PEMBAHASAN
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata,” (QS. Ad-
Dukhan: 10)
“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras.
Sesungguhnya kami memberi balasan,” (QS. Ad-Dukhan: 16)
Asbabun nuzul dari ayat-ayat tersebut terjadi ketika kaum Quraisy durhaka
kepada Rasulullah SAW. Beliau berdoa agar mereka merasakan kelaparan seperti
yang pernah terjadi pada zaman nabi Yusuf.. Akhirnya, kaum Quraisy menderita
kekurangan hingga mereka makan tulang. Kaum tersebut pun mendatangi
Rasulullah SAW untuk meminta pertolongan. Maka Rasulullah SAW berdoa agar
diturunkan hujan.
Hujan turun setelah Nabi Muhammad SAW berdoa, namun kaum Quraisy
kembali sesat dan durhaka. Kemudian, turunlah riwayat yang menjelaskan bahwa
siksaan akan turun ketika Perang Badar.
Dapat diketahui bahwa meskipun pada umum nya sabab nuzul itu terjadi
lebih dulu dari turunnya ayat, tetapi terkadang justru terjadi sebaliknya, yakni
diturunkan dulu ayat Al-Qur'an sedangkan hukum atau peristiwanya itu sendiri
baru terjadi setelah sekian lama ayat diturunkan Keadaan demikian tentu saja
tidak mengindikasikan keganjilan bagi Al-Qur'an, akan tetapi justru sebaliknya
menunjukkan variabilitas Al-Qur'an dalam memberikan informasi.
Hal ini bisa terjadi mengingat Al-Qur'an itu seperti disimpulkan para ahli
tafsir, tidak hanya memuat berita-berita masa lalu, akan tetapi sekaligusberisikan
informasi masa depan yang akan terjadi. Kata az-Zarkasyi: "Di dalam Al-Qur'an
itu (terdapat) ilmu masa-masa awal (silam) dan ilmu masa-masa terakhir atau
yang lazim dikenal dengan sebutan ‘ilmul-awwalina wal-akhirin.“ Hikmah dari
keberadaan sabab nuzul seperti itu (mendahulukan ayat dengan membelakangi
peristiwa), kata az-Zarkasyi, karena memang kadang- kadang terjadi pertanyaan
atau peristiwa yang menghendaki turunnya ayat Al-Qur'an; tetapi pada saat yang
berlainan, juga acap kali terjadi turunnya ayat Al-Qur'an lebih dulu yang justru
mengandung (informasi) tentang akan terjadinya peristiwa itu. Turunnya ayat
yang demikian kepada Nabi Muhammad Saw. sudah tentu dalam rangka
memberikan peringatan (semacam aba-aba) terhadap peristiwa yang akan terjadi.
Terdapat beberapa bentuk redaksi dari asbab al-nuzul Bentuk redaksi yang
menerangkan sebab nuzûl itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab,
dan terkadang pula berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan
mengenainya. Bentuk redaksi yang tegas, umpamanya, seorang perawi
mengatakan "sebab nuzûl ayat ini adalah begini," atau menggunakan fa ta'qibiyah
yang kira-kira bermakna "maka" yang menunjukkan urutan peristiwa yang
dirangkaikan dengan turunnya ayat, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau
pertanyaan. Atau, misalnya, Rasulullah ditanya tentang suatu masalah, begini,
maka turunlah ayat ini." Dengan demikian, kedua bentuk contoh di atas
merupakan pernyataan yang jelas dan tegas. Contoh pernyataan tegas berkaitan
dengan turunnya suatu ayat ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibn 'Umar,berkata:
Bentuk kedua yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau
hanya sekadar menjelaskan kandungan hukum ayat, yaitu apabila perawi
mengatakan (ayat ini turun mengenai ini). Yang dimaksud dengan ungkapan ini
terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut.
Demikian pula apabila seorang aku احس>>ب ه>>ذه اآلي>>ة ن>>زلت في ك>>ذاsebagai perawi
mengatakan mengira ayat ini turun mengenai soal ini dan itu," atau aku tidak
mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal begini." Dengan demikian, sang
perawi tidak merasa pasti benar, dan tidak memastikan asbab al nuzul ayat.
Contohnya, apa yang diriwayatkan oleh 'Abd Allah bin Zubair, bahwa
Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Anshar-yang
pernah ikut dalam Perang Badar di hadapan Rasulullah SAW tentang saluran air
yang masing-masing. Lalu Rasulullah berkata, "Airkanlah kebunmu Zubair,
kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetangga- mu." Orang Anshar itu
marah kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, apa sudah
waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?" Wajah Rasulullah menjadi merah.
Kemudian ia berkata, "airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga
memenuhi pematang, lalu biarkan ia meng alir ke kebun tetanggamu."
Banyak ulama yang memandang ilmu ini sebagai salah satu cabang ilmu
yang memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an. Sekurang- kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu.
Urgensi dari kedudukan atau fungsi ilmu sabab nuzul dapat dilihat antara lain dari
komentar para pakar ilmu-ilmu Al-Qur'an tentang peranan asbabun- nuzul.
Di antaranya Ibn Daqiq al-'Id (615-702 H), yang antara lain menyatakan:
معرفة سبب النزول يعين على فهم اآلية فإن العلم بالسبب يورث العلم بالمسبب
ال يمكن معرفة تفسير اآلية دون الوقوف على قصتها وبيان سبب نزولها
Lebih rinci dari al-Buthi, bahkan juga dari as-Suyuthi, az-Zarkasyi dan -
Zarqani masing-masing menyebutkan enam hingga tujuh macam faedah
(akseologi) dari mempelajari ilmu asbabun-nuzul, yaitu:
4. mengetahui bahwa sabab nuzul itu tidak akan keluar dari koridor hukum
5. mengetahui secara jelas kepada siapa turunnya ayat itu ditujukan (di-
alamatkan);
Melakukan studi selektif (tarjih). Langkah ini diambil bila kedua riwayatnya
sama-sama berkualitas shahih. Melakukan studi kompromi (jama’) ketika kedua
riwayat yang kontradiktif itu sama-sama shahih yang sederajat dan tidak mungkin
dilakukan tarjih.
Dalam versi Bukhari dan Muslim melalui jalur Shahal Ibn Sa’ad dikatakan
bahwa ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang sahabat bernama Uwaimir
yang bertanya kepada Rasulullah SAW. Tentang apa yang harus dilakuan oleh
seorang suami yang mendapati istrinya bezina dengan orang lain. Akan tetapi,
dalam versi Bukhari melaui jalur Ibn Abbas dikatakan bahwa ayat tersebut turun
dengan latar belakang kasus Hilal Ibn Umayah yang mengadu kepada
RasulullahSAW. bahwa istrinya berzina dengan Sarikh Ibn Sahma’. Kedua
riwayat itu berkualitas sahih dan tidak mungkin dilakukan studi tarjih. Oleh
karena itu, perlu dilakukan studi kompromi (jama’). Dua kejadian itu berdekatan
masanya sehingga kita mudah mengkompromikan keduanya. Dalam jangka waktu
yang tidak berselang lama, kedua orang sahabat bertanya kepada Rasululah SAW.
Tentang masalah serupa, maka turunlah ayat mu’amalah untuk menjawab
pertanyaan mereka.[9]
Kalau kedua versi riwayat Asbabun Nuzul itu sahih atau tidak sahih atau
tidak dapat dilakukan studi tarjih dan jama’ maka hendaklah kita anggap ayat itu
diturunkan berulang kali atau yang disebut Ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid.