Anda di halaman 1dari 11

AL-MASHLAHAH

Definisi
• Mashlahah dalam bahasa Arab terbentuk masdar dari lafadz -‫ح‬ ََ َ‫صل‬
َ
‫صلُ ًحا‬ َُ ُ‫صل‬
ُ -‫ح‬ ْ َ‫ ي‬yang bermakna baik atau positif. Mashlahah juga berarti
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
• Sedangkan secara terminologi, Mashlahah Imam al-Ghazali
mengemukakakn, mengambil manfaat dan menolak madharat
(bahaya) dalam rangka memelihara tujuan syara‟ (hukum Islam).
• Menurut Al-Ghazali tujuan syara' yang harus dipelihara tersebut ada
5 bentuk. Yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya
memelihara kelima aspek tujuan di atas, maka dinamakan
mashlahah. Selain itu, usaha untuk menolak segala bentuk
kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara'
tersebut juga dinamakan mashlahah.
Al-Khawarizmi (W.997H) memberikan definisi.
• “Masalahah ialah memelihara tujuan hukum Islam dengan
menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari
makhluk (manusia).”
• Dari rumusan al-Khawarizmi tersebut dapat dipahami bahwa
untuk menentukan apakah sesuatau itu maslahah atau tidak,
baromaternya adalah agama (hukum Islam), bukan akal.
Perbedaan Penggunaan
Mashlahah
Perbedaan pendapat mengenai al-Mashlahah sebagai illat
hukum tersebut sebagai berikut:
• Ulama Zahiriyyah dan al-Asy’ariyah, mereka tidak menerima
jika hukum-hukum Islam itu di-illat-kan dengan al-Mashlahah.
Sangat mungkin Allah itu menetapkan hukum tanpa harus
mengandung satu maslahat bagi hamba-Nya. Hal itu sesuai
dengan firman Allah:
ََ‫َُو ُه ْمَيُ ْسأَلُون‬
َ ‫ََلَيُ ْسأَلَُ َع َّماَيَ ْفعَل‬
• Sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah setuju bahwa al-
Mashlahah patut menjadi illat hukum syariat sebagai indikasi
adanya hukum, bukan sebagai faktor yang mengharuskan
Allah menetapkan hukum berdasar manfaat pada hamba-Nya.
Dengan demikian tidak terjadi kontradiksi dengan firman Allah
tersebut di atas.
Dalam penggunaan al-Mashlahah sebagai dasar tasyri’ yang
berkaitan dalam hal muamalah dan hukum kemasyarakatan,
terdapat beberapa pendapat.
Zahiriyyah, Syi’ah, Syafi’iyah, dan sebagian Malikiyyah, seperti
Ibn Hajib tidak setuju kalau al-Mashlahah dijadikan sebagai dalil
syarak, karena hal itu merupakan konsep yang muncul dari akal,
padahal hak tasyri’ itu merupakan hak preogratif Allah
• Ulama Zahiriyah dalam memahami hukum-hukum syara'
berdasarkan makna lahir saja, tidak memperhatikan adanya
maslahat di balik itu, bahkan sampai meniadakan Kias. Mereka
beranggapan bahwa maslahat itu hanyalah yang telah
diterangkan nas yang jelas, tidak boleh dicari-cari.
• Ulama Syi’ah telah sepakat untuk tidak menggunakan
maslahat sebagai dasar tasyri’. Mereka tidak menyetujui
istinbath hukum syarak didasarkan atas maslahat kecuali jika
telah jelas-jelas dan tegas dapat dikembalikan pada panilaian
akal.
• Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengakui dan membolehkan
penggunaan al-mashlahah sebagai dalil syarak. Menurut al-
‘Amidiy, ulama Syafi’iyah berbeda dengan Hanabilah dalam
penggunaan al-mashlahah, namun Hanabilah menggunakan
istilah al-mashalih dari metode istihsan. Sedangkan Syafi’iyyah
hanya berhenti pada istilah istihsan dan ia mendahulukannya
sebelum kias (al-qiyas). Adapun paling yang banyak
menggunakan al-mashlahah adalah Malikiyah. Mereka paling
terkenal dalam memberi legislasi tentang eksistensi al-
mashlahah sebagai dalil syarak.
Ragam Mashlahah
1. Dari segi kualiasnya dan kepentingan kemaslahatan
• Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di
dunia dan di akhirat.
• Mahslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan
dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar
manusia.
• Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya.
2. Dari segi kandungan mashlahah
• Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak.
• Mashlahah al-Khashshah, jika tadi bersifat umum, mashlahah
ini bersifat pribadi atau individual

3. Dari segi berubah atau tidaknya masalah


• mashlahah al-tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat
tetap, tidak berubah sampai akhir zaman.
• mashlahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang
berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan
subjek hukum.
4. Dari segi keberadaan mashlahah menurut syara‘
• mashlahah al-mu'tarabah, yaitu kemaslahatan yang didukung
oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi
dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
• mashlahah al-mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh
syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
• mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.
Syarat Mashlahah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyaratkan tiga sayarat:
• Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan
termasuk dalam jenis kemashlahatan yang didukung nash
secara umum
• Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar
perkiraann, sehingga hukum yang ditetapkan melalui
mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindaari atau menolak kemudaratan
• Kemashlahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak,
bukan kepentingan pribadi atau sekelompok kecil tertentu.
• Imam Al-Ghazali mengemukakan beberapa syarat:
• Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakannya
• Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan
nash syara’
• Mashlahah itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang
dharuri, baik menyangkut kemahslahatan pribadi maupun
kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku untuk
semua orang

Anda mungkin juga menyukai