Anda di halaman 1dari 20

LATAR BELAKANG TURUN AL-QUR’AN

(Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Studi Al-Qur’an dan Hadis Prespektif Pendidikan Islam)

Dosen Pengampu : Dwi Ratnasari, S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh:

ROBIAH AL ADAWIYATI
NIM. 20204012035

GHUFRAN HASYIM ACHMAD


NIM. 20204012034

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.
Al-Qur’an adalah kalam (perkataan) Allah Swt, yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad Saw, melalui malaikat jibril dengan lafal dan
maknanya. Al-Qur’an sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber
pertama dan utama dari seluruh ajaran islam serta berfungsi sebagai pedoman
atau petunjuk bagi umat manusia dalam mencapai kebahagian hidup di dunia
dan di akhirat. 1
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah
tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan
yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga
memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta
berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan
umum ini, tetapi kehidupan para sahabat Rasulullah telah menyaksikan
banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa
khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi
mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui
hukum islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus
tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang
dinamakan Asbabun Nuzul.
Banyak alat bantu untuk memahami ayat ataupun rangkaian ayat dalam
Al-Qur’an. Semisalnya dengan menggunakan ‘Ilm I’rab Al-Qur’an, ‘Ilm
Garib Al-Qur’an, ‘Iilm Awqat an-nuzul, ‘iilm Asbab an-nuzul, dan
sebagainya. ‘Ilm Asbab an-nuzul adalah di antara metode yang amat penting
dalam memahami Al-Qur’an dan menafsirinya. Seperti yang sudah ditetapkan
para ulama, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dengan dua bagian. Satu bagian

1
Kafari Ridwan,”Ensiklopedi Islam”,(Jakarta: PT Icthtiar Baru Van Koeve, 2002), hlm.
132.
diturunkan secara langsung dan bagian ini merupakan mayoritas Al-Qur’an.
Dan bagian kedua diturunkan setelah ada suatu peristiwa kejadian atau
permintaan, yang turun mengiringi selama turunya wahyu, yaitu selama 13
tahun. Bagian inilah yang akan dibahas berdasarkan seab turunya. Sebab,
mengetahui sebab turunnya dan seluk beluk yang melingkupi nash, akan
membantyu pemahaman dana pa yanga akan dikehendaki dari nash itu.
Senada dengan pernyataan Yusuf Qardawi, Syaikh Al-Ja’bari
mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua bagian. Bagian yang
pertama berupa prinsip-prinsip yang tidak terikat dengan sebab-sebab khusus,
melainkan murni petunjuk bagi manusia ke jalan Allah. Bagian kedua,
diturunkan berdasarkan suatu sebab tertentu.
Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa Asbabun Nuzul tidak
berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya, tidak
di terima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak
akan turun, komarunddin Hidayat memposisikan persoalan ini dengan
menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’an, memang diyakini memiliki dua
dimensi: historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak antara
Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalam-Nya
yang kemudian menyejarah. 2

2. Rumusanh Masalah
1. Pengertian Asbabun Nuzul ?
2. Riwayat Asbabun Nuzul ?
3. Bukti Historis Asbabun Nuzul ?
4. Nilai-nilai Pendidikan dalam Asbabun Nuzul ?
3. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Asbabun Nuzul ?
2. Untuk Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul ?
3. Untuk Mengetahui Bukti Historis Asbabun Nuzul ?
4. Untuk Mengetahui Nilai-nilai Pendidikan dalam Asbabun Nuzul ?

Ahmad Zaini, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”,
2

dalam Jurnal Hermeunetik, vol. 8, no. 1, Juni, 2014.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Asbab An-Nuzul


Asbabun Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbab” “Nuzul”.
Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi
terjadinya sesuatu bisa disebut Asbabun Nuzul, namun dalam pemakaiannya,
ungkapan Asbabun Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-
sebab yang melatar belakangi turunya al-qur’an, seperti halnya sebab-sebab
al-wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadist.
Sedangkan secara terminology atau istilah Asbabun Nuzul dapat
diartikan sebagai sebab-sebab yang mengiringi diturunnya ayat-ayat Al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, karena ada suatu peristiwa yang
membutuhkan penjelasan atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama
diantaranya:
1. Menurut Az-Zarqani :
“Asbabun Nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada
hubungannya dengan turunnya ayat Al-Qur’an sebagai penjelas hukum
pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni :
“Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau terjadinya yang menyebabkan
turunya satu atau beberapa ayat mulia yang diajukan kepada Nabi atau
kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Shubhi Shaliha :
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat. Al-Qur’an (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu
sebagai respons atasnya. Atau sebagai penjelasan terhadap hukum-
hukum disaat peristiwa itu terjadi”.
4. Mana’ Al-Qhathan :

‫ة ُوقُ ْو ِع ِه َو ْقتَبِشَأْنِ ِه قُ ْرآنٌماَنُ ِز َل‬Kٍ َ‫سؤَالٍ َكحا َ ِدث‬


ُ ‫او‬
ْ

Artinya :

“Asbabun Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya


Al-Qur’an berkenan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.3

5. Al-Wakidy :

“Asbabun Nuzul adalah peristiwa sebelum turunnya ayat, walaupun


“sebelumya” itu masanya jauh, seperti adalanya peristiwa gajah dengan
surah Al-Fill”.4

Bentuk-bentuk peristiwa yang melatar belakangai turunnya Al-qur’an


itu sangat beragam, diantaranya berupa: konflik social seperti, ketegangan
yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj: kesalahan besar, seperti kasus
salah seorang sahabat yang mengimami sholat dalam keadaan mabuk: dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat Nabi, baik
berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan trerjadi.

Persoalan apakah seluruh ayat Al-qur’an memiliki Asbabun Nuzul atau


tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi diatara para ualama’.
Sebagian ulama berpendampat bahwa tidak semua ayat Al-qur’an memiliki
Asbabun Nuzul. Sehingga, diturunkan tanpa ada yang melatar belakangi
(ibtida’), dan adapula ayat Al-qur’an itu diturunkan dengan dilatarbelakangi
oelh suatu peristiwa (ghair ibtida”).

Pendapat tersebut hampir merupakan konsensus para ulama. Akan


tetapi, ada yang menguatkan bahwa kesejahteraan arabia pra-Qur’an pada
masa turunnya Al-qur’an merupakan latar belakang makro Al-Qur’an:
sementara riwayat-riwayat Asbabun Nuzul merupakan latar belakang mikro.
3
Rosihon Anwar, “Ulum Al-Qur’an”, (Bandung: Pustaka setia, 2017), hlm 60.
4
Didin saefuddin Buchori, “Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an”, (Bogor:
Granaada Pustaka, 2005), hlm. 33
Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat Al-Qur’an memiliki
sebab-sebab yang melatarbelakanginya.5

2. Riwayat Asbab An-Nuzul


Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat.
Dalam keadaan demikian, sikap sseorang mufasir kepadanya sebagai berikut:

1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “ayat ini
turun mengenai urusan ini” atau “aku kira ayat ini turun mengenai urusan
ini”, maka dalam ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu:
sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan
bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya,
bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila karinah atau indikasi pada
salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzul.

2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “ayat
ini turun mengenai urusan ini,” sedang riwayat lain menyebutkan sebab
nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat yang pertama, maka
menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara
tegas dan riwayat yang lain tentang sebab nuzul firmal Allah: ”istri-Istrimu
adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan
cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan
menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang
beriman.”(Al-Baqarah/2:223).

Dari Nafi’ disebutkan: “pada suatu hari aku membaca (Istri-Istrimu


adalah lading bagumu…), maka kata Ibn Umar: “Tahukah engkau
megenai ayat ini turun?’ Aku menjawab: Tidak.’ Iaa berkata: “Ayat ini
turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang. Bentuk redaksi
riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunjukan sebab nuzul.
Sementara itu terdapat riwayatyang secara tegas menyebutkan sebab nuzul

5
Rosihon Anwar, hlm 60.
yang bertentangan dengan riwayt tersebut. Melalui jibril dikatakan:
“Orang-orang yahudi be5rkata: “Apabila seorang laki-laki mendatangkan
istrinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling.’ Maka
turunlah ayat (Iatri-istrimu adalah lading bagimu, maka datangilah
ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai..)’’Maka jibril
inilah inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan
pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah
demikian: karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.

3. Apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul,


sedang salah satu riwayat diantaranya itu sahih. Misalnya, apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadist lainnya, dari Jundub al-
Bajali: “Nabi menderita sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun
malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata:
Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu: selama dua tiga
minggu ini sudah tidak mendaktimu lagi.’ Maka Allah menurunkan firman
ini (Demi waktu duha (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi
apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad)
dan tidak (pula) membencimu.” (Ad-duha/9:1-3).

Sementara itu Tabarani dan Ibn Syaibah meriwayatkan dari Hafs


bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuannya pembantu
Rasulullah,“Bahwa seekor anak anjing telah masuk ke dalam rumah Nabi
lalu masuk ke kolong temapt tidur dan mati. Karenanya selama empat hari
tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata: ‘khaulah, apa yang telah
terjadi dirumah Rasulullah ini? Sehingga jibril tidak datantg kepadku!’
Dala hati aku berkata: ‘Alangkah baiknya andai aku membenahi rumah ini
dan menyapunya. ‘Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka ku
keluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah Nabi sedang jenggutnya
tergetar. Apa bila turun wahyu kepadnya ia tergetar. Maka Allah
menurukan (Demi waktu duha) sampai dengan (… sehingga engkau
menjadi puas).”
Ibn Hajar dalam Syarah Bukhari berkata: “Kisah terlambatnya
Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyhur. Tetapi bahwa kisah
itu dijadikan sebab sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil (garib).
Dalam isnad hadist itu terdapat orang yang tiak dikenal, makan yang
nejadi pegangan ialah riwayat dalam Sahih Bukhari dan Muslim.

4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang


memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut,
atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka riwayat yang
lebih kuat itulah yang didahulukan contohnya ialah hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas’ud yang mengatakan: “Aku
berjalan dengan Nabi diMadinah. Ia berpegang pada tongkah dari pelepah
pohon kurma. Dan ketika melewati seromnbongan orang-orang yahudi,
seseorang diantara mereka berkata: ‘Coba kamu tanyakan sesuatu
kepadanya. ‘Lalu mereka menanyakan: “Ceritakan kepada kami tentang
ruh. “Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepalanya. Aku tahu bahwa
wahyu tengah turun kepadanya. Wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian
ia berkata: (“… Katakanlah, “Ruh itu termasuk utusan Tuhanku,
sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” Al-Isra’/17:85).

Diriwayatkan dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn Abbas yang


mengatakan: “Orang Quraisy berkata kepada Yahudi: ‘Berilah kami suatu
persoalan untuk kami tanyakan kepada orang ini (Muhammad). ‘Mereka
menjawab: ‘Tanyakan kepadanya tentang ruh. ‘Lalu mereka tanyakan
kepad Nabi. Maka Allah menurunkan: (Dan meeka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan
Tuhanku…).” Riwayat ini memberikan kesan bahwa ayat itu turun di
Mekah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi
kesan turun di Madinah. Riwayat dikukuhkan kerena Ibn Mas’ud hadir
dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Di samping itu umat juga telah
terbiasa ubtuk lebih menerima hadist Sahih Bukhari dan memandangnya
lebih kuat dari hadist Sahih yang dinyatakan oleh lainnya.
Menurut Az-Zakasyi berpendampat, contoh seperti ini termasuk ke
dalam bab “banyak dan berulang nuzul.” Dengan demikian, ayat diatas
turun dua kali, sekali di Mekah dan sekali di Madinah. Dan menjadi
sandaran untuk hal itu ialah bahwa suarah ‘Subhana’ atau al-Isra adalah
Makki menurut kesepakatan.

Kami sendiri berpendampat, kalaupun surah itu Makki sifatnya,


namun tidak dapat ditolak apabila satu ayat atau lebih dari surat tersebut
itu Madani. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Mas’ud di atas
menunjukan bahwa ayat ini (… Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit) adalah Madani. Karena
itu pendampat yang kami pilih, yaitu menguatkan (tarjih) riwayat Ibn
Mas’ud atas riwayat Tirmizi dan Ibn Abbas, lebih baik dari pada
memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulang nuzul. Sekiranya
benar bahwa ayat tersebut Makki dan ditunkan sebagai jawaban atas suatu
pertanyaan maka pengulangan pertanyaan yang sama di Madinah tidak
menuntut penurunan wakyu dengan jawaban yang sama pula, sekali lagi.
Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah menjawabnya dengan jawaban
yang telah turun sebelumnya.

5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu


dipadukan atau dikompromikan bila mungkin: hingga dinyatakan bahwa
ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak
waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan. Misalnya, ayat Li’an “Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)… (an-Nur/24:6-9). Bukhari,
Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut
trurun mengenai Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya telah berbuat
serong dengan Syuraik bin Sahma’, dihadapan Nabi, seperti kami telah
sebutkan diatas.

Diriwayatkan oleh bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin
Sa’d: ” Uwaimir dating kepad ‘Asim bin ‘Adi, lalu berkata: ‘Tanyakan
kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya
bersama-sama dengan laki-laki lain: apakah ia harus membunuhnya
sehingga ia dikisas atau apakah yang harus ia lakukan…?’” Kedua riwayat
dapat dipadukan, yaitu bahwa peristiwa Hilal terjadi terlebih dahulu, dan
kebetulan pula ‘Uwaimir mengalami kejadian serupa: maka turunlah ayat
yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi kedua
peristiwa tadi. Ibn Hajar berkata: “Banyaknya sebab nuzul itu tidak
menjadi soal.”

6. Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu


antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa
kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulang nuzul. Kmisalnya,
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dari al-Musayyab, ia berkata:
“ketika Abu Talib dalam keadaan sekarat, Rasulullah menemuinya. Dan
disebelahnya (Abu Talib) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah.
Maka kata Nabi: ‘Pamanda, ucapkanlah la ilaha illallah. Karena dengan
kalimat itu kelak aku dapat memintakan keringan bagi paman di sisi Allah.
‘Abu Jahal dan Abdullah berkata: ‘Abu Talib, apakah engkau sudah tidak
menyukai agama Abdul Muttalib? Kedua orang itu terus berbicara kepada
Abu Thalib sehingga masing-masing mengatakan bahawa ia tetap dalam
agama Abdul Muttalib. Maka kata Nabi: ‘Aku akan tetap memintakan
ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian. ‘maka
turunlah ayat: Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik…at-
Taubah/9:113).

Tirmizi meriwayatkan dari Ali yang mengatakan: “aku mendengar


seorang laki-laki meminta mapunan untuk kedua orang tuanya, sedangkan
keduanya itu musyrik. Lalu aku katakana kepadanya ‘Apakah engkau
memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedangkan mereka itu
musyrik?’ ia menjawab, Ibrahim telah memintakan ampunan untuk
ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik. ‘Lalu aku menceritakan hal itu
kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tadi. Diriwayatkan oleh hakim dan
yang lain, dari Ibn Mas’ud, yang mengatakan: “pada suatau hari
Rasulullah pergi ke kuburan, lalu duduk di dekat salah satu makam. Ia
bermunajat cukup lama lalu menangis. Katanya: “Makam di mana aku
duduk di sisinya adalah makam ibuku. Aku telah meminta izin kepad
Tuhanku untuk mendo’akannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu
diturunkanlah wahyu kepadaku (Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang
beriman memohonkan ampunan (Kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik…).

Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan (dinyatakan


sebagai) berulang kalinya nuzul (maksudnya, kita memandang ayat itu, at-
Taubah/9:113, diturunkan berulang kali). Contoh lain ialah apa yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri di sisi jenazah
Hamzah yang mati Syahid dengan dianiaya. Maka kata Nabi: “Akan
kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu.” Maka
Jibril turun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi, sementara
ia dalam keadaan berdiri: (Dan jika kamu membalas, maka balaslah
dengan (balasan) yang sama siksaan yang ditimpakan kepadamu…an-
Nahl/19:126-128) Sampai akhir surah. Riwayat ini menunjukan bahwa
ayat-ayat di atas turun pada waktu perang Uhud.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada


waktu penaklukan kota Mekah. Padahal surah tersebut adalah Makki,
maka pengompromian antara riwayat-riwayat ialah dengan menyatakan
bhawa ayat-ayat tersebut turun di Makah sebelum Hijrah, lalu di Uhud dan
kemudian turun lagi saat penaklukan Mekah. Tidak ada salahnya bagi hal
yang demikian mengingat dalm ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan
nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan adanya syariat. Az-
Zarkasyi dalam al-Burhan mengatakan: “Terkadang sesuatu ayat turun dua
kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan
peristiwa yang menyebabkannya, khawatir terlupakan. Sebagaimana
terjadi pada surah Fatiha yang turun dua kali: sekali di Mekah dan sekali
lahgi di Madinah.

Demikianlah sikap dan pendampat para ulama ahli dalam bidang


ini mengenai riwayat-riwayat sebab nuzul sesuatu ayat, bahwa ayat itu
diturunkan bebrapa kali. Tetapi menurut hemat kami pendapat tersebut
tidak atau kurang memiliki nilai positif mengingat hikmah berulah kali
turun sesuatu ayat itu tidak begitu Nampak dengan jelas. Pendapat kami
mengenai permasalahan ini ialah bahwa riwayat yang bermacam-macam
mengenai sebab nuzul dan tidak mungkin dipadukan itu sebenarnya dapat
ditarjihkan (dikuatkan) salah satunya. Misalnya, riwayat-riwayat yang
berkenaan dengan sebab nuzul firman Allah: Tidak pantas bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik...-(at-Taubah/9:113). Riwayat pertama dinilai lebih
kuat dari kedua riwayat lainnya: sebab ia terdapat dalam kitab Sahih
Bukhari-Muslim, sedang kedua riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan
kedua tokoh hadist ini cukup kuat untuk dijadikan pegangan. Maka
pendampat yang kuat ialah bahwa ayat itu turun berkenaan dengan Abi
Talib. Begitu pula halnya riwayat-riwayat sebab nuzul akhir surah an-
Nahl. Riwayat-riwayat itu tidak sama derajatnya. Maka mengambil
riwayat paling kuat adalah lebih baik dari pada menyatakan, ayat itu
diturunkan berulang kali.6

Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka


terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan
terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam
menunjukan sebab.

a. Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukan sebab, maka tidak


ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai
tafsir dan kandungan ayat.

6
Manna Khalil al-Qattan, “Pengantar Studi Ilmu Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), hlm. 107-111.
b. Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang
menjadi pegangan adalah yang tegas.

c. Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan


bahawa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila salah
satunya sahih sedang yang lain tidak, maka yang sahih itulah yang
menjadi pegangan.

d. Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.

e. ila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila


mungkin.

f. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan


beberapa kali dan berulang.

Dalam bagian yang terakhir ini terdapat pembahasan: karena dalam


setiap riwayat terdapat keterangan.7

3. Bukti Historis Asbab An-Nuzul


Hakikat diturunkannya Al-Qur’an ialah sebagai barometer moral yang
menyeluruh bagi umat manusia sebagai jalan keluar dari setiap masalah yang
timbul dalam kehidupan. Oleh karenanya Al-Qur’an secara kategoris dan
tematik justru diturunkan untuk memberikan jawaban terhadap bermacam
masalah umat sesuai dengan konteks dan dinamika seajarahnya.
Oleh sebab itu sangat logis apabila ahli tafsir menyepakati proses
diturunkannya Al-Qur’an ke bumi ini, tidak mungkin dilakukan oleh Allah
SWT secara sekaligus, akan tetapi dengan cara munajjaman (berangsur-
angsur). Diselaraskan kemampuan akal manusia dan kompleksitas masalah
yang dihadapinya.
Mengetahui ataupun menafsirkan Al-Qur’an secara kontekstual serta
melihat dari aspek sejarah turunnya Al-Qur’an ini merupakan suatu keharusan,
melihat bahwa Al-Qur’an tidak hanya untuk berinteraksi dengan masyarakat

7
Manna Khalil al-Qattan, “Studi Ilmu-Ilmu Qur’an”, terj. Mudzakir, (Bogor: Litera
AntarNusa, 2019), hlm. 130.
pada masa kenabian, melainkan juga kepada masyarakat yang datang
sesudahnya.8
Dengan mengetahui suatu bukti sejarah tentang asbab an-nuzul, maka
akan memberikan dampak yang besar dalam membantu memahami ayat-ayat
Al Qur’an dan akan lebih dapat mengetahui rahasia-rahasia dibalik cara
pengungkapan Al Qur’an dalam menjelaskan peristiwa melalui historis
turunnya Al Qur’an. Maka barangsiapa yang tidak mengetahui suatu
peristiwa sejarah asbab al-nuzul suatu ayat, maka bisa dipastikan ia tidak akan
mengetahui rahasia yang terkandung dibalik cara Al Qur’an mengungkapkan
ayat-ayatnya.9
Berikut adalah ayat-ayat asbab an-nuzul tentang shalat qasar yang dapat
kita ketahui, antara lain:
Q.S An-Nisa : 101-103

‫وة‌ۖ اِ ۡن ِخ ۡفتُ مۡ اَ ۡنيَّ ۡفتِنَ ُك ُم الَّ ِذ ۡي َن َك َف ُر ۡاو‬ َّ ‫ص ُر ۡاو ِم َن‬


ِ ‫الص ٰل‬ ۡ
ُ ‫اح اَ ۡنتَ ق‬
ٌ َ‫س َعلَ ۡي ُك مۡ ُجن‬ ۡ ِ ‫ض َر ۡبتُ مۡ فِى ا اَۡل ۡر‬
َ ‫ض َفلَ ي‬
ِ
َ ‫َواذَا‬

ؕ‫اِ َّن ا ۡل ٰـك ِف ِر ۡيَن َكانُ ۡوا لَـ ُك مۡ َع ُد ًّوا ُّمبِ ۡينًا‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa


kamu shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. An-Nisa:
101)10

‫ك َو يَۡل ۡا ُخ ُذ ۡۤاو اَ ۡسلِ َحَت ُه مۡ فَِاذَا َس َج ُد ۡاو فَ ۡليَ ُك ۡنُو ۡاو‬ ِ


َ ‫َفةٌ ِّم ۡن ُه مۡ َّم َع‬Kِ‫الص ٰلوةَ فَ ۡلَت ُق مۡ طَٓا ِٕٕٮ‬ َ ۡ‫ت فِ ۡي ِه مۡ فَاَقَ م‬
َّ ‫ت ل َُه ُم‬ َ ‫َو اذَا ُك ۡن‬

‫حَت ُهمۡ‌ ۚ َو َّد الَّ ِۡذي َن‬Kَ‫ك َو ۡليَ ۡا ُخ ُذ ۡو ا ِۡحذَر ُه مۡ َواَ ۡ لِس‬
َ ‫ص لُّ ۡوا َم َع‬
َ ُ‫ص لُّ ۡاو فَ لي‬
ۡ ۡ ِۡ ۡ ِ
َ ُ‫ف ةٌ اُ ٰخرى لَ مۡ ي‬Kِ‫ ُكمۡ ۖ َولتَ ات طَٓا َِٕٕٮ‬Kِ‫م ۡن َّو َرٓا ِٕٕٮ‬

‫َك َف ُر ۡاو لَ ۡو‬

Hafizi, “Asbab An-Nuzul Dalam Penafsiran Al-Qur’an” (Aspek Sejarah dan


8

Kontekstual Penafsiran), Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits Vol 14 No 1 Tahun 2020, hlm
57.
9
Muhammad Baqir Hakim, “Ulumul Qur’an”, Diterjemahkan oleh Nashirul Haq.
10
K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, “Asbabun Nuzul” (Latar Belakang Turunnya Ayat-
ayat Al-Qur’an), (Bandung: Diponegoro, 2017), hlm 164-165.
‫اح َعلَ ۡي ُك مۡ اِ ۡن َكا َن بِ ُك مۡ اَ ًذى‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ۡ
َ َ‫تَ غُفلُ ۡوَن َع ۡناَ ۡسل َحت ُك مۡ َواَ مۡ ت َعت ُك مۡ َفيَم ۡيلُ ۡوَن َعلَ ۡي ُك مۡ َّم ۡيلَةً َّواح َد ً‌ة ؕ َواَل ُجن‬
‫ضعُ ۡۤاو اَ ۡسلِ َحتَ ُكمۡ‌ ۚ َو ُخ ُذ ۡوا ِح ۡذَر ُكمۡ‌ ؕ اِ َّن ال ٰلّهَ اَ َع َّد لِ ۡل ٰك ِف ِر ۡي َن َع َذابًا ُّم ِه ۡينًا‬ ٰۤ ‫ِّم ۡنَّمطَ ٍر اَ ۡو ُك ۡنـتُ مۡ َّم ۡر‬
َ َ‫ضى اَ ۡنت‬

“Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu


kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum shalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir
ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu
mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena
hujan atau kamu memang sakit, dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah
telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu.
(Q.S. An-Nisa: 102)

َّ ‫الص ٰلو َة فَا ۡذُك ُروا ال ٰلّهَ قِيَ ًاما َّو ُقعُ ۡوًدا َّو َع ٰلى ُجنُ ۡوبِ ُكمۡ ؕ ۚ فَِا َذا ا ۡط َم ۡانَ ۡنتُ مۡ فَاَقِ ۡيُموا‬
‫الص ٰلو َ‌ة ۚ اِ َّن‬ َۡ َ‫فَِا َذا ق‬
َّ ‫ضيتُ ُم‬

‫الص ٰلو َة َكانَ ۡت َعلَى ا ۡل ُم ِۡؤمنِ ۡي َن كِتٰبًا َّم ۡقوُ ۡتًوا‬


َّ

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di


waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila
kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman”. (Q.S An-Nisa’:103)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Banin Najjar bertanya
kepada Rasulullah SAW: “Kami sering bepergian berniaga, bagaimanakah
shalat kami?” Maka Allah menurunkan sebagian ayat ini (Q.S. An-Nisā’: 101)
yang membolehkan shalat diqasar. Wahyu tentang ayat ini kemudian terputus
sampai, … minash shalāḫ … (… shalat[mu] …). Di dalam suatu peperangan
yang terjadi setelah turunnya ayat di atas itulah kaum musyrikin berkata:
“Muhammad dan teman-temannya memberi kesempatan kepada kita untuk
menggempur dari belakang. Tidakkah sebaiknya kita perhebat serbuan
terhadap mereka sekarang ini?” Maka berkatalah yang lainnya: “Sebaiknya
kita ambil kesempatan lain, karena nanti pun mereka akan melakukan hal
serupa di tempat yang sama. Maka Allah menurunkan wahyu di antara kedua
waktu shalat itu (dzuhur dan ashar) sebagai kelanjutan ayat ini (Q.S. An-
Nisā’: 101) yaitu, … in khiftum … (… jika kamu takut …) sampai …’adzābam
muhīnā (… azab yang menghinakan) (Q.S. An-Nisā’: 102), dan kemudian
ayat shalat khauf (Q.S. An-Nisā’: 103).11
4. Urgensi dan Kegunaan Asbab An-Nuzul
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Al-Qur’an
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi
ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang
bersifat khusus (khusus al-sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum
(umum al-lafaz)
4. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun
5. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya.12
5. Nilai-Nilai Pendidikan Asbab An-Nuzul Qur’an
Pendidikan pada dasarnya adalah transformasi pengetahuan ke arah
perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan potensi manusia oleh karena itu
pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu serta tidak dibatasi tebalnya
tembok sekolah dan sempitnya waktu belajar. Pendidikan berlangsung seumur
hidup, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja manusia mau melaksanakan
proses pendidikan.

11
Ibid., h1m. 66.
12
Rosihon Anwar, hlm 62-65.
Dengan adanya pendidikan manusia akan sesuai dengan fitrah-fitrah
kehidupan manusia adalah menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan-
aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya. Pendidikan sangat
penting dalam mempengaruhi manusia terutama dari anak-anak menjadi
generasi penerus bangsa ini.13
Al-Qur’an yang hakikat keberadaannya sudah diyakini atas kebenarannya
memberikan nilai-nilai serta faedah tersendiri dalam pendidikan disetiap asbab
an-nuzulnya, antara lain:
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan dari segala bentuk syirik serta
memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Allah.
2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan
4. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerjasama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit
dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan juga agama
6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang
7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan
falsafah kolektif komunisme
8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan Nur
Ilahi14
9. Mengetahui hukum Allah secara tertentu terhadap apa yang disyariatkan-
Nya
10. Menjadi penolong dalam memahami makna ayat dan menghilangkan
kemuskilan-kemuskilan di sekitar ayat itu.15

13
M. Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bina Ilmu, 1991), hlm 87.
14
Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1992), Cet 2, hal 12-13.
15
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Ilmu Al Qur’an dan Tafsir”, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2016), Edisi 3 Cet 8, hal 54.
KESIMPULAN

Asbab al-Nuzul merupakan kejadian atau peritiwa yang melatarbelakangi


turunnya ayat Al-Quran. Ayat tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian
tersebut.  Asbab al-Nuzul merupakan bahan-bahan sejarah yang dipakai untuk
menberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran dan memberinya
konteks dalam memahami perintah-perintah-Nya. Sudah tentu bahan-bahan
sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa Al-Quran masih
turun (‘ashr at-tanzil). Asbabun Nuzul ada karena suatu masalah atau
suatu peristiwa yang tidak dipahami sahabat dan sahabat bertanya kepada
Rasulullah SAW. Akhirnya munculah asbabun nuzul yang merupakan jawaban
dari masalah dan pedoman hidup manusia.

Para Ulama sepakat bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang turun, ada yang
melalui asbab al-nuzul dan ada yang tidak melalui asbabun nuzul. Pernyataan
tersebut bisa dipakai jika dipahami bahwa yang dimaksud dengan asbabun nuzul
ialah peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat yang berisi
masalah-masalah hukum, namun secara umum bahwa al-quran diturunkan untuk
memberi petunjuk bagi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Kafari Ridwan,”Ensiklopedi Islam”,(Jakarta: PT Icthtiar Baru Van Koeve, 2002).


Ahmad Zaini, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-
Qur’an”, dalam Jurnal Hermeunetik, vol. 8, no. 1, Juni, 2014.
Rosihon Anwar, “Ulum Al-Qur’an”, (Bandung: Pustaka setia, 2017), hlm 60.
Didin saefuddin Buchori, “Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an”, (Bogor:
Granaada Pustaka, 2005).
Manna Khalil al-Qattan, “Pengantar Studi Ilmu Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020).
Manna Khalil al-Qattan, “Studi Ilmu-Ilmu Qur’an”, terj. Mudzakir, (Bogor:
Litera AntarNusa, 2019).
Hafizi, “Asbab An-Nuzul Dalam Penafsiran Al-Qur’an” (Aspek Sejarah dan
Kontekstual Penafsiran), Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, Vol
14, No 1, Tahun 2020.
Muhammad Baqir Hakim, “Ulumul Qur’an”, Diterjemahkan oleh Nashirul Haq.
K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, “Asbabun Nuzul” (Latar Belakang Turunnya
Ayat-ayat Al-Qur’an), (Bandung: Diponegoro, 2017).
M. Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bina Ilmu, 1991).
Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1992), Cet 2.
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, “Ilmu Al Qur’an dan Tafsir”, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2016), Edisi 3 Cet 8.

Anda mungkin juga menyukai