Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu, belajarlah untuk tenang dan sabar.
Home ▼
S a t u r d ay, O c to b e r 2 2 , 2 0 1 6
MUKJIZAT AL QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum Muslim dewasa ini, menurut Muhammad al-Ghazâli, telah melakukan
kesalahan (menzalimi) terhadap agamanya dua kali. Pertama, ketika mereka tidak mampu
mengaplikasikan ajaran agamanya dengan baik dan benar, dan kedua, ketika mereka tidak
sanggup menyampaikan ajaran agamanya kepada orang “di luar” mereka.[1] Ketika kaum
Muslim melakukan kesalahan yang pertama, ketika itulah mereka mereduksi ajaran serta
menampilkannya dalam bentuk yang dapat mengundang tuduhan “mereka” bahwa Islam
berjalan berseberangan dengan fitrah, kebebasan dan akal. Dan ketika mereka melakukan
kesalahan yang kedua, ketika itu mereka sedang membiarkan penduduk bumi di belahan
barat dan timur tidak mengenal Islam.
Adalah kenyataan, masih banyak di kalangan kaum Muslim yang menyikapi dan
memperlakukan al-Qur’an sebatas kitab keramat penangkal bala. Adapun al-Qur’an
sebagai mukjizat terbesar Nabi Saw., pilar pokok ajaran Islam, pegangan utama setiap
Muslim dalam segala aspek kehidupannya, masih luput dari pemahaman sebagian kaum
Muslim. Intrekasi sebagian besar kaum Muslim dengan al-Qur’an tidak melampaui
pembacaan lahiriah untuk mendatangkan keberkahan, pengulangan kata tanpa
merasakan makna yang dimuatnya, dan masih jarang sampai kepada tahap tadabbur.
Ini berarti bahwa sebagian umat Islam belum mampu memahami kedudukan al-
Qur’an sebagai risâlah samâwiyah nan kekal abadi yang Allah peruntukkan bagi manusia
dan kemanusiaannya. Risalah al-Qur’an yang mencakup semua aspek kehidupan itu
terjamin keabadian, keutuhan, orisinalitas serta kesinambungannya. Menurut penulis,
itulah arti sebenarnya dari i’jâz (kemukjizatan) al-Qur’an, dan pengertian ideal dari
statemen “Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw.,” yang setiap orang
Islam pintar melafalkannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mukjizat al-Quran ?
2. Apa saja macam-macam mukjizat ?
3. Aspek-aspek Kemu’jizatan Al-Qur’an ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukjizat
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari katai’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-
i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol
sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang
yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang
berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan
Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan
kenabian dan kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain.
Sebagimana Allah berfirman:
ْ (اﻋْ َﺠ َﺰ ُت ا ْن اﻛُ ْﻮ َن ِﻣﺜْ َﻞ ﻫ ََﺬ31 :اﻟﻤﺎﺋﺪة
(ي َﺳ ْﻮ َء َة ا ِﺧ ْﻲ ِ اب َﻓﺎ َو
َ ار ِ ااﻟ ُﻐ َﺮ
“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kumukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan manusia
atau menyadarkan mereka atas kelemahanya untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an
akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan
Rasul yang membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh
mereka hanya sekedar menyampaikan risalah Allah SWT, mengkhabarkan dan
menyerukan.
Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak
dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa.
Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan
sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan
hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat
dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila
keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak
dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang
kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash.
Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi
inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatan.
Bahkan,karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang
terakhir dinamai ihanah(penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka
lagi).
Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi
terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi
suatumukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan
tidak dapat terjadi dewasa ini.
3. Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum
dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang
berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”,
tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”,
maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atauistidraj
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang
penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan
harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan
mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Dari sekian aspek kemukjizatan al-Qur’an tersebut di atas, ada tiga sisi yang penulis
anggap perlu dibahas secara tersendiri, yaitu al-i’jâz al-‘ilmî (kemukjizatan al-Qur’an
dalam aspek ilmu pengetahuan kealaman), al-i’jâz al-lughawî(kemukjizatan al-Qur’an
dalam aspek kebahasaan, uslub yang digunakan dan susunan serta tertib ayatnya) dan al-
i’jâz al-tasyrî’î (kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ajaran syariat yang dikandungnya).
1. Al-I’jâz al-‘Ilmî
Tentang hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, Quraish Shihab
menyatakan bahwa ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh al-Qur’an, tetapi
tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan
keesaan-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan
penelitian demi lebih menguatkan keimanan dan kepercayaan kepada-Nya. Quraish lalu
mengutip pendapat Mahmûd Syaltut yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak
menurunkan al-Qur’an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia
mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.
Tentang hal ini, Quraish menyimpulkan enam hal:
Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia
seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyrik dan akhlak demi
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tiada pertentangan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Memahami hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan
melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di
dalamnya, tapi dengan melihat adakah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an
bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat al-Qur’an dan bertentangan pula
dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah
berdasarkan al-Qur’an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat
Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuan
yang dikuatirkan akan terjadi pula dalam Islam, sehingga cendekiawan Islam
berusaha menampakkan hubungan antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
Memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan penemuan-penemuan baru
adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai akidah
Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan
bahasa.
Pendapat Quraish ini senada dengan Mannâ’ al-Qaththân yang dengan tegas
menyatakan bahwa orang telah melakukan kesalahan ketika dengan menggebu
mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Keyakinan serupa ini, kata
al-Qaththân, akan bertabrakan dengan kenyataan bahwa sifat teori-teori ilmu
pengetahuan senantiasa berubah sejalan dengan dinamika perubahan waktu sesuai
dengan sunnah kemajuan. Apa yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah pada satu saat,
pada saat mendatang tidak mustahil terbukti kesalahannya. Kemukjizatan ilmiah al-
Qur’an, tegas al-Qaththân, justru terletak pada motivasinya untuk berpikir. Ia mendorong
manusia untuk memperhatikan dan mencermati alam dan gejalanya, sambil memberikan
akses dan porsi yang baik dan besar bagi akal. Al-Qur’an tidak pernah menghalang-halangi
pemeluknya untuk menambah ilmu pengetahuannya kapan dan di mana pun.
Sedangkan menurut Ahmad Baiquni, hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan
kealaman adalah bahwa sebagai hamba Allah manusia dikaruniai akal serta pikiran untuk
dapat memilih tindakan mana yang baik dan mana yang tidak untuk kebahagiaan
akhiratnya, tetapi juga untuk bertahan hidup di dunia dan memanfaatkan lingkungannya
sebagai sumber bahan pangan dan papan, sehingga ia dapat memperoleh kebahagiaan
dunia sebagai khalifah yang bertanggung jawab. Untuk itu semua, Allah telah menurunkan
al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, secara garis besar, baik untuk ilmu
keakhiratannya yang rinciannya ada di dalam Sunnah Rasul, maupun ilmu keduniaan
yang rinciannya berada di dalamal-kaun (semesta).
Dengan bimbingan al-Qur’an manusia diarahkan agar mengembangkan sains untuk
mengetahui sifat dan tingkah laku alam sekitarnya pada kondisi-kondisi tertentu, dan
dengan penguasaan sains ini manusia dapat membuat kondisi yang sedemikian rupa
hingga alam beraksi, yang mengarah pada hasil yang menguntungkannya; ia menciptakan
teknologi. Dengan sains dan teknologilah manusia memanfaatkan dan melestarikan alam
sekelilingnya sebagai layaknya penguasa yang baik. Kemampuan manusia untuk
mengarahkan alam lingkungannya dengan teknologi agar alam beraksi yang
menguntungkannya itu disebabkan karena Allah, Sang Pemurah dan Penyayang telah
menetapkan peraturan-peraturan-Nya yang harus diikuti dengan taat oleh seluruh alam,
dan manusia mengetahui Sunnatullah yang telah diberlakukan itu dari nazhr pada sisi
langit dan bumi yang menghasilkan sains.
2. Al-I’jâz al-Lughawî
Al-Shabûnî menandai adanya tujuh karakteristik uslub al-Qur’an:
Sentuhan serta nuansa kata-kata al-Qur’an yang indah dan menawan, seperti
terlihat dalam keindahan bunyi dan nada yang ditimbulkan serta bahasa yang
elok menarik.
Membuat rela dan puas semua kalangan, baik khalayak awam maupun
kalangan khusus tertentu. Dalam arti, semua sepakat mengakui keagungannya
dan merasakan keindahannya.
Memberikan kepuasan bagi akal dan emosi secara berbarengan. Ia menyentuh
akal dan hati serta memadukan kebenaran dan keindahan secara apik dan
indah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an memuat multidimensi yang kesemuanya diperuntukkan bagi kebaikan
umat manusia. Sebanyak dimensi yang dikandung al-Qur’an sebanyak itu pula mukjizat
yang dimilikinya. Itu tidak lain karena setiap dimensi yang dimilikinya, pada saat yang
sama juga merupakan dimensi-dimensi kemukjizatan al-Qur’an. Dari sini kita dapat
dengan tegas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah seluruhnya mukjizat. Tidak ada
pemilahan. Tidak ada di antara muatan al-Qur’an yang bukan mukjizat.
Unsur mukjizat ada empat, yaitu hal yang atau peristiwa yang luar biasa, terjadi
atau dipaparkan oleh seorang nabi, mengandung tantangan terhadap yang meragukan,
dan tantangan tersebut tidak mampu di layani.
Menurut Syeikh Muhammad Ali al- Shabuniy, segi-segi kemukjizatan al-quran ada
sebelas. Beberapa dalil tentang kemukjizatan al-quran:
1. Al-quran tersebar luas dimuka bumi ini, termasuk di jazirah Arab, khususnya di Kota
Mekkah, yang merupakan daearah yang belum mengenal peradaban dan kebudayaan
metroplis sebagaimana yang telah dihasilkan oleh berbagai masyarakat yang
dianggap maju.
2. Al- quran dibawa oleh rasulullah Saw dan juga disebarluaskan kepada penduduk
bumi ini oleh salah seorang penduduk Mekkah yang belum pernah mengecap
pendidikan dan pengajaran meski hanya sedikit. Sebagaimana yang dinyatakan
dalam al-quran
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-quran) sesuatu kitab pun dan
kamu (tidak) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari (mu).
B. Saran
Demikian tugas pembuatan makalah ini meskipun jauh dari kesempurnaan,
harapan kami dengan adanya makalah ini kita dapat mengetahui tentang kemukjizatan al-
quran yang sangat luar biasa tersebut. Dan semoga dengan adanya pembuatan makalah ini
kita dapat mengambil manfaatnya khususnya bagi para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Abû Thâlib, Masmû Ahmad, Khulashah al-Bayân fî Mabâhits min ‘Ulûm al-Qur’ân,Cairo:
Dâr al-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, cet. I, 1994.
Al-‘Aqqâd, ‘Abbâs Mahmûd, al-Falsafah al-Qur’âniyah,Cairo: Dâr al-Hilâl, tt.
Al-Ghazâlî, Muhammad, al-Mahâwir al-Khamsah lî al-Qur’ân al-Karîm, Mansoura: Dâr al-
Wafâ`, cet. I, 1989.
Al-Qaththân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, cet.
III, 1973.
Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Mu`assasah Manâhil
al-‘Irfân, cet. II, 1980.
Al-Suyûthî, Jalâluddîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. III,
1995.
Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Primayasa, cet. I, 1996.
Ismâ’îl, Fâthimah, al-Qur’ân wa al-Nazhr al-‘Aqlî, Virginia: International Institute of Islamic
Though, cet. I, 1993.
Khalaf, ‘Abdul Wahhâb, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh,Cairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, cet.
VIII, 1990.
Muhammad, Mamdûh Hasan, I’jâz al-Qur’ân lî al-Bâqilânî,Cairo: Dâr al-Amîn, cet. I, 1993.
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, al-Wahy al-Muhammadî,Beirut: al-Maktab al-Islâmî, cet. X, 1985.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, cet. XIII, 1996.
http://kumpulanmakalah94.blogspot.co.id/
http://firmankumai.blogspot.co.id/2014/10/makalah-ulumul-quran-tentang.html
http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.co.id/2012/03/makalah-mukjizat-al-quran.html
http://adeeeeeeee.blogspot.co.id/p/makalah-kemukjizatan-al-quran.html
Anonymous di 2:30:00 AM
Share
‹ Home ›
View web version
Powered by Blogger.