Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Mufassir adalah orang yang menafsirkan Al-Qur‘an memiliki peranan


yang penting bahkan turut menentukan bagi pemasyarakatan Al-Qur‘an. Untuk
itu, mufassir perlu memiliki persyaratan-persyaratan tertentu.
Guna menafsirkan Al-Qur‘an yang berkualitas, mufassir mutlak perlu
memiliki prasyarat akademik di samping prasyarat-prasyarat lainnya. Seiring
dengan itu, ada sejumlah kaidah tafsir yang mengatur tentang bagaimana cara
menafsirkan Al-Qur‘an berikut mekanismenya yang mutlak harus diketahui dan
dipedomani oleh para mufassir.
Dengan mengetahui kulifikasi atau prasyarat seorang mufassir, maka
diharapkan kita dapat berhati-hati dalam mengamalkan hasil tafsiran seorang
mufassir.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mufassir
Mufassir adalah orang yang menafsirkan (Al-Qur’an), jamaknya
mufassirun atau mufassirrin. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan
definisi mufassir secara lebih panjang: 
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang
dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan
kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan
mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia
menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”

B. Syarat-Syarat Seorang Mufassir


Untuk dapat menjadi seorang mufassir, seseorang harus memiliki
beberapa persyaratan, baik yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat
diniah (keagamaan) dan terutama syarat-syarat yang bersifat akademik.
Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku pada
keilmuan lainnya ialah bahwa mufassir itu harus orang dewasa (baligh) dan
berakal sehat. Anak kecil dan orang gila tidak bisa diterima penafsirannya.
Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika penafsiran
yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir (‫)اداب المفسر‬, yaitu harus
sehat i’tikadnya (Shihat al-i;tiqad), bagus niatnya (husn al-niyyah), lurus
tujuan/maksudnya (Shihat al-maqshud), baik akhlaknya (husn al-khuluq), dan
patut diteladani amal perbuatannya (al-imtitsal wa al-‘amal).
Syarat lain yang tidak kurang penting ialah beragama Islam (muslim).
Orang kafir tidak dibenarkan menafsirkn Al-Qur’an, karena dia tidak memiliki
kepentingan apapun dengan Al-Qur’an. Karenanya, tidaklah mengerankan jika
hingga dewasa ini, tidak satupun orientalis yang menafsirkan Al-Qur’an dalam
konteksnya yang utuh dan menyeluruh. Meskipun banyak orientalis yang
mencoba menerjemahkan dan mengomentari Al-Qur’an, teetapi yang secara serius
dan sistematis menafsirkan Al-Qur’an kelihatannya tidak ada sama sekali. Lagi
pula penafsiran Al-Qur’an oleh orang-orng orientalis dalam konteks keislaman
yang sesungguhnya memang seyogiyanya tidak boleh terjadi. Alasannya, selain
mereka tidak berkepentingan juga terutama dikhawatirkan akan menimbulkan
kekacaua baik di kalangan umat Islam secara internal malahan terbuka
kemungkinan konflik secara eksternal dengan umat beragama lain.
Adapun persyaratan-persyaratan akademik yang harus dipenuhi oleh para
mufasssir ialah menguasai perangkat-perangkat keilmuan yang akan diuraikan
lebih jauh pada pembahasan berikutnya.

C. Adab Seorang Mufassir


Adapun adabnya seorang mufassir adalah sebagai berikut:
1. Baik niat dan tujuannya
Bahwa segala pekerjaan itu dimulai dari niat. Ilmu syariat itu yang lebih
diutamakan. Tujuan dari ahli tafsir yaitu kebaikan umum. Menganjurkan
berbuat ma’ruf guna untuk kenbaikan islam.
2. Baik akhlaknya
Ahli-ahli tafsir itu berdidri di atas budi pekerti yang baik dan terpuji.
Jangan sampai bertingkah laku yang keterlaluan. Selian itu dia akan
menjadi contoh teladan oleh banyak orang dalam segi akhlak dan moral.
3. Mengingat perintah Allah dan beramal
Ilmu yang diterima dari orang-orang yang beramal itu hasilnya akan
berlipat ganda. Riwayat hidupnya yang baik akan menjadi contoh dan
ditiru orang lain. Kebanyakan yang menjadi penghalang bagi orang
menjauh air dari lautan ilmu seseorang itu ialah tingkah lakunya yang
buruk, dan tidak cocok perkataan dengan perbuatannya.
4. Meneliti dan memeriksa Al-Qur’an dan hadits
Jangan berbicara atau menulis selain dari apa yang telah ditetapkan oleh
para peneliti sehingga dengan demikian akan terhindar dari kesalahan
dalam berkata-kata dan salah tulis.
5. Bersikap rendah hati dan lemah lembut
Memuji-muji diri sendiri dari segi ilmu akan melunturkan martabatnya
sebagai orang alim dan menjadi penghalang untuk memanfaatkan ilmunya.
6. Tahu harga diri
Diantara hak orang alim adalah tahu harga diri. Dia harus menyadari
bahwa martabat dirinya itu lebih tinggi dari orang-orang yang tidak
berilmu. Sekalipun mempunyai kedudukan, namun dia tidak boleh
mencela dan mengejek orang lain umpamanya terhadap orang yang serng
meminta-minta.
7. Bersikap terus terang dalam kebenaran
Sebaik-baik jihad adalah mengatakan perkataan yang benar dihadapan
sultan yang kejam.
8. Baik laku
Yang harus diusahakan oleh ahli-ahli tafsir ialah hebat dan berwibawa
supaya tampak bagi umum, sikap duduknya tegaknya dan berjalannya itu
tanpa dibuat-buat.
9. Jangan ceroboh
Perkataannya itu jangan tergopoh-gopoh, tidak tentu ujung pangkalnya.
Hendaklah pelan-pelan sehingga dapat dimengerti dan jelas makhraj nya.

Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk dipergunakan dalam
membuat tafsir. Tafsirnya dimulai dengan menyebutkan sebab-sebab turunnya
ayat itu. Kemudian tahu arti mufradat, kemudian menjelaskan duduk
persoalannya, susunan huruf, menerangkan bentuk balaghah dari i’rab sampai
kepada membatasi arti. Selepeas itu menerangkan artinya secara umum dan
menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada
masanya. Kemudian mengambil kesimpulah-kesimpulan dan hukum-
hukumnya dan menyebutkan hal-hal yang bersesuaian dan mengikat diantara
ayat-ayat permulaan dengan kemudian. Yang demikian itu dihitung menurut
apa yang berlaku bagi peraturan jalan pembicaraan.1

1
Mana’ul Quthan.(1995). Pembahasan Ilmu Al-Qur‘an 2. Jakarta: PT Rineka Cipta. h.
171-172
D. Pokok Pegangan dalam Menafsirkan Al-Qur‘an
Bila seorang mufassir hendak menafsirkan suatu ayat, maka hendaknya
melihat pokok-pokok pegangan sebagai berikut:
1. Mencari tafsir ayat tersebut dalam Al-Qur‘an itu sendiri.
Hal ini dapat dilakukan karena acap kali ayat itu bersifat ringkas di suatu
tempat, sedang keterangannya terdapat di tempat lain. Tegasnya ayat itu
ditafsirkan dengan ayat.
2. Melihat As-Sunnah atau Hadits.
Apabila seorang mufassir tidak menemukan dalam ayat lain, maka
hendaklah mencari As-Sunnah atau hadits.
3. Melihat Keterangan Para Sahabat.
Apabila mufassir tersebut tidak mendapati keterangan dalam As-Sunnah,
maka hendaklah ia mencari keterangan para sahabat karena mereka itu
lebih menegetahui maksud-maksud ayat yang di dengarnya dari Nabi
‫ ﷺ‬dan mereka pun menyaksikan sebab-sebab ayat itu
diturunkan.
4. Melihat Undang-Undang Bahasa Arab
Apabila mufassir tersebut tidak mendapat keteranagn dari para sahabat,
maka barulah ia menggunakan undang-undang bahasa Arab atau
menggunakan ijtihadnya.2
E. Perangkat Ilmu yang Dibutuhkan Mufassir
para mufassir pada dasarnya dituntut supaya memiliki kemampua
akademik (ilmiah) dalam menafsirkan AL-Qur’an, teutama ilmu-ilmu yang
tergolong ke dalam kelompok ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulum Al-Qur’an). Menurut
al-Qadhi Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 544H/1149M), ulum Al-Qur’an itu meliputi
sekitar 77.450 cabang/ranting ilmu. Yang berkisar sekitar 309.800 kata, kemudian
di kalikan empat. Kelipatan empat ini di dasarkan pada pemikiran sebagia ulama
salaf yang memegangi prinsip bahwa setiap kata dala Al-Qur’an memiliki empat

2
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A Fudlali. (2005). Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Penerbit Angkasa. h. 100-101
macam dimensi makna, yakni: makna lahir, makna bathin, serta mempunyai hadd,
dan mathla’. Perhitunga ini dilakukan secara global, tidak melibatkan rangkaian
susuan redaksi Al-Qur’an dari berbagai seginya yang tidak bisa dihiung secara
pasti, kecuali Allah Subhana wa Ta’ala sendiri.3
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an, setiap mufassir dituntut supaya
membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya
telah dikemukakan para ahli tafsir dengan segala macam perbedaanya. Perangkat
ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh As-Suyuthi (dalam Mashuri Sirojuddin Iqbal dan Fudlali.
2005), berjumlah 15 ilmu yaitu:
1. Ilmu Lughah Dengan ilmu lughah dapat diketahui syarah mufradat-
mufradat lafazh dan madlul-madlulnya menurut bentuknya. Dalam hal ini
Mujahid mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk menafsirkan Al-Qur‘an jika tidak
mengetahui seluruh bahasa Arab.
2. Ilmu Nahwu. Denagn ilmu nahwu dapat diketahui taqrib dan I’rab kata-
kata tunggal.
3. Ilmu sharaf/Tashrif. Dengan ilmu ini dapat dketahui bina/mabni dan
sighat-sighat kata-kata tunggal.
4. Mengetahui ilmu Isytiqaaq (akar kata), seperti apakah kata “almasih” itu
berasal dari kata “almashu” atau dari kata (assiyahah).
5. Ilmu Ma’ani. Dengan ilmu ma’ani dapat diketahui khasiyat-khasiyat
susunan pembicaraan dari segi memberi pengertian.
6. Ilmu Bayan. Dengan ilmu bayan dapat diketahui khasiyat-khasiyat
susunan perkataan yang berlain-lainan dari segi jelasnya dilalah dan
samarnya dilalah.
7. Ilmu Badie’. Dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk-bentuk keindahan-
keindahan pembicaraan. (No. 5, 6, dan 7 disebut ilmu balaghah). Dengan
ilmu balaghah dapat diketahui i’jaz-i’jaz Al-Qur‘an.

3
Muhammad Amin Suma. (2013). Ulumul Qur‘ an. Jakarta: RajaGrafindo. h. 402-403
8. Ilmu Qiraat. Dengan ilmu qiraat dapat diketahui bagaimana kita
membunyikan ayat-ayat Al-Qur‘an dan dapat kita tarjihkan sebahagian
kemuhtamilan atas sebahagiannya.
9. Ilmu Ushuluddin (ilmu Tauhid). Dengan ilmu tauhid dapat kita
mengetahui ayat-ayat yang menunjukkan kepada sifat-sifat Allah yang
jaiz, yang mustahil dan yang wajib bagi-Nya.
10. Ilmu Ushul fiqih. Dengan ilmu ushul fiqh dapat diketahui bentuk istidlal
(menjadikan dalil) bagi hukum-hukum dan cara mengistibath hukum-
hukum.
11. Ilmu Asbabun Nuzul dan qisah-qisah. Dengan ilmu asbabun nuzul dapat
diketahui maksud ayat yang diturukan.
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat diketahui ayat mana yang
telah dimansukh (dihapus hukumnya) dan ayat yang mana yang menjadi
nasikhnya (yang menghapuskan) agar dapat diketahui ketetapan
hukumnya.
13. Ilmu Fiqih.
14. Hadits-hadits. Dengan hadits-hadits dapat diketahui yang mujmal, yang
mubham.
15. Ilmu Muhaabah, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada orang yang
beramal dengan ilmunya. Sebab tidak mungkin seseorang itu
mengetahui/memahami wahyu/ayat jika orang itu ahli bid’ah atau suka
mengerjakan dosa atau hubbuddunya (cinta dunia). Sebagaimana sabda
Nabi ‫ ﷺ‬, yang artinya: “Barangsiapa mengamalkan ilmu
yang
diwariskan Allah, maka ia akan mengetahui apa yang belum
diketahuinya”.4

4
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A Fudlali, Op. cit. h.102-103
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A Fudlali. (2005). Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Penerbit Angkasa#
Muhammad Amin Suma. (2013). Ulumul Qur‘ an. Jakarta: RajaGrafindo
Mana’ul Quthan.(1995). Pembahasan Ilmu Al-Qur‘an 2. Jakarta: PT Rineka
Cipta.

Anda mungkin juga menyukai