Anda di halaman 1dari 10

TEORI MAJAZ DAN PENGARUHNYA DALAM PENAFSIRAN

Bismillh wa-l-hamdu li-llh.

Dalam kajian dan pembelajaran Ilmu Balaghah, teori Majaz adalah primadona.
Bisa dibilang, inti dari Ilmu Balaghahdalam bentuk konvensionalnya yang populer
sampai sekarangadalah bagian yang disebut sebagai Ilmu Bayan, dan inti dari
Ilmu Bayan adalah kajian seputar Majaz sebab di kajian inilah tergelar berbagai
macam teori dan kerumitan persoalan yang amat panjang sejarahnya serta amat
luas perinciannya.
Ulasan mengenai teori Majaz juga jamak ditemukan dalam buku-buku Ushul Fiqih.
Akan tetapi, berbeda dengan kajian Balaghah terhadap majaz yang lebih terfokus
pada nilai sastra yang dihasilkan oleh penggunaan majaz, kajian Ushul Fiqih
terhadap majaz terfokus pada nilai hukum yang muncul akibat penggunaan majaz
dalam pembicaraan.
Kemudian, karena Ilmu Al-Quran (dalam hal ini Tafsir) adalah kajian terhadap teksteks Al-Quran dari berbagai aspeknya, maka kedua fokus sorotan itu pun
bergabung peranannya dalam kajian Tafsir. Ketika melakukan penafsiran, seorang
penafsir ingin menjelaskan keindahan bahasa yang terkandung dalam suatu ayat
Al-Quran sekaligus menjelaskan pengertian-pengertian hukum yang dimaksud oleh
ayat tersebut, baik itu berupa penjelasan mengenai suatu realitas yang dihasilkan
oleh ayat-ayat bernada informasi (khabar) maupun berupa arahan-arahan perintah
dan larangan yang dihasilkan oleh ayat-ayat yang bernada aturan (insy).
Oleh karena itu, kajian seputar teori Majaz pun kemudian menjadi bagian yang
penting dalam buku-buku Ilmu Al-Quran. Bahkan, beberapa ulama mengkhususkan
penulisan buku tertentu untuk mengulas rinci penerapan teori ini dalam rangkaian
ayat-ayat Al-Quranlayaknya sebuah buku tafsir tematik. Ini ditambah lagi dengan
keterkaitan erat teori majaz dengan beberapa tema yang memang sudah jauh
dikenal sebagai fasal-fasal khas dalam Ilmu Al-Quran, semisal bahasan MuhkamMutasybih dan bahasan Takwl.
Nah, apakah sebetulnya teori Majaz itu? Bagaimana pengertiannya dan apa saja
kontroversi yang beredar seputar teori ini? Kemudian, apa perbedaan majaz
dengan bukan majaz dan bagaimana sebuah hal itu dikatakan sebagai majaz?
-1-

Lantas, apa pula pengaruh riil teori dan perselisihan terkait masalah ini terhadap
penfsiran Al-Quran? Inilah tema yang insyaallah akan kita diskusikan kali ini,
dengan pengantar singkat dari saya sebagai berikut:

1. APA ITU TEORI MAJAZ?


Jamak dikenal bahwa dalam Ilmu Bayan, para penulis buku Balaghah membagi
suatu ungkapan sesuai arah maknanya menjadi dua bagian. Bagian pertama
disebut Majaz dan bagian kedua disebut Hakikat. Ini pulalah yang kita
temukan dalam buku-buku Ushul Fiqh belakangan. Dan, inilah yang saya
maksud dengan teori Majaz, yaitu pembagian ungkapan sesuai maknanya
menjadi majaz dan bukan majaz. Ungkapan yang bukan majaz itu biasa disebut
sebagai hakikat, atau mencakup apa yang disebut sebagai hakikat sekaligus
apa yang bukan majaz sekaligus bukan hakikat.
Pembagian ini biasa dikenakan pada suatu kata (lafzh mufrad). Ada pula yang
sekaligus mengenakannya pada suatu kalimat (tarkb) sehingga dikenallah
sebuah pembagian atas majaz menjadi dua, yaitu majzu-l-mufrad dan majzut-tarkb atau majzu-l-isnd. Majaz jenis pertama dianggap sebagai sebuah
fenomena kebahasaan (muncul seiring dengan tabiat bahasa dalam penggunaan
suatu kata untuk suatu maksud), sementara majaz jenis kedua dianggap
sebagai

sebuah

fenomena

pemahaman

(muncul

seiring

dengan

proses

rasionalisasi atas sebuah ungkapan), sehingga yang pertama pun juga dikenal
dengan nama majz lughawiyy dan yang kedua dikenal dengan nama majz
`aqliyy. Pembagian majaz menjadi mufrad/lughawi dan tarkib/isnad/aqly ini
banyak digunakan oleh penulis Balaghah, sementara banyak ditolak oleh
beberapa penulis Ushul Fiqih. Yang akan banyak memicu persoalan memang
adalah majaz jenis pertama.
Di sisi lain, ada pula yang tidak mengenakan pembagian (dikotomi majazhakikat) tersebut kepada ungkapan (kata/kalimat) itu sendiri, melainkan kepada
penggunaan ungkapan (isti`ml). Jadi yang disebut sebagai majaz atau
hakikat bukanlah kata atau kalimatnya, melainkan penggunaan kata atau
kalimat itu sendiri. Lantas, ada pula yang mengenakan dikotomi ini pada
pengertian ungkapan (ma`n: dillah/dallah), yaitu pada maksud yang
diinginkan oleh penutur atau pada pemahaman yang diperoleh komunikan,
-2-

bukan pada ungkapan itu sendiri dan bukan pula pada penggunaannya. Alhasil,
dikotomi majaz-hakikat ini dikenakan pada salah satu atau lebih dari tiga obyek:
ungkapan, penggunaan ungkapan, atau pengertian ungkapan. Yang populer
adalah kacamata yang pertama, meskipun jelas bahwa ketiga hal ini tetap saling
terikat dan takterpisahkan. Ungkapan pun akhirnya dibagi menjadi majaz dan
hakikat.

2. APA PENGERTIAN MAJAZ

HAKIKAT?

DAN

Majaz akhirnya didefinisikan sebagai ( kata yang


digunakan

tidak

sesuai

dengan

pengertiannya-pada-saat-dicetuskan),

sedangkan hakikat didefinisikan sebaliknya, yaitu


(kata yang digunakan sesuai dengan pengertiannya-pada-saat-dicetuskan). Ini
berarti bahwa ada kata (lafzh), ada pencetusan arti kata (wadh`), dan ada
penggunaan kata (isti`ml) secara sesuai atau berbeda dengan pengertiannya
pada saat dicetuskan (pengertian aslinya). Bagaimana dengan status kata ketika
ia sudah dicetuskan dan sudah diberikan arti tetapi belum digunakan? Ini
merupakan pertanyaan yang jawabannya akan menjadi salah satu kunci
pemecah persoalan kontroversi hakikat dan majaz nantinya. Yang jelas, dikotomi
majaz dan hakikat sangat erat kaitannya dengan penggunaan dan pengertian
sebab dua hal ini merupakan unsur dari definisinya (bagian dari identitasnya).
Sebuah kata hanya menjadi majaz atau hakikat bisa ia sedang digunakan untuk
suatu pengertian. Pada saat tidak digunakan, ia bukanlah hakikat dan bukan
pula majaz.
Dalam teori ini, kata yang digunakan dalam pengertian aslinya (sepadan dengan
istilah denotatif) disebut sebagai hakikat, sementara yang digunakan dalam
pengertian yang berbeda dengan pengertian aslinya itu (konotatif) disebut
sebagai majaz. Akan tetapi, definisi ini terlalu umum sehingga akan juga
mencakup banyak hal yang tidak diinginkan sebagai majaz, yaitu kata yang
digunakan secara salah (ghalath), nama diri (`alam) yang diambilkan dari
sebuah kata dalam bahasa, dan suatu kata yang diberikan pengertian yang
sama sekali baru (naql; wadh`un jadd). Oleh karena itu, beberapa pihak
kemudian

menambahkan

embel-embel

dalam

definisi

majaz

untuk

mengeluarkan entitas-entitas ini, yaitu: ( karena suatu keterkaitan


dengan

pengertian

aslinya)

atau

-3-

(karena

memperhatikan keterkaitan dengan pengertian aslinya). Dengan embel-embel


ini, yang disebut sebagai majaz hanya kata-kata yang digunakan di luar
pengertian aslinya lantaran adanya suatu hubungan khusus dengan pengertian
tersebut. Kata yang tidak mempunyai hubungan khusus dengan hakikat tidaklah
disebut sebagai majaz.
Ketika menjadikan majaz itu sebagai seuatu yang tidak sesuai dengan aslinya,
maka berarti majaz adalah golongan minor sedangkan hakikat adalah golongan
mayornya. Atau majaz adalah golongan cabang sementara hakikat adalah
golongan induknya. Nah, ini memunculkan persoalan baru sebab apa yang
disebut sebagai majaz itu sering sekali dalam suatu ruang lingkup tertentu
(tradisi, budaya, agama, disiplin ilmu, komunitas parsial, atau kebiasaan khusus)
menjadi amat populer sehingga mengalahkan hakikatnya. Kadang-kadang, dari
majaz ini pun kemudian terlahir majaz baru sehingga ia menjadi hakikat-relatif
dari majaz baru tersebut. Majaz baru itu pun kadang juga kemudian menjadi
hakikat-relatif pula karena sudah lahir majaz lagi (generasi keempat) yang
menginduk kepadanya. Nah, untuk menghindari kedua persoalan ini, banyak
pihak kemudian menambahkan embel-embel lagi pada definisi majaz, yaitu
menjadi ( ketika dicetuskan pertama kali)
sehingga hakikat-hakikat relatif tadi tidak lagi menjadi hakikat, melainkan utuh
menjadi majaz.
Hanya saja, ruang lingkup yang sangat kental seperti agama, budaya umum,
dan disiplin ilmu adalah ruang lingkup yang amat kuat kandungan penggunaan
bahasa di dalamnya. Untuk mengatasi hal ini, maka embel-embel tambahan pun
diberikan, yaitu ( dalam ruang lingkup pembicaraannya). Ini
berarti, apabila ruang lingkupnya agama (asy-syar`), maka peralihan sebuah
kata dari hakikat menjadi majaz yang dilakukan oleh agama akan dianggap juga
sebagai pencetusan baru yang berarti kata majaz yang dihasilkan adalah
hakikat baru dalam ruang lingkup tersebut. Jadi, kata itu adalah majaz secara
bahasa-asal tetapi hakikat secara terminologi-agama. Ketika hakikat baru dalam
raung lingkup agama ini kembali digunakan dalam pengertian aslinya pada
bahasa asal, maka ia pun berstatus sebagai majaz agama (majz syar`iyy)
walaupun merupakan hakikat bahasa (haqqah lughawiyyah). Teori ini juga
diberlakukan pada ruang lingkup budaya umum dan ruang lingkup komunitas
khusus semisal disiplin ilmu tertentu, sehingga pada akhirnya majaz (dan juga
-4-

hakikat) pun terbagi menjadi empat: majaz bahasa (majz lughawiyy), majaz
agama (majz syar`iyy), majaz budaya (majz `urfiyy `m), dan majaz
terminologi (majz `urfiyy khsh).
Sampai di sini, majaz yang dirincikan pembagiannya adalah majaz jenis mufrad,
yaitu ungkapan yang berupa suatu kata. Bagaimana dengan ungkapan yang
berupa suatu kalimat (majaz aqli; majzu-t-tarkb/majzu-l-isnd)? Seperti saya
singgung di atas, jenis kedua ini ditolak oleh beberapa kalangan. Alasannya
adalah karena tidak sesuai dengan definisi majaz itu sendiri. Majaz didefinisikan
sebagai kata yang digunakan tidak sesuai dengan pengertiannya-pada-saatdicetuskan, sementara suatu kalimat bukanlah sebuah kata. Di samping itu,
bagi pengusung teori Majaz, kalimat adalah rangkaian kata-kata, bukan sebuah
ungkapan yang dicetuskan secara khusus (utuh sebagai sebuah kalimat) dan
diberikan

pengertian

tertentu

(pada

saat

dicetuskan).

Alasan

ketiga,

penyandingan sebuah kata pada kata yang lainnya (isnd) yang terjadi dalam
sebuah kalimat hanya mungkin terjadi pada saat penggunaan kata tersebut
dalam kalimat (isti`ml) dan tidak mungkin terjadi ketika peristiwa pencetusan
kata (wadh`) yang tentunya mendahului penggunaansementara majaz telah
didefinisikan

sebagai

kata

yang

digunakan

tidak

sesuai

dengan

pengertiannya-pada-saat-dicetuskan sehingga dalam hal ini yang disebut


sebagai majaz aqli itu tidaklah sesuai dengan definisi majaz ini.
Nah, dari dikotomi majaz-hakikat ini muncul sebuah pertanyaan yang amat
penting: Mengapa seorang penutur itu beralih menggunakan majaz daripada
menggunakan hakikat? Ada dua jawaban yang bisa diberikan: Pertama, hal
tersebut adalah sebuah pilihan sehingga tidak perlu alasan khusus selain alasanalasan yang tidak berkaitan dengan perubahan makna balaghah. Kedua, hal
tersebut didasari oleh alasan-alasan balaghah tertentu secara maknawi. Dalam
jawaban pertama, seseorang dianggap menggunakan majaz karena memang hal
itu merupakan sebuah pilihan (sebagaimana pilihan untuk menggunakan salah
satu dari dua kata yang sinonim). Ia bebas memilih mana ungkapan yang
disukainya tanpa harus didasari alasan khusus, atau didasari oleh alasan yang
bersifat verbal (ungkapan yang dipilih lebih berbunyi enak, lebih ringkas, lebih
sesuai dengan rima syair, dsb.) dan bukan bersifat pragmatikal (penekanan atau
penggeseran makna). Dalam kerangka jawaban yang pertama inilah kita banyak
menemukan istilah ittis`, sa`ah, ikhtishr, j'iz, yajzu, majzu-l-lughah, dan
-5-

semisalnya di kalangan ulama terdahulu maupun belakangan. Istilah-istilah ini


hanya menunjukkan bahwa ungkapan tersebut dipilih karena memang boleh dan
ringan, bukan karena ada perubahan/penambahan/pengurangan makna dari
ungkapan yang lainnya.
Tentunya, yang diharapkan oleh teori Majaz bukanlah jawaban yang pertama ini,
melainkan jawaban yang kedua. Dalam jawaban pertama, majaz hanya menjadi
berbeda dari hakikat karena alasan situasional, bukan karena adanya maksudmaksud maknawi khusus yang ingin dikemukakan oleh penutur pada saat ia
lebih memilih majaz ketimbang hakikat. Oleh karena itu, para penganjur teori
Majaz menekankan bahwa majaz itu dipilihselain sebagai tausi`ahjuga
karena tiga alasan: taukd, tasybh, dan mublaghah. Dalam contoh kata asad
yang digunakan untuk menyebut manusia pemberani, misalnya, ada maksud
dari penutur untuk memberikan penekanan (taukid) atas pernyataannya
tersebut (bahwa yang dibicarakan sungguh-sungguh berani), ada maksud untuk
menyerupakan (tasybh) antara manusia pemberani ini dengan hewan singa
yang telah dikenal pemberani, serta dalam waktu yang sama juga ada maksud
untuk

mengangkat

derajat

keberanian

orang

tersebut

melebihi

aslinya

(mublaghah). Maksud-maksud pragmatis ini dianggap tidak terwadahi bila


sekadar disebut bahwa orang itu adalah seorang pemberani sehingga perlu
dinyatakan bahwa ia adalah singa. Di sini, menjadi jelas bahwa majaz itu
dimaksudkan sebagai tajawwuz `anil haqqah (lompatan dari batas hakikat)
dan bukan sekadar m jayzu fil-kalm (pilihan ungkapan) sebagaimana
menonjol pada jawaban pertama di atas.

3. BAGAIMANA SEJARAH PENYUARAAN TEORI MAJAZ?


Dalam konsepnya sebagai lawan dari hakikat sebagaimana didefinisikan di atas,
teori majaz ini belum dikenal pada era Shahabat, Tabiin, maupun Tabiut Tabiin.
Imam Asy-Syafi`i RH yang menulis buku pertama disiplin Ilmu Ushul Fiqih pun
tidak menggunakan dikotomi ini, bahkan tidak menggunakan istilah majz.
Yang digunakan adalah istilah dhhir dan bthin yang pengertiannya berbeda
dengan pengertian hakikat-majaz. Asy-Syafi`i sama sekali tidak menyatakan
adanya pencetusan kata untuk sebuah makna yang kemudian digunakan untuk
makna cetusan tersebut atau digunakan untuk makna baru yang terkait
-6-

dengannya. Walhasil, teori majaz ini dalam karya-karya Asy-Syafi`i tidak


ditemukan, baik sebagai terma maupun secara konsep.
Yang ada dalam penjelasan Asy-Syafi`i adalah fenomena penggunakan suatu
kata dalam konteks tertentu yang di dalam konteks lain kata yang sama bisa
digunakan untuk pengertian yang lebih luas daripada pengertiannya yang
ditunjuk dalam konteks tersebut. Asy-Syafi`i juga menerangkan tentang adanya
fenomena pelesapan suatu kata dalam sebuah ungkapan karena sudah
ditunjukkan secara jelas dari penuturan yang ada. Kedua fenomena ini tentunya
bukan fenomena hakikat-majaz sebab hanya berkisar pada isti`ml dan sama
sekali tidak dikaitkan dengan wadh`. Pelesapan kata pun berarti bahwa maka
dari kata yang tersisa tidaklah menggantikan makna dari kata yang dilesapkan
itu, melainkan sekadar menggantikan posisi gramatikalnya dalam kalimat.
Pengertiannya tidak berubah. Artinya, apa yang dikemukakan oleh Asy-Syafi`i,
dalam bandingannya dengan teori Majaz, hanya sesuai dengan kerangka
jawaban

pertama

dari

pertanyaan

mengapa

majaz

digunakan

pada

pembahasan di atas dan tidak sesuai dengan maksud dari teori Majaz.
Tokoh imam populer yang pertama kali terkenal menggunakan terma majaz
adalah

Imam

Ahmad

bin

Hanbal

RH,

yaitu

ketika

mengatakan

bahwa

penggunaan dhamir nahnu dalam Al-Quran untuk menunjuk Allah SWT yang
Maha-Esa dan tidak berbilang adalah min majzi-l-lughah. Sudah lazim dalam
bahasa Arab bahwa sosok yang memiliki kekuasaan lebih serta banyak pasukan
itu kadang menyebut dirinya sebagai Kami. Sampai di sini, teori Majaz belum
menemukan

sandarannya.

Pertama,

karena

Imam

Ahmad

tidak

membandingkannya dengan hakikat (sehingga tidak menunjukkan adanya


dikotomi, apalagi peralihan makna). Kedua, karena ungkapan Imam Ahmad itu
menunjukkan bahwa terma majaz di situ bermakna j'iz, bukan tajawwuz,
sehingga ini senada dengan terma ittis pada jawaban pertama di atas.
Ungkapan ini lebih dekat kepada terma mutasybih, yang juga beberapa kali
digunakan oleh Imam Ahmad, yang berarti ungkapan-kurang-tegas (dan bukan
berarti ungkapan-tidak-sesuai-makna-asal).
Imam lain yang amat populer menggunakan terma majaz adalah Abu `Ubaidah
karena menulis sebuah karya dengan judul majzu-l-qur'n. Akan tetapi, terma
majaz dalam buku ini sama sekali berbeda dengan yang dimaksudkan dalam
teori Majaz. Abu `Ubaidah menggunakan istilah majaz justru dalam pengertian
-7-

tafsir/ungkapan padanan dan dibandingkan dengan ayat-ayat Al-Quran yang


bentuk ungkapannya perlu ditafsirkan dengan ungkapan lain yang lebih jelas
(menampilkan apa yang dilesapkan, mengganti suatu kata yang asing dengan
kata yang populer, dsb.). Di sini, terma majaz sama sekali tidak dibandingkan
dengan hakikat dan sama sekali tidak mengandung peralihan dari satu makna ke
makna yang lain (justru berfungsi sebagai ungkapan yang memperjelas
ungkapan lain). Terma majaz Abu `Ubaidah sangat kontras dengan teori majaz,
bahkan ia pun berlawanan dengan penggunaan terma majaz dalam pengertian
j'iz atau sa`ah.
Kemudian, diketemukan imam lain setelah generasi Ahmad bin Hanbal dan Abu
`Ubaidah yang mulai menggunakan terma majaz sebagai pasangan dari hakikat,
yaitu `Utsman bin Sa`d Ad-Drimiyy. Dalam bantahannya terhadap Bisyr AlMarsiyy yang mengingkari adanya sifat/perbuatan dhahk (tersenyum/tertawa)
pada diri Allah SWT, Ad-Darimi menjawab dengan menegaskan bahwa ungkapan
dhahaku-z-zar`u

berbeda

dengan

ungkapan

dhahaku-r-rabb.

Ad-Darimi

mengatakan bahwa yang pertama adalah majz sedangkan yang kedua adalah
hakikat. Apakah ini berarti bahwa teori majaz telah mulai digunakan (di
lingkungan Ahlus Sunnah)? Ungkapan Ad-Darimi masih kurang tegas sehingga
mengandung dua kemungkinan.
Kemungkinan bahwa Ad-Darimi telah menggunakan teori majaz terdukung
karena di situ ada perbandingan terma majaz dengan terma hakikat. Akan
tetapi, kemungkinan ini baru kuat apabila Ad-Darimi juga meyakini bahwa
ungkapan dhahaku-z-zar` itu mengandung tasybh (penyerupaan tanaman
dengan

manusia),

mublaghah

(pengangkatan

derajat

tanaman

melebihi

realitasnya), dan taukd (penegasan akan tasybh dan mublaghah ini). Tanpa
keyakinan ini, maka ungkapan Ad-Darimi barulah menunjukkan pengertian
majaz sebagai m jayzu atau mutasybih (sebagaimana dalam terminologi
Imam Ahmad) sehingga pengertian hakikat dalam ungkapan itu adalah muhkam
(berbentuk tegas). Dikotomi yang ada menjadi sama dengan dikotomi nash dan
zhhir dalam disiplin Ushul Fiqh yang berkisar pada tingkat ketegasan suatu teks
dalam penyampaian makna, bukan terjadi-tidaknya pergeseran makna asal.
Keunikan penggunaan terma majaz ini di era tersebut nampak lagi dalam tulisan
Imam Al-Bukhriyy, walaupun Al-Bukhari mengutipnya dari istilah orang lain
(tanpa menyebut nama). Di situ ditekankan pentingnya membedakan antara
-8-

majz dengan tahqq. Namun, kemudian dicontohkan bahwa ungkapan hadits


wajadnhu la-bahran untuk menyebut kuda yang berjalan kencang adalah
majaz, yang: wa-t-tahqq anna masyyahu hasan. Nampak bahwa Al-Bukhari
menggunakan istilah tahqiq ini dalam pengertian tafsir. Ini termonologi yang
berbalik dengan Abu `Ubaidah sebab untuk pengertian tafsir ini Abu `Ubaidah
justru menggunakan istilah majz. Ada kemungkinan kedua, yakni Al-Bukhari
menggunakan terma majaz-tahqiq di situ sepadan dengan terma mutasyabihmuhkam sebagaimana yang merupakan kemungkinan terkuat untuk terminologi
yang digunakan oleh Ad-Darimi di atas. Adapun kemungkinan bahwa Al-Bukhari
menggunakannya dalam kerangka teori Majaz, kemungkinan ini amat kecil
sebab contoh ungkapan yang disebut Al-Bukhari sebagai majaz dan tahqiq
tersebut pengertiannya justru sama dan sebab dalam penjelasannya itu sama
sekali tidak ada indikasi unsur tasybh, taukd, dan mublaghah.
Lantas di tangan siapakah teori Majaz ini pertama kali terlahir? Sebagian pihak
menyebut bahwa pembagian ungkapan menjadi hakikat-majaz pertama kali
ditemukan pada tulisan-tulisan Muktazilah atau kalangan

yang dekat dengan

mereka, semisal Al-Akhfash Ash-Shaghir dan Al-Jhizh. Akan tetapi, konteks


penggunaan istilah hakikat dan majaz ini di tulisan Al-Akhfash dan Al-Jhizh juga
belum nampak berbeda dengan penggunaan majaz dalam pengertian j'iz atau
mutasybih yang sekadar merupakan variasi ungkapan. Istilah ini sama dengan
yang digunakan oleh Ibnu Qutaibah ketika mendefinisikan majaz sebagai
turuqu-l-kalm wa-ma'khiduh. Majaz dalam terminologi ini hanya berarti
gaya bahasa atau ungkapan unik yang kandungan maknanya tidak berbeda
dengan gaya ungkapan standar (yang disitu disebutnya sebagai hakikat).
Artinya, dalam terminologi ini, isi dan tujuan dari teori Majaz sama sekali belum
digunakan.
Barulah dalam perkataan Dharr, seorang tokoh mutakallim yang dekat dengan
Jabariyyah, teori Majaz mulai nampak. Dharr (ketika berbicara mengenai
masalah takdir dalam kaitannya dengan perbuatan hamba) menyatakan bahwa
perbuatan hamba itu adalah memang perbuatan hamba secara hakikat tetapi
juga sekaligus merupakan perbuatan Allah secara hakikat dan bukan sekadar
perbuatan Allah secara majaz. Subhnahu wata`l. Ini berarti bahwa Dharar
bila nukilan ini benartelah menggunakan istilah majaz sebagai lawan dari
realitas. Hakikat di situ adalah realitas sebenarnya dan majaz adalah sesuatu
-9-

yang tidak sebenarnya. Terminologi ini menjadi amat dekat dengan teori Majaz
yang

memaksudkan

majaz

sebagai

sebuah

tasybih

(penyerupaan)

dan

mublaghah (hiperbola). Penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain berarti


bahwa dua hal tersebut secara realitas adalah berbeda, akan tetapi dikehendaki
oleh penutur untuk dianggap sama (karena dalam struktur majaz, adt tasybh
sudah dihilangkan dan penyerupaan beralih menjadi penyamaan). Hiperbola
juga berarti bahwa informasi yang diungkapkan oleh penutur bukanlah informasi
yang sebenarnya, tetapi informasi yang dilebih-lebihkan di atas proporsinya.
Nampaknya, poin inilah yang kemudian menjadikan kontroversi akan teori Majaz
mengemuka,

yaitu

konsekwensi

bahwa

majaz

dalam

teori

ini

ternyata

memaksudkan sebuah kedustaan dan ketidakproporsionalan. Walhasil, majaz


pun dinyatakan bahwa ia bisa dinafikan, sehingga mudah dipahami jika Dawud
Adh-Dhhiri dan Al-Ballthi di zaman itu ternyata menyerang teori Majaz dari
titik tolak ini.

bersambung dalam diskusi....


4.
5.
6.
7.

APA SAJA RINCIAN KONTROVERSI TEORI MAJAZ?


BAGAIMANA MENENTUKAN MAJAZ ATAU HAKIKAT?
APA KONSEKWENSI DARI MAJAZ-NYA SUATU UNGKAPAN?
APA PENGARUH TEORI INI DALAM PENAFSIRAN (AL-QURAN)?

- 10 -

Anda mungkin juga menyukai