Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk dipergunakan dalam
membuat tafsir. Tafsirnya dimulai dengan menyebutkan sebab-sebab turunnya
ayat itu. Kemudian tahu arti mufradat, kemudian menjelaskan duduk
persoalannya, susunan huruf, menerangkan bentuk balaghah dari i’rab sampai
kepada membatasi arti. Selepeas itu menerangkan artinya secara umum dan
menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada
masanya. Kemudian mengambil kesimpulah-kesimpulan dan hukum-
hukumnya dan menyebutkan hal-hal yang bersesuaian dan mengikat diantara
ayat-ayat permulaan dengan kemudian. Yang demikian itu dihitung menurut
apa yang berlaku bagi peraturan jalan pembicaraan.1
1
Mana’ul Quthan.(1995). Pembahasan Ilmu Al-Qur‘an 2. Jakarta: PT Rineka Cipta. h.
171-172
D. Pokok Pegangan dalam Menafsirkan Al-Qur‘an
Bila seorang mufassir hendak menafsirkan suatu ayat, maka hendaknya
melihat pokok-pokok pegangan sebagai berikut:
1. Mencari tafsir ayat tersebut dalam Al-Qur‘an itu sendiri.
Hal ini dapat dilakukan karena acap kali ayat itu bersifat ringkas di suatu
tempat, sedang keterangannya terdapat di tempat lain. Tegasnya ayat itu
ditafsirkan dengan ayat.
2. Melihat As-Sunnah atau Hadits.
Apabila seorang mufassir tidak menemukan dalam ayat lain, maka
hendaklah mencari As-Sunnah atau hadits.
3. Melihat Keterangan Para Sahabat.
Apabila mufassir tersebut tidak mendapati keterangan dalam As-Sunnah,
maka hendaklah ia mencari keterangan para sahabat karena mereka itu
lebih menegetahui maksud-maksud ayat yang di dengarnya dari Nabi
ﷺdan mereka pun menyaksikan sebab-sebab ayat itu
diturunkan.
4. Melihat Undang-Undang Bahasa Arab
Apabila mufassir tersebut tidak mendapat keteranagn dari para sahabat,
maka barulah ia menggunakan undang-undang bahasa Arab atau
menggunakan ijtihadnya.2
E. Perangkat Ilmu yang Dibutuhkan Mufassir
para mufassir pada dasarnya dituntut supaya memiliki kemampua
akademik (ilmiah) dalam menafsirkan AL-Qur’an, teutama ilmu-ilmu yang
tergolong ke dalam kelompok ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulum Al-Qur’an). Menurut
al-Qadhi Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 544H/1149M), ulum Al-Qur’an itu meliputi
sekitar 77.450 cabang/ranting ilmu. Yang berkisar sekitar 309.800 kata, kemudian
di kalikan empat. Kelipatan empat ini di dasarkan pada pemikiran sebagia ulama
salaf yang memegangi prinsip bahwa setiap kata dala Al-Qur’an memiliki empat
2
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A Fudlali. (2005). Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Penerbit Angkasa. h. 100-101
macam dimensi makna, yakni: makna lahir, makna bathin, serta mempunyai hadd,
dan mathla’. Perhitunga ini dilakukan secara global, tidak melibatkan rangkaian
susuan redaksi Al-Qur’an dari berbagai seginya yang tidak bisa dihiung secara
pasti, kecuali Allah Subhana wa Ta’ala sendiri.3
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an, setiap mufassir dituntut supaya
membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya
telah dikemukakan para ahli tafsir dengan segala macam perbedaanya. Perangkat
ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh As-Suyuthi (dalam Mashuri Sirojuddin Iqbal dan Fudlali.
2005), berjumlah 15 ilmu yaitu:
1. Ilmu Lughah Dengan ilmu lughah dapat diketahui syarah mufradat-
mufradat lafazh dan madlul-madlulnya menurut bentuknya. Dalam hal ini
Mujahid mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk menafsirkan Al-Qur‘an jika tidak
mengetahui seluruh bahasa Arab.
2. Ilmu Nahwu. Denagn ilmu nahwu dapat diketahui taqrib dan I’rab kata-
kata tunggal.
3. Ilmu sharaf/Tashrif. Dengan ilmu ini dapat dketahui bina/mabni dan
sighat-sighat kata-kata tunggal.
4. Mengetahui ilmu Isytiqaaq (akar kata), seperti apakah kata “almasih” itu
berasal dari kata “almashu” atau dari kata (assiyahah).
5. Ilmu Ma’ani. Dengan ilmu ma’ani dapat diketahui khasiyat-khasiyat
susunan pembicaraan dari segi memberi pengertian.
6. Ilmu Bayan. Dengan ilmu bayan dapat diketahui khasiyat-khasiyat
susunan perkataan yang berlain-lainan dari segi jelasnya dilalah dan
samarnya dilalah.
7. Ilmu Badie’. Dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk-bentuk keindahan-
keindahan pembicaraan. (No. 5, 6, dan 7 disebut ilmu balaghah). Dengan
ilmu balaghah dapat diketahui i’jaz-i’jaz Al-Qur‘an.
3
Muhammad Amin Suma. (2013). Ulumul Qur‘ an. Jakarta: RajaGrafindo. h. 402-403
8. Ilmu Qiraat. Dengan ilmu qiraat dapat diketahui bagaimana kita
membunyikan ayat-ayat Al-Qur‘an dan dapat kita tarjihkan sebahagian
kemuhtamilan atas sebahagiannya.
9. Ilmu Ushuluddin (ilmu Tauhid). Dengan ilmu tauhid dapat kita
mengetahui ayat-ayat yang menunjukkan kepada sifat-sifat Allah yang
jaiz, yang mustahil dan yang wajib bagi-Nya.
10. Ilmu Ushul fiqih. Dengan ilmu ushul fiqh dapat diketahui bentuk istidlal
(menjadikan dalil) bagi hukum-hukum dan cara mengistibath hukum-
hukum.
11. Ilmu Asbabun Nuzul dan qisah-qisah. Dengan ilmu asbabun nuzul dapat
diketahui maksud ayat yang diturukan.
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat diketahui ayat mana yang
telah dimansukh (dihapus hukumnya) dan ayat yang mana yang menjadi
nasikhnya (yang menghapuskan) agar dapat diketahui ketetapan
hukumnya.
13. Ilmu Fiqih.
14. Hadits-hadits. Dengan hadits-hadits dapat diketahui yang mujmal, yang
mubham.
15. Ilmu Muhaabah, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada orang yang
beramal dengan ilmunya. Sebab tidak mungkin seseorang itu
mengetahui/memahami wahyu/ayat jika orang itu ahli bid’ah atau suka
mengerjakan dosa atau hubbuddunya (cinta dunia). Sebagaimana sabda
Nabi ﷺ, yang artinya: “Barangsiapa mengamalkan ilmu
yang
diwariskan Allah, maka ia akan mengetahui apa yang belum
diketahuinya”.4
4
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A Fudlali, Op. cit. h.102-103
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A Fudlali. (2005). Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Penerbit Angkasa#
Muhammad Amin Suma. (2013). Ulumul Qur‘ an. Jakarta: RajaGrafindo
Mana’ul Quthan.(1995). Pembahasan Ilmu Al-Qur‘an 2. Jakarta: PT Rineka
Cipta.