PENDAHULUAN
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada
permasalahan yang cukup penting. Karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surah
berkenaan dengan satu peristiwa. Asbabun nuzul ada kalanya berupa kisah tentang peristiwa
yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang di sampaikan kepada rasulullah saw untuk mengetahui
hukum suatu masalah, sehingga Quran pun turun peristiwa atau pertanyaan tersebut, asbabun
di dahului dengan adanya kejadian dan sebab-sebab tertentu yang menyebabkan ayat itu
di turunkan, contohnya ayat-ayat yang menggambarkan tentang kan terjadinya hari kiamat
nikmat dan azab kubur, ayat-ayat tersebut di turunkan Allah SWT untuk memberikan
hidayah kepada umat manusia yang bukan merupakan jawaban atas pertanyaan atau
2. Ayat-ayat al-Quran yang di turunkan karena di dahului dengan adanya sebab berupa
penyebab yang menuntut turunnya ayat-ayat al-Quran ini di sebut dengan sebutan asbabun
nuzul.
BAB 2
PEMBAHASAN
Asbabun nuzul adalah idhafah yang terdiri dari kata asbab jamak dari
kata sabab (sebab, alasan atau ‘illat) dan nuzul bermakna al-su’ud (turun). 1Sehingga
asbabun nuzul secara literal bermakna sebab turunnya satu atau beberapa ayat AlQuran.
Muhammad Abdul Halim al- Zarqani, asbabun nuzul adalah suatu kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan
diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun
pertanyaan.3 Sedang Shubhi as-Shalih mendefinisikan Sababun nuzul ialah sesuatu yang
karena sesuatu itu menyebabkan satu atau beberapa ayat al-Qur‟an di turunkan yang di
maksud dengan sesuatu itu sendiri ada kalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi
bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta menedorong
1
Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), h. 602. Muhammad ibn Mukram al-Manshur al-Afriqy al-Mishry, Lisan al-‘Arab, Juz 11 (Beirut: Dar al-
Nashr, t.th.), h. 656.
2
Abdul Aziz Dahlan dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam I, h. 133
3
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 95.
4
Muhammad Amin Suma,Studi ilmu-ilmu Al-Quran. (Jakarta: Pustaka firdaus, 2004), h.100-103
Ada banyak ulama yang berbeda pendapat dalam mendefinisikan tentang asbab
Qattan,. Akan tetapi kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda, semuanya
menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar
merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk memberikan keterangan terhadap
Dari defenisi di atas, maka dapat dipahami bahwa keadaan yang menjadi sebab
2.) Terjadinya kekeliruan akibat perbuatan suatu dosa. Misalnya QS. Al-Nisa’: 43.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Nisa’: 43)295
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf mengundang makan
terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh Ali untuk
menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca dengan keliru: “Qul ya ayyuha al-
5
Quranic Word
kafirun, la a’budu ma ta’budun, wa nahnu na’budu ma ta’budun.” Maka turunlah ayat di
3.) Pertanyaan tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang sedang
terjadi dan yang akan datang. Misalnya QS. Al-Kahfi: 83, al-Nazi’at: 42, al-Isra’: 45. Di
samping itu, terdapat pula ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah SWT. Untuk menjawab
pertanyaan yang masih akan diajukan kepada Rasul SAW., tetapi belum dipertanyakan.
Sehingga dalam wilayah keadaan tersebut, maka ketika menelaah dan menganalisis
sebab turunnya suatu ayat; kasus atau peristiwa, pelaku peristiwa, tempat peristiwa dan
adanya waktu peristiwa adalah sesuatu yang tak bisa luput dan lepas dari perhatian.
Namun yang perlu diingat, meski menempati posisi yang sangat urgen, hubungan antara
teks dan realitas dalam kajian asbabun nuzul di sini bukanlah dimaksudkan sebagai
pendapat al-Zarqani yang mengelompokkkan asbabun nuzul ke dalam dua bagian, yaitu:
1.) Ayat yang diturunkan tanpa ada peristiwa yang terjadi, ibtida’i. Ketika diturunkan
oleh Allah, ia semata-mata merupakan bentuk petunjuk bagi manusia. Misalnya QS.
2.) Ayat yang diturunkan berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu, nuzul
bi sabab. Misalnya; QS. Al-Nisa’ (wanita), al-Anfal (perang), al-Thalaq (talak) dll.7
6
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, al-Hakim yang bersumber dari Ali. Manna’ al-Qaththan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 128.
7
Abdul Aziz Dahlan dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam I, h. 134. Husain Shahab, “Mengenal Asbab al-nuzul”
dalam Sukardi KD. (ed.), Belajar Mudah Ulumul Quran; Studi Khazanah Ilmu Quran (Cet. I; Jakarta: Lentera,
2002), h. 126-127.
2. MACAM-MACAM ASBAB AL-NUZUL
1) Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbaban nuzul dapat dibagi kepada;
Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat atau wahyu.
misalnya turunnya QS. al-Ikhlas: 1-4, yang Artinya: "Katakanlah, "Dia-lah Allah,
yang Maha Esa". Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Tiada berada beranak dan tiada pula di peranakkan. Dan tiada seoarang
Ayat-ayat yang terdapat pada surah di atas turun sebagai tanggapan terhadap
orang-orang musyrik Makkah sebelum Nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab
yang ditemui di Madinah setelah hijrah. Contoh yang lain, "Peliharalah semua
berikut:
a. Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa Nabi Saw. Shalat dzuhur di waktu
hari yang sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para
sahabat. Maka turunnlah ayat tersebut di atas (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Daud).
8
Fitriani Nur Alifah,watak asbab An-nuzul dalam pendidikan islam,Nazhruna:pendidikan islam Vol.2 NO.1(2019),h
36.
b. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi Saw. shalat dzuhur di waktu
yang sangat panas. Di belakang Rasulullah tidak lebih dari satu atau dua shaf saja
yang mengikutinya. Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, ada pula
yang sedang sibuk berdagang. Maka turunlah ayat tersebut di atas (HR. Ahmad,
c. Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman Rasulullah Saw. Ada orang-
orang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat
meraka shalat. Maka turunlah ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam
pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari Muslim, Tirmidhi, Abu Daud, Nasa'i,
cakap di waktu shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan
dulu keperluannya (di waktu sedang shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang
Satu sebab yang mekatarbelakangi turunnya beberapa ayat. Contoh: QS. ad-
Yang dimaksud kabut yang nyata ialah bencana kelaparan yang menimpa kaum
(tolong surahnya
Artinya: "Sesungguhnya (kalau) Kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit
dikemukakan, ketika kaum Quraisy durhaka kepada Nabi Saw., Beliau berdo'a supaya
mereka mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada
pun makan tulang, sehingga turunlah (QS. Ad-Dukhan,(44): 10). Kemudian mereka
menghadap Nabi Saw. untuk meminta bantuan. Maka Rasulullah Saw. berdoa agar di
turunkan hujan. Akhirnya hujan pun turun, maka turunlah ayat selanjutnya (QS. ad-
Dukhan (44): 15), namun setelah mereka memperoleh kemewahan mereka pun
9
Ad-dukhan,10,15,16,Qur’an in word
kembali kepada keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah ayat ini (QS. ad-
Dukhan (44): 16) dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun
(Tolong surahnya)
mendapatkan keberuntungan”
(tolong surahnya)
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)khamr dan berjudi itu, dan
2) Dari segi bentuk peristiwa asbabun nuzul sendiri terbagi menjadi tiga macam :
perselisihan oleh kaum asus dan khazraj hingga turun surah ali imran :100.
Contoh : saat itu ada seorang imam sholat dalam keadaan mabuk. Sehingga
Artinya “ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”
Ini di contohkan dari sebagian rasullah yang mempunyai 3 cita-cita besar dan
10
Miftha Suheni,asbab al-nuzul,h 6
11
“Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu, h. 120
1. Berupa pernyataan tegas dan jelas dengan menggunakan kata sebab, seperti: “Sababu
Nuzulil ayah kadza”; dengan menggunakan fa’ ta’qibiyah yang bersambung dengan lafazh
Nuzul, seperti: “...fa’anzalallahu...”; tidak menggunakan kata sebab dan fa’ ta’qibiyah, tetapi
dapat dipahami sebagai sebab dalam konteks jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan
kepada Rasulullah, seperti hadits riwayat Ibn Mas’ud ketika Nabi saw. Ditanya tentang ruh.
“Aku berjalan dengan Nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat dari pelepah pohon
kurma. Dan ketika melewati serombongan orang-orang Yahudi, seseorang diantara mereka
berkata: “coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya”. Lalu mereka menanyakan: “ceritakan
kepada kami tentang ruh”. Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa
wahyu engah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata:
(“katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan
2. Berupa pernyataan tidak tegas dan jelas, seperti ungkapan “nuzilat hadzihil ayātu fi kadzā”,
“ahsibu hadzihil ayat muzilat fi kadza”, atau “ma ahsibu hadzihil ayat nuzilat fi kadzā”.
Menurut al-Zarqani, redaksi semacam ini bisa jadi merupakan penjelasan kandungan
hukum ayat yang dimaksud. Dengan pernyataan itu dan pernyataan selanjutnya perawi
kemungkinan menunjukkan sebab Nuzul dan hal yang lain. Pendapat senada juga
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Sementara az-Zarkasyi mengatakan bahwa hal itu
berdasar kepada kebiasaan sahabat dan tabi’in. Bila seseorang diantara mereka
menggunakan lafal tidak jelas seperti itu menunjukkan kandungan hukum dan bukan sebab
turunnya ayat, maka hal itu merupakan jenis pengambilan dalil terhadap suatu ayat dan
menjadi pegangan. Karena redaksi yang tegas lebih kuat dibandingkan dengan redaksi yang
mengandung kemungkinan kemungkinan. Seperti riwayat Muslim dari Jabir tentang sebab
Nuzul QS. Al-Baqarah: 223 dan riwayat Bukhari dari Ibnu Umar. Riwayat Jabir dipegangi
Dalam memahami kaidah disini dibagi menjadi dua yaitu :Kaidah .1 Yang berarti
“ungkapan itu : didasarkan pada keumuman teksnya, bukan didasarkan atas kekhususan
penyebabnya”.
Pengertiannya adalah jawaban lebih umum dari pertanyaan atau sebab -nya. Dan sebab
lebih khusus. Dari pada lafadz jawabnya. Ini secara lgis mungkin terjadi, dan kenyataannya
juga benar-benar terjadi. Karena bentuk seperti ini tidak mengandung kekurangan, justru
keumuman lafadz dengan kekhususan sebabnya akan menyampaikan kepada tujuan secara
Hanya saja, ulama berbeda Pendapat tentang hukumnya, apakah yang dianggap
hukumnya mencakup semua unsur dari lafadz tersebut, baik unsur-unsur sebab maupun
12
Subhan Abdullah Acim,kajian ulum qur’an(NTB:Al-Haramain,2020),h 66
unsur-unsur selain sebab. Sebagai contoh, peristiwa tuduhan zina oleh Hilal ibn Umayyah
kepada istrinya, yang berkenaan dengan peristiwa itu, turun firman Allah SWT
Penetapan makna Suatu ayat didasarkan pada bentuk hukumnya lafazh (bunyi lafazh),
bukan sebabnya yang khusus).Contoh kaidah pertama Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:
Dan orang-yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-
Nur: 6].
Persoalan penting dalam pembahasan asbabun nuzul, jika terjadi satu pertanyaan,
kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya, tetapi ungkapan
ayat tersebut menggunakan redaksi amm (umum) hingga memiliki cakapan yang lebih luas
dan tidak terbatas pada kasus pertanyaan itu. Apakah ayat tersebut harus dipahami dari
keumuman lafaz dan bukan pada kekhususan ar ilah bhi umam al-lafidi la bi العبرة بعموم اللفظ ال
dilakukan oleh para sahabat golongan lain. Hal ini dibuktikan ketika turun ayat gibar dalam
kasus Salman Ibn Shakhar, ayat l’an dalam perkara Hilal Ibn Umayyah, dan ayat qadgaf
dalam kasus tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus tersebut ternyata juga
menafsirkan Surat Mengemukakan bahwa surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun
13
Jalaluddin Al suyuti, Al itqan fi ulum Al quran(Beirut:dar al fikr,tth),h 110
ancaman hukum yang tercakup di dalamnya berlaku umum,Mencakup semua orang yang
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan
kasus tertentu, bahkan kadangkadang menunjuk pribadi seseorang, namun dipahami berlaku
umum. Misalnya, surat al-Maidah ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk berlaku adil,
ayat ini sebenarnya diturunkan bagi kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun Ibn
Taimiyyah berpendapat bahwa tidak benar jika kemudian dikatakan bahwa perintah kepada
Rasulullah Saw itu hanya berlaku adil terhadap kedua kabilah tersebut.15
Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa ungkapan satu lafazh al-Qur’an
ا أن العبرة بخصوص السبب ال بعم`وم اللفظdari segi keumurman lafaz ibratu bi khusus sabab la bi
umum al laf Jadi cakupan ayat tersebut terbatas pada kasus yang menyebabkan turunnya
sebuah ayat. Adapun kasus lain yang serupa, kalaupun akan mendapat penyelesaian yang
sama, hal itu bukan diambil dari pemahaman terhadap ayat itu, tapi dari dalil lain, yaitu qiyas
apabila memang memenuhi syarat-syarat qiyas. Ayat qazhaf, misalnya diturunkan khusus
sehubungan denga kasus Hilal dan istrinya. Adapun kasus lain yang serupa dengan kasus
Perlu digaris bawahi bahwa perbedaan pendapat itu hanya terjadi pada masalah yang
bersifat umum dan tidak terdapat petunjuk bahwa ayat itu berlaku khusus. Jika ada petunjuk
14
Ibid
15
ibid
16
Ak Zarqani,Manabilul irfan ,h.126
demikian tentu seluruh ulama sepakat bahwa hukum ayat itu hanya berlaku untuk kasus yang
disebutkan itu.
yang baik jika tidak memahami riwayat asbaban-nuzul suatu ayat. Pemaham mengenai
asbab an-nuzul ini sangat penting untuk membantu dalam memahami konteks turunnya
suatu ayat. Hal ini sangat penting juga agar seseorang bisa menerapkan ayat ayat pada kasus
dan kesempatan yang berbeda dalam. Kehidupannya. Peluang akan terjadinya kekeliruan
juga terbuka lebar apabila seseorang mengabaikan riwayat turunnya suatu ayat atau asbab
1. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan membawa kepada pengetahuan tentang rahasia
dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan agama-Nya melalui Al Qur’an. Pengetahuan
yang demikian akan memeberi manfaat baik bagi orang mukmin maupun nonmukmin.
Orang mukmin akan bertambah keimanannya dan memiliki hasrat yang kuat untuk
menerapkan hukum Allah serta mengamalkan kitabnya. Sebagai contoh adalah syariat
tentang pengharaman minuman keras. Pengharaman minuman keras ini berlangsung melalui
empat tahap. Tahap pertama Allah mengharamkan minuman keras secara tidak langsung
seperti yang terdapat pada dalil QS. An-Nahl: 67, tahap kedua dengan perintah
memalingkan secara langsung dari padanya seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah:
219, tahap yang ketiga Allah mengharamkan secara parsial atau sebagian seperti yang
tercantum dalam QS. An-Nisa’: 43, tahapan yang keempat yaitu pengharaman secara total
2. Asbab an-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku
khusus, selanjutnya dapat mengetahui juga dalam hal apa ayat itu diterapkan. Maksud yang
sesungguhnya suatu ayat dapat dipahami Dengan adanya asbaban-nuzul ini. Maksudnya
yaitu Seseorang dapat menentukan apakah ayat tersebut Mengandung pesan khusus atau
3. Adanya asbah an-nuzul ini dapat menegaskan bahwa kandungan atau ajaran Al-Qur’an
tidak akan pernah usang ditelan zaman. Al-Qur’an akan selalu hidup dan Dapat diterapkan
4. Dengan adanya asbab an-nuzul ini dapat diketahui turunnya suatu ayat secara tepat.
Sehingga tidak terjadi kesamaran atau keraguan yang bisa menimbulkan kesalahan pada
5. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan mempermudah orang yang menghafal serta
memahami pola turunnya ayat-ayat Al-Qur’an,10 baik dari segi sebab turunnya suatu ayat,
yang meliputi hubungan hukum dengan waktu dan tempat peristiwa itu berlangsung.
Pengetahuan tentang asbab an-nuzul juga akan memperkuat keberadaan wahyu Allah dalam
ingatan yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Semua ini akan mampu
17
ibid
meningkatkan pemahaman secara utuh terhadap ayat Al-Qur’an.Membantu dalam
salam ayat-ayat Al-Qur’an. Serta untuk mengetahui hikmah disyariatkannya suatu hukum, 18
BAB 3
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Istilah nuzulul Qur’an (turunnya Al-Quran) tidaklah dapat kita pahami maknanya
secara harfiah, yaitu menurunkan sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah, sebab Al-Quran tidaklah berbentuk fisik atau materi. Tetapi pengertian nuzulul
Qur’an yang dimaksud adalah pengertian majazi, yaitu penyampaian informasi (wahyu)
kepada Nabi Muhammad SAW. dari alam gaib ke alam nyata melalui perantara
b. Al-Quran dipandang dari aspek proses penurunannya yang berangsur-angsur sangat jauh
hubungan sebab-akibat) bahwa teks Al-Quran ternyata tidak hanya merespon kondisi
penerima wahyu pertama semata, yaitu Rasul SAW. tetapi lebih dari itu realitas kultural
18
ibid
sebenarnya menyangkut peristiwa yang meliputi ayat al-Quran ketika diturunkan kepada
Nabi SAW. Sehingga untuk memahaminya, tidak ada jalan lain kecuali menelaahnya
secara historis lewat pendekatan riwayat yang sampai di hadapankita, yang tersebar luas
manfaatnya adalah mampu mengantarkan seorang mufassir pada pemahaman yang benaR
dengan memahamai kandungan teks dan keadaan yang menyertai peristiwa yang terjadi
f. Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab yang umum (‘am) atau sebab
yang khusus (khash), maka yang umum harus diterapkan dengan keumumannya, dan yang
khusus dengan kekhususannya. Tetapi apabila sebab turunnya suatu ayat bersifat khusus,
sedang redaksi ayatnya berbentuk umum, maka para ulama berselisih pendapat dalam
menyikapi keadaan tersebut. Kaidah yang terkait dengan ilmu asbabun nuzul yang
diperselisihkan oleh para ulama tafsir dan ulama ushul fiqhi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, dkk. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam I, Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Vol.2 NO.1(2019)