Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian asbabun nuzul

Secara etimologis (lughawi), “asbab al-nuzul” terdiri dari dua kata yaitu asbab dan al-
nuzul. Kata asbab berasal dari kata (tunggal: sabab) yang berarti sebab, alasan atau illat.
Dan kata al-nuzul berarti as-su’ud, yakni turun. Adapun pengertian “asbab al-Nuzul”
menurut terminologis (istilah) adalah pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya
suatu ayat. Menurut al-Zarqani, asbab al-nuzul ialah suatu kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk
hukum berkenaan turunnya suatu ayat. Shubhi al-Shalih juga memberikan suatu definisi
yang hampir sama tentang asbab al-nuzul. Yaitu: Sesuatu yang dengan sebabnya turun
suatu ayat atau beberapa ayat yang yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban
terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.
Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya
berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat-ayat atau beberapa
ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu.

Unsur-unsur yang sangat penting diketahui tentang asbab al-nuzul adalah adanya satu
atau beberapa kasus yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, dan ayat-ayat
itu dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap kasus itu.
Jadi ada beberapa unsur yang tidak boleh diabaikan dalam menganalisis asbab al-nuzul,
yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat
peristiwa, dan adanya waktu peristiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu
perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain dan
ditempat dan waktu yang berbeda.

Sebenarnya jika yang dimaksud asbab al-nuzul ialah hal-hal yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat al-Qur’an, semua ayat-ayat al-Qur’an mempunyai asbab al- nuzul.
Tujuan utama al-Qur’an adalah hendak mentransformasikan umat nabi Muhammad dari
situasi yang lebih buruk ke situasi yang lebih baik menurut ukuran Tuhan. Kondisi
objektif yang lebih buruk itulah yang menjadi sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan
bagaikan sebuah suatu paket, yang tak dapat dipisahkan antara satu ayat dengan lainnya

Asbabun nuzul bisa juga disebut sebab-sebab Turunnya (suatu ayat)) adalah ilmu Al-
Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa
ayat al-Qur'an diturunkan. Pada umumnya, Asbabun Nuzul memudahkan para Mufassir
untuk menemukan tafsir dan pemahaman suatu ayat dari balik kisah diturunkannya ayat
itu. Selain itu, ada juga yang memahami ilmu ini untuk menetapkan hukum dari hikmah
di balik kisah diturunkannya suatu ayat. Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa
mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat dapat membantu Mufassir memahami makna ayat.
Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul suatu ayat dapat memberikan dasar yang kukuh
untuk menyelami makna suatu ayat Al-Qur’an.
B. Pembagian asbabun nuzul

a. Dilihat dari Sudut Pandang Redaksi-Redaksi yang Dipergunakan dalam


Riwayat Asbab An-Nuzul
Ada dua jenis redaki yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbab
an-nuzul, yaitu:

1. Sharih(Visionable/jelas)
Artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul, dan tidak mungkin pula
menunjukkan yang lainnya. Redaksi yang digunakan termasuk sharih bila perawi
megatakan:
“sebab turun ayat ini adalah...”Atau ia menggunakan kata “maka” (fa taqibiyah) setelah ia
mengatakan peristiwa tertentu. Misalnya ia mengatakan:
“Telah terjadi..., maka turunlah ayat...”
“Rasulullah pernah ditanya tentang..., maka turunlah ayat...”
Contoh riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat
yang dibawakan oleh Jabir bahwa orang-orang Yahudi berkata, “apabila seorang suami
mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling.” Maka turunlah
Q.S. Al-Baqarah ayat 223.
“223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman.”( Q.S. Al-Baqarah ayat 223.)

2.Muhtamilah
Bila perawi mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan ...”
Misalnya, riwayat Ibnu Umar yang menyatakan:
“ayat,istri-istri kallian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam, turun berkenaan
dengan mendatangi(menyetubuhi) istri dari belakang.”(H.R. Bukhari).
Atau perawi mengatakan: “saya kira ayat ini turun berkenaan dengan...”
Mengenai riwayat asbab an-nuzul yang menggunakan redaksi “muhtamilah”, Az-Zarkasy
menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran:
“sebagaimana diketahui, telah terjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan Tabi’in, jika
seorang di antara mereka berkata, ‘Ayat ini diturunkan berkenaan dengan...’. Maka yang
dimaksud adalah ayat itu mencakup ketentuan hukum tentang ini atau itu, dan bukan
bermaksud menguraikan sebab turunnya ayat.”
b.Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab an-Nuzul untuk Satu Ayat atau
Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul

1.Berbilangnya Asbab an-Nuzul untuk satu Ayat (Ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-
wahid)
Pada kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-Nuzul dalam satu versi.
Adakalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-Nuzul. Tentu saja, hal itu
tidak akan menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandung kontradiksi.
Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya.
Untuk mengatasi variasi riwayat asbab An-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para
ulama mengemukakan cara-cara berikut.
a.Tidak Mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab An-Nuzul ini menggunakan
redaksi muhtamilah(tidak pasti).
b.Mengambil versi riwayat asbab An-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih.
Cara ini digunakan bila ssalah satu versi riwayat asabab An-Nuzul itu tidak menggunakan
redaksi sharih(pasti).
c.Mengambil versi riwayat yang sahih(valid)
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi “sharih”(pasti),
tetapi kualitas salah satunya tidak sahih.

Adapun terhadap variasi riwayat asbab An-Nuzul dalam satu ayat, versi
berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut.
a.Mengambil versi riwayat yang sahih.
Cara ini mengambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asbab An-Nuzul satu ayat,
satu versi berkualitas sahih, sedangkan yang lainnya tidak. Misalnya dua versi riwayat
asbab An-Nuzul kontradiktif untuk surat Adh-Dhuha[93] ayat 1-3.
b.Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi asbab An-Nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya
sama-sama sahih. Seperti asbab An-Nuzul yang berkaitan dengan turunnya ayat tentang
roh.
c.Melakukan studi kompromi (jama’)
Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status
kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih.

2.Variasi Ayat untuk Satu Sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid)


Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya, dua ayat atau lebih. Hal ini dalam
Ulumul Quran disebut dengan istilah “Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid”(terbilang
ayat yang turun,sedangkan sebab turunnya satu). Contoh satu kejadian yang menjadi
sebab bagi dua ayat yang diturunkan, sedangkan antara yang satu dengan yang lainnya
berselang lama adalah riwayat asbab An-Nuzul yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir Ath-
Thabari, Ath-Thabrani, dan Ibn Mardawiyah dari Ibn Abbas. Demikian pula Al-Hakim
meriwayatkan hadis yang sama, redaksi yang sama dan mengatakan , “Maka Allah
menurunkan surah Al-Mujadalah[58] ayat 18-19.
Apabila dilihat dari sisi asbabun nuzul, ayat al-quran diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu ayat-ayat yang memiliki sebab atau latar belakang, yang kedua tidak memiliki sebab
atau latar belakang .

a.Ayat yang didahului sebab (sababi)


1) apabila terjadi suatu peristiwa , maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa
tersebut, seperti kisah turunnya surat Al-Lahab.
2) apabila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an
untuk menerangkan hukumnya. seperti ketika khaulah binti sa’labah dikenakan zihar oleh
suaminya Aus bin tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai
hukumnya, maka turunlah surat Al-Mujadalah ayat 3.

b. Ayat yang tidak didahului sebab (ibtida’i)


untuk menjelaskan aturan syariat, keterangan-keterangan, mauidzah, dan nasehat.
Turun kepadaku surat al-An’am, satu surat sekaligus. Diiringi oleh 70.000 malaikat.
Mereka menyuarakan tasbih dan tahmid. (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath no.
3316 dan Abu Nua’im dalam al-Hilyah, 3/44 dan di sana ada perawi bernama Yusuf bin
Athiyah as-Shaffar dan dia dhaif).

C. Pendapat Beberapa Ulama Tentang Asbabun Nuzul

Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab khusus
tetapi diungkapkan dalam bentuk lafal umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafal
umum. Sebagai contoh turunnya Qs. Al-Maidah (5) : 38 “laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang
dilakukan seseorang pada masa nabi. Tetpi ayat ini menggunakan lafal ‘am, yaitu isim
mufrod yang di takrikan dengan alif lam (al) jinsiyyah. Mayoritas ulama memahami ayat
tersebut berlaku umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.
Sebagian kecil ulama mempunyai sisi pandang lain. Mereka perpegang pada kaidah
kedua dengan alasan bahwa kalau yang dimaksud tuhan adalah kaidah lafal ini, bukan
untuk menjeasskan suatu peristiwa atau sebab khusus, mengapa tuhan menunda
penjelasan-penjelasan-Nya hingga terjadinya peristiwa tersebut.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menolak pendapat kedua dengan alasan
bahwa lafal umum adalah kalimat baru,dan hukum yang terkandung didalamnya bukan
merupakan hubungan kausal dengan peristiwa yang melatar belakanginya.Bagi kelompok
ulama ini kedudukan asbabun nuzul tidak terlalu penting.Sebaliknya minoritas ulama
menekankan pentingnya riwayat asbabun nuzul dengan memberikan contoh tentang
Qs.Al-Bqarah (2):115 “Dan kepunyaan Allah-Lah timur dan barat,maka kemanapun
kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatnya)
lagi Maha Pengetahui”
Jika hanya berpegang kepada redaksi ayat, maka hukum yang dipahami dari ayat tersebut
ialah tidak wajib menghadap kiblat pada waktu sholat, baik dalam keadaan musaffir atau
tidak. pemahaman seperti ini jelas keliru karena bertentangan dengan dalil lain dan ijma
para ulama .Akan tetapi dengan memperhatikan asbabun nuzul ayat tersebut, maka
dipahami bahwa ayat itu bukan ditunjukkan kepada orang orang yang berada pada
kondisi biasa atau bebas, tetapi kepada orang orang yang karena sebab tertentu tidak
dapat menentukan arah kiblat.
Kaidah kedua terasa lebih kontekstual, tetapi prsoalannya adalah tidak semua ayat ayat
Al-Qur’an mempunyai asbabun nuzul. ayat ayat yang mempunyai asbabun nuzul
jumlahnya sangat terbatas. sebagian diantaranya tidak sahih, ditambah lagi satu ayat
kadang mempunyai dua atau lebih asbabun nuzul.

D. Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Mengetahui asbaabun-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) merupakan hal yang


sangat penting, karena mengandung beberapa faedah. Diantaranya :

1. Menjelaskan bahwa Al-Qur’an benar-benar turun dari Allah ta’ala

Hal ini dapat dilihat bahwa terkadang Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam jika ditanya
tentang suatu masalah, beliau terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu sampai turun
wahyu kepadanya, atau beliau sedang menghadapi suatu permasalahan, kemudian turun
wahyu kepada beliau sebagai penjelas atas hal tersebut.
Contoh Pertama :

Firman Allah ta’ala :

‫ح قتلل اللروُتح لملنّ أقلملر قرلبيّ قوُقمآَ تأوُلتيِتتم لمنّ الللعلللم إللل ققلليِلل‬ ‫قوُيقلسأ قتلوُنق ق‬
‫ك قعلنّ اللروُ ل‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Israa’ : 85).

Dalam kitab Shahih Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwa
seorang laki-laki dari kalangan Yahudi berkata,”Wahai Abul-Qasim – nama panggilan
untuk Rasulullah – apa ruh itu?”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam diam tidak
menjawab pertanyaan itu. [Dalam suatu lafadh disebutkan] : Maka Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menahan diri dan tidak menjelaskan sesuatupun kepada mereka. Aku
(Ibnu Mas’ud) tahu bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang menerima wahyu,
kemudian aku berdiri di tempatku. Ketika wahyu turun beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam beliau berkata :

‫ح قتلل اللروُتح لملنّ أقلملر قرلبيّ قوُقمآَ تأوُلتيِتتم لمنّ الللعلللم إللل ققلليِلل‬ ‫قوُيقلسأ قتلوُنق ق‬
‫ك قعلنّ اللروُ ل‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,”Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Israa’ : 85).
Contoh Kedua :

Firman Allah ta’ala :

‫يقتقوُتلوُقن لقلئنّ لرقجلعقنآَ إلقلىَ اللقملدينقلة لقيِتلخلرقجلنّ القعلز لملنقهاَ القذلل‬

“Mereka berkata : “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang
yang kuat akan mengusir yang lemah daripadanya” (QS. Al-Munaafiquun : 8).

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Zaid bin Arqam radliyallaahu ‘anhu
mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul, seorang pemimpin dari golongan munafik,
mengatakan bahwa menurut ayat di atas, yang dimaksud dengan orang yang lebih mulia
adalah dia. Sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya
adalah orang yang lebih hina. Maka Zaid mengkhabarkan hal itu kepada pamannya,
kemudian sang paman mengkhabarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil Zaid, kemudian dia (Zaid) mengkhabarkan
apa-apa yang dia dengan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam datang kepada Abdullah bin ‘Ubay dan para shahabatnya,
maka mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan hal itu. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam pun mempercayai mereka. Maka Allah ta’ala menurunkan wahyu
sebagai bentuk pembenaran kepada Zaid seperti yang tersebut dalam ayat ini, sehingga
jelaslah urusan tersebut bagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

2. Sebagai bukti pertolongan Allah ta’ala dan pembelaan atas Rasul-Nya


Contoh tentang hal itu tersebut dalam firman Allah ta’ala :

‫ك قوُقرتلللقناَهت تقلرلتيِلل‬
‫ت بلله فتقؤاقد ق‬ ‫قوُققاَقل الللذيقنّ قكفقتروُلا لقلوُلق نتلزقل قعلقليِله اللقتلرآْتن تجلملقةل قوُالحقدةل قكقذلل ق‬
‫ك للنتثقبل ق‬

“Berkatalah orang-orang kafir : “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya


sekali turun saja?” demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al-Furqaan : 32).

Begitu pula dengan ayat-ayat Al-Ifk (berita dusta), sesungguhnya ayat-ayat tersebut
merupakan pembelaan terhadap tempat tidur (istri – yaitu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan pensucian atas dirinya dari kebohongan para
pendusta. (Baca kisah tentang masalah ini dalam QS. An-Nuur : 11-26).

3. Sebagai bukti pertolongan Allah ta’ala kepada hamba-Nya, dengan melapangkan


kesusahan dan menghilangkan kesedihan mereka
Contoh yang berkenaan dengan hal ini terdapat dalam ayat tentang tayamum. Tersebut
dalam kitab Shahih Bukhari bahwa kalung milik ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha hilang,
ketika itu ia sedang ikut dalam perjalanan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka, Nabi
pun mencarinya. Dan orang-orang ketika itu tidak menemukan air dimana mereka
kemudian mengadukan hal itu kepada Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu. Disebutkan dalam
hadits bahwa kemudian turunlah ayat tentang tayamum. Maka mereka pun melakukan
tayamum. Berkata ‘Usaid bin Hudlair,”Ini bukanlah barakah kalian yang pertama kalinya
wahai keluarga Abu Bakar”. Hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari dengan lafadh
yang panjang.

4. Memahami ayat dengan pemahaman yang benar

Contoh tentang hal ini terdapat dalam firman Allah ta’ala :

‫ت أقلوُ العتققمقر فقلق تجقناَقح قعلقليِله قأن يقطللوُ ق‬


َ‫ف بللهقما‬ ‫ال فققملنّ قحلج اللبقليِ ق‬
‫صقفاَ قوُاللقملرقوُةق لمنّ قشقعآَئللر ل‬
‫إللن ال ل‬

”Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sa’i antara keduanya” (Al Baqarah :158)

Sesungguhnya melihat teks ayat ‫“ ( فقلق تجقناَقح‬maka tidak ada dosa baginya” ) menunjukkan
bahwa hakikat perintah mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah hanyalah perintah
yang bersifat mubah saja.

Dalam kitab Shahih Bukhari dari ‘Ashim bin Sulaiman dia berkata : “Saya bertanya
kepada Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu tentang Shafa dan Marwah”. Anas menjawab :
“Kami berpendapat bahwa keduanya termasuk perkara jahiliyyah. Maka setelah datang
Islam, kami lestarikan atas keduanya”. Kemudian Allah ta’ala menurunkan firman-Nya :
‫صقفاَ قوُاللقملرقوُةق لمنّ قشقعآَئللر ل‬
‫ال‬ ‫” إللن ال ل‬Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar
Allah” sampai dengan firman-Nya : َ‫ف بللهقما‬ ‫” قأن يقطللوُ ق‬mengerjakan sa’i antara keduanya”.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa peniadaan dosa di sini bukan berarti sebagai
penjelasan tentang asal hukum sa’i, tetapi yang dimaksudkan adalah peniadaan atas
keberatan mereka atau anggapan bahwa hal itu dosa, sehingga mereka menahan diri dari
mengerjakan sa’i antara keduanya. Karena sebelumnya mereka berpendapat bahwa
keduanya termasuk perkara jahiliyyah. Adapun asal hukum sa’i, maka telah jelas dengan
‫” لمنّ قشقعآَئللر ل‬Termasuk sebagian syi’ar-syi’ar Allah”.
firman Allah ‫ال‬

E. Fungsi asbabun nuzul


Asbabun nuzul mempunyai arti penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Seseorang tidak
akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbabun nuzul suatu
ayat.

Fungsi memahami asbabun nuzul antara lain sebagai berikut :

a. Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’
terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik dan agama. Jika dianalisa secara
cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti penghapusan
minuman keras.
b. Mengetahui asbabun nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat.
c. Pengetahuan asbabun nuzul dapat mengkhususkan hukum terbatas pada sebab,
terutama ulama yang menganut kaidah “sabab khusus” .
d. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu
ke dalam hati untuk orang yang mendengarnya. Sebab, hubungan sebab-akibat
(musabbab), hukum peristiwa, pelaku, dan tempat merupakan melakukan satu jalinan
yang bisa mengikat hati.
e. Yang paling penting ialah asbabun nuzul dapat membantu memahami apakah suatu
ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu diterapkan,

F. Riwayat Asbabun nuzul


Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan
demikian, sikap seorang mufasir kepadannya sebagai berikut :
1.Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti : “Ayat ini turun
mengenai urusan ini”, atau”Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka
dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu; sebab maksud riwayat-
riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam
makna ayat didimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada
karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya penjelasan sebab nuzul.
2.Apabila salah satu redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai
urusan ini”; sedang riwayat lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berada
dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan
sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk diadalam hukum
ayat.
3.Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu
riwayat di antarnya itu sahih, maka yang menjadi pegangan adalalah riwayat yang shahih.
4.Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih namun terdapat segi yang memperkuat
salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-
riwayat itu lebih shahih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5.Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau
dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah
terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
6.Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-
sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandangan
sebagai banyak dan berulangnya nuzul.

Berbicara mengenai sebab turunnya ayat hanya bisa diketahui melalui periwayatannya
yang sahih, dalam beberapa hal ditemui juga kesulitan dalam menagmbil kesimpulan,
apakah keterangan sahabat dalam menceritakan suatu peristiwa dapat dikategorikan
Ababun Nuzul atau tidak. Untuk itu, diperlukan suatu petunjuk yang dapat
menerangkannya. Petunjuk yang dimaksud terlihat dalam bentuk ungkapan tersebut :
1.Asbabun Nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas berupa sebab nuzul hazihi al-
ayati kaza. Ungkapan ini secara definitif menunjukan Asbabun Nuzul yang jelas dan
gamblang sehingga tidak ada kemungkinan bagi makna lain.
2.Asbabun Nuzul tidak disebutkan dengan lafal sebab, tetapi dengan mendatangkan lafal
fa (maka) yang masuk dalam ayat yang secara langsung setelah pemaparan suatu
peristiwa.
3.Ababun Nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Misalnya, Rasulullah ditanya
seseorang, kemudian beliau diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang
baru diterimannya. Lalu adakalanya sahabat atau tabi’in mmenerangkan suatu peristiwa
yang terjadi di jaman Rasulullah dan menjelaskan hukumnya dengan ayat yang
menyangkut peristiwa tersebut.
4.Asbabun Nuzul tidak disebutkan dengan suatu ungkapannya sebab secara tegas, tidak
dengan mendatangkan fa(maka) yang menunjukan sebab dan tidak pula berupa jawaban
yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dengan menggunakan ungkapan nuzilat
hazihi al-ayatu fi kaza. Ungkapan seperti ini secara defintif tidak menunjukan sebab,
tetapi mengandung makna sebab dan makna lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau
persoalan yang sedang dihadapi.
Dengan demikian, tampaklah bahwa dalam memberikan kesimpulan suatu riwat sebagai
Asbabun Nuzul, menurut al-Wahidi, sangatlah diperlukan ketelitian, sebab walaupun
riwayat itu datang dari sahabat, belum tentu benar dan dapat dijadikan sebagai dalil atau
argumentasi.

F. Cara Mengetahui Asbabun nuzul


Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul ialah riwayat sahih yang
berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu bila jelas, maka hal itu bukan sekedar
pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-
Wahidi mengatakan : “Tidak halal berpendapat mengenai Asbabun Nuzul kitab kecuali
dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang
menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang
pengertiannyaserta bersungguh-sungguhdalam mencarinya.”
Inilah jalan yang ditempuh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan
sesuatu mengenai Asbabun Nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirib
mengatakan : “Ketika kutanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an,
dijawabnya: “Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang
mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang
termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai
riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukan, orang harus
mengetahui benar-benar Asbabun Nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan
dalam Asbabun Nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti
musnad, yang secara pasti menunjukan Asbabun Nuzul.
Ibnu Taimiyah berkata:
“Para ulama berselisih dalam hal perkataan sahabat, bahwa ayat ini turun dalam hal
begini. Hal itu apakah sesuai menurut syarat sanad. Sebagaimana apabila disebutkan
sebab yang menjadikan turunnya ayat?, atau berlaku penafsiaran untuknya, yang tidak
mempunyai musnad. Al-Bukhari memasukannya di dalam ini, yakni musnad, hal ini tidak
seperti yang lainnya. Musnad yang terbanyak menurut istilah ini adalah seperti Musnad
Imam Ahmad. Berbeda dengan apa yang apabila disebutkan sebagai sebab, diturunkannya
setelahnya, mereka memasukan seperti ini di dalam musnad.” (Taimiyah, 1931:48; Lih
juga Suyuthi, 1, 1343/1370:131).
Apabila terdapat sebab-sebab turunnya ayat dari tabi’in, maka untuk diterima
diisyaratkan 4 (empat) hal:
1.Hendaknya ungkapannya jelas (eksplisit) dalam kata-kata sebab; dengan mengatakan:
“sebab turunnya ayat ini adalah begini”, atau hendaknya memuat fa’ ta’ qibiyah, fa’
sebagai kata sambung yang masuk pada materi turunnya ayat, setelah penyebutan
peristiwa atau pertanyaan seperti kata-kata “terjadi begini dan begini” atau “ Rasulullah
ditanya tentang hal ini. Kemudian Allah menurunkan ayat ini atau turunlah ayat ini”;
2 Isnadnya saheh;
3.Tabi’in yang dimaksud termasuk imam tasfir yang mengambil dari sahabat;
4 Meminta sokongan riwata tabi’in yang lainm yang menyempurnakan suatu syarat.
Apabila syarat ini sempurna pada riwayat tabi’in, maka diterima dan mendapat hukum
hadits mursal.
Suyuthi berkata tentang sebab-sebab turunya ayat, bahwa apabila berasal dari tabi’in, ia
bisa diterima, apabila sanad yang disandarkanlah shaheh, dan tabi’in tersebut termasuk
imam ahli tasfir yang mengambil dari sahabat seperti Mujahid, Ikrimah, Sain bin Jabir
atau mendapat sokongan dengan hadits mursal yang lain atau lainnya (Suyuthi, 1,
1343/1370: 31)
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Al-quran adalah mukjizat bagi kaum muslim yang diturunkan oleh Alloh kepada Nabi
Muhammad SAW . Al-quran adalah sebagai petunjuk bagi umat islam menuju jalan yang
benar. Al-quran diturunkan berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Surat atau
ayat dalam al-quran ada yang diturunkan ketika nabi Muhammad di mekkah dan ada yang
diturunkan ketika nabi Muhammad di madinh, ayat atau surat yang turun di mekkah
disebut makkiyah dan yang turun di madinah disebut madanniyah. Setiap ayat atau surat
yang diturunkan alloh kepada nabi Muhammad memiliki sebab-sebab tertentu atau biasa
disebut ASBABUN-NUZUL, dan ada juga ayat yang diturunkan tapi tidak memiliki
asbabun nuzul. ASBABUN-NUZUL memiliki arti sebab-sebab turunnya ayat alquran
Asbabun Nuzul juga dapat diartikan sebagai peristiwa yang melatarbelakangi pada saat
turunnya Al-Qur’an. Dapat diketahui adanya pembagian ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam
dua kelompok. Pertama, kelompok ayat yang turun tanpa sebab, dan kedua, kelompok
ayat yang turun dengan sebab tertentu.dengan demikian tidak semua ayat memiliki
Asbabun Nuzul. Bahkan banyak ayat yang menyangkut tentang keimanan, kewajiban,
dan syariat agama tanpa adanya Asbabun Nuzul. Riwayat Asbabun Nuzul sendiri yaitu
ialah riwayat yang sahih dari Rasulullah atau dari para sahabat. Namun bila Cara
mengetahui Asbabun Nuzul sebenarnya hampir sama dengan riwayat Asbabun Nuzul
namun disini lebih membahas metode bagaimana kita dapat membedakan antar yang
benar-benar sebagai sumber terpercaya dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
menentukan Asbabun Nuzul, ringkasnya melalui riwayat yang sahih dari orang yang telah
menyaksiaknnya, orang yang “hadir” pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Ramli.1994.ulumul qur’an.Jakarta:Rajawali


DR. Rosihon Anwar, M.Ag.ulum al-quran,Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 65
Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006,
hlm. 89
Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut,
1988, hlm. 132.
Faizah, Nur. 2008. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta : CV Artha Rivera
Ar-Rumi, Fahd, Bin Abdurrahman. 1997. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Titian Ilahi
Press
Al-Qattan, Manna Khalil. 1994. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta : PT Pustaka
Litera AntarNusa
Shaih muslim
Terjemah tarikh al-tasyri’ alislami, darul ikhya Indonesia
https://alilmu.wordpress.com/2007/04/17/
http://academica.edu
http://google.com

Anda mungkin juga menyukai