Anda di halaman 1dari 16

ASBABUN NUZUL

(NASR HAMID ABU ZAID DALAM BUKU MAFHUM AN-NASH)

Asbabun Nuzul adalah salah satu ilmu yang penting dalam kaitannya dengan alQuran sebagai kitab suci dan pegangan hidup umat Islam, maka tidak sedikit ulama
yang bahkan secara khusus membahas ilmu tersebut. Ilmu ini dapat memudahkan para
ulama dalam menemukan makna al-Quran dan memahami tafsirannya serta menetapkan
hukum dari hikmah dibalik kisah diturunkannya al-Quran. Menurut bahasa sendiri
Asbabun Nuzul berasal dari kata Asbab adalah bentuk Plural (jama) dari kata sabab
yang dalam bahasa Indonesia biasa diartikan: sebab, alasan, motif, latar belakang, dan
lain-lain. Sedang menurut istilah Asbabun Nuzul adalah sebab-sebab turun, alasan-alasan
turun, motif atau latar belakang turunnya ayat al-Quran. 1 Begitu mendasarnya ilmu ini
untuk dipelajari, maka menjadi sebuah keharusan bagi seorang mufassir, ahli Agama atau
yang sedang belajar agama dan al-Quran untuk mengetahui dan memahami apa itu
Asbabun Nuzul dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka demi menambah khazanah
ilmu serta wawasan pengetahuan tentang Asbabun Nuzul pemakalah mencoba
mengambil intisari serta pokok-pokok pembahasan mengenai ilmu tersebut dari sebuah
buku yang berjudul Mafhum An-Nash yang ditulis oleh Nasr Hamid Abu Zaid,
merupakan seorang Intelektual Mesir yang terkenal dengan analisis wacana, kritik teks,
dan hermeneutikanya. Juga mengenai segala hal yang berkaitan tentang Asbabun Nuzul
menurut beberapa ulama terdahulu, sehingga akan lebih jelas dan dimengerti.
Menurut beliau ada fakta-fakta empiris yang berkaitan dengan teks menegaskan
bahwa teks diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih dari dua puluh tahun. Teks
juga menegaskan bahwa setiap ayat atau sejumlah ayat diturunkan ketika ada satu sebab

Usman, Ulumul Quran (Yogyakarta: Pustaka Offset, 2009), hal. 103.

khusus yang mengharuskannya diturunkan, dan sangat sedikit ayat yang diturunkan tanpa
ada sebab eksternal.
Pembahasan yang diambil dari buku karya Nasr Hamid Abu Zaid tersebut di
antaranya, yaitu; model penurunan secara bertahap, Alasan diturunkannya al-Quran
secara berangsur-angsur dalalah: Antara keumuman lafadz dan kekhususan sebab,
penentuan Asbabun Nuzul, dan pengulangan turunnya al-Quran. Dalam ringkasan ini
juga akan dipaparkan mengenai manfaat mempelajari Asbabun Nuzul.
A. Penurunan al-Quran secara bertahap
Al-Quran diturunkan dalam dua tahap:2
1. Dari Lauhil Mahfuz ke sama (langit) dunia secara sekaligus pada malam
Lailatul Qadar.
2. Dari sama dunia ke bumi secara bertahap dalam masa dua puluh tiga tahun.
Pada malam mubarakah, yaitu malam Lailatul Qadar diturunkanlah al-Quran
secara sempurna ke Baitul Izzah di langit pertama, kemudian sampai ke dalam lubuk
nabi Muhammad dengan cara berangsur-angsur, yaitu selama 23 tahun
kebangkitannya sebagai Rasul sampai beliau wafat. Kemudian pada diskusi saat
makalah ini disampaikan, dijelaskan mengenai prosedur bagaimana al-Quran bisa
sampai ke Nabi, yaitu dari Lauhil Mahfuz lalu turun sampai Nabi Muhammad lewat
perantara Malaikat Jibril. Di antara keduanya dibutuhkan pemancar karena Malaikat
sendiri adalah cahaya sedangkan Nabi adalah manusia yang terbuat dari tanah.
Nashr Hamid sendiri dalam bukunya mengatakan bahwa pemahaman terhadap
hubungan teks dengan realitas pada tataran pemikiran agama (seperti masalah
turunnya al-Quran) telah terjadi penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat kita

Muhammad Ali Ash Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran terj Asli At-Tibyan fi Ulumil Quran
(Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 62.

rasakan dalam perdebatan ulama Al-Qur' an mengenai persoalan teologis yang


sentralnya terletak pada dua ayat Al-Qur'an, yaitu:


"Bulan Ramadhan yang di dalamnya Al-Qur' an diturunkan." (QS. alBaqarah:185)


"Sesungguhnya, Kami menurunkannya pada malam qadar." (QS. al-Qadr:1)
Beliau mengatakan ada dua pertanyaan, apakah yang dimaksud dari kedua ayat
tersebut adalah keseluruhan dari al-Quran atau permulaan diturunkan ?, jadi
munculah sebuah konsep tentang adanya teks eternal (azali) di lauh mahfudz yang
mendahului teks. Oleh karena itu, dapat dipastikan apabila "menurunkan" yang
disebutkan dalam dua ayat tadi adalah menurunkan dari lauh mahfudz ke langit dunia.
Akibat dari pendapat ini adalah bahwa teks diturunkan dengan dua cara:
1. Ia diturunkan "sekaligus" dari lauh mahfudz ke langit dunia;
2. Ia diturunkan "secara bertahap" dari langit dunia ke bumi sebagai respons
terhadap realitas dan faktor penyebab (turunnya).
Konsep seperti itulah yang menurut Nasr Hamid dapat berkembang dan menjadi
tidak karuan. Hal itu karena konsepsi semacam ini akan menjerumuskan kita ke
dalam belantara hipotesis yang menyesatkan seperti dialami oleh ulama al-Qur'an.
Umpamanya, apabila kita mempertanyakan, sebagaimana mereka, misteri apa di
balik al-Qur'an diturunkan ke langit sekaligus? Tepatnya, kapan diturunkan? Apakah
firman Allah SWT "Sesungguhnya, Kami telah menurunkannya di malam qadar'',
termasuk sebagian al-Qur'an yang diturunkan, sementara firman tersebut
mempergunakan bentuk lampau yang berarti bertentangan dengan eksistensinya
dalam wujud teks sebelum diturunkan? Apabila kita katakan bahwa ayat tersebut
ditambahkan ke dalam teks setelah diturunkannya bukankah itu artinya bahwa ia
2

bukan termasuk al-Qur'an yang azali dan qadim yang merupakan sifat zat llahi? Ini
akan menyebabkan hancurnya konsep "sifat azali" kalam Tuhan, dan akan
menghancurkan semua konsep ini dari akar-akamya? Meskipun demikian,
pembicaraan seperti itu pun terus berlanjut dan hipotesis semakin berkembang.
Beliau juga mengkritisi hipotesis dari Az-Zarkasi yang mengatakan bahwa alQuran diturunkan sekaligus dari langit adalah untuk mengagungkan al-Quran dan
Nabi yang menerimanya. Hipotesis semacam itu hanya untuk menghindari sikap
kritis terhadap riwayat-riwayat lama.

B. Alasan turunnya al-Quran secara berangsur-angsur.


Ada sebuah pertanyaan mengapa al-Quran diturunkan secara bertahap ?,
merupakan sebuah ungkapan yang berarti penolakan oleh kaum musyrik Makkah
pada waktu itu terhadap ayat-ayat al-Quran yang tidak diturunkan sekaligus, namun
berangsur-angsur. Mereka meminta agar nabi Muhammad dapat menurunkan alQuran langsung satu kitab dari langit, dan semua itu bisa diartikan sebagai sebuah
keraguan tentang sumber (munculnya) teks al-Quran.
Selain daripada itu dinyatakan penurunan al-Quran secara berangsur-angsur
merupakan sunatullah sebagaimana Dia menurunkan kitab-kitab terdahulu kepada
Nabi terdahulu dengan sekaligus.3
Ada sebuah ayat, QS. al-Furqon: 32, Allah SWT berfirman:



Artinya: Dan orang-orang kafir itu berkata: mengapa al-Quran itu tidak
diturunkan kepadanya secara serentak. Demikian itu kami lakukan untuk
memantapkan hatimu.

Muhammad Ali Ash Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran terj,............ hal. 66.

yang mengindikasikan tentang pemantapan hati Nabi sebagai sang penerima


wahyu pertama, jadi kondisi atau keadaan penerima pertama ikut dipertimbangkan,
sebab proses komunikasi wahyu amat sulit baginya. Selain itu tradisi yang
berkembang adalah tradisi lisan yang tidak memungkinkan teks yang sangat panjang
diberikan sekaligus dan serentak. Oleh karena itu, mempertimbangkan kondisi
penerima pertama tidak semata-mata mempertimbangkan faktor pribadi, tetapi juga
mempertimbangkan situasi umum, di mana penerima pertama sejajar dengan
masyarakat yang menjadi sasaran teks.4
Di sumber lain disebutkan bahwa hikmah diturunkannya al-Quran secara
bertahap, yaitu: tentu saja untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad terhadap celaan
seperti yang sudah disinggung di atas, meringnkan nabi dalam menerima wahyu,
mempermudah dalam menghafal al-Quran, selangkah demi selangkah dalam
menetapkan hukum, sejalan dengan kisah-kisah atau peristiwa yang terjadi dan
mengingatkan atas kejadian itu, serta sebagai petunjuk terhadap sumber al-Quran
bahwasanya al-Quran diturunkan dari Zat yang Maha Bijaksana lagi Terpuji.5
Nasr Hamid mengatakan pula bahwa pemahanan ulama al-Quran hanya
sepotong-potong dan parsial, oleh karena itu pemahaman ini tidak dapat bertahan
hidup pada tataran yang sebenamya dalam kebudayaan kita. Meskipun pada tataran
teoritis pemahaman ini tetap mendapatkan semacam pengakuan, tetapi pengakuan
tersebut menjadi buyar ketika dalam tafsir prioritas diberikan kepada "yang
mengatakan" (sumber teks) dari pada kepada realitas.
Ia juga mengatakan sebab mengapa antara teks dan realitas dalam tradisi agama
dipisah, karena begitu banyak aliran-aliran konservatif yang lebih berkiblat pada
4

Hamid, Nasr Abu Zaid. Mafhum an-Nash. Beirut: ad-Dar al-Baidha terj. Khoirron Nahdhliyyin
(Yogyakarta: LkiS, 2000).
5
Muhammad Ali Ash Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran terj,............ hal. 68.

tradisi dari pada realitas itu sendiri, mereka memberikan legalitas historis terhadap
ideologinya yang tidak mungkin dapat diubah-ubah oleh apapun.
C. Dalalah: Antara keumuman lafadz dan kekhususan sebab
Pengetahuan ini bertujuan memahami teks dan menghasilkan maknanya, karena
pengetahuan tentang sebab menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab).
Adapun kajian mengenai sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa akan memberikan
pemahaman mengenai hikmah at-tasyri (mengapa aturan tertentu diturunkan). Akan
tetapi transformasi sebab ke musabab dari realitas khusus ke realitas yang
menyerupainya, harus didasarkan pada tanda-tanda yang terdapat dalam sruktur
teks tersebut. Hal tersebut akan membantu dalam proses transformasi makna dari
khusus ke yang umum.
Dalam usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas
yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar apabila dikatakan usaha
penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa
memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui
realitas-realitas partikular. Kajian atas Asbabun Nuzul akan memberi ahli fiqh
pengetahuan tentang 'illat (sebab) di balik hukum-hukum teks. Melalui 'illat itu, ia
dapat menggeneralisasikan hukum terhadap realitas-realitas lain yang serupa.
Ia mengatakan bahwa realitas tidak terhingga jumlahnya, sedangkan teks-teks
sifatnya terbatas meskipun mampu menjangkau realitas-realitas tersebut. Beliau juga
berpendapat bahwa memegang keumuman kata (ungkapan) dan mengabaikan
kekhususan sebab dalam menghadapi semua teks al-Qur'an akan membawa
konsekuensi-konsekuensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Sikap ini juga
dapat menyebabkan hikmah tasyri diturunkan secara bertahap, seperti halal dan

haram, terutama masalah makanan dan minuman. Maka pemikiran tersebut dapat
menghancurkan hukum itu sendiri.
Teks mengenai larangan khamr diturunkan secara bertahap dalam tiga fase yang
diugkapkan dalam tiga teks al-Quran;





Artinya: Mereka akan bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah:
keduanya memiliki kemudaratan yang besar dan memiliki manfaat bagi orang
banyak, namun kemudaratannya lebih besar daripada manfaatnya. (QS. alBaqoroh:219)



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat sementara
kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan. (QS. anNisa:43)







Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk
berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
setan. Oleh karena itu, jauhilah. Semoga kalian beruntung. Yang diinginkan setan adalah in
gin menimbulkan di antara kalian permusuhan dan saling membenci melalui khamr dan
judi, dan (setan) ingin menghalangi kalian dari ingat kepada Allah dan shalat. Oleh karena
itu, apakah kalian bersedia menghentikannya ?. (QS. al-Maidah:90-91)

Dijelaskan bahwa (As-Suyuthi):

1. diturunkan adalah yas' aluunaka 'an al-khamr wa al-maisir ... dan seterusnya.
Dikatakan bahwa khamr telah diharamkan. Kemudian mereka berkata: Wahai
Rasulallah, biarkanlah kami mengambil manfaatnya saja sebagaimana yang
difirmankan Allah. Rasulallah pun mendiamkan mereka.
6

2. Kemudian, turunlah ayat berikut la taqrabu ash-shalata wa antum sukara....


Dikatakan bahwa khamr telah diharamkan. Mereka berkata: Wahai Rasulallah,
kami tidak akan meminumnya saat mendekati shalat. Rasulullah pun mendiamkan
mereka.
3.

Kemudian turunlah ayat ya ayyuha al-ladzina aamauut innama al-khamru wa almaisiru... Rasulallah Saw kemudian bersabda: Khamr telah diharamkan
Penahapan semacam ini dalam menetapkan tasyri' sangat penting sekali berkaitan

dengan dialektika hubungan antara teks dan realitas. Ayat pertama merupakan
jawaban atas pertanyaan sebagaimana yang terlihat jelas dari teksnya sendiri yas'
aluunaka. Meskipun ayat tersebut mengisyaratkan bahwa mudaratnya lebih besar
daripada manfaatnya, namun masyarakat saat itu bersikeras untuk mengambil
manfaatnya. Tekanan realitas yang kuat di sini mengharuskan teks cukup hanya
mengisyaratkan adanya mudarat yang terkandung di dalamnya tanpa memaksakan
larangan yang belum bisa diterima masyarakat karena belum siap. Fase kedua, adalah
larangan menjalankan shalat dalam keadaan mabuk dengan implikasi yang
dikandungnya, yaitu larangan minum khamr menjelang masuk waktu shalat. Dengan
proses pertimbangan yang sederhana saja kita dengan mudah dapat menangkap
bahwa larangan ini sebagai terapi bertahap terhadap situasi sosial yang "kecanduan".
Larangan minum (khamr) sebelum shalat lewat larangan menjalankan shalat dalam
keadaan mabuk tidak membuat manusia meninggalkannya kecuali dalam beberapa
jam saja di saat malam. Mereka tetap melakukanminum-minum yang dilarang itu
hampir sepanjang hari kecuali pada waktu shalat lima waktu, dan di saat sibuk
mencari rezeki. Penahapan tasyri' semacam ini tidak saja menegaskan dialektika
wahyu dan realitas saja, tetapi juga mengungkapkan metode teks dalam mengubah
realitas dan dalam memberikan terapi terhadap cacat-cacatnya.

Kalau demikian, apakah masuk akal apabila para ulama memegangi "keumuman
kata" tanpa mempertimbangkan kekhususan sebab? Apabila keumuman kata yang
dijadikan pijakan dalam menyingkapkan makna teks maka sangat dimungkinkan
sekali sebagian orang memegangi ayat pertama atau ayat kedua, dan pada akhirnya
hal ini akan menyebabkan seluruh tasyri' dan hukum akan berantakan. Hal ini bukan
sekadar hipotesis, sebab fuqaha telah terperangkap dalam situasi yang sama dengan di
atas ketika berhadapan dengan sebuah ayat al-Qur'an yang mereka pegang keumuman
katanya, dan mereka mengabaikan kekhususan sebabnya. Ayat tersebut adalah firman
Allah:





"Katakanlah: Aku tidak mendapatkan apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang memakannya kecuali apabila (makanan itu) bangkai, a
tau darah yang dialirkan, atau daging babi sebab ia sangat kotor, atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, sementara ia
tidak menginginkan dan tidak melampaui batas maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun dan Penyayang." (QS. al-Anam:145)
Imam Malik berpendapat bahwa ayat tersebut membatasi makanan yang
diharamkan berdasarkan struktur bahasa ayat tersebut yang mempergunakan bentuk
pembatasan (qasr) dengan memakai bentuk nafi dan pengecualian. Akan tetapi,
karena mendasarkan pada asbab an-nuzul, Imam asy-Syafi'i berpendapat bahwa ayat
tersebut bukanlah nash (penegasan) mengenai pembatasan makanan yang
diharamkan, tetapi maknanya hanya menetapkan larangan terhadap apa yang
diungkapkannya tanpa mempunyai konsekuensi bahwa di luar yang diungkapkan
adalah halal.

Mementingkan salah satu sisi makna dalam teks sangat berbahaya pada tataran
teks-teks agama karena akan menimbulkan kontradiksi-kontradiksi dalam teks yang
tidak dapat dipecahkan. Kontradiksi-kontradiksi tersebut muncul akibatdiabaikannya
"hal yang khusus" demi "yang umum". Sesungguhnya, persoalan "keumuman" dan
"kekhususan" tidak selayaknya mengabaikan "kekhususan sebab". Karena, meskipun
memiliki potensi yang amat besar dalam mengabstraksikan dan menggeneralisasikan,
bahasa tetap merupakan suatu sistem budaya yang unik. Oleh karena itu, sangat
dimungkinkan ada kata yang umum, namun maknanya khusus.
D. Menentukan Asbabun Nuzul
Para ulama membuat kriteria-kriteria berikut ini untuk menyingkapkan atau
mengetahui Asbabun Nuzul,6 yaitu;
1. Apabila perawi sendiri menyatakan lafal sebab secara tegas. Dalam hal ini adalah
nash yang nyata, seperti kata-kata perawi sebab turun ayai ini begini........
2. Bila perawi mengatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf fa Taqibiyah
pada kata Nazala seperti kata-kata perawi.











.........

Riwayat yang demikian juga merupakan nash yang sarih dalam sebab Nuzul.

E. Pengulangan turunnya al-Quran


Kebalikan dari yang sudah dijelaskan adalah disebutkannya satu sebab turun bagi
beberapa ayat yang berbeda. Tidak ada persoalan dalam hal ini. Sebab, terkadang
turun beberapa ayat dari surat-surat yang berbeda dalam kaitannya dengan satu
peristiwa. Contohnya, riwayat yang dikeluarkan oleh at-Turmudzi dan al-Hakim dari
Ummu Salamah bahwa ia berkata: Wahai Rasulallah, saya sama sekali tidak pemah
6

Muhammad Ali Ash Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran terj,............ hal. 51.

mendengar kaum wanita disebut dalam masalah hijrah, kemudian Allah menurunkan
ayat maka kemudian Tuhan mereka mengabulkannya, bahwa Aku tidak akan
menyia-nyiakan. Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah juga, ia berkata: saya
berkata: 'Wahai Rasulallah, Anda menyebutkan kaum laki-laki, dan tidak
menyebutkan kaum perempuan. Maka, turunlah ayat Sesungguhnya; orang-orang
Islam laki-laki dan perempuan dan turunlah ayat: Sesungguhnya, Aku tidak akan
menyia-nyiakan perbuatan orang yang berusaha di antara kalian dari laki-laki dan
perempuan. AI-Hakim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah pula, ia berkata:
'Kalian mengajak laki-laki berperang dan kalian tidak menyertakan kaum
perempuan, kami hanya mendapatkan separo bagian warisan. Kemudian, Allah
menurunkan ayat Janganlah kalian mengharapkan apa-apa yang Allah utamakan
sebagian kamu atas sebagian yang lain, dan turunlah: Sesungguhnya, orang Islam
laki~laki dan perempuan ... " (As-Suyuthi)
Jadi, tidak ada banyak teks untuk satu peristiwa. Kita harus meneliti ayat-ayat
manakah yang diturunkan pertama kali, maksudnya kita harus menyusun ayatayatnya sesuai dengan urutan turunnya. Ada satu pertanyaan dari Ummu Salamah,
kemudian respons wahyu terhadap pertanyaan tersebut merupakan jawaban yang
pasti dalam rangka untuk menyebutkan dua jenis kelamin dengan kata-kata khasnya
masing-masing.7
Asumsi bahwa ada banyak teks sebagai jawaban atas satu peristiwa, asumsi
semacam ini seperti asumsi sebelumnya bahwa ada satu atau beberapa ayat turun
berulang-ulang dengan sebab atau peristiwa yang berbeda-beda menyebabkan ada
pemisahan antara teks dan maknanya, dan karena itu menyebabkan konsep teks itu
sendiri berantakan.
7

Hamid, Nasr Abu Zaid. Mafhum an-Nash. Beirut: ad-Dar al-Baidha terj. Khoirron Nahdhliyyin
(Yogyakarta: LkiS, 2000).

10

F. Manfaat Asbabun Nuzul


Terlepas daripada perdebatan-perdebatan dalam memahami Asbabun Nuzul ini,
baik dari kalangan para ulama terdahulu atau Nasr Hamid sendiri yang mengkritisi
pemahaman mereka, ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari mempelajari
Asbabun Nuzul,8 yaitu:
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus
mensyariatkan agama-Nya melalui al-Quran.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya
3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr (pembatasan).
4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang
memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan
keumuman lafal.
5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang
terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang
mengkhususkannya).
6. Diketahui ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi
kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah
dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-quran serta memperkuat
keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui
sebab turunnya.
Sedangkan manfaat lainnya bisa dilihat dalam kaitannya dengan lapangan
pendidikan dan pengajaran, yaitu sebagai sebuah pendahuluan dan muqoddimah oleh
pendidik yang akan menyampaikan suatu materi khususnya ketika akan
8

http://aadesanjaya.blogspot.com/Makalah Tentang Asbabun Nuzul, diakses pada tanggal 19


Januari 2012 jam 01.19 WIB.

11

menyampaikan pelajaran yang berhubungan dengan al-Quranul Karim, sehingga


pelajaran tersebut nantinya akan dapat diterima dengan baik dan mendetail.
Kemudian Asbabun Nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi,
jadi itu dapat membuat pelajarann terasa menarik dan cukup untuk membangkitkan
perhatian, memusatkan potensi intelektual, dan menyiapkan jiwa anak didik untuk
menerima pelajaran. Dapat disimpulkan manfaat ini akan dirasakan yang sebenarnya
guna mewujudkan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam dunia tersebut, yaitu
pendidikan dan pengajaran.9

KESIMPULAN

Asbabun Nuzul bertujuan untuk menunjukkan dan menjelaskan hubungan dan


dialektika antara teks dengan relitas. Dan teks merupakan sebuah respon atas realitas
kehidupan, sekaligus hal itu menegaskan hubungan dialogis antara teks dan
realitasnya. Maka penting bagi seorang mufassir untuk memahami ilmu ini, dan tentu
saja kemampuan mereka untuk memahami makna teks harus didahului dengan
pengetahuan tentang realitas-realitas yang memproduksi teks-teks tersebut.

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran terj. Mudzakir As. (Bogor: Litera AntarNusa,
2009), hal. 136.

12

Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, manusia merupakan sasaran wahyu, sepatutnya
apabila teks memberi indikasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses
komunikasi. Keterkaitan teks dengan wilayah peradaban ini menjadikannya sebagai teks
yang mengarah pada sasaran pembicara. Ini terbukti dari adanya seruan Allah dalam AlQuran dengan manusia, bani adam, orang-orang beriman, orang-orang kafir,
atau ahli kitab, selain seruan pertama, nabi atau rasul. Menurut beliau, teks dan realitas
mempunyai hubungan yang sangat erat, dengan mengatakan teks dari Allah semata dan
mengabaikan fungsi teks dalam realitas, berarti kita mengabaikan watak teks itu sendiri.
Nabi muhammmad SAW adalah manusia biasa yang hidup diantara kebudayaan arab
yang diberikan Allah kelebihan untuk menyampaikan risalah dari Allah.10
Dalam buku mafhum an-Nash ini beliau berpendapat bahwa para ulama ulumul
Quran terdahulu, dalam kajiannya dipengaruhi oleh pemahaman secara Teologi-Mistik
yang cenderung tidak dapat dipahami, hanya diterima apa adanya. Beliau mempfokuskan
kritikannya pada dua ulama yang terkenal akan pemikirannya tentang ilmu-ilmu Quran,
yaitu Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Quran dan As-Suyuthi dalam kitab
Al-Itqan fi Ulum Al-Quran.
Nasr Hamid mengungkapkan bahwa dalam pemahaman mengapa ayat al-Quran
diturunkan secara bertahap adalah karena Nabi atau penerima pertama wahyu hidup pada
masa tradisi lisan, jadi ia merupakan bagian dari masyarakat sepenuhnya. Beliau juga
mengkritisi pendapat para ulama yang setengah-setengah, jadi realitas kehidupan
sekarang seperti tidak berpengaruh apa-apa terhadap teks tersebut, sehingga hal ini
mengindikasikan anatara teks dan realitas dipisah-pisah, dan juga cenderung konservatif
dan bertumpu pada tradisi semata.
Sebuah kesimpulan berarti bahwa Nasr Hamid memandang bahwa al-Quran
sebagai sebuah teks merupakan produk budaya dan quran memiliki sebuah peran dalam
10

www.scribd.com/ulasan jurnal diakses pada tanggal 22 Oktober 2011 jam 08.00 WIB.

13

membentuk sebuah wajah peradaban, namun hingga saat ini tidak dapat dihindari bahwa
ketegangan antara semangat keagamaan dan kesadaran ilmiah yang semestinya bergumul
secara dialektik, menjadi sesuatu yang saling mengalahkan.
Berdasarkan pengetahuan yang pemakalah pahami, Nasr Hamid adalah pemikir
yang terkenal dengan pemikiran kontroversialnya mengenai agama, ada sebagian
pendapat yang memang sangat bertentangan sekali dengan sesuatu yang kita pahami
selama ini, seperti mengatakan bahwa surga, neraka, atau perkara yang ghaib hanyalah
sebuah mitos belaka, dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk terhadap teks-teks
agama adalah sebuah bentuk perbudakan. Meskipun begitu pendapatnya mengenai ilmuilmu al-Quran patut untuk kita perhatikan dan pahami, bahwa pasti ada sebuah
kebenaran yang tersirat dari kajian-kajian yang beliau ungkapkan. Maka sangat penting
bagi umat Islam untuk mempunyai bekal keimanan dan menyakini apa yang harus
diyakini, jadi sebuah kesalahan jika kita hanya menelan setiap pernyataan dan kejadian
secara mentah-mentah. Terlepas dari semua itu mempelajari ilmu ini juga sangat penting
dan banyak sekali manfaat yang dapat kita ambil dan tuai hikmahnya, apapun perbedaan
pemahaman yang terjadi di kalangan ulama.
Daftar Pustaka

Al-Qattan, Manna Khalil. 2009. Studi Ilmu-Ilmu Quran terj. Mudzakir As. Bogor:
Litera AntarNusa.
Ash Shaabuuniy, Muhammad Ali. 1998. Studi Ilmu Al-Quran terj Asli At-Tibyan fi
Ulumil Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Hamid, Nasr Abu Zaid. 2000. Mafhum an-Nash. Beirut: ad-Dar al-Baidha.
__________________. 2005. Mafhum an-Nash, terj. Khoirron Nahdhliyyin. Yogyakarta:
LkiS.
http://aadesanjaya.blogspot.com/Makalah Tentang Asbabun Nuzul, diakses pada tanggal
19 Januari 2012 jam 01.19 WIB.

14

Usman. 2009. Ulumul Quran. Yogyakarta: Pustaka Offset.


www.indrayogi.multiply.com/reviews/Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zaid, Diakses
pada tanggal 22 Oktober 2011 pada jam 08.00 WIB.
www.scribd.com/ulasan jurnal, Diakses pada tanggal 22 Oktober 2011 pada jam 08.00
WIB.

15

Anda mungkin juga menyukai