Anda di halaman 1dari 10

BAB III

ASBABUN NUZUL

A. PENGERTIAN ASBABUN NUZUL


Asbābun Nuzūl (Arab: ‫اس باب ال نزول‬, Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat)) adalah ilmu Al-
Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa
ayat al-Qur'an diturunkan. Pada umumnya, Asbabun Nuzul memudahkan
para Mufassir untuk menemukan tafsir dan pemahaman suatu ayat dari balik kisah
diturunkannya ayat itu. Selain itu, ada juga yang memahami ilmu ini untuk
menetapkan hukum dari hikmah di balik kisah diturunkannya suatu ayat.[1] Ibnu
Taimiyyah mengemukakan bahwa mengetahui Asbabun Nuzul suatu ayat dapat membantu
Mufassir memahami makna ayat. Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul suatu ayat dapat
memberikan dasar yang kukuh untuk menyelami makna suatu ayat Al-Qur’an.
Menurut bahasa Asbabun nuzul berasal dari dua kata yaitu asbabun dan nuzul. Asbabun
artinya sebab atau karena, sedangkan nuzul artinya turun. Jadi asbabun nuzul adalah sebab-
sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Adapun menurut istilah syara’ Asbabun nuzul adalah Suatu
hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan suatu hukum pada masa hal itu
terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebab turunnya suatu ayat itu berkisar
pada dua hal yaitu:
1) apabila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa tersebut,
seperti kisah turunnya surat Al-Lahab.
2) apabila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an untuk
menerangkan hukumnya. seperti ketika khaulah binti sa’labah dikenakan zihar oleh
suaminya  Aus bin tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai
hukumnya, maka turunlah surat Al-Mujadalah ayat 3.
Namun tidak semua ayat Al-Qur’an diturunkan karena adanya suatu peristiwa atau karena
suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa
sebab. Seperti kewajiban muslim, mengenai akidah dan syari’at Allah SWT dalam kehidupan
umat manusia.

Pengertian asbabun nuzul menurut para ulama


Para ulama’ berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunnya, ayat-ayat
Al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan oleh Allah begitu
saja tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatarbelakangi. Kedua, ayat-ayat yang
turun karene terdapat suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut1.
Banyak para Ulama’ yang merumuskan tentang pengertian Asbab An-Nuzul. Di
antaranya;
1. Menurut Az-Zarqoni:
“Asbab An-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan Al-
Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2. Mana’ Al-Qotton:
“Asbab An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an,
berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadian atau berupa
pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi.”
3. Ash-Shabuni:
“Asbab An-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau
beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan
agama.”
4. Shubbi Sholih:
“ Asbab An-Nuzul adalah suatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat Al-
Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai
penjelas terhadap hukum-hukum peristiwa itu terjadi.”
Dengaan merujuk para Ulama yang berpendapat pada kitab-kitab ‘Ulum Al-Qur’an,
dapat disimpulkan bahwa secara umum dalam berbagai literature disebutkan bahwa Asbab
An-Nuzul adalah segala sesuatu yang menjadikan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik
untuk mengomentari, menjawab ataupun menerangkan hukum, pada saat sesuatu itu terjadi.
Selain itu Asbab An-Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rosulullah
SAW. Oleh karena itu tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan
periwayatan yang benar (Naql As-Shohih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar
langsung turunnya ayat Al-Qur’an.

B. URGENSI ASBABUN NUZUL


Mayoritas para ulama memandang bahwa pengetahuan tentang konteks kesejarahan yang
melingkupi al-Qur’an pada masa-masa turunnya yang terkumpul dalam riwayat-riwayat
“asbab al-Nuzul “ merupakan salah satu hal yang signifikan( umum) dalam membantu upaya
memahami maksud dan kandungan pesan-pesan al-Qur’an.
1.      Al-Wahidi misalnya,dengan tegas menyatakan ketidakmungkinan untuk menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek pengetahuan tentang kisah dan “asbab al-
Nuzul“ dari pada ayat-ayat tersebut.
(‫)ال يمكن معرفة تفسير االية دون ا لوقوف على قصتهاوبيان نزولها‬
2.      Ibnu Taymiyah juga melihat kepastian untuk mempertimbangkan aspek “asbab al-Nuzul
“dalam membantu pemahaman terhadap ayat.Karena pengetahuan tentang “sebab“ pasti
mengarah kepada pemahaman tentang “musabbabnya”.
(‫فاءن العلم با لسبب يورث العلم با لمسبب‬:‫)معرفةسبب النزول تعين على فهم االية‬
3.      Ibnu Daqiq al-‘Id yang mengukuhkan bahwa penjelasan tentang “asbab al-Nuzul”
merupakan jalan yang valid dalam memahami makna-makna al-Qur’an.
(‫)بيان سبب النزول طريق قوي في فهم معا ني الكتا ب العزيز‬
4.      Imam al-Sayuthi yang mengidentifikasi bahwa mengabaikan aspek “asbab al-Nuzul” dapat
mengarah kepada kesulitan dalam memahami maksud ayat-ayat al-Quran, seperti kasus yang
dialami oleh marwah bin al-Hakam ketika mencoba memahami maksud firman Allah SWT
dalam surat Ali ‘imran [3] ayat 188.
Urgensi Asbab Al-nuzul antara lain adalah:
1.Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
2.Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam
menjalankan misi risalahnya.
3.Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita
mereka
4.Sarana memahami ayat secara tepat
5.Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6.Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7.Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8.Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati
orang yang mendengarnya.
9.Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an.
10.Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam
keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.

C. KEGUNAAN ASBABUN NUZUL


Para ulama yang memandang sangat pentingnya pengetahuan tentang”asbab al-Nuzul”
dalam memahami al-Qur’an mengemukakan beberapa bentuk kegunaannya,diantaranya
yaitu:
1.      Membantu dalam memahami pesan ayat-ayat al-Qur’an sekaligus cara efektif dalam
mengatasi kesulitan untuk menangkap maksudnya(thariq daf’i isykal al-Qur’an), sehinnga
terhindar dari kesalahan fatal dalam menfsirkannya;sebagaimana dalam riwayat Imam
Ahmad  ra dan al-Nasa’i tentang kasus yang dialami oleh Qudamah bin Mazh’un yang salah
dalam memahami maksud firman Allah SWT dalam ayat 93 surat al-Maidah [5].
2.      Mengatasi keraguan dalam ayat yang diduga mengandung pengertian umum,seperti
pengertian ayat 145 surat al-An’am.Imam al-Syafi’i ra menegaskan bahwa pesan dalam ayat
tersebut tidaklah bersifat umum,namun didalamnya ada ketentuan pembatasan(al-
hashr).pemahaman ini akan tampak secara jelas dengan merujuk kepada “sebab al-Nuzul”
yang melatarbelakangi turunnya ayat.
3.      Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum
tertentu,sebagaimana pemahaman yang dikemukakan oleh kalangan oleh kalangan yang
mengedepankan bahwa yang menjadi pegangan adalah”sebab yangbersifat khusus”,bukan
bentuk”keumuman lafaz”.
(‫)ا لعبرة بخصو ص الس{بب ال بعم{و م ا للفظ‬. Berdasarkan ini, maka ayat “zhihar” dalam permulaan
surat al Mujadalah [58] yang di turunkan berkenaan dengan kasus yang terjadi pada sahabat
Aus bin Shamit yang men-Zhihar istrinya Khaulah binti hakim bin Tsa’labah,hanya berlaku
bagi kedua orang tersebut.Hukum zhihar yang berlaku bagi selain keduanya di tentukan
melalui jalan Qiyas (analogi), karena adanya kesamaam dalam ‘illat-nya.
4.      Membantu dalam mengidentifikasi pelku yang menyebutkan turunnya ayat dan
menghindarkan kesalahandalam menentukan pelaku tersebut, seperti dalam kasus Marwan
yang menunjuk ‘Abd al-Rahman bin AbubBakar ra selaku orang yang menyebabkan
turunnya ayat 17 surat al-Ahqaf [46]. Marwan menganggap bahwa ‘Abd al-Rahmanlah orang
yang mengatakan “Cis” (uffin) kepada kedua orang tuanya; sehingga ayat tersebut turun
untuk menegurnya. ‘Aisyah membantah kekeliruan anggapan Marwan dan meluruskannya
seraya menegaskan: “Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat itu turun, dan aku bisa
menyebutkan kepadamu sipa orang yang sebenarnya”.
5.      Membantu dalam memudahkan penghapalan dan peresapan kandungan makna ayat ke
dalam hati orang yang memperhatikannya.sebab, hubungan sebab-akibat(musabbab), hukum,
peristiwa, pelaku, masa, setting, dan latar merupakan satu jalinan yang bisa mengikat dan
membekas di hati.
6.      Memudahkan dalam mengidentifikasi gejala-gejala moral dan sosial yang terjadi di
kalangan masyarakat Arab pada masa turunnya al-Qur’an (‘ashr al-Tanzil), dan bagaimana
sikap dan cara al-Qur’an dalam mentransformasikan gejala tersebut sehingga sejalan dengan
pandangan dunia dan petunjuknya. Hal ini tentu, dapat di jadikan pedoman bagi umat islam
dalam mengidentifikasi, dan menangani berbagai problema yang mereka hadapi.

D. MACAM-MACAM ASBABUN NUZUL


1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat Asbab An-
Nuzul
Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perowi dalam mengungkapkan riwayat Asbab
An-Nuzul, Pertama Shorih (jelas). Redaksi dikatakan Sharih bila perowi mengatakan;
1. Sebab turunnya ayat ini adalah……..”
2. Telah terjadi……., maka turunlah ayat.……”
3. Rosulullah pernah ditanya tentang….., maka turunlah ayat……”11
seperti dalam riwayat yang dibawakn Jabir yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi
berkata,”Apabila seorang suami mendatangi “kubul” istrinya dari belakang, anak yang
terlahir akan juling.” Maka turunlah (QS. Al-Baqoroh: 223).12
Kedua Muhtamilah (kemungkinan), bilamana perowi mengatakan;
1. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan…..…”
2. Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan dengan…….”
3. Saya kira ayat ini tidak diturunkan, kecuali berkenaan dengan….”13
Az-Zarkazi menuturkan dalam kitabnya Al-Burhan fi Ulm Al-Qur’an:
“Sebagaimana diketahui, telah menjadi kebiasaan para sahabat Nabi dan Tabi’in, jika seorang
di antara mereka berkata, “ayat ini diturunkan berkenaan dengan…….” Maka tang dimaksud
adalah ayat itu mencakup ketentuan hukum tentang ini atau itu, dan bukan bermaksud
menguraikan sebab turunnya ayat.14
Seperti diriwayatkan Ibn Umar yang menyatakan:
“Ayat istri-istri kalian adalah (ibarat) tanah tempat bercocok tanam, diturunkan berkenaan
dengan mendatangi (menyetubui) istri dari belakang”. (HR. Bukhori).15
http://jendelaakhirat.blogspot.co.id/

2. Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat atau
Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul

a. Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid).

Pada kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-Nuzul dalam satu versi. Ada
kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-Nuzul. Tentu saja, hal itu tidak
akan menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk
variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk
mengatasi variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama
mengemukakan cara-cara berikut.

v Tidak Mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab an-Nuzul ini menggunakan redaksi
muhtamilah (tidak pasti). Misal satu versi menggunakan redaksi: “Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan …”. Dan versi lain menggunakan redaksi: “Saya kira ayat ini diturunkan
berkenaan dengan …”.

Variasi riwayat asbab an-Nuzul di atas tidak perlu dipermasalahkan karena yang dimaksud
oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab an-Nuzul. Ini
berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah satunya memaksudkan asbab
an-Nuzul.

v Mengambil versi riwayat asbab an-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih


Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-Nuzul itu tidak menggunakan
redaksi sharih (pasti). Misalnya riwayat asbab an-Nuzul yang menceritakan kasus seorang
lelaki yang menggauli istrinya dari bagian belakang. Mengenai kasus itu, naïf berkata, satu
hari, aku membaca ayat “nisa’ukum hartsun lakum”. Ibn Umar kemudian berkata “Tahukah
engkau mengenai apa ayat ini diturunkan? “Tidak”, jawabku. Ia melanjutkan “Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”. Sementara Ibn Umar
menggunakan redaksi yang tidak sharih (pasti), dalam salah satu riwayat Jabir, dikatakan,
“Seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhi istrinya dari belakang,
anak yang lahir akan juling. Maka diturunkanlah ayat:

“Nisa’ukum hartsan lakum”.

Dalam kasus semacam di atas, riwayat Jabir-lah yang harus dipakai karena ia menggunakan
redaksi sharih (pasti).

v Mengambil versi riwayat yang sahih (valid)


Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi “sharih” (pasti), tetapi
kualitas salah satunya tidak sahih. Misalnya dua riwayat asbab an-Nuzul kontradiktif yang
berkaitan dengan diturunkannya ayat: “Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi
malam apabila telah sunyi. Tuhan-mu tidak meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci
kepadamu. (QS. Adh-Dhuha:1-3)

Versi pertama yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari-Muslim dari Jundab mengatakan:


“Rasulullah SAW, menderita sakit sehingga tidak mendirikan shalat malam selama dua atau
tiga malam. Lalu, datanglah seorang wanita lalu berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya
saya berharap setan telah meninggalkanmu karena saya tidak melihat dekat denganmu selama
dua atau tiga malam”. Maka, turunlah ayat … (Adh-Dhuha [93]:1-3).”

Versi kedua yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibn Abi Syaiban dari Hafsah bin
Maisarah, dari ibunya, dari neneknya (khadam Rasulullah) mengatakan: “Seekor anak anjing
masuk ke dalam rumah Rasulullah dan bersembunyi di bawah tempat tidur sampai mati. Oleh
karena itu, selama empat hari Rasulullah tidak menerima wahyu. Nabi berkata, ‘Wahai
Khaulah! Apakah yang telah terjadi di rumah Rasulullah? (sehingga) Jibril tidak datang
kepadaku.’ Maka aku pun (khaulah) berkata, “Alangkah baiknya jika ku periksa langsung
keadaan rumahnya dan menyapu lantainya. Aku masukkan sapu ke bawah tempat tidur dan
mengeluarkan bangkai anjing darinya. Nabi kemudian datang dalam keadaan dagu gemetar.
Oleh karena itu, ketika menerima wahyu, dagu Nabi selalu bergetar. Maka Allah menurunkan
surat Adh-Dhuha [93]:1-3.”

Studi kritik terhadap versi kedua menempatkan status riwayatnya pada kualitas tidak sahih.
Dalam hal ini, Ibn Hajar mengatakan bahwa kisah keterlambatan Jibril menyampaikan wahyu
kepada Nabi karena anak anjing memang masyhur, tetapi keberadaannya sebagai asbab an-
Nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang harus
diambil adalah riwayat lain yang sahih.

Adapun terhadap variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat, versi berkualitas, para
ulama mengemukakan langkah-langkah berikut:

ð Mengambil versi riwayat yang sahih


Cara ini mengambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asbab an-Nuzul satu ayat, satu
versi berkualitas sahih, sedangkan yang lainnya tidak. Misalnya dua versi riwayat asbab an-
Nuzul kontradiktif untuk surat Adh-Dhuha [93] ayat 1-3.
ð Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi asbab an-Nuzul yang berbeda-beda itu kualitasnya
sama-sama sahih. Seperti asbab an-Nuzul yang berkaitan dengan turunnya ayat tentang roh.
Versi asbab an-Nuzul yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud mengatakan: “aku
berjalan bersama Rasulullah di Madinah, dalam keadaan beliau bertekan pada pelepah kurma.
Beliau kemudian melewati sekelompok orang Yahudi. Sebagian dari mereka berkata kepada
sebagian yang lainnya. ‘Alangkah baiknya bila kalian menanyakan sesuatu kepadanya
(Muhammad)’. Karena itu, mereka berkata, ‘Ya Muhammad terangkan kepada kami tentang
roh’. Nabi berdiri sejenak sambil mengangkat kepala. (Saat itu pun) aku tahu ternyata beliau
pun membacanya.’ Katakanlah, permasalahan roh adalah sebagian dari urusan Tuhan-ku.
Dan tidak diberikan kepada kamu ilmu, kecuali sedikit saja.”

Versi asbab an-Nuzul yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas
mengatakan: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, ‘Berikan kepada
kami tentang sesuatu yang akan ditanyakan kepada lelaki ini (Nabi)’. Mereka
menjawab,’Bertanyalah kepadanya tentang roh’. Maka mereka pun bertanya tentangnya
kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: Wa yasalunaka ‘an ar-ruh …”

Riwayat yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi keduanya berstatus sahih. Akan tetapi,
mayoritas ulama lebih mendahulukan hadis Bukhari daripada hadis Tirmidzi, karena hadis
Bukhari lebih unggul (rajih), sedangkan hadits Tirmidzi tidak unggul (marjuh). Alasan yang
dikemukakan mereka adalah bahwa Ibn Mas’ud menyaksikan kejadian sendiri di atas
sedangkan Ibn Abbas hanya mendengarnya dari orang lain.[1] Dalam kasus di atas, As-
Suyuthi berkomentar sebagai berikut:

“Studi tarjih menyimpulkan bahwa riwayat Bukhari dipandang lebih sahih daripada riwayat
Tirmidzi, karena Ibn Mas’ud menghadiri langsung kejadian di atas.”

ð Melakukan studi kompromi (jama’)


Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status
kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih. Misalnya, dua versi
riwayat asbab an-Nuzul yang melatarbelakangi turunnya ayat mu’amalah surat An-Nur [24]
ayat 6. Dalam versi riwayat Al-Bukhari dan Muslim melalui jalur Shahal ibn Sa’ad dikatakan
bahwa ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang sahabat yang bernama Uwaimir yang
bertanya kepada Rasulullah tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang suami yang
mendapatkan istrinya berzina dengan orang lain. Akan tetapi, dalam versi Bukhari melalui
jalur Ibn Abbas dikatakan bahwa ayat tersebut turun dengan dilatarbelakangi oleh kasus Hilal
ibn Umyyah yang menuduh istrinya di depan Rasulullah berzina dengan Sarikh Ibn Sahma’.
Kedua riwayat itu benar-benar berkualitas sahih dan tidak mungkin dilakukan studi tarjih
antara keduanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kompromi (jama’). Dua kejadian itu
berdekatan masanya. Oleh karena itu, kita mudah mengompromikan keduanya. Dalam jangka
waktu yang tidak begitu berselang lama, kedua orang sahabat itu bertanya kepada Rasulullah
tentang masalah serupa, maka turunlah ayat mu’amalah untuk menjawab kedua orang itu.
Dalam kasus ini Al-Khatib berkata: “Kedua penanya itu kebetulan bertanya pada satu waktu.

Kalau kedua versi riwayat asbab an_nuzul itu sahih atau tidak sahih atau tidak bisa dilakukan
studi tarjih dan jama’, maka hendaklah kita anggap ayat itu diturnkan berulang kali. Dalam
istilah ilmu-ilmu Al-Qur’an hal itu bisa disebut “Berulangnya turun ayat” (ta’addud an-
nuzul). Sebagai contoh ada dua versi asbab an-Nuzul yang melatarbelakangi turunnya surat
Al-Ikhlas [112]. Satu riwayat mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab pertanyaan
kelompok musyrikin Mekah. Riwayat lain mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab
kelompok ahli kitab di Madinah. Karena kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak mungkin
untuk dilakukan studi tarjih dan jama’; maka kita anggap ayat tersebut turun dua kali.

Variasi Periwayatan Asbab An-Nuzul

b.) Variasi Ayat untuk Satu Sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya, dau ayat atau lebih. Hal ini dalam
‘Ulum Al-Qur’an disebut dengan istilah “Ta’addud Nazil wa as-Sabab al-Wahid” (terbilang
ayat yang turun, sedangkan sebab turunnya satu). Contoh satu kejadian yang menjadi sebab
bagi dua ayat yang diturunkan, sedangkan antara yang satu dengan yang lainnya berselang
lama adalah riwayat asbab an-Nuzul yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari, Ath-
Thabrani, dan Ibn Mardawiyah dari Ibn Abbas: “Ketika Rasulullah duduk di bawah naungan
pohon kayu, beliau bersabda, ‘Akan datang kepada kamu seorang manusia yang
memandangmu dengan dua mata setan, janganlah kalian ajak bicara apabila ia datang
menemuimu.’ Tidak lama sesudah itu, datanglah seorang lelaki yang bermata biru. Rasulullah
kemudian memanggilnya dan bertanya. ‘Mengapa engkau dan teman-temanmu memakiku?,
Orang tersebut pergi dan datang kembali beserta teman-teamnnya. Mereka bersumpah
dengan nama Allah bahwa mereka tidak menghina Nabi. Terus-menerus mereak mengatakn
demikian sampai Nabi memaafkannya, maka turunlah surat At-Taubah [9] ayat 74 (mereka
{orang-orang munafik itu} bersumpah dengan {nama} Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan {sesuatu yang menyakitimu}. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah islam, dan mengingini apa yang mereka
tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela {Allah dan Rasul-Nya}, kecuali karena
Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka
bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali
tidak mempunyai pelindung dan tidak {pula} penolong di muka bumi).”

Demikian pula, Al-Hakim meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang sama dan
mengatakan, “Maka Allah menurunkan surat Al-Mujadalah [58] ayat 18-19.”

E. CARA MENGETAHUI ASBABUN NUZUL

Sumber dan Cara Mengetahui Asbabun Nuzul - Pedoman dasar para ulama dalam
mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari
sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas,
maka nal itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’
(disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai
asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang
pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”

Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan
sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin
mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an,
dijawabnya:”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang
mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang
termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat
dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui benar-
benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul
adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti
menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in
secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai
kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang
imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id
bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.

Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang
memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik lagi
ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan.
Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif
(lemah).

Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:

1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya
berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa
sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.

2). Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan
mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu
riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti
berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari
dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah
kabar gembira orang-orang yang beriman.

3). Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah
adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu
oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.

4). Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas.

Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab
nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau
persoalan yang sedang dihadapi.

Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul,
ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat.
Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para
sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang ini”
maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu, bukan untuk
menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari
dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah konteks pembicaraannya. Maka perlu
diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan
qarinah dari riwayat tersebut.

Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama,
salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian,
maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain dianggap sebagai
penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.

Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang
mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya
sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika
tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam ayat
yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.

F. KAIDAH AL-IBRAH

Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan, tauladan atau pelajaran. Maka
al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi ialah mengambil pelajaran atau
hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila
sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum
(general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya
tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun
sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok
ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ,” Jika turun
satu ayat dengan sebab yang bersifat khusus dan redaksi yang bersifat umum. Maka,
hukum yang terkandung dari ayat tersebut mencakup kasus sebab turunnya ayat
tersebut dan mencakup semua yang dapat tercakup, dalam redaksi yang bersifat
umum.
Contohnya: Ayat tentang li’an yaitu firmanNya,

ُ‫ َو ۡٱل ٰخَ ِم َسة‬٦ َ‫ص ِدقِين‬ َّ ٰ ‫ت بِٱهَّلل ِ إِنَّهۥُ لَ ِمنَ ٱل‬


ِ ۢ ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ أَ ۡز ٰ َو َجهُمۡ َولَمۡ يَ ُكن لَّهُمۡ ُشهَدَٓا ُء إِٓاَّل أَنفُ ُسهُمۡ فَ َش ٰهَ َدةُ أَ َح ِد ِهمۡ أَ ۡربَ ُع َش ٰهَ ٰ َد‬
ٰ ۡ ٰ
ِ ۢ ‫اب أَن ت َۡشهَ َد أَ ۡربَ َع َش ٰهَ َد‬
٨ َ‫ت بِٱهَّلل ِ ِإنَّهۥُ لَ ِمنَ ٱل َك ِذبِين‬ َ ‫ َويَ ۡد َرؤ ُْا ع َۡنهَا ۡٱل َع َذ‬٧ َ‫أَ َّن لَ ۡعنَتَ ٱهَّلل ِ َعلَ ۡي ِه إِن َكانَ ِمنَ ۡٱل ٰ َك ِذبِين‬

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-
orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta.”
(QS. An-Nuur : 6-8)
Di dalam shahih Bukhari (hadis no. 2671) , dari hadis ‘Ibnu ‘Abbas , bahwasanya
Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya berzina dengan Syuarik bin Samha’ di
hadapan Nabi . Maka Nabi bersabda,” Harus ada bukti, jika tidak punggungmu akan
didera.” Maka Hilal berkata,” Wahai Rasulullah , apabila salah seorang diantara kami
melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya, apakah dia harus mencari bukti?”
Rasulullah menjawab ,” Harus ada bukti, jika tidak punggungmu akan didera.” Maka
Hilal bersumpah ,” Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya
saya adalah orang yang jujur dan Allah sungguh akan menurunkan apa yang
menyelamatkanku dari dera (had). Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi
Muhammad SAW:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina).. sampai dengan .. jika suaminya
itu termasuk orang-orang yang benar”
Ayat ini turun karena sebab tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istrinya, tetapi
hukumnya mencakup kasus tersebut dan kasus lain yang serupa.
Dari kasus tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwaayat ini tidaklah hanya berlaku
untuk Hilal bin Umayyah yang menjadi sebab turunnya ayat diatas. Tetapi, berlaku
bagi siapa saja yang mengalami kasus yang serupa dengan Hilal bin Umayyah, yaitu
dalam masalah li’an.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan rahimahullah berkata, “Inilah pendapat yang rajih (lebih
kuat) dan lebih shahih (mendekati kebenaran). Pendapat ini selaras dengan keumuman
hukum-hukum syariat, dan hal ini merupakan metode yang dipakai oleh para
Sahabat dan para mujtahid umat ini.

DAFTAR PUSTAKA
-Ahmadehirjin Moh,1998.Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Primayasa
-Baidah Nashruddin,2005.Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
-Amin Bakri Syeikh,1980.Al-Ta’bir Al-Fanni Fi Al-Qur’an Al-Karim,Kairo:Dar Al-
Syuruq
- Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa, 1992

Anda mungkin juga menyukai