Anda di halaman 1dari 10

Tasawuf Imam Ghazali

A. Pendahuluan
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk
diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami banyak
masalah sehingga tasawuf dianggap sebagai satu obat manjur untuk mengobati
kehampaan tersebut. Nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah
SAW, untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab
dulu.
Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad
ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan
sebutan Imam Al-Ghazali. Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang
mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.

B. Sekilas Tentang al-Ghazali


Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang
ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara
ilmu. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul
fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan
karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu.
Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi
kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia
berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu
kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian
timur laut negara Iran. 1 Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam
dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain
al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai
hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
C. Pendidikan Al-Ghozali
Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu
Muhammad al – Razkani al – Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang
dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa,
setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al – Nassaj (wafat
487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma’al al-Juwaini yang bergelar
Imam al – Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al –
Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al – Farmadi, dan iamulai mengajar dan menulis
dalam Ilmu Fiqh. Setelah Imam al – Juwaini wafat ia pindah ke Mu’askar mengikuti
berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan
segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah
di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji
filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan
kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu’askar,
dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari
kegemerlapan duniawi tersebut.

D. Sosio Politik
Al-Ghozali hidup pada saat keadaan politik yang kacau. Pada saat itu
pemerintahan Abbasiah sudah tidak ada pengaruhnya dengan munculnya Dailami
Saljuk kemudian Qowamuddin Nizamul Mulk selain itu juga terjadi perang saudara.

E. Sosio Ekonomi
Al–Ghazali adalah anak dari seorang yang wara’ yang hanya makan dari
usahanya sendiri, dengan pekerjaan memintal dan menjual wol di sebuah toko tua di
kota Thus Propinsi Khurasa, wilayah Persi. Meski pekerjaan ayahnya tidak memadai
dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari, namun ayahnya adalah seseorang yang
cinta dengan Ulama’ selain itu dia terus menerus meminta kepada Tuhan (Allah SWT)
agar anak – anaknya senantiasa mendapat anugerah dan hidayah dari Allah SWT
supaya menjadi anak yang berguna dan berpengetahuan luas. Dengan penuh harapan
kiranya kedua putranya kelak dapat memenuhi harapan dan keinginannya. Selain itu
keadaan perekonomian dinegara itu sedang kacau, karena adanya kholifah yang
korupsi, sehingga menyebabkan banyaknya kefakiran.

F. Al-Ghazali dan Tasawuf


Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf
ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran
tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran
Islam.
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya
‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan
pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya
diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Jika pada awal pembentukannya
tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-
tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), dan yang
lainnya, yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan
syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu
melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang
sebelumnya terjadi ketegangan.
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu
tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada
zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian
harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang
bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak
seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini
saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail
hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang
kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah
dan menjadi sia-sia dan malah akan menjadi bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka
nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

G. Konsep Ma’rifat al-Ghazali


Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah
seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar,
tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan
kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan
dengan mahabatullah.
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat
seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-
sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak
melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali
mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini)
akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya
sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai
mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai
pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan
seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan
sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala
sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah
ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian
dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan
tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati
batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang
telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan
berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang
dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli
(pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh
Tuhan atau bertahalli.
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan
mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang
mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan
makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis
merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom
ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah
pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud
ini kecuali Tuhan.
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang
dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis
atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran
seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-
ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan
wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan.
Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang
wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua,
bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya.
Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah
makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan
penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau
penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam
apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.
H. Penyebaran ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia. Hal ini
disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang terkenal dengan
nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dalam kitab ini
pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi menjadi 10
pasal, yaitu:
Pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang adat istiadat
(rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu’ al –
muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal (rubu’ al –
munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah ikhlas dengan
tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Namun yang menjadi
kekurangannya adalah al ghazali tidak membahas tentang jihad dalam kitab tersebut,
padahal pada saat itu dalam keadaan perang.

TASAWUF AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS


SEKARANG
Antusiasme publik Islam kepada Imam Al-Ghzali memang tidak terbantahkan
dari dulu hingga sekarang. Di tengah kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran
Islam, Imam Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan
Hadits. Kitab Ihya’ Ulum al-Din rimbun dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil
normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud, ridha, tawakkal, dan lain-lain
diberinya pendasaran Qur’anik dan Hadits. Dari sini tak keliru sekiranya dikatakan
bahwa corak tasawuf al-Ghazali adalah khuluqi-‘amalidan bukan falsafi. Dengan
corak tasawuf ini, al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibn
Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan terhadap al-Ghazali. Namun, kritik
orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak mengguyahkan kedudukan al-Ghazali di mata
umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din
terlalu kuat untuk dipatahkan. Di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki
dengan corak dan ekspresi keberislaman yang keras dan tandus, pikiran-pikiran
sufistik al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikansi untuk hadir kembali.
Ia menyuguhkan konsep cinta (mahabbah), tauhid (monoteisme),makhafah(takut), dan
ma’rifah (pengetahuan). Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah harus diwujudkan
dalam bentuk cinta kepada seluruh makhluk Allah. Bahwa siapa yang menyayangi
Allah dengan sendirinya menyayangi makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dari konsep
tauhid ini lahir misalnya semangat untuk menyatu dengan Allah dengan cara
membersihkan diri dari dosa melalui medium tobat (taubat), tak mengikatkan diri
pada harta dunia (zuhd) karena khawatir terjauh dari Allah, menyerahkan segala
urusan kepada Allah (tawakkul), rela terhadap segala keputusan dan ketentuan Allah
(ridha). Tangga-tangga spiritual ini sekiranya dijalankan secara konsisten akan
mengantarkan seseorang pada derajat mengetahui Allah (ma’rifat Allah). Doktrin-
doktrin spiritual seperti ini akan tetap berguna. Di tengah masyarakat modern yang
kerap merasa teralienasi, kitab Ihya’ Ulum al-Din seperti oase yang menyejukkan.
Namun, di antara berpuluh bahkan ratusan karya Imam Ghazali tampaknyaIhya’
Ulum al-Din yang memiliki pengaruh cukup kuat di dunia Islam. Kitab ini seperti
ensiklopedi yang merangkum isu-isu pokok di dalam ilmu tasawuf yang diramu
dengan syariat dan fikih Islam. Terdiri dari empat jilid dengan empat pokok bahasan,
yaitu tentang ibadat (rub’u al-ibadat) seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain;
tentang adat-muamalah (rub’u al-‘adat) membahas soal nikah, mencari nafkah, etika
persahabatan, dan lain-lain; tentang hal-hal yang membawa petaka bagi manusia
(rub’u al-muhlikat) seperti bahaya lisan, bahaya iri-dengki, cinta dunia-kedudukan;
tentang hal-hal yang menyelamatkan manusia (rub’u al-munjiat) seperti taubat, sabar,
syukur, tauhid, tawakkal, mahabbah, ridha, dan sebagainya. Masing-masing dirinci
dalam sepuluh kitab dengan puluhan bab dan bayan untuk setiap kitabnya.
Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, menurut Badawi Thabanah, Imam Ghazali
membahas tentang ilmu fikih, psikologi, filsafat, sosiologi, dan tasawuf. Namun, ia
memiliki cara, teknik dan perspektif tersendiri dalam membahas ilmu-ilmu tersebut.
Ilmu fikih misalnya. Jika mayoritas ahli fikih membahas shalat dari aspek legal-
formalnya (syarat-rukunnya), maka Imam Ghazali melihatnya dari sudut spiritualnya
(asrar al-shalat). Demikian komplitnya pembahasan Imam Ghazali dalam kitab ini
hingga Ibn al-Najjar berkata bahwa apa yang ditulis Imam Ghazali dalam kitab Ihya’
Ulumuddinmerupakan ilham dari Allah atau buah dari ma’rifat yang dianugerahkan
Allah kepada yang bersangkutan selama menjalani kehidupan sufi (anna ma hadatsa
bihi al-Ghazali fi Baghdad min kitab Ihya’ Ulum al-Din kana ilhaman aw kana
tsamratan min tsamaratin al-ma’rifah allati afadhaha Allah ‘alaihi fi marhalah
nusukihi wa tashawwufihi). Apa yang dikemukakan Ibn al-Najjar tersebut sebagai
bukti kekaguman yang bersangkutan terhadap karya agung Imam Ghazali ini.
Demikian banyak karya sufistik al-Ghazali, maka sebagaimana tampak dalam
judul--tulisan ini akan merujuk pada kitab Ihya’ Ulum al-Din. Kitab ini akan diungkap
secara deskriptif menyakut isi dan kandungannya lalu dianalisasis secukupnya.
Karena kitab ini memiliki spektutrum dan kandungan yang luas, maka artikel ini akan
fokus membahas tentang pokok-pokok ajaran tasawuf Imam Ghazali dalam kitab
tersebut. Dari sini bisa diketahui tentang corak pemikiran tasawufnya. Namun,
sebelum masuk pada pokok soal tersebut, akan dikemukakan terlebih dahulu tentang
biografi sosial intelektual Imam Ghazali termasuk siapa saja guru-guru yang telah
mempengaruhinya terutama dalam ilmu tasawuf. Biografi sosial-intelektual ini
penting dikemukakan untuk mengetahui konteks sosial-intelektual dari noktah
pemikiran tasawuf Imam Ghazali sehingga kita tahu mengapa pada ujung hidupnya ia
lebih memilih sebagai seorang sufi.
Tak bisa dimungkiri, keunggulan sebuah karya intelektual bisa dilihat dari
kemampuannya mengadaptasikan diri dengan lingkup masyarakat dunia yang plural.
Dari itu, di ujung artikel ini juga akan diungkap relevansi dan signifikansi doktrin-
doktrin spiritual Imam al-Ghazali terutama dalam konteks masyarakat modern yang
kerap merasa teralienasi dan mengalami disorientasi. Seberapa jauh doktrin-doktrin
tasawuf al-Ghazali memiliki makna baik secara intelektual maupun secara moral
dalam masyarakat kontemporer.
Relevansi

Meskipun telah ratusan tahun Imam Ghazali meninggal dunia. Tapi, doktrin
tasawufnya masih tetap relevan. Pertama, ia menghadirkan doktrin ajaran yang lembut
dan santun bukan Islam yang keras dan ketus. Tuhan tak hanya dihadirkan sebagat
Dzat yang tegas seperti yang umum dinyatakan para ahli fikih melainkan juga Tuhan
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Di tengah kecenderungan sekelompok
umat Islam yang suka mendakwahkan Islam melalui jalur kekerasan, maka doktrin
tasawuf yang disuguhkan Imam Ghazali adalah relevan. Dalam pandangan Imam
Ghazali, sekiranya Tuhan adalah Sang Kekasih, maka manusia adalah Salik, yaitu
orang yang sedang berjalan menuju kepada Tuhan.
Kedua, tangga-tangga kehidupan intelektual yang dititi Imam Ghazali memberi
pelajaran dalam proses penemuan kebenaran. Sejauh yang bisa dibaca dalam
autobiografinya, ia tampaknya tak menjatuhkan diri menjadi sufi sejak awal. Jauh
sebelum menulis buku-buku tasawuf seperti Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ghazali
menekuni dan malang melintang dalam usaha pengembangan berbagai disiplin ilmu,
seperti logika-filsafat, fikih-ushul fikih, dan teologi-kalam. Dan untuk itu, ia menulis
puluhan bahkan ratusan buku. Namun, ia tak menemukan kepuasan hingga akhirnya
melabuhkan diri dalam tasawuf. Ini menunjukkan bahwa “kebenaran” yang berhasil
dijumpainya tak “sekali jadi” dan tak serta merta datang. Ia menempuhnya melalui
proses panjang bahkan berliku, tapi ia tak putus asa untuk mencari kebenaran itu.
Semangat dan ketekunan mengembara secara intelektual ini mestinya diteladani kaum
terpelajar Islam sekarang.
Ketiga, kitab Ihya’ Ulum al-Din ini ditulis untuk mengurangi dosis formalisme-
legalisme dalam tubuh umat Islam saat itu. Formalisme dalam ber-Islam
dikhawatirkan Imam Ghazali akan menghilangkan sisi moral-etis ajaran. Ini karena
Imam Ghazali gusar dengan kian merosotnya moral-etis para ulama saat itu. Baginya,
ilmu-ilmu keislaman bukan alat untuk mengejar kepentingan-kepentingan dunia
seperti untuk meraih popularitas dan kedudukan (li nayli al-syuhrah wa al-jah),
melainkan untuk membangun keluhuran akhlak dan kebersihan hati. Itu sebabnya,
dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, ia tak ragu mengkritik ulama su’(ulama culas) yang
menjadikan ilmunya sebagai barter untuk mendapatkan tahta dan kekayaan.
Keempat, secara doktrinal, tasawuf Imam Ghazali bisa memberikan solusi
terhadap kecenderungan masyarakat modern yang merasa terasing dan secara
psikologis menderita dalam keterasingan itu. Yang satu merasa terancam oleh yang
lain baik secara sosial maupun secara ekonomi dan politik. Orang lain dianggap
sebagai musuh. Padahal, tak ada yang lebih dibutuhkan pada masa kini kecuali
kemampuan untuk memperlakukaan orang lain sebagai diri kita sendiri dan bukan
sebagai lawan. Imam Ghazali mengajak kita untuk menyeimbangkan aktivitas jasmani
dengan kontemplasi ruhani. Renungkanlah, dengan mencinta Allah, kita akan
mencintai hamba-hamba Allah.

Penutup
Imam Ghazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan juga
menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini adalah
Ihya’ Ulum al-Din. Sejauh yang bisa dilihat dari karyanya ini, diketahui bahwa corak
tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali ketimbang tasawwuf
falsafi.
Tak hanya bersandar kepada al-Qur’an dan Hadits, al-Ghazali menuliskan
pengalaman spiritual individualnya dalam buku ini. Dengan demikian, para pembaca
juga akan diperkaya dengan penjelasan-penjelasan spiritual yang bertumpu pada
pengalaman batin al-Ghazali. Inilah yang menyebabkan kitab Ihya’ Ulum al-Din
menjadi beda dari yang lain

Anda mungkin juga menyukai