Dalam kajian dan pembelajaran Ilmu Balaghah, teori Majaz adalah primadona.
Bisa dibilang, inti dari Ilmu Balaghahdalam bentuk konvensionalnya yang populer
sampai sekarangadalah bagian yang disebut sebagai Ilmu Bayan, dan inti dari
Ilmu Bayan adalah kajian seputar Majaz sebab di kajian inilah tergelar berbagai
macam teori dan kerumitan persoalan yang amat panjang sejarahnya serta amat
luas perinciannya.
Ulasan mengenai teori Majaz juga jamak ditemukan dalam buku-buku Ushul Fiqih.
Akan tetapi, berbeda dengan kajian Balaghah terhadap majaz yang lebih terfokus
pada nilai sastra yang dihasilkan oleh penggunaan majaz, kajian Ushul Fiqih
terhadap majaz terfokus pada nilai hukum yang muncul akibat penggunaan majaz
dalam pembicaraan.
Kemudian, karena Ilmu Al-Quran (dalam hal ini Tafsir) adalah kajian terhadap teksteks Al-Quran dari berbagai aspeknya, maka kedua fokus sorotan itu pun
bergabung peranannya dalam kajian Tafsir. Ketika melakukan penafsiran, seorang
penafsir ingin menjelaskan keindahan bahasa yang terkandung dalam suatu ayat
Al-Quran sekaligus menjelaskan pengertian-pengertian hukum yang dimaksud oleh
ayat tersebut, baik itu berupa penjelasan mengenai suatu realitas yang dihasilkan
oleh ayat-ayat bernada informasi (khabar) maupun berupa arahan-arahan perintah
dan larangan yang dihasilkan oleh ayat-ayat yang bernada aturan (insy).
Oleh karena itu, kajian seputar teori Majaz pun kemudian menjadi bagian yang
penting dalam buku-buku Ilmu Al-Quran. Bahkan, beberapa ulama mengkhususkan
penulisan buku tertentu untuk mengulas rinci penerapan teori ini dalam rangkaian
ayat-ayat Al-Quranlayaknya sebuah buku tafsir tematik. Ini ditambah lagi dengan
keterkaitan erat teori majaz dengan beberapa tema yang memang sudah jauh
dikenal sebagai fasal-fasal khas dalam Ilmu Al-Quran, semisal bahasan MuhkamMutasybih dan bahasan Takwl.
Nah, apakah sebetulnya teori Majaz itu? Bagaimana pengertiannya dan apa saja
kontroversi yang beredar seputar teori ini? Kemudian, apa perbedaan majaz
dengan bukan majaz dan bagaimana sebuah hal itu dikatakan sebagai majaz?
-1-
Lantas, apa pula pengaruh riil teori dan perselisihan terkait masalah ini terhadap
penfsiran Al-Quran? Inilah tema yang insyaallah akan kita diskusikan kali ini,
dengan pengantar singkat dari saya sebagai berikut:
sebuah
fenomena
pemahaman
(muncul
seiring
dengan
proses
rasionalisasi atas sebuah ungkapan), sehingga yang pertama pun juga dikenal
dengan nama majz lughawiyy dan yang kedua dikenal dengan nama majz
`aqliyy. Pembagian majaz menjadi mufrad/lughawi dan tarkib/isnad/aqly ini
banyak digunakan oleh penulis Balaghah, sementara banyak ditolak oleh
beberapa penulis Ushul Fiqih. Yang akan banyak memicu persoalan memang
adalah majaz jenis pertama.
Di sisi lain, ada pula yang tidak mengenakan pembagian (dikotomi majazhakikat) tersebut kepada ungkapan (kata/kalimat) itu sendiri, melainkan kepada
penggunaan ungkapan (isti`ml). Jadi yang disebut sebagai majaz atau
hakikat bukanlah kata atau kalimatnya, melainkan penggunaan kata atau
kalimat itu sendiri. Lantas, ada pula yang mengenakan dikotomi ini pada
pengertian ungkapan (ma`n: dillah/dallah), yaitu pada maksud yang
diinginkan oleh penutur atau pada pemahaman yang diperoleh komunikan,
-2-
bukan pada ungkapan itu sendiri dan bukan pula pada penggunaannya. Alhasil,
dikotomi majaz-hakikat ini dikenakan pada salah satu atau lebih dari tiga obyek:
ungkapan, penggunaan ungkapan, atau pengertian ungkapan. Yang populer
adalah kacamata yang pertama, meskipun jelas bahwa ketiga hal ini tetap saling
terikat dan takterpisahkan. Ungkapan pun akhirnya dibagi menjadi majaz dan
hakikat.
HAKIKAT?
DAN
tidak
sesuai
dengan
pengertiannya-pada-saat-dicetuskan),
menambahkan
embel-embel
dalam
definisi
majaz
untuk
pengertian
aslinya)
atau
-3-
(karena
hakikat) pun terbagi menjadi empat: majaz bahasa (majz lughawiyy), majaz
agama (majz syar`iyy), majaz budaya (majz `urfiyy `m), dan majaz
terminologi (majz `urfiyy khsh).
Sampai di sini, majaz yang dirincikan pembagiannya adalah majaz jenis mufrad,
yaitu ungkapan yang berupa suatu kata. Bagaimana dengan ungkapan yang
berupa suatu kalimat (majaz aqli; majzu-t-tarkb/majzu-l-isnd)? Seperti saya
singgung di atas, jenis kedua ini ditolak oleh beberapa kalangan. Alasannya
adalah karena tidak sesuai dengan definisi majaz itu sendiri. Majaz didefinisikan
sebagai kata yang digunakan tidak sesuai dengan pengertiannya-pada-saatdicetuskan, sementara suatu kalimat bukanlah sebuah kata. Di samping itu,
bagi pengusung teori Majaz, kalimat adalah rangkaian kata-kata, bukan sebuah
ungkapan yang dicetuskan secara khusus (utuh sebagai sebuah kalimat) dan
diberikan
pengertian
tertentu
(pada
saat
dicetuskan).
Alasan
ketiga,
penyandingan sebuah kata pada kata yang lainnya (isnd) yang terjadi dalam
sebuah kalimat hanya mungkin terjadi pada saat penggunaan kata tersebut
dalam kalimat (isti`ml) dan tidak mungkin terjadi ketika peristiwa pencetusan
kata (wadh`) yang tentunya mendahului penggunaansementara majaz telah
didefinisikan
sebagai
kata
yang
digunakan
tidak
sesuai
dengan
mengangkat
derajat
keberanian
orang
tersebut
melebihi
aslinya
pertama
dari
pertanyaan
mengapa
majaz
digunakan
pada
pembahasan di atas dan tidak sesuai dengan maksud dari teori Majaz.
Tokoh imam populer yang pertama kali terkenal menggunakan terma majaz
adalah
Imam
Ahmad
bin
Hanbal
RH,
yaitu
ketika
mengatakan
bahwa
penggunaan dhamir nahnu dalam Al-Quran untuk menunjuk Allah SWT yang
Maha-Esa dan tidak berbilang adalah min majzi-l-lughah. Sudah lazim dalam
bahasa Arab bahwa sosok yang memiliki kekuasaan lebih serta banyak pasukan
itu kadang menyebut dirinya sebagai Kami. Sampai di sini, teori Majaz belum
menemukan
sandarannya.
Pertama,
karena
Imam
Ahmad
tidak
berbeda
dengan
ungkapan
dhahaku-r-rabb.
Ad-Darimi
mengatakan bahwa yang pertama adalah majz sedangkan yang kedua adalah
hakikat. Apakah ini berarti bahwa teori majaz telah mulai digunakan (di
lingkungan Ahlus Sunnah)? Ungkapan Ad-Darimi masih kurang tegas sehingga
mengandung dua kemungkinan.
Kemungkinan bahwa Ad-Darimi telah menggunakan teori majaz terdukung
karena di situ ada perbandingan terma majaz dengan terma hakikat. Akan
tetapi, kemungkinan ini baru kuat apabila Ad-Darimi juga meyakini bahwa
ungkapan dhahaku-z-zar` itu mengandung tasybh (penyerupaan tanaman
dengan
manusia),
mublaghah
(pengangkatan
derajat
tanaman
melebihi
realitasnya), dan taukd (penegasan akan tasybh dan mublaghah ini). Tanpa
keyakinan ini, maka ungkapan Ad-Darimi barulah menunjukkan pengertian
majaz sebagai m jayzu atau mutasybih (sebagaimana dalam terminologi
Imam Ahmad) sehingga pengertian hakikat dalam ungkapan itu adalah muhkam
(berbentuk tegas). Dikotomi yang ada menjadi sama dengan dikotomi nash dan
zhhir dalam disiplin Ushul Fiqh yang berkisar pada tingkat ketegasan suatu teks
dalam penyampaian makna, bukan terjadi-tidaknya pergeseran makna asal.
Keunikan penggunaan terma majaz ini di era tersebut nampak lagi dalam tulisan
Imam Al-Bukhriyy, walaupun Al-Bukhari mengutipnya dari istilah orang lain
(tanpa menyebut nama). Di situ ditekankan pentingnya membedakan antara
-8-
yang tidak sebenarnya. Terminologi ini menjadi amat dekat dengan teori Majaz
yang
memaksudkan
majaz
sebagai
sebuah
tasybih
(penyerupaan)
dan
yaitu
konsekwensi
bahwa
majaz
dalam
teori
ini
ternyata
- 10 -