
nama-nama dan sifat.
Pembahasan keempat : Metode ekstraksi Maqashid al-Qur‟an melalui
karakteristik umum.
Pembahasan kelima : Metode ektraksi Maqashid al-Qur‟an melalui
rakyaknya.
Pembahasan keenam : Metode ekstraksi Maqashid al-Qur‟an dari
mengetahui kebutuhan orang akan wahyu
2. Ekstraksi besar Maqashid al-Qur‟an al-Karim
Pembahasan awal : ekstrak apa yang telah disahkan al-Qur‟an dari
induk tujuan.

4
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam, (Sultan Agung: Vol XLIV
NO. 118 Juni-Agustus 2009, hal 119.
Pembahasan kedua : ekstrak Maqashid al-Qur‟an dengan sunnah Nabi
yang mulia.
Pembahasan ketiga : menyebutkan ucapan para Ulama‟ di pembagian
al-Qur‟an dan induk tujuan.

Cara Mengetahui Maqashid al-Qur’an

A. Pembahasan pertama: metode ekstrak maqashid al-Qur‟an dari lafz al-Iradah


al-Ilahiyyah dalam al-Qur‟an.

Leluhur yang disebutkan di bab Al Tamhidiyyah lafz yang dimaksud


menunjukkan pada 9 tempat dari al-Qur‟an al-Karim, dan tidak ada yang bisa
difahami Maqashid al-Ilahiyah dari turunnya al-Qur‟an, jadi saya hanyut untuk
mencoba melacak sinonim lainnya lafz al-Maqashid disebutkan dan digunakan
dalam al-Qur‟an yang terdekat indikasi maknanya, itu yang diturunkan dari lafz
al-Iradah.5

Kata al Iradah disebutkan dalam al-Qur‟an al Karim 139 kali dalam


berbagai format, terlampir pada 49 dari lafz adalah yang Ilahi. Dan ini adalah
masalah yang diminta oleh maqam agar saya merujuknya karena keterikatannya
yang kuat dengan topik tersebut. Ini karena kata-kata kehendak ilahi yang
terkandung dalam al-Qur‟an dan yang lainnya tidak menguntungkan arti yang
sama. Berkata al Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah: “dia harus tahu bahwa kehendak
dalam kitab Allah terdiri dari dua jenis: Salah satunya adalah al Iradah al
Kauniyah dan tipe kedua yaitu al-Iradah al Diniyah al Syarifah.6 Kemudian sebar
berita dalam masalah ini7 dia menyebutkan bahwa al Iradah al Kauniyah ialah
kehendak ciptaan, yang merupakan kehendak yang diperlukan untuk terjadinya
niat untuk dikatakan: masya Allah kaana wamaa lam yasya‟ lam yakun,

5
Ibid.,
6
Daqaid al Tafsir (al Jami‟ Tafsir Ibnu Taimiyah), Ahmad bin „Abd al Halim bin
Taimiyah al Harani Abu al „Abbas (728-661), periksa Daqaiq Mohammad al Saeed
Glend: Yayasan Ilmu al Qur‟an/Damaskus, ta 1402/2 H: 528/3.
7
Izzudin bin Said Kasynit al Jazairiy, Umahatu Maqoshidul...
(ٍ‫يك‬ ‫ )يب شبء هللا كبٌ ٔيبنى يشبء نى‬itu berarti (akan) di wajh ini, dia menyatakan
bahwa itu terkait dengan setiap kecelakaan.

Berkata: “dan ini mencakup apa yang akan terjadi dan apa yang tidak akan terjadi,
dan hal itu mungkin diinginkannya, alih-alih, dia ingin dia membimbingnya ke
hadapan apa yang dia cintai atau karena ia adalah kondisi di hadapan apa yang
dicintainya.8

Dia mengutip jenis al Qur‟an semacam ini, seperti yang dikatakan Allah swt
dalam firman Nya Q.S al an‟am 125:

‫ضيِّقًب‬ َ ‫ُّضهَّّٗ يَجْ عَ ْم‬


َ ِٗ ‫ص ْذ َس‬ ِ ْ ‫ص ْذ َس ِٗ ِن‬
ِ ‫ْلس َْْل ِِۚو َٔ َي ٍْ ي ُِّش ْد اَ ٌْ ي‬ َ ْ‫اّٰللُ اَ ٌْ يَّ ْٓ ِذيَّٗ يَ ْش َشح‬
‫فَ ًَ ٍْ ي ُِّش ِد ه‬
‫َد َش ًجب‬

Q.S Hud 34:

ٌْ َ‫ص َخ نَ ُك ْى إِ ٌْ َكبٌَ هللاُ يُ ِش ْيذُ أ‬


َ َْ َ‫ت أَ ٌْ أ‬
ُّ ‫ص ِذى إِ ٌْ أ َ َس ْد‬
ْ َُ ‫(ٔ ََليَ ُْفَعُ ُك ْى‬
َ :‫ قبل تعبنى‬: ّ‫ٔقٕن‬
‫يَ ْغ ِٕيَ ُك ْى ‘ ْ َُٕ َسبُّ ُك ْى‬

Q.S al Sajdah 13:

‫(ٔنَ ْٕ ِشئَُْب ََلَتَ ْيَُب ُك ُّم ََ ْف ٍس ُْذآى َٓب‬


َ :‫ قَب َل تَعَبنَى‬:ُُّ‫َٔقَ ْٕن‬

Dan tipe kedua adalah al Iradah al Diniyah al Syar‟iyah: yaitu:


keinginannya untuk apa yang dia perintahkan, itu adalah cinta dan kepuasan
tujuan, cinta keluarganya, ridha dengan mereka, dan hadiahi mereka dengan sopan
santun. Ini sudah termasuk untuk cinta dan ridha komandan dengan apa yang dia
lakukan. Dia menyatakan bahwa ini hanya akan berhubungan dengan kepatuhan.
Itu lebih dekat dengan makna (keinginan). Berkata: “ini adalah makna dari
perkataan kami yang dia inginkan dari pelayannya, dia menginginkannya
untuknya, sama seperti dia menginginkan penasihat kepala penjara yang
disarankan dia mengatakan ini bagus untukmu dan yang paling bermanfaat bagi

8
Minhaj al Sunnah al Nabawiyah, Ibn Taimiyah: 413-412/5.
anda dan jika dia melakukannya, Tuhan mengasihinya dan menyenangkannya”. 9
Dia menyimpulkan untuk tipe ini dengan beberapa ayat, seperti yang dikatakan
Allah swt dalam firman Nya:

‫ قبل‬:ّ‫) ٔفي قٕن‬581:‫(يُ ِش ْيذُ هللاُ ِب ُك ُى انيُس َْش َٔ ََليُ ِش ْيذُ ِب ُك ُى ْانعُس َْش (انبقشة‬
ٌْ َ‫ت أ‬ َّ ‫ة َعهَ ْي ُك ْى َٔيُ ِش ْيذُ انَّ ِزيٍَْ يَتَّبِعُ ٌَْٕ ان‬
ِ ‫ش َٓ َٕا‬ َ ْٕ ُ ‫(ٔهللاُ يُ ِش ْيذُ أَ ٌْ يَت‬
َ :‫تعبنى‬
ُ ‫س‬
ٌ‫ب‬ َ َْ ‫اإل‬
ِ َ‫ع ُْ ُك ْى ‘ َٔ ُخهِق‬ َ ّ‫) يُ ِش ْيذُ هللاُ أَ ٌْ يُ َخ ِف‬72(‫ت ًَِ ْيهُ ْٕا َيي ًْْل َع ِظ ْي ًًب‬
َ ‫ف‬
ُ‫ ( َيب يُ ِش ْيذُ هللا‬:‫ قبل تعبنى‬:ّ‫ ) ٔفي قٕن‬78-72 :‫)( انُسبء‬78( ‫ض ِع ْيفًب‬ َ
َ ُ‫نكٍ يُ ِش ْيذُ ِني‬
)6(‫ط ِّٓ َش ُك ْى َٔ ِنيُتِ َّى َِ ْع ًَتَُّ َعهَ ْي ُك ْى‬ ٍ ‫ِن َيجْ َع َم َعهَ ْي ُك ْى ِي ٍْ َد َش‬
ْ َٔ ‫ج‬
10
.‫) ٔأيثبل رنك‬6( :‫انًبئذة‬

Kemudian berkata: “ini akan mengharuskan terjadinya niat kecuali itu


berhubungan dengan tipe pertama dari al Iradah itu sebabnya pembagiannya
empat:

- Salah satunya terkait dengan dua al Iradah; itulah yang terjadi di hadapan
perbuatan baik, karena Allah ingin dia memiliki agama dan hukum, jadi saya
memerintahnya, mencintainya, meridhainya dan dia menginginkan kehendak
tenang, jika bukan karena itu, itu tidak akan terjadi.
- Yang kedua hanya terkait dengan kehendak agama; inilah yang diperintahkan
Allah dari pekerjaan baik, jadi tidak taat kepada orang-orang kafir dan orang
fasik, ini semua adalah kehendak agama dan dia menyukainya, meridhainya
bahkan jika dia patuh, dan bahkan jika dia tidak patuh.
- Yang ketiga hanya terkait dengan kehendak universal saja; inilah yang dia
hargai dan inginkan dari insiden yang tidak dia perintahkan, seperti tindakan
dan dosa yang diizinkan., dia tidak memerintahkannya, tidak meridhainya, dan
tidak menyukainnya. Karena Dia tidak memerintahkan berbuat keji, dan Dia
tidak ridha dengan hamba-hamba yang kufur, dan jika bukan kehendak,

9
Sumber yang sama: halaman itu sendiri
10
Terlihat al Minhaj al Sunnah al Nabawiyah: 5/413. Dan Qaedah fi al Zuhd wa al Wara‟,
Ibn Taimiyah: 10/581-582, risalah tafsir al Jami‟ dalam tafsir Ibn Taimiyah: 3/529.
kekuatan dan ciptaan-Nya, itulah sebabnya ada dan sebab keberadaan-Nya,
karena apa yang dihendaki Allah ada maka ada, dan apa yang tidak Dia
kehendaki maka tidak ada. )ٍ‫يك‬ ‫(يبشآء هللا كبٌ ٔيبنى يشؤ نى‬.
- Yang keempat tidak terkait dengan al Iradah ini dan sesuatu yang terkait; ini
adalah jenis dan dosa yang tidak diizinkan11.

Dengan demikian, apa yang berhubungan dengan istilah-istilah itu dalam


pengertian formatif yang menentukan, yang dapat menunjukkan apa yang
diinginkan Allah swt dari para komisioner dalam apa yang diungkapkan kepada
mereka dari al Qur‟an.

Jika ini diputuskan, maka tidak ada kata untuk kehendak (al Iradah) dalam
al Qur‟an bagi kita hanya 13 pengucapan/lafz itu disebutkan dalam ayat-ayat
berikut; (al Baqarah 26 & 185) tiga kali di (al Nisa‟ 26-28) – (al Maidah; 1), dan
dua kali di (al Maidah ;6) – dan di (al Anfal; 67) – dan di (al Ahzab; 33) – dan dua
kali di (al Dzariyat 56-57) – (al Jinn; 10). Jadi kata ini disebutkan 13 kali dalam al
Qur‟an membawa makna tujuan Ilahi.

B. Topik kedua – metode untuk penggalian tujuan al Qur‟an melalui penjelasan


al Qur‟an dan Sunnah.

Sebelum merujuk pada pernyataan metode al Qur‟an, dan metode kenabian


untuk menjelaskan tujuan dari seluruh al Qur‟an. Saya merasa wajib untuk
menyederhanakan metode deduksi orang dan jalan mereka dalam menggali
metode di perguruan tinggi ini/kuliah, saya melihat topik itu cukup penting bagi
seorang individu di bagian ini, ini adalah karena alasan dan alasan adalah dasar
untuk mengatatakan maksud, dan cara terkuat untuk melakukannya.

Orang-orang Islam mengambil ketentuan agama dan ajaran mereka dari kitab
Allah swt, jika mereka menemukan hukum sesuai dalam sunnah Nabi saw seperti
yang ditunjukkan dari Allah swt, tujuannya, jika masalahnya tersembunyi dari
mereka, lihat pada Ijma‟ Mujtahid bangsa, jika mereka tidak menemukan apa pun

11
Daqaiq al Tafsir al Jami’ pada tafsir Ibn Taimiyah: 3/529.
dalam semua teks-teks ini, buat analogi yang sangat berawan terutama
berdasarkan pada melihat penyakit-penyakit dari keputusan yang dibawa oleh
teks-teks ini, dan perhatikan makna, kebijaksanaan, dan niat mereka.12

12
Izzudin bin Sa‟id Kasynith al Jazairi, Ummahat Maqashid...
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tafsir Maqashidi dalam perkembangannya akan ada masalah-masalah


hukum yang tidak dibahas atau tidak ditemukan pembahasannya secara zahir
dalam nash, dimana masalah-masalah itu pada hakekatnya bisa berdampak positif
untuk kehidupan manusia.

Langkah yang hampir serupa ditawarkan oleh Ibn „Asyur, namun beliau
memberikan catatan penting sebelum mengemukakan cara-cara untuk mengetahui
Maqashid al Syari‟ah. Ibn „Asyur mengatakan bahwa penjelasan yang akan ia
kemukakan tentang cara-cara untuk mengetahui Maqashid bukanlah merupakan
ketetapan yang bersifat absolut, akan tetapi cara-cara tersebut merupakan indikasi
adanya maqashid al syari‟ah dalam penetapan suatu hukum.

Menurutnya pula, para pengkaji maqashid al syari‟ah harus bersifat


objektif, netral dan tidak fanatik terhadap pendapat dan hasil ijtihad sebelumnya
dalam menetapkan tujuan di balik pensyariatan.
Daftar Pustaka

Daqaid al Tafsir (al Jami‟ Tafsir Ibnu Taimiyah), Ahmad bin „Abd al Halim bin
Taimiyah al Harani Abu al „Abbas (728-661), periksa Daqaiq Mohammad al
Saeed Glend: Yayasan Ilmu al Qur‟an/Damaskus, ta 1402/2 H: 528/3.

Izzudin bin Said Kasynit al Jazairiy, Ummahatu Maqoshidul Qur'an, (Jordan: Dar
Majdalawi Pub&Dis, 2011).

Shidiq, Ghofar. Teori Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam, Sultan Agung:
Vol XLIV NO. 118 Juni-Agustus 2009.

Terlihat al Minhaj al Sunnah al Nabawiyah: 5/413. Dan Qaedah fi al Zuhd wa al


Wara‟, Ibn Taimiyah: 10/581-582, risalah tafsir al Jami‟ dalam tafsir Ibn
Taimiyah: 3/529.
Zul Anwar Akim Harahap, Konsep Maqasid Al-Syariah Sebagai Dasar
Penetapan dan penerapannya dalam Hukum Islam, Tazkir Vol. 9 Juli-
Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai