Anda di halaman 1dari 53

ASBAB NUZUL

Dr. Siti Chodijah, M.Ag


Acep Dani Ramdani, M.Ag
Pengertian Asbab An-Nuzul
• Asbabun nuzul secara etimologi adalah sebab-sebab yang
melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
• Ungkapan Asbabun nuzul khusus digunakan untuk
menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-
qur’an, sedangkan Asbabun wurud khusus digunakan untuk
sebab-sebab terjadinya hadits
• Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta
hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
• Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan
peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
• Subhi Shalih
‫ض ِّمنَةً لَهُ اَ ْو ُم ِج ْيبَةً َع ْنهُ اَ ْو‬
َ َ‫سبَ ِب ِه ُمت‬ َ ِ‫ت اآليَةُ اَ ِواآيَاتُ ب‬ ِ َ‫َما نَ َزل‬
‫ُمبَيِّنَةً لِ ُح ْك ِم ِه َز َم َن ُوقُ ْو ِع ِه‬
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi
sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an
yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa
sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas
terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu
terjadi”.
• Mana’ al-Qathan
‫َال‬
ٍ ‫سؤ‬ َ ‫شأْنِ ِه َو ْق‬
ُ ‫ت ُوقُ ْو ِع ِه َك َحا ِدثَ ٍة اَ ْو‬ ٌ ‫َمانَ َز َل قُ ْر‬
َ ‫آن ِب‬
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya
al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik
berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi”.
• Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua
menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka
menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul dari kejadian tersebut.
• Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turunnya suatu
ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan ada kalanya berbentuk
pertanyaan.
Macam-macam Asbabun nuzul
Ditinjau dari aspek bentuknya, Asbabun nuzul terbagi menjadi 2, yaitu:

• Bentuk peristiwa
• Bentuk pertanyaan

Sebab-sebab turunnya ayat yang dalam bentuk peristiwa ada 3 macam


• Peristiwa berupa pertengkaran. Contohnya dalam surat Ali Imran ayat 100
   •
   
  
  
 
• “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari
orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan
kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
Asbab Nuzul Ayat tersebut:
Ibnu Ishak meriwayatkan bahwa ayat ini turun sebagai peringatan
keras kepada orang-orang Yahudi yang mengadu domba dalam
suatu Majelisdan menerbarkan kekacauan terhadap dua suku Arab
yakni aus dan Khajraj, agar mereka memerangi satu sama lain,
sehingga mereka hamper berperang, berita itu kemudian sampai
kepada Rosululloh lalu beliau mendamaikannya sehingga
merekapun menaati beliau, lalu turunlah ayat ini (Lubabun Nuqul
45.45)
• Peristiwa berupa kesalahan yang serius. Contohnya dalam surat An-Nisa ayat 43
    •
   
    
    
     
      
   
   
  
     
  
• “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Asbab Nuzulnya:
Diriwayatkan dari Abu Daud,Tirmidzi,Nasa’I dari Ali bin Abi
ThalibDia berkata: Abdurrahman bin Auf membuatkan untuk kami
makanan dan menyediakan khamar lalu kami menyantap dan
meminum khamar itu, lalu kami melaksanakan Sholat dan menjadi
Imam aku membaca surat al-Kafirun sehingga salah dalam
bacaannya…….lalu turunlah ayat ini sebagai peringatan.
• Peristiwa itu berupa dan keinginan seperti: persesuaian (muwafaqah) :
seperti relevansi Umar bin Khatab dengan ketentuan ayat-ayat al-qur-
an. (QS. Al-Baqarah: 125).

    •


   
   
  
   
 
  
• “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami
perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud.”
• Sebab-sebab turunnya ayat yang dalam bentuk pertanyaan ada
3 macam
• Berhubungan yang telah lalu. Contohnya dalam surat al-kahfi
ayat 83.
   •
   
   
• “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita
tantangnya.”
• Sedang berlangsung. Contohnya dalam surat al-Isra’ ayat 85.

    •


    
   
  
• “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
"Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit”.
• Masa yang akan datang. Contohnya dalam surat al-A’raf ayat 187.
    •
     
     
    
     
     
    
   
 
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada
sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah,
tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui.”
Ditinjau dari segi jumlah asbab an-nuzul
dibagi menjadi dua, yaitu:
• Ta’adud al-asbab wa al nazil wahid (sebab turunnya lebih dari
satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau
sekelompok ayat yang turun satu).
• Ta’adud al- nazil wa sabab wahid (inti persoalan yang
terkandung di dalam ayat atau sekelompok yang turun lebih
dari satu sedang turun lebih dari satu).
Sumber Asbabun nuzul
• Untuk mengetahui sumber asbab an-nuzul tidak ada jalan lain
kecuali dari riwayat yang shahih. Al-wahidi meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “sehubungan dengan itu,
maka tidak diperkenankan asbab an-nuzul kecuali melalui
riwayat yang shahih, atau mendengar langsung dari orang-
orang yang menyaksikan turunya al-quran yaitu dari para
sahabat karena pernyataan sahabat selama riwayatnya shahih,
dianggap beritanya sebagai hadits marfu’”.
• Secara turun temurun dari generasi ke generasi lainnya,
riwayat-riwayat menyangkut al-qur’an mulai dari asbab an-
nuzul penafsiran dan lain sebagainya. Yang selalu dipelajari
secara sungguh-sungguh, kemudian dihapal dan dipelihara
keotentisitasannya melalui hapalan maupun tulisan.
• Timbul gagasan dari Ali bin al-Madiny untuk membukukan yang
diberi judul asbab an-nuzul. Selanjutnya usaha al-Madiny di ikuti
oleh:
• Abu al-Mutharif Abd Rohman bin Muhammad al-Qurtuby (W.
402 H). Judul Qishash Wa Al-Asalib Al-Laty Nazala Min Ajliha Al-
Qur’an.
• Abu Hasan Ali bin Ahmad (W. 468 H). Asbab An-Nuzul.
• Abu al-Faraj bin al-Jaway (W. 597 H). Al-Ijat Fi Bayan Al-Asbab di
abad ke-6 H.
• Jalaluddin As-Suyuthi (911 H) dalam kitab Lubabul Manqul fi
Asbabin Nuzul.
• Ibnu Hajar al-Atsqolani (852 H) dalam Kitab Asbabun Nuzul.
Redaksi sebab nuzul
• Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang
berupa pernyataan tegas (Shorih) mengenai sebab dan
terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung
kemungkinan mengenainya (Muhtamilah)
• . Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan: “sebab nuzul ayat
ini adalah begini”, atau menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira
seperti “maka” yang menunjukan peristiwa) yang dirangkaikan
dengan kata “turunlah ayat” sesudah itu menyebutkan peristiwa
atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan ‫ َذا‬2‫ َد َثَك‬2‫“ َح‬telah terjadi
peristiwa begini”, atau‫َزلَ ْت‬222‫ َذا َ نَف‬2‫ َعْن َك‬2‫سلَّ َم‬
َ ‫ َو‬2‫ َعلَ ْي ِه‬22‫ى ُهللا‬2َ‫ َصل‬22‫س ْو ُل ِهللا‬
ُ ‫ َل َر‬2ِ‫ُسئ‬
‫آل ُة‬
َ‫ي‬2 ‫“ ا‬rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat
ini.” Dengan demikian kedua bentuk diatas merupakan pernyaan
yang jelas tentang sebab.
• Bentuk kedua, yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan
sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan
hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: ‫ َذا‬2‫ َك‬222‫ف‬
‫آل ُة ِ ي‬
َ‫ي‬2 ‫ ا‬2‫َزلَ ْت َه ِذ ِه‬222‫َ نَف‬
“ayat ini turun mengenai ini”, yang dimaksud dengan
ungkapan (redaksi) terkadang sebab nuzul ayatdan kadang
pula kandungan hukum ayat tersebut
• Demikian juga bila ia mengatakan:‫ َذا‬2‫ َك‬222‫ف‬ ‫ت ي‬ِ ْ َ‫زل‬2َ ‫آل َة َ ن‬
َ‫ي‬2 ‫ ا‬2‫ ْح ِس ُب َه ِذ ِه‬2‫“ َا‬aku
mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau ‫آل َة‬ َ‫ي‬2 ‫ ا‬2‫ ْح ِس ُب َه ِذ ِه‬2‫َا‬
‫ َذا َما‬2‫ َك‬222‫ف‬ ِ ْ َ‫زل‬2َ ‫“ َ ن‬aku tidak mengira ayat ini turun kecuali
‫ ِ ي‬2‫ت ااَّل‬
mengenai hal yang begini”. Dengan bentuk redaksi demikian
ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk
redaksi tersebut mungkin pula menunjukan lain
• Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar,
yang mengatakan:

َّ‫سا ِء فِي أَ ْدبَا ِر ِهن‬ ِ َ‫ث لَّ ُك ْم } االية فِ ْي اِ ْتي‬


َ ِّ‫ان الن‬ َ ِ‫• أُ ْن ِزلَتْ { ن‬
ُ ‫سا ُء ُك ْم َح ْر‬

• “ayat istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu


bercocok tanam (QS. Al-Baqarah {[2]: 233) turun berhubungan
dengan masalah menggauli istri dari belakang
• Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair,
bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum
Ansar yang pernah ikut dalam perang badar bersama Nabi, di hadapan
Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi;
keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Ansar
berkata: “biarkan air mengalir.” Tetapi Zubair menolak. Maka kata
Rasulullah: “airi kebun mu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir
ke kebun tetangga mu.” Orang Ansar itu marah, katanya: “Rasulullah,
apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?” wajah
Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: “air kebun mu Zubair,
kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia
mengalir ke kebun tetangga mu.” Rasulullah dengan keputusan ini telah
memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan
keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang
ansar itu. Ketika Rasulullah marah kepada kaum Ansar, ia memenuhi hak
Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: “aku tidak mengira ayat berikut
ini turun kecuali mengenai urusan tersebut: Maka demi Tuhan mu,
mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An-Nisa [4]:65).
Metode Penelitian Dan Pentarjihan Asbab Al Nuzul

• Yang menjadi dasar bagi ulama dalam mengetahui Asbab Al


Nuzul ialah sahnya periwayatan itu dari Nabi SAW. atau dari
sahabat. Kalau hanya berita itu dari sahabat, maka hendaklah
berita itu terang-terangan artinya tidak boleh dengan ra’yu
(pemikiran).
• Dalam Asbab Al Nuzul suatu ayat, terkadang ada beberapa
riwayat yang menjelaskannya, atau suatu riwayat Asbab Al
Nuzul menjelaskan atau menjadi sebab turunnya beberapa
ayat
• . Dalam masalah ini para ulama menyelesaikan dengan
berbagai cara :
• apakah dengan mentarjih salah satu riwayat
• mengkompromikan riwayat-riwayat tersebut
• atau kedua-duanya dipergunakan
Metode Penelitian Dan Pentarjihan
Asbab Al Nuzul
• Bila ada dua riwayat Asbab Al Nuzul yang dianggap shahih dalam
menjelaskan salah satu ayat, dan tidak bisa ditarjih salah
satunya, maka para ulama menentukan ayat itu Asbab Al Nuzul
dari dua riwayat tadi. Misalnya ayat 6-9 surat an-Nur yang
menjelaskan tentang mula’anah, untuk ayat ini ada dua riwayat
shahih yang menjelaskan Asbab Al Nuzul.
• Riwayat pertama dari bukhari-muslim dengan lafadz bukhari dari
sahal bin sa’ad... menanyakan kepada Rasulullah tentang istrinya
yang sedang berduaan dengan laki-laki lain, apakah harus
ditindak (dibunuh) atau dibiarkan... kemudian turun ayat
Mula’anah (an-Nur 6-9).
• Riwayat kedua dari bukhari dari ikrimah dari ibnu abbas,
bahwa hilal bin umayah menuduh istrinya berbuat serong
dengan laki-laki lain... maka datang jibril menurunkan wahyu
surat an-Nur ayat 6-9. Untuk peristiwa diatas, para ulama
menetapkan bahwa ayat tersebut Asbab Al Nuzul nya ada dua,
karena Asbab Al Nuzul itu terjadi pada waktu yang
berdekatan.tidak bisa ditarjih maka dengan cara
dikompromikan bahwa dua-duanya merupakan Asbab Nuzul.
• Bila ada dua riwayat yang shahih dalam menjelaskan Asbab Al
Nuzul salah satu ayat, dan salah satunya bisa ditarjih, maka
yang diambil adalah riwayat yang lebih rajih. Misalnya Asbab
Al Nuzul tentang Ruh (al-Isra: 84). Riwayat pertama dari
bukhari riwayat kedua dari tirmidzi, maka yang diambil riwayat
bukhari, karena menurut jumhur ahli hadits riwayat dari
bukhari lebih didahulukan dari yang lainnya, walaupun
keduanya dianggap shahih.
• Asbab Al Nuzul nya satu riwayat, namun riwayat tersebut
menjadi sebab turunnya beberapa ayat. Misalnya riwayat hakim
dan tirmidzi dari umi salamah ia berkata: “ya Rasulullah, saya
tidak mendengar Allah menyebut-nyebut perempuan sewaktu
hijrah, maka turunlah ayat 195 surat Ali Imran.
• Riwayat berikut masih dari hakim dari umi salamah, dia berkata:
“ya Rasulullah, dalam al-qur’an disebutkan laki-laki tapi tidak
disebut perempuan, maka turun ayat 32 surat an-Nisa,
kemudian turun ayat 35 surat al-Ahzab dan turun lagi ayat 195
surat Ali-Imran.
Kaidah dalam Memahami Ayat

• Kaidah Al-Ibrah Bi Umumi Al-Lafdhi Laa Bi Khususi As-Sabab


(yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum, bukan sebab
yang khusus)
• ‫ العبرة بعموم اللفض البخصوص السبب‬: ‫قاعدة‬
• Pertama kali mari kita membedakan antara dua hal, yaitu antara
LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya ayat. Begitu pula kita perlu
membedakan dengan UMUM dan KHUSUS, yang disebut umum
dalam pembahasan ini adalah (amm) yaitu yang mencakup
seluruh manusia atau kaum muslimin, sedangkan khusus yang
berkaitan dengan person-person tertentu dan terbatas.
• Karenanya, dalam kaitan antara LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya
ayat, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yang masing-masing
mempunyai konsekwensi atau hukumnya masing-masing
• Pertama, apabila ayat bersifat umum dan sebab turunnya pun secara
umum. Maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut
bersifat UMUM.
Contoh dalam masalah ini adalah firman Allah SWT.
     •
   
    
    
    
    
  
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222).
Lafadz “al-mahiid” diatas bersifat umum yang berarti semua
wanita yang haid, begitu pula sebab turunnya ayat itu bersifat
umum, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik: bahwa
orang-orang yahudi pada waktu itu, ketika istri mereka sedang
haid mereka mengusirnya dari rumah, dan tidak memberi mereka
makan minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka.
Maka Rasulullah pun ditanya masalah ini. Maka turunlah ayat
diatas, dan Rasulullah saw. bersabda: “lakukan apa saja selain
jimak”.
• Jadi, peristiwa atau pertanyaan dari sahabat kepada Rasul
bersifat umum, mereka menanyakan secara umum tentang
bergaul dengan istri-istri yang haid secara umum, bukan satu
dua perempuan atau istri mereka secara khusus. Karenanya,
hukum ini juga berlaku umum bagi semua wanita haid.
• Kedua, apabila lafal ayat bersifat khusus dan sebab turunnya pun
khusus pada perseorang tertentu, maka yang diambil adalah bahwa
hukum ayat tersebut bersifat KHUSUS.
• Contoh dalam hal ini adalah firman Allah SWT.
    •
    
    
    
   

• “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya
yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata)
karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. Dan kelak Dia
benar-benar mendapat kepuasan.” (QS. Al-Lail [92]: 17-21).

• Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata
al-Atqa (orang yang paling taqwa) menurut tasyrif
terbentuk af’al untuk menunjukan arti superlatif,
tafdil yang disertai al-‘adiyah (kata sandang yang
menunjukan bahwa kata yang dimasukinya itu telah
diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi
orang yang karenanya ayat itu diturunkan.
• Jadi secara lafal memang khusus dan sebabnya
adalah khusus, karena itu ayat ini harus ditafsiri
khusus tentang Abu Bakar As-Shidiiq, bukan umum
kepada kaum muslimin.
• Ketiga, jika sebab ayat itu adalah hal khusus berkaitan
dengan orang tertentu, sedang lafal ayat yang turun
berbentuk umum.
• Dalam kasus inilah, kaidah diatas menjadi perdebatan
diantara ulama ushul, apakah yang dijadikan pegangan adalah
“lafal yang umum” ataukah “sebab yang khusus”.
Berikut masing-masing pendapat dan dalil-dalilnya :
• Jumhur ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan
adalah lafal yang umum berlaku pada semua orang.
Misalnya: ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami istri untuk
menolak dari tuduhan zina) yang turun mengenai tuduhan Hilal
bin Umayah kepada istrinya.
Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah
berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma dihadapan Nabi.
Maka Nabi Berkata : Harus ada bukti, bila tidak maka
punggung mu yang didera.
Hilal berkata : Wahai Rasulullah, apabila salah seorang
diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya,
apakah ia harus mencari buktinya.
Rasulullah menjawab : Harus ada bukti, bila tidak maka
punggung mu yang didera.
Hilal berkata : Demi yang mengutus engkau dengan
kebenaran, sesungguhnya perkataan itu benar dan Allah
benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan
punggungku dari dera.
Maka turunlah Jibril as. Dan menurunkan kepada Nabi ayat:
  •
  
  
 
  
   
 
  
    
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-
orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah
atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya
itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk
orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang
yang benar.” (QS. An-Nuur [24]: 6-9).
• Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini: “walladzi
yarmuuna azwajahum” (dan orang-orang yang menuduh
istrinya) tidak hanya khusus mengenai peristiwa Hilal bin
Umayyah, tetapi diterapkan pula pada khusus yang serupa
lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat
dan paling shahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman
(universalitas) hukum-hukum syariat.
• Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para
mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat tertentu
kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab
turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus
Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat
mengenai hal itu berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman
redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus
sudah populer dikalangan ahli.
• Segolongan ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan
adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal
yang umum itu menunjukan bentuk sebab yang khusus. Oleh
karena itu, untuk dapat diberlakukan kepada khusus selain sebab
diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga
pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah,
dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya
pertanyaan dengan jawabannya.
• Maka yang dimaksud Al-Ibrah Bi
Umumi Al-Lafdhi Laa Bi Khususi
As-Sabab, ialah: bahwa pelajaran
atau yang dianggap pertimbangan
ialah, dari keumuman lafadz
bukan dari kekhususan sebab.
• Maksudnya, ayat al-Qur’an yang
diturunkan dengan redaksi yang
umum namun memiliki penyebab
turun yang khusus maka ayat
tersebut tidak hanya berlaku bagi
penyebab turunnya melainkan
umum terhadap siapa saja yang
kasusnya sama.
Urgensi Asbab Al Nuzul
• Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak
pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat al-Qur’an, seperti
pada surah Al Baqarah ayat 115.
    •
   
      

• “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun


kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”
• Dari ayat diatas dinyatakan bahwa timur dan barat merupakan
kepunyaan Allah.
• Contoh kedua dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, bahwa marwan menemui kesulitan dalam
memahami surat Ali Imran ayat 188.
    •
   
   
  
    
 
• “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan
mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum
mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka
terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”
• Marwan memahami ayat tersebut sebagai berikut: jika setiap
orang bergembira dengan usaha yang telah diperbuatnya dan
suka di puji atas usahanya yang belum dikerjakan, akan disiksa,
maka kita semua akan disiksa. Ia memahami ayat seperti itu
sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat diatas diturunkan
berkenaan dengan akhli kitab. Ketika ditanya oleh Nabi
tentang sesuatu, mereka menyembunyikanya bahwa
tindakannya itu diluar permintaan Nabi SAW. mereka
berpendapat bahwa tindakannya itu berhak mendapat pujian
dari Nabi, maka turunlah ayat tersebut.
• Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian
umum. Seperti dalam surat Al-An’am[6] ayat 145.
       •
  
   
    
    
     
    
    

• Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah.”(QS. Al-an’am:145)
• Menurut Asy-Syafi’I’ pesan ayat diatas tidak bersifat umum
(hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam
memahami ayat diatas, Asy-Syafi’i menggunakan alat bantu
Asbabunnuzul, menurutnya ayat ini diturunkan manganai
orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, keculi
terhadap apa yang mareka halalkan sendiri, mereka
menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan
mengharamkan apa yang telah Allah halalkan maka turunlah
ayat ini.
• Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-
Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi
pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus As-
Sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum Al-
lafadz).
• Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan al-Qu’an turun.
Umpamanya ‘aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan
yang menunjuk Abd Rahman Ibn Abu Bakar sebagai orang yang
menyebabkan turunya ayat:”Dan orang yang mangatakan
kepada orang tuanya “cis, kamu berdua…”(Q.S. Al-Ahqaf: 17).
Untuk meluruskan persoalan,’aisyah berkata kepada Marwan;
Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat itu turun. Dan
aku sanggup untuk menyebutkan siapa yayang sebenarnya.”
• Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat, serta
untuk memantapkan wahyu wahyu ke dalam hati yang
mendengarkannya. Sebab hubungan sebab-akibat
(musabbab), hukum, peristiwa dan pelaku,masa dan tempat
merupakan satu jalinan yang mengikat hati.

Anda mungkin juga menyukai