ASBABUN NUZUL
2. Dilihat dari Sudut Pandang Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat atau
Berbilangnya Ayat untuk Asbab An-Nuzul
a. Berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk Satu Ayat (Ta’addud As-Sabab wa Nazil Al-Wahid).
Pada kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-Nuzul dalam satu versi. Ada
kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbab an-Nuzul. Tentu saja, hal itu tidak
akan menjadi persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk
variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk
mengatasi variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama
mengemukakan cara-cara berikut.
v Tidak Mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab an-Nuzul ini menggunakan redaksi
muhtamilah (tidak pasti). Misal satu versi menggunakan redaksi: “Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan …”. Dan versi lain menggunakan redaksi: “Saya kira ayat ini diturunkan
berkenaan dengan …”.
Variasi riwayat asbab an-Nuzul di atas tidak perlu dipermasalahkan karena yang dimaksud
oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab an-Nuzul. Ini
berbeda bila ada indikasi jelas yang menunjukkan bahwa salah satunya memaksudkan asbab
an-Nuzul.
Dalam kasus semacam di atas, riwayat Jabir-lah yang harus dipakai karena ia menggunakan
redaksi sharih (pasti).
Versi kedua yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibn Abi Syaiban dari Hafsah bin
Maisarah, dari ibunya, dari neneknya (khadam Rasulullah) mengatakan: “Seekor anak anjing
masuk ke dalam rumah Rasulullah dan bersembunyi di bawah tempat tidur sampai mati. Oleh
karena itu, selama empat hari Rasulullah tidak menerima wahyu. Nabi berkata, ‘Wahai
Khaulah! Apakah yang telah terjadi di rumah Rasulullah? (sehingga) Jibril tidak datang
kepadaku.’ Maka aku pun (khaulah) berkata, “Alangkah baiknya jika ku periksa langsung
keadaan rumahnya dan menyapu lantainya. Aku masukkan sapu ke bawah tempat tidur dan
mengeluarkan bangkai anjing darinya. Nabi kemudian datang dalam keadaan dagu gemetar.
Oleh karena itu, ketika menerima wahyu, dagu Nabi selalu bergetar. Maka Allah menurunkan
surat Adh-Dhuha [93]:1-3.”
Studi kritik terhadap versi kedua menempatkan status riwayatnya pada kualitas tidak sahih.
Dalam hal ini, Ibn Hajar mengatakan bahwa kisah keterlambatan Jibril menyampaikan wahyu
kepada Nabi karena anak anjing memang masyhur, tetapi keberadaannya sebagai asbab an-
Nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang harus
diambil adalah riwayat lain yang sahih.
Adapun terhadap variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat, versi berkualitas, para
ulama mengemukakan langkah-langkah berikut:
Versi asbab an-Nuzul yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas
mengatakan: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, ‘Berikan kepada
kami tentang sesuatu yang akan ditanyakan kepada lelaki ini (Nabi)’. Mereka
menjawab,’Bertanyalah kepadanya tentang roh’. Maka mereka pun bertanya tentangnya
kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: Wa yasalunaka ‘an ar-ruh …”
Riwayat yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi keduanya berstatus sahih. Akan tetapi,
mayoritas ulama lebih mendahulukan hadis Bukhari daripada hadis Tirmidzi, karena hadis
Bukhari lebih unggul (rajih), sedangkan hadits Tirmidzi tidak unggul (marjuh). Alasan yang
dikemukakan mereka adalah bahwa Ibn Mas’ud menyaksikan kejadian sendiri di atas
sedangkan Ibn Abbas hanya mendengarnya dari orang lain.[1] Dalam kasus di atas, As-
Suyuthi berkomentar sebagai berikut:
“Studi tarjih menyimpulkan bahwa riwayat Bukhari dipandang lebih sahih daripada riwayat
Tirmidzi, karena Ibn Mas’ud menghadiri langsung kejadian di atas.”
Kalau kedua versi riwayat asbab an_nuzul itu sahih atau tidak sahih atau tidak bisa dilakukan
studi tarjih dan jama’, maka hendaklah kita anggap ayat itu diturnkan berulang kali. Dalam
istilah ilmu-ilmu Al-Qur’an hal itu bisa disebut “Berulangnya turun ayat” (ta’addud an-
nuzul). Sebagai contoh ada dua versi asbab an-Nuzul yang melatarbelakangi turunnya surat
Al-Ikhlas [112]. Satu riwayat mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab pertanyaan
kelompok musyrikin Mekah. Riwayat lain mengatakan bahwa surat itu turun untuk menjawab
kelompok ahli kitab di Madinah. Karena kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak mungkin
untuk dilakukan studi tarjih dan jama’; maka kita anggap ayat tersebut turun dua kali.
b.) Variasi Ayat untuk Satu Sebab (Ta’addud Nazil wa As-Sabab Al-Wahid
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya, dau ayat atau lebih. Hal ini dalam
‘Ulum Al-Qur’an disebut dengan istilah “Ta’addud Nazil wa as-Sabab al-Wahid” (terbilang
ayat yang turun, sedangkan sebab turunnya satu). Contoh satu kejadian yang menjadi sebab
bagi dua ayat yang diturunkan, sedangkan antara yang satu dengan yang lainnya berselang
lama adalah riwayat asbab an-Nuzul yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir Ath-Thabari, Ath-
Thabrani, dan Ibn Mardawiyah dari Ibn Abbas: “Ketika Rasulullah duduk di bawah naungan
pohon kayu, beliau bersabda, ‘Akan datang kepada kamu seorang manusia yang
memandangmu dengan dua mata setan, janganlah kalian ajak bicara apabila ia datang
menemuimu.’ Tidak lama sesudah itu, datanglah seorang lelaki yang bermata biru. Rasulullah
kemudian memanggilnya dan bertanya. ‘Mengapa engkau dan teman-temanmu memakiku?,
Orang tersebut pergi dan datang kembali beserta teman-teamnnya. Mereka bersumpah
dengan nama Allah bahwa mereka tidak menghina Nabi. Terus-menerus mereak mengatakn
demikian sampai Nabi memaafkannya, maka turunlah surat At-Taubah [9] ayat 74 (mereka
{orang-orang munafik itu} bersumpah dengan {nama} Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan {sesuatu yang menyakitimu}. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah islam, dan mengingini apa yang mereka
tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela {Allah dan Rasul-Nya}, kecuali karena
Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka
bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali
tidak mempunyai pelindung dan tidak {pula} penolong di muka bumi).”
Demikian pula, Al-Hakim meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang sama dan
mengatakan, “Maka Allah menurunkan surat Al-Mujadalah [58] ayat 18-19.”
Sumber dan Cara Mengetahui Asbabun Nuzul - Pedoman dasar para ulama dalam
mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari
sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas,
maka nal itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’
(disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai
asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang
pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan
sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin
mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an,
dijawabnya:”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang
mengetahui mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang
termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat
dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui benar-
benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul
adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti
menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in
secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai
kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang
imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id
bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang
memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik lagi
ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan.
Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif
(lemah).
Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:
1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya
berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa
sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
2). Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan
mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu
riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti
berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari
dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah
kabar gembira orang-orang yang beriman.
3). Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah
adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu
oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab
nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau
persoalan yang sedang dihadapi.
Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul,
ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat.
Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para
sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang ini”
maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu, bukan untuk
menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari
dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah konteks pembicaraannya. Maka perlu
diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan
qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama,
salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian,
maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain dianggap sebagai
penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang
mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya
sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika
tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam ayat
yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.
F. KAIDAH AL-IBRAH
Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan, tauladan atau pelajaran. Maka
al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi ialah mengambil pelajaran atau
hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila
sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum
(general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya
tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun
sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok
ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ,” Jika turun
satu ayat dengan sebab yang bersifat khusus dan redaksi yang bersifat umum. Maka,
hukum yang terkandung dari ayat tersebut mencakup kasus sebab turunnya ayat
tersebut dan mencakup semua yang dapat tercakup, dalam redaksi yang bersifat
umum.
Contohnya: Ayat tentang li’an yaitu firmanNya,
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-
orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta.”
(QS. An-Nuur : 6-8)
Di dalam shahih Bukhari (hadis no. 2671) , dari hadis ‘Ibnu ‘Abbas , bahwasanya
Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya berzina dengan Syuarik bin Samha’ di
hadapan Nabi . Maka Nabi bersabda,” Harus ada bukti, jika tidak punggungmu akan
didera.” Maka Hilal berkata,” Wahai Rasulullah , apabila salah seorang diantara kami
melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya, apakah dia harus mencari bukti?”
Rasulullah menjawab ,” Harus ada bukti, jika tidak punggungmu akan didera.” Maka
Hilal bersumpah ,” Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya
saya adalah orang yang jujur dan Allah sungguh akan menurunkan apa yang
menyelamatkanku dari dera (had). Maka turunlah Jibril dan menurunkan kepada Nabi
Muhammad SAW:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina).. sampai dengan .. jika suaminya
itu termasuk orang-orang yang benar”
Ayat ini turun karena sebab tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istrinya, tetapi
hukumnya mencakup kasus tersebut dan kasus lain yang serupa.
Dari kasus tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwaayat ini tidaklah hanya berlaku
untuk Hilal bin Umayyah yang menjadi sebab turunnya ayat diatas. Tetapi, berlaku
bagi siapa saja yang mengalami kasus yang serupa dengan Hilal bin Umayyah, yaitu
dalam masalah li’an.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan rahimahullah berkata, “Inilah pendapat yang rajih (lebih
kuat) dan lebih shahih (mendekati kebenaran). Pendapat ini selaras dengan keumuman
hukum-hukum syariat, dan hal ini merupakan metode yang dipakai oleh para
Sahabat dan para mujtahid umat ini.
DAFTAR PUSTAKA
-Ahmadehirjin Moh,1998.Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Primayasa
-Baidah Nashruddin,2005.Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
-Amin Bakri Syeikh,1980.Al-Ta’bir Al-Fanni Fi Al-Qur’an Al-Karim,Kairo:Dar Al-
Syuruq
- Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa, 1992