Anda di halaman 1dari 4

1.1.

1 Muslim Membentuk Peradaban Islam

Untuk menjadi seorang Muslim yang sejati, kita memerlukan tiga hal

dalam diri kita masing-masing, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiganya terkait

satu sama lain. Kepercayaan atau iman kita kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya

menentukan kadar iman kita, sementara islam atau amal ibadah kita berkesesuaian

dengan kepercayaan tersebut, sementara kesadaran spiritual kita akan hubungan

dengan Allah (ihsan) merupakan buah dari perbuatan dan kepatuhan itu.

Islam merupakan manifestasi kehidupan yang sebenarnya mencerminkan seberapa

jauh kita telah menjadi hamba Allah yang sejati. Ia identik dengan aspek

peribadatan dan amal ibadah yang terdapat dalam Islam. Amal ibadah ini tidak

akan terwujud secara baik tanpa adanya hukum dan peraturan-peraturan yang

menjadi pedoman bagi tingkah laku individual dan sosial. Karena itu, wahyu dan

pencerminannya secara fisik dalam tindakan-tindakan Rasulullah

Saw.memberikan dasar dan pola bagi hukum tingkah laku manusia yang disebut

dengan syari’ah.

Ihsan berarti suatu kesadaran spiritual manusia akan hubungannya dengan

Allah, dan bagaimana hubungan itu harus dibentuk secara dekat, intens dan terus

menerus.

“Mengabdi kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya” pemahaman bawha

segala ibadah atau pengabdian yang dilakukan baik ibadah wajib/ mahdhah,

sunnat/ ghairu mahdhah harus dilaksanakan dengan khusyu, dengan kesadaran

bathin yang sangat tinggi. Ini dapat terjadi karena; pertama, dalam setiap ibadah

kita berusaha mengikuti nilai dan norma yang diberikan Allah dan Rasul-Nya

sepertinya Allah berada bersama kita mengamati apa yang kita lakukan, sesuai

dengan norma atau tidak. Kedua, dalam setiap ibadah apa pun yang kita lakukan
kita sedang berdialog dengan Allah, memohon tuntunan-Nya, petunjuk-Nya agar

apa yang kita lakukan berhasil maksimal dalam sistem takdir-Nya dan sistem

iradah-Nya. Ketiga, setiap apapun yang kita lakukan dan kita niatkan sebagai

ibadah adalah dalam rangka mencapai janji dan kabar gembira Allah Swt, yaitu

mewujudkan kehidupan diri pribadi Mukmin yang shaleh yang mengikuti jalan

seperti dilakukan oleh orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan

mewujudkan kehidupan masyarakat dan umat manusia seperti yang ditampilkan

oleh Nabi Muhammad Saw.

Ketika kita dekat dengan Allah, dengan jalan mengidentifikasikan

kemauan kita sejauh mungkin dengan kehendak Ilahi, memungkinkan kita untuk

menghidupkan sinar hati yang ada dalam diri kita dan membuat seluruh diri kita

bersinar terang benderang dengan sinar tersebut. Contoh yang paling lengkap dari

kesadaran diri ini adalah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dengan

mendzikirkan Asma Allah terus-menerus, dengan mencintai Allah dan Rasul, dan

dengan berjuang menyiarkan kebaikan dan menumpas kejahatan, kita akan

menjadi dekat dengan-Nya (Allah). Bila kita berhubungan dengan orang yang

dekat dengan Allah dan mengikuti bimbingan mereka, maka kita akan tertolong

dalam upaya kita mendekatkan diri kepada Allah atau menghidupkan jiwa kita,

ketenangan hati, ketentraman jiwa dan keadilan dapat diraih. Inilah inti dari

firman Allah:

‫ئئ ئ ئئ ئ ئ‬ ‫ئ‬ ‫ئ‬


‫ ُّاملذيومن ُّآممنَببووا ُّموتمطوممئنن ُّقببلبووببببهوم ُّبذوكئرال ُّاملم ُّبذوكئرال ُّتمطوممئنن ُّالوبقلبوو ب‬
‫ب‬
Artinya: Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka menjadi tentram dengan
mengingat Allah swt. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tentram (QS. Ar-Ra’du ayat : 28).

1.1.2 Wujud Peradaban Islami


Orang-orang yang telah melalui iman, islam, dan ihsan, akan menjadi

lambang hidup bagi kebenaran. Mereka adalah pembawa panji-panji gerakan

reformasi yang dibawa oleh Rasulullah Saw. untuk merekonstruksi kehidupan

manusia dan membawanya ke dalam keserasian dengan bimbingan Ilahi.

Sikap hidup “iman-islam-ihsan” yang dicontohkan oleh Muhammad Saw.selama

ini telah memasyarakat dan melembaga “aqidah-syari’ah-tarekat” dan mencita

dalam ilmu-ilmu agama yang membentuk segitiga “tauhid-fiqih-tasawuf”.

Mengingat Islam agama yang menengahi kolektivitas dan individualisme, tak

salah lagi bahwa segitiga ilmu Islam “tauhid-fiqih-tasawuf” merupakan penengah

bagi segitiga “ilmu-teknologi-seni” dan segitiga “filsafat-etik-mistik”.

Dengan pendekatan struktural, kita dapat mengelaborasi ketiga jenis segitiga itu

“tauhid-fiqih-tasawuf. Tasawuf oleh Barat disebut sufism, adalah penengah bagi

seni dan mistik. Alasannya, tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari nama-

nama Tuhan yang juga disebut al-Asma’ al-Husna atau “nama-nama yang indah”

seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an :

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (al-‘Araaf : 180).

Keindahan nama-Nya tentu saja tercermin di dalam ciptaan-ciptaan-Nya

berupa alam lahir dan alam bathin. Keindahan-keindahan ini yang merangsang

perasaan-perasaan seseorang seniman sehingga dapat mengungkapkannya ke

dalam karya-karya seninya. Tetapi tidak semua keindahan, terutama yang di alam

bathin, dapat diekspresikan melauli karya-karya seni. Keindahan-keindahan ini


hanya dapat diekspresikan melalui perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap hidup.

Jadi, perasaan-perasaan teradalam yang dirasakan oleh mistikus-mistikus di mana

saja sebenarnya adalah perasaan yang ditimbulkan oleh keindahan alam bathin

ciptaan Allah.

Dengan demikian kita mengetahui bahwa tasawuf menengahi dan

memadukan seni dengan mistik melalui penghayatan al-Asma’ al-Husna. Tidak

mengherankan jika seniman-seniman terbesar dalam sejarah Islam adalah para

sufi, dan pembangun masjid-masjid besar dalam sejarah Islam tergabung dalam

tarekat-tarekat sufi dan pengaruh yang terakhir ini membekas kepada para

pembangun katedral-katedral terkenal di abad pertengahan di Eropa. Kebudayaan

tinggi yang lahir dari tangan-tangan kreatif ini memiliki ciri khas yang tak

tertandingi.

Dari uraian di atas tampak betapa besar peranan segitiga cita “tauhid-fiqih-tasawuf” sebagai
penengah dan pemadu segitiga “ilmu-teknologi-seni” dan segitiga “filsafat-etik-mistik”.
Kenyataan ini tidak perlu mengherankan karena sebenarnya “iman-islam-ihsan” yang
merupakan sumber dan dasar dari ilmu-ilmu “tauhid-fiqih-tasawuf” yang berkesesuaian
dengan fithrah manusia yang melekat pada ketiga aspek “kognitif-konatif-afektif” kesadaran
manusia. Karena itu, perwujudan ketiga fungsi kesadaran yang terdapat di alam cita manusia
modern perlu ditengahi dan dipadu oleh ketiga ilmu Islam tersebut1

1 M. Amin Aziz. The Power of al-Fatihah, (Jakarta: Pinbuk Press. Cijantung: 2006), hal. 278.

Anda mungkin juga menyukai