Anda di halaman 1dari 36

ASBAB NUZUL

OLEH: SITI CHODIJAH, M.AG


Pengertian Asbab An-Nuzul
• Asbabun nuzul secara etimologi adalah sebab-
sebab yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu. Ungkapan Asbabun nuzul khusus
digunakan untuk menyatakan sebab-sebab
yang melatarbelakangi turunnya al-qur’an,
sedangkan Asbabun wurud khusus digunakan
untuk sebab-sebab terjadinya hadits
• Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta
hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
• Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan
peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
• Subhi Shalih
‫ع ْنهُ ا َ ْو ُمبَ ِينَةً ِل ُح ْك ِم ِه َز َم َن ُوُُ ْو ِع ِه‬
َ ً‫ض ِمنَةً لَهُ ا َ ْو ُم ِج ْيبَة‬ َ ‫ت اآليَةُ ا َ ِواآيَاتُ ِب‬
َ َ ‫سبَ ِب ِه ُمت‬ ِ َ‫َما نَ َزل‬
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa
sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum
ketika peristiwa itu terjadi”.
• Mana’ al-Qathan
ُ ‫آن ِبشَأْنِ ِه َو ُْتَ ُوُُ ْو ِع ِه َك َحا ِدث َ ٍة ا َ ْو‬
‫س َؤا ٍل‬ ٌ ‫َمانَ َز َل ُُ ْر‬
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an
berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu
kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.
• Kendatipun redaksi pendefinisian di atas
sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa
asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat al-
Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan
dan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dari kejadian tersebut.
• Definisi ini memberikan pengertian bahwa
sebab turunnya suatu ayat adakalanya
berbentuk peristiwa dan ada kalanya
berbentuk pertanyaan.
Macam-macam Asbabun nuzul
Ditinjau dari aspek bentuknya, Asbabun nuzul terbagi
menjadi 2, yaitu:
• Bentuk peristiwa
• Bentuk pertanyaan
Sebab-sebab turunnya ayat yang dalam bentuk peristiwa
ada 3 macam
• Peristiwa berupa pertengkaran. Contohnya dalam surat
Ali Imran ayat 100

• “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti


Asbab Nuzul Ayat tersebut:
Ibnu Ishak meriwayatkan bahwa ayat ini turun
sebagai peringatan keras kepada orang-orang
Yahudi yang mengadu domba dalam suatu
Majelisdan menerbarkan kekacauan terhadap
dua suku Arab yakni aus dan Khajraj, agar
mereka memerangi satu sama lain, sehingga
mereka hamper berperang, berita itu kemudian
sampai kepada Rosululloh lalu beliau
mendamaikannya sehingga merekapun menaati
beliau, lalu turunlah ayat ini (Lubabun Nuqul
45.45)
• Peristiwa berupa kesalahan yang serius. Contohnya dalam
surat An-Nisa ayat 43

• “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,


sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali
Asbab Nuzulnya
Diriwayatkan dari Abu Daud,Tirmidzi,Nasa’I dari
Ali bin Abi ThalibDia berkata: Abdurrahman bin
Auf membuatkan untuk kami makanan dan
menyediakan khamar lalu kami menyantap dan
meminum khamar itu, lalu kami melaksanakan
Sholat dan menjadi Imam aku membaca surat
al-Kafirun sehingga salah dalam
bacaannya…….lalu turunlah ayat ini sebagai
peringatan.
• Peristiwa itu berupa dan keinginan seperti: persesuaian
(muwafaqah) : seperti relevansi Umar bin Khatab
dengan ketentuan ayat-ayat al-qur-an. (QS. Al-Baqarah:
125).

• “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu


(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan
• Sebab-sebab turunnya ayat yang dalam bentuk
pertanyaan ada 3 macam
• Berhubungan yang telah lalu. Contohnya dalam surat
al-kahfi ayat 83.

• “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad)


tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan
kepadamu cerita tantangnya.”
• Sedang berlangsung. Contohnya dalam surat al-Isra’
ayat 85.

• Masa yang akan datang. Contohnya dalam surat al-A’raf
ayat 187.

• “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah


terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan
tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak
seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya
selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan
datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka
• Asbab an-nuzul menurut Naesabunihi adalah
sebagian kecil ayat-ayat al-qur’an datang dan
sebab nuzul mayoritas tidak.
• Ditinjau dari segi jumlah asbab an-nuzul dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
• Ta’adud al-asbab wa al nazil wahid (sebab
turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang
terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat
yang turun satu).
• Ta’adud al- nazil wa sabab wahid (inti persoalan
yang terkandung di dalam ayat atau sekelompok
yang turun lebih dari satu sedang turun lebih dari
satu).
Sumber Asbabun nuzul
• Untuk mengetahui sumber asbab an-nuzul tidak ada jalan
lain kecuali dari riwayat yang shahih. Al-wahidi
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda:
“sehubungan dengan itu, maka tidak diperkenankan asbab
an-nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih, atau
mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan
turunya al-quran yaitu dari para sahabat karena pernyataan
sahabat selama riwayatnya shahih, dianggap beritanya
sebagai hadits marfu’”.
• Secara turun temurun dari generasi ke generasi lainnya,
riwayat-riwayat menyangkut al-qur’an mulai dari asbab an-
nuzul penafsiran dan lain sebagainya. Yang selalu dipelajari
secara sungguh-sungguh, kemudian dihapal dan dipelihara
keotentisitasannya melalui hapalan maupun tulisan.
• Timbul gagasan dari Ali bin al-Madiny untuk
membukukan yang diberi judul asbab an-nuzul.
Selanjutnya usaha al-Madiny di ikuti oleh:
• Abu al-Mutharif Abd Rohman bin Muhammad al-
Qurtuby (W. 402 H). Judul Qishash Wa Al-Asalib Al-Laty
Nazala Min Ajliha Al-Qur’an.
• Abu Hasan Ali bin Ahmad (W. 468 H). Asbab An-Nuzul.
• Abu al-Faraj bin al-Jaway (W. 597 H). Al-Ijat Fi Bayan Al-
Asbab di abad ke-6 H.
• Jalaluddin As-Suyuthi (911 H) dalam kitab Lubabul
Manqul fi Asbabin Nuzul.
• Ibnu Hajar al-Atsqolani (852 H) dalam Kitab Asbabun
Nuzul.
Redaksi sebab nuzul
• Bentuk redaksi yang menerangkan sebab
nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas
(Shorih) mengenai sebab dan terkadang pula
berupa pernyataan yang hanya mengandung
kemungkinan mengenainya (Muhtamilah)
• . Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan:
“sebab nuzul ayat ini adalah begini”, atau
menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka”
yang menunjukan peristiwa) yang dirangkaikan
dengan kata “turunlah ayat” sesudah itu
menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya,
ia mengatakan ‫َث َكذَا‬ َ ‫“ َحد‬telah terjadi peristiwa
begini”, atau ‫سلَّ َم ع َْن َكذَا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَى هللا‬
َ ‫هللا‬
ِ ‫س ْو ُل‬
ُ ‫سئِ َل َر‬
ُ
ُ‫“ فَنَ َزلَتْ اآليَة‬rasulullah ditanya tentang hal begini,
maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian kedua
bentuk diatas merupakan pernyaan yang jelas
tentang sebab.
• Bentuk kedua, yaitu redaksi yang boleh jadi
menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar
menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila
perawi mengatakan: ‫“ فَنَ َزلَتْ َه ِذ ِه اآليَةُ ِفي َكذَا‬ayat
ini turun mengenai ini”, yang dimaksud
dengan ungkapan (redaksi) terkadang sebab
nuzul ayatdan kadang pula kandungan hukum
ayat tersebut
• Demikian juga bila ia mengatakan: ‫ب َه ِذ ِه‬ ِ ‫ا َ ْح‬
ُ ‫س‬
‫“ اآليَةَ نَ َزلَتْ فِي َكذَا‬aku mengira ayat ini turun
mengenai soal begini” atau ْ‫ب َه ِذ ِه اآليَةَ نَ َزلَت‬ ُ ‫س‬ ِ ‫ا َ ْح‬
‫“ ا ََِّّل ِفي َكذَا َما‬aku tidak mengira ayat ini turun
kecuali mengenai hal yang begini”. Dengan
bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak
memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk
redaksi tersebut mungkin pula menunjukan
lain
• Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari
Ibnu Umar, yang mengatakan:

‫اء فِي أ َ ْدبَ ِار ِه َّن‬
ِ ‫س‬ ِ َ‫ث لَّ ُك ْم } اَّلية فِ ْي اِتْي‬
َ ِ‫ان الن‬ َ ِ‫• أ ُ ْن ِزلَتْ { ن‬
ُ ‫سا ُء ُك ْم َح ْر‬

• “ayat istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat
kamu bercocok tanam (QS. Al-Baqarah {[2]: 233)
turun berhubungan dengan masalah menggauli
istri dari belakang
• Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair,
bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum
Ansar yang pernah ikut dalam perang badar bersama Nabi, di hadapan
Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi;
keduanya mengairi kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Ansar
berkata: “biarkan air mengalir.” Tetapi Zubair menolak. Maka kata
Rasulullah: “airi kebun mu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir
ke kebun tetangga mu.” Orang Ansar itu marah, katanya: “Rasulullah,
apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?” wajah
Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: “air kebun mu Zubair,
kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia
mengalir ke kebun tetangga mu.” Rasulullah dengan keputusan ini telah
memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan
keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang
ansar itu. Ketika Rasulullah marah kepada kaum Ansar, ia memenuhi
hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: “aku tidak mengira ayat
berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut: Maka demi Tuhan
mu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An-Nisa
[4]:65).
Metode Penelitian Dan Pentarjihan
Asbab Al Nuzul
• Yang menjadi dasar bagi ulama dalam
mengetahui Asbab Al Nuzul ialah sahnya
periwayatan itu dari Nabi SAW. atau dari
sahabat. Kalau hanya berita itu dari sahabat,
maka hendaklah berita itu terang-terangan
artinya tidak boleh dengan ra’yu (pemikiran).
• Dalam Asbab Al Nuzul suatu ayat, terkadang
ada beberapa riwayat yang menjelaskannya,
atau suatu riwayat Asbab Al Nuzul
menjelaskan atau menjadi sebab turunnya
beberapa ayat
• . Dalam masalah ini para ulama menyelesaikan
dengan berbagai cara :
– apakah dengan mentarjih salah satu riwayat
– mengkompromikan riwayat-riwayat tersebut
– atau kedua-duanya dipergunakan
Metode Penelitian Dan Pentarjihan
Asbab Al Nuzul
• Bila ada dua riwayat Asbab Al Nuzul yang dianggap shahih dalam
menjelaskan salah satu ayat, dan tidak bisa ditarjih salah satunya, maka
para ulama menentukan ayat itu Asbab Al Nuzul dari dua riwayat tadi.
Misalnya ayat 6-9 surat an-Nur yang menjelaskan tentang mula’anah,
untuk ayat ini ada dua riwayat shahih yang menjelaskan Asbab Al Nuzul.
• Riwayat pertama dari bukhari-muslim dengan lafadz bukhari dari sahal bin
sa’ad... menanyakan kepada Rasulullah tentang istrinya yang sedang
berduaan dengan laki-laki lain, apakah harus ditindak (dibunuh) atau
dibiarkan... kemudian turun ayat Mula’anah (an-Nur 6-9).
• Riwayat kedua dari bukhari dari ikrimah dari ibnu abbas, bahwa hilal bin
umayah menuduh istrinya berbuat serong dengan laki-laki lain... maka
datang jibril menurunkan wahyu surat an-Nur ayat 6-9. Untuk peristiwa
diatas, para ulama menetapkan bahwa ayat tersebut Asbab Al Nuzul nya
ada dua, karena Asbab Al Nuzul itu terjadi pada waktu yang
berdekatan.tidak bisa ditarjih maka dengan cara dikompromikan bahwa
dua-duanya merupakan Asbab Nuzul.
• Bila ada dua riwayat yang shahih dalam
menjelaskan Asbab Al Nuzul salah satu ayat, dan
salah satunya bisa ditarjih, maka yang diambil
adalah riwayat yang lebih rajih. Misalnya Asbab Al
Nuzul tentang Ruh (al-Isra: 84). Riwayat pertama
dari bukhari riwayat kedua dari tirmidzi, maka
yang diambil riwayat bukhari, karena menurut
jumhur ahli hadits riwayat dari bukhari lebih
didahulukan dari yang lainnya, walaupun
keduanya dianggap shahih.
• Asbab Al Nuzul nya satu riwayat, namun riwayat
tersebut menjadi sebab turunnya beberapa ayat.
Misalnya riwayat hakim dan tirmidzi dari umi salamah
ia berkata: “ya Rasulullah, saya tidak mendengar Allah
menyebut-nyebut perempuan sewaktu hijrah, maka
turunlah ayat 195 surat Ali Imran.
• Riwayat berikut masih dari hakim dari umi salamah, dia
berkata: “ya Rasulullah, dalam al-qur’an disebutkan
laki-laki tapi tidak disebut perempuan, maka turun ayat
32 surat an-Nisa, kemudian turun ayat 35 surat al-
Ahzab dan turun lagi ayat 195 surat Ali-Imran.
Kaidah dalam Memahami Ayat

• Kaidah Al-Ibrah Bi Umumi Al-Lafdhi Laa Bi Khususi As-Sabab (yang


menjadi pegangan adalah lafal yang umum, bukan sebab yang
khusus)
• ‫ العبرة بعموم اللفض َّلبخصوص السبب‬: ‫ُاعدة‬
• Pertama kali mari kita membedakan antara dua hal, yaitu antara
LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya ayat. Begitu pula kita perlu
membedakan dengan UMUM dan KHUSUS, yang disebut umum
dalam pembahasan ini adalah (amm) yaitu yang mencakup seluruh
manusia atau kaum muslimin, sedangkan khusus yang berkaitan
dengan person-person tertentu dan terbatas.
• Karenanya, dalam kaitan antara LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya
ayat, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yang masing-masing
mempunyai konsekwensi atau hukumnya masing-masing
• Pertama, apabila ayat bersifat umum dan sebab turunnya pun secara umum.
Maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat UMUM.
Contoh dalam masalah ini adalah firman Allah SWT.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh;
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah
Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-
orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222).
Lafadz “al-mahiid” diatas bersifat umum yang berarti semua wanita yang
haid, begitu pula sebab turunnya ayat itu bersifat umum, sebagaimana diriwayatkan
oleh Anas bin Malik: bahwa orang-orang yahudi pada waktu itu, ketika istri mereka
sedang haid mereka mengusirnya dari rumah, dan tidak memberi mereka makan
minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka. Maka Rasulullah pun ditanya
masalah ini. Maka turunlah ayat diatas, dan Rasulullah saw. bersabda: “lakukan apa
saja selain jimak”.
Jadi, peristiwa atau pertanyaan dari sahabat kepada Rasul bersifat umum, mereka
menanyakan secara umum tentang bergaul dengan istri-istri yang haid secara umum,
bukan satu dua perempuan atau istri mereka secara khusus. Karenanya, hukum ini
juga berlaku umum bagi semua wanita haid.
• Kedua, apabila lafal ayat bersifat khusus dan sebab turunnya pun khusus
pada perseorang tertentu, maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat
tersebut bersifat KHUSUS.
• Contoh dalam hal ini adalah firman Allah SWT.

• “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal
tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus
dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. Dan kelak Dia benar-benar
mendapat kepuasan.” (QS. Al-Lail [92]: 17-21).
• Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-Atqa (orang
yang paling taqwa) menurut tasyrif terbentuk af’al untuk menunjukan arti
superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah (kata sandang yang menunjukan
bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia
dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Jadi secara
lafal memang khusus dan sebabnya adalah khusus, karena itu ayat ini
harus ditafsiri khusus tentang Abu Bakar As-Shidiiq, bukan umum kepada
kaum muslimin.
• Ketiga, jika sebab ayat itu adalah hal khusus
berkaitan dengan orang tertentu, sedang lafal
ayat yang turun berbentuk umum.
• Dalam kasus inilah, kaidah diatas menjadi
perdebatan diantara ulama ushul, apakah
yang dijadikan pegangan adalah “lafal yang
umum” ataukah “sebab yang khusus”.
Berikut masing-masing pendapat dan dalil-dalilnya :
• Jumhur ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum berlaku pada
semua orang.
Misalnya: ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami istri untuk menolak dari tuduhan zina) yang turun
mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.
Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umayah menuduh istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma
dihadapan Nabi.
Maka Nabi Berkata : Harus ada bukti, bila tidak maka punggung mu yang didera.
Hilal berkata : Wahai Rasulullah, apabila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki
mendatangi istrinya, apakah ia harus mencari buktinya.
Rasulullah menjawab : Harus ada bukti, bila tidak maka punggung mu yang didera.
Hilal berkata : Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya perkataan itu
benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.
Maka turunlah Jibril as. Dan menurunkan kepada Nabi ayat:

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat
• Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini: “walladzi
yarmuuna azwajahum” (dan orang-orang yang menuduh
istrinya) tidak hanya khusus mengenai peristiwa Hilal bin
Umayyah, tetapi diterapkan pula pada khusus yang serupa
lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang
kuat dan paling shahih. Pendapat ini sesuai dengan
keumuman (universalitas) hukum-hukum syariat.
• Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan
para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat
tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan
merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya
ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin
Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu berbeda-
beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang
diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer
dikalangan ahli.
• Segolongan ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan
adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal
yang umum itu menunjukan bentuk sebab yang khusus. Oleh
karena itu, untuk dapat diberlakukan kepada khusus selain sebab
diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga
pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah,
dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya
pertanyaan dengan jawabannya.
• Maka yang dimaksud Al-Ibrah Bi Umumi Al-Lafdhi Laa Bi Khususi As-
Sabab, ialah: bahwa pelajaran atau yang dianggap pertimbangan
ialah, dari keumuman lafadz bukan dari kekhususan sebab.
• Maksudnya, ayat al-Qur’an yang diturunkan dengan redaksi yang
umum namun memiliki penyebab turun yang khusus maka ayat
tersebut tidak hanya berlaku bagi penyebab turunnya melainkan
umum terhadap siapa saja yang kasusnya sama.
Urgensi Asbab Al Nuzul
• Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat al-Qur’an, seperti pada surah Al Baqarah ayat 115.

• “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.”
• Dari ayat diatas dinyatakan bahwa timur dan barat merupakan kepunyaan Allah.
Contoh kedua dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa
marwan menemui kesulitan dalam memahami surat Ali Imran ayat 188.

• “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira


dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap
perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa
mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”
• Marwan memahami ayat tersebut sebagai berikut: jika setiap orang bergembira
dengan usaha yang telah diperbuatnya dan suka di puji atas usahanya yang belum
dikerjakan, akan disiksa, maka kita semua akan disiksa. Ia memahami ayat seperti
itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat diatas diturunkan berkenaan
• Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Seperti
dalam surat Al-An’am[6] ayat 145.

• Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,


sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah.”(QS. Al-an’am:145)
• Menurut Asy-Syafi’I’ pesan ayat diatas tidak bersifat umum (hasr). Untuk
mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas, Asy-
Syafi’i menggunakan alat bantu Asbabunnuzul, menurutnya ayat ini
diturunkan manganai orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu,
keculi terhadap apa yang mareka halalkan sendiri, mereka menghalalkan apa
yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah Allah
halalkan maka turunlah ayat ini.
• Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-Qur’an, bagi ulama
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat
khusus (khusus As-Sabab) dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum Al-
lafadz).
• Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan al-Qu’an
turun. Umpamanya ‘aisyah pernah menjernihkan
kekeliruan Marwan yang menunjuk Abd Rahman Ibn
Abu Bakar sebagai orang yang menyebabkan turunya
ayat:”Dan orang yang mangatakan kepada orang
tuanya “cis, kamu berdua…”(Q.S. Al-Ahqaf: 17). Untuk
meluruskan persoalan,’aisyah berkata kepada Marwan;
Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat itu
turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa
yayang sebenarnya.”
• Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat,
serta untuk memantapkan wahyu wahyu ke dalam hati
yang mendengarkannya. Sebab hubungan sebab-akibat
(musabbab), hukum, peristiwa dan pelaku,masa dan
tempat merupakan satu jalinan yang mengikat hati.

Anda mungkin juga menyukai