Anda di halaman 1dari 56

PERTEMUAN KE-5 –STUDI AL-QURAN

SABAB AL-

NUZUL BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’a>n diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia secara keseluruhan,


tidak hanya bagi kaum muslimin semata tetapi juga bagi kaum-kaum yang lainnya
untuk membimbing kepada tujuan yang terang dan lurus, menegakkan kehidupan yang
didasarkan kepada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Selain itu juga sebagai
pengajaran dalam menyikapi dan merenungkan sejarah masa lalu, apa yang sedang kita
hadapi saat ini dan persiapan dalam menghadapi masa depan yang mesti kita lalui.

Sebagai umat muslim kita wajib meyakini akan kebenaran Al-Qur’an> yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantara Malaikat jibril AS., serta
mempelajarinya adalah merupakan kewajiban pula. Bahkan tidak hanya mempelajari
tetapi juga mengamalkannya. Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’a>n bukan untuk sia-sia,
karena Al-Qur’a>n adalah tuntunan sepanjang hayat demi kebahagian hidup di
dunia dan akhirat. Kehadiran Al-Qur’a>n ditengah-tengah kehidupan manusia adalah
sebagai jawaban yang terbaik dan paling benar dari segala permasalahan yang ada
dimuka bumi. Istilah lain pun dapat kita jumpai dalam memaknai kehebatan dan
keagungan Al-
Qur’an> salah satunya ialah: ‚Al-Qur’an> sesuai dengan segala ruang dan waktu sampai
hari kiamat‛.1 Secara global petunjuk Al-Qur’a>n meliputi tiga hal pokok, yaitu:

1. Masalah akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepada kepercayaan kepada


Tuhan dengan segala sifatnya. Wahyu dengan segala kaitannya yang antara lain
kitab-kitab suci, malaikat dan para nabi, hari kemudian dan balasan dan ganjaran
Tuhan didalamnya.
2. Masalah ibadah dan syari’at, yang meliputi hukum-hukum yang harus diikuti oleh
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan sesama alam.

1
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’a>n Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq
1
Press, 2008),h. 24

2
3. Masalah akhlak dan budi pekerti yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup
bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih
sayang, tanggungjawab, dan lain-lain.2
Dari tiga pokok petunjuk Al-Qur’a>n diatas kalau kita perhatikan dengan
seksama bahwa Al-Qur’a>n adalah pegangan hidup yang paling istimewa dan komplit
serta sempurna dalam menata kehidupan dengan seimbang baik hubungan mahluk
secara vertikal dengan Tuhannya maupun secara horisontal antara sesama makluk
ciptaan-Nya, sehingga pada akhirnya tidak diragukan lagi apa bila kita mengikuti dan
mengamalkan petunjuk itu dengan penuh rasa keimanan dan semata-mata hanya
mengharapkan keridhaan-Nya maka niscaya kita akan mendapatkan kebahagian yang
hakiki sebagaimana yang telah dijanjikan-Nya. Allah SWT. tidak pernah ingkar dengan
apa yang telah dijanjikan-Nya hanya saja kita yang kadang tidak percaya.

Pada dasarnya ayat-ayat di dalam Al-Qur’a>n sebagian besar diturunkan untuk


tujuan umum, namun seiring dengan perputaran waktu dalam kehidupan para sahabat
bersama Rasulullah banyak menjumpai peristiwa-peristiwa yang bernilai sejarah. Tidak
hanya itu terkadang diantara peristiwa yang terjadi terdapat peristiwa khusus yang
memerlukan penjelasan hukum Allah, atau bahkan menghadapi masalah yang masih
belum jelas bagi mereka. Para sahabat kemudian menanyakan kepada Rasulullah untuk
mengetahui bagaimana hukum Islam tentang hal itu. Maka Al-Qur’a>n turun
untuk merespon peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi itu atau pertanyaan-pertanyaan
yang muncul berkenaan dengan hal-hal yang belum jelas atau masih kabur. Hal-hal
itulah yang disebut dengan asbab al-nuzul.

Begitu besar perhatian para peneliti ilmu-ilmu Al-Qur’a terhadap pengetahuan


tentang asbab al-nuzul bahkan sampai banyak yang mengambil spesialisasi dalam
bidang ini, karena ilmu ini sangat diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur’a>n meskipun
tidak semuan ayat yang turun ada sabab al-nuzulnya. Selain itu pula ilmu ini sangat
penting dalam konteks untuk menunjukkan hubungan dan dialektika antara teks
dengan realitas. Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan kita bahas hal-hal yang
berkenaan dengan asbab al-nuzul namun untuk menghindari pembahasan yang panjang
dan lebar, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

2
M. Roem Rowi, Ragam Penafsiran Al-Qur’a>n, (Surabaya: LPIQ Surabaya, 2001),h. 2
1. Definisi asbab al-nuzul dari berbagai ahli
2. Macam-macam asbab al-nuzul, redaksi dan metode mengetahuinya
3. Paradigma istimbath hukum asbab al-nuzul berkaitan dengan bunyi redaksi ayat
4. Urgensi asbab al-nuzul dalam tafsir al-Qur’a>n
Dari rumusan diatas kiranya dapat memberikan penjelasan yang cukup
memuaskan tentang pengetahuan sebab-sebab atau latar belakang turunnya al-Qur’a>n,
sehingga para pembaca dapat memahami dan merenungkan bahwa betapa pentingnya
pengetahuan tentang Al-Qur’a>n khususnya pengetahuan tentang asbab al-
nuzul. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca sekalian pada umumnya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi sabab al-nuzul


Secara etimologis, kata asbab (tunggal: sabab) dapat berarti alasan atau sebab.
Sementara kata nuzul dapat berarti turun.3 Jadi dengan demikian kalimat asbab al-
nuzul dapat dimaknai sebagai ‚pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya
suatu ayat‛.
Sedangkan secara terminologis, ada beberapa definisi yang berkembang di
kalangan ulama. Namun demikian, beberapa definisi ini memiliki kesamaan maksud
dan tujuan. Diantaranya adalah pendapat S>hubhi al-S}ahih misalnya, yang
mendefinisikan asbab al-nuzul dengan: ‚suatu yang menyebabkan turunnya satu
atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan
hukumnya pada masa terjadinya sebab itu‛. Sementara itu, Muhammad abd al-Az}im
al-Zarqani mendefinisikan asbab al-nuzul sebagai berikut: ‚Suatu kejadian yang
menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat
dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat‛.4
Lain pula dengan Alwi bin al-Sayyid Abbas al-Maliki yang berpendapat bahwa
definisi asbab al-nuzul ialah: ‚suatu peristiwa yang menjadi sebab turunnya sebuah
ayat atau beberapa ayat yang pembicaraanya berkaitan dengan peristiwa tersebut,
atau sebagai penjelas mengenai sesuatu hukum pada saat terjadinya peristiwa itu di
masa Rasulullah S.a.w., atau pertanyaan yang diajukan kepada beliau, yang
karenanya turun sebuah ayat atau beberapa ayat, sebagai jawaban dari Allah untuk
menjelaskan terhadap peristiwa atau pertanyaan yang diajukan itu‛.5
Dalam hal ini Muhammad Ali As}-S}a>bu>ni>>> juga tidak ketinggalan
dalam mendefinisikan asbab al-nuzul, menurut beliau bahwa yang disebut dengan
asbab al- nuzul ialah: ‚apabila terjadi satu kasus (kejadian), kemudian turun satu
atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kasus tersebut. Dari segi lain, kadang-
kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW. tentang hukum

3
Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 309, 716
bandingkan dengan Kamus Yunus dan Al-Munjid
4
Muhammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’a>n, (Semarang: Rasail, 2008),h. 74
5
Usman,Ulumul Qur’a>n, (yogyakarta: Teras, 2009),h. 105
syara’ atau penjelasan secara terperinci tentang urusan agama, maka turunlah satu
atau beberapa ayat yang berhubungan dengan pertanyaan tersebut‛.6
Lebih ringkas Syaikh Manna’ Al-Qat}t}an mendefinisikan asbab al-nuzul
sebagai: ‚sesuatu yang karenanya Al-Qur’a>n diturunkan, sebagai penjelas terhadap
apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan‛. 7 Dan masih banyak
lagi pendapat-pendapat yang lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Dari sekian definisi yang disampaikan diatas, dapat difahami bahwa turunnya
ayat baik satu ayat atau beberapa ayat dikarenakan adanya sesuatu kasus, kejadian,
peristiwa, pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan para sahabat kepada Rasulullah
tentang hukum atau tentang urusan agama yang lainnya. Hal ini dapat kita
istilahkan dengan sebutan hukum sebab akibat, sehingga dapat difahami bahwa
akibat terjadinya sesuatu dikarenakan adanya sebab. Banyak peristiwa yang terjadi
disekitar kehidupan kita yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini diantaranya,
lahirnya seorang bayi disebabkan karena hasil dari proses kerja sama yang baik
antara ibu dan bapak si bayi dan masih banyak lagi contoh yang lainya.
B. Macam-macam sabab al-nuzul
Bila diperhatikan dengan seksama, asbab al-nuzul ayat-ayat al-qur,an itu dapat
dibedakan menjadi dua yaitu; pertama, segi bentuk sebab turunnya ayat. Kedua,
jumlah sebab dan ayat yang turun. Dari segi bentuknya, asbab al-nuzul dapat dibagi
dua yaitu; berbentuk peristiwa dan berbentuk pertanyaan.
Adapun sebab-sebab nuzul yang berbentuk peristiwa dapat dibagi tiga yaitu:8
1. Peristiwa berupa pertengkaran atau persengketaan, seperti perselisihan
berkecamuk yang terjadi antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari
suku Khazraj. Perselisihan itu timbul dari intrik-intrik atau hasil adu domba yang
disulutkan oleh orang-orang Yahudi, sehingga mereka berteriak-teriak dengan
mengatakan, ‚senjata-senjata‛. Peristiwa tersebut melatarbelakangi turunnya
ayat, surat Ali-Imran berikut ini:

 
        
          
         


6
Muhammad Ali As}-S}a>bu>ni>, Studi Ilmu Al-Qur’a>n, (Bandung: Pustaka Setia, 1998),h. 49
7
Syaikh Manna’ Al-Qat}t}an, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006),h. 95
8
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’a>n, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 30-31. Bandingkan dengan
Usman, Ulumul Qur’a>n, h. 113. Lihat juga Abdul Az}im al-Zarqani>, Manahilil al-Irfan fi ulum al-Qur’a>n,
(Beirut; Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1997) h. 107
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang
diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah
kamu beriman. Q.S.(2):100
Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan, dan
merangsang orang untuk bersikap lemah lembut dan kasih sayang, persatuan
serta bermusyawarah.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang sahabat yang
mengimami salat dalam keadaan sedang mabuk, sehingga mengalami kekeliruan
dalam membaca suatu surah setelah al-fatihan, surah yang dimaksu adalah surah
al-Kafirun ayat 2 yang dibacanya tanpa membaca atau mengucapkan huruh ‚ la‛
pada awal ayat, sehingga peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat, surah Al-
Nisa ayat 43 berikut ini:

  .............
           
  
         
     
 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan Q.S.(4):43
3. Peristiwa berupa hasrat, cita-cita atau keinginan-keinginan, seperti kesesuaian-
kesesuaian (muwafqat) hasrat dan keinginan Umar bin Khaththab dengan
ketentuan-ketentuan ayat-ayat al-Quran yang diturunkan allah. Menurut riwayat
dari sahabat Anas r.a. ada beberapa harapan Umar yang dikemukakannya kepada
Nabi Muhammad s.a.w., kemudian turunlah ayat-ayat yang kandungannya sesuai
dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan Umar tersebut. Harapan-
harapan dan keinginan-keinginan Umar yang dimaksud adalah pertanyaannya
yang mengatakan: ‚Aku sepakat dengan Tuhanku dalah tiga hal‛, yaitu:
a. Aku pernah mengatakan kepada rasulullah s.a.w.: ‚Ya Rasulullah, bagaimana
kalau sekiranya kita jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat?‛ Maka
turunlah firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 125 berikut ini:


       .......
  
 

‚......Dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim9 tempat shalat.....‛Q.S.(2): 125


b. Aku pernah mengatakan kepada Rasulullah: ‚Sesungguhnya isteri-isterimu,
masuk kepada mereka itu orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat,

9
Ialah tempat berdiri nabi Ibrahin a.s. diwaktu membuat ka’bah
maka bagaimana kalau sekiranya engkau memerintahkan mereka agar
memakai hijab (tabir)?‛ Maka turunlah firman allah surah al-Ahzab ayat 53:

  
             
          
      


              


             
   
 

              


         
      

......    
 



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali
bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya)10, tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu
keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka Q.S.(33): 53
c. Isteri-isteri rasulullah mengerumuninya karena kecemburuan, lalu aku
katakan kepada mereka:

    


    
   
  

Maka turunlah ayat yang serupa dengan itu, yang diabadikan dalam firman
Allah surah at-Tahriim ayat 5:

    


      
   
      
    
  

    

Jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang
bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. Q.S.
(66): 5.

10
Maksudnya, pada masa Rasulullah s.a.w pernah terjadi orang-orang yang menunggu-nunggu waktu
Makan Rasulullah s.a.w. lalu turun ayat ini melarang masuk rumah Rasulullah untuk Makan sambil
menunggu-nunggu waktu makannya Rasulullah.
Sementara itu sabab al-nuzul yang berbentuk pertanyaan juga dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:11

1. Pertanyaan yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu, seperti kasus yang
diajukan oleh orang-orang Quraisiy tentang ‚As}hab al-Kahfi‛ dan
‚Dzulkarnain‛. Rasul kemudian menjawab: ‚Besok akan aku beritahukan
kamu‛, tanpa mengucapkan kata ‚Insya’allah‛ (jika Allah menghendaki).
Ternyata wahyu terlambat turun. Menurut riwayat dari Ibnu Ishak, setelah
pertanyaan itu diajukan, ayat yang berkaitan dengan pertanyaan itu baru turun
lima belas hari kemudian, sedangkan menurut riwayat yang lain mengatakan,
tiga hari kemudian. Selain itu ada juga yang mengatakan, empat puluh hari
kemudian, sehingga Nabi pun merasa kesulitan. Lalu turunlah jawaban-jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang didalamnya juga terkandung
pengarahan Allah bagi Rasul-Nya, agar dalam mengatakan atau menjanjikan
sesuatu hendaknya mengucapkan kata; ‚Insya’allah‛. Sehubungan dengan hal
itu Allah berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 23-25:


              
             
     

               


       
       


Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"12. dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan
memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". Dan mereka
tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). Q.S.(18):
23-25
Dan juga firman Allah dalah surat yang sama pada ayat 83-84:

11
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’a>n, H. 32-33. Usman, Ulumul Qur’a>n, H. 116. Lihat juga Azzarqani>,
Manahil al-Irfan , h. 108
12
Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh,
kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi
kepadaku agar aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan insya Allah (artinya jika Allah
menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal
tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada
Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera
menyebutkannya kemudian.
            
             
      

  

Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku


akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai)
segala sesuatu,. Q.S.(18): 83-84
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang masih, sedang berlangsung
(pada saat itu). Sebagai contoh: menurut salah satu riwayat dari ‘Ikrimah yang
diterima dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, bahwa pada suatu saat ketika
Rasulullah s.a.w. berjalan-jalan di Madinah, beberapa orang Quraish meminta
materi pertanyaan kepada orang-orang yahudi yang kebetulan dijumpainya,
dengan mengatakan: ‚berikanlah kami materi pertanyaan yang akan kami
tanyakan kepada orang itu‛, maka orang-orang yahudi pun memberikan
pertanyaan kepada mereka dengan mengatakan ‚tanyakan kepadanya tentang
ruh‛. Mereka pun (orang-orang Quraish) kemudian menanyakan tentang hal itu
kepada Rasulullah s.a.w.. maka turunlah firman Allah kepada beliau sebagai
jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan tersebut.13 Ayat itu adalah sebagai
berikut:

  
         
       
       
  

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".Q.S al-Israa’:85
3. Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang; seperti
pertanyaan orang-orang Quraisiy tentang hari kiamat, yang diabadikan dalam
firman Allah pada surah al-Nazi’aat ayat 42-43 berikut ini:

 
        
        
 
Orang-orang kafir bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah
terjadinya.14 siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? Q.S. (79): 42-43
Sebagai jawabanya adalah terdapat pada ayat berikutnya, yaitu:

13
14
Al-Wahidi al-Nisaburi>, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),h. 168
Kata-kata ini mereka ucapkan adalah sebagai ejekan saja, bukan karena mereka percaya akan hari berbangkit.
    
 


Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Q.S.(79): 44

Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab al-nuzul dapat dibagi dua 15
yaitu:
1. Ta’addud al-sabab wa al-nazil wahid (Sebab turun ayat lebih dari satu dan inti
persoalan yang terkandung dalam ayat itu atau sekelompok ayat yang turun itu
adalah satu juga).
Apabila ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab nuzul sesuatu ayat,
dan masing-masing dari riwayat-riwayat tersebut diteliti atau dianalisis, maka
ada empat permasalahan yang perlu mendapat perhatian yaitu:
a. Adakalanya salah satu dari kedua riwayat itu sahih, sedangkan riwayat yang
lainnya tidak.
Apabila terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab nuzul sesuatu
ayat, sedang salah satu riwayat diantaranya sahih maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang sahih itu. Misalnya, hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhariy dan Muslim, yang diterima dari Jundab, ia berkata:‛ pada
suatu saat Nabi s.a.w. menderita sakit, sehingga sampai satu atau dua malam
beliau tidak bertahajjud. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya
dan berkata;‛hai Muhammad, tampaknya setanmu sudah tidak
menghiraukanmu lagi selama ini‛. Seselesainya menceritakan kasus tersebut.
Jundab berkata dengan membaca firman Alah berikut ini: Surah ad-Duha> ayat
1-3


         
        
  

Demi waktu matahari sepenggalahan naik, Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu16.Q.S.(93): 1-3

15
Usman, Ulumul Qur’a>n, h. 119
16
Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. terhenti untuk Sementara waktu,
orang-orang musyrik berkata: "Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadaNya".
Maka turunlah ayat ini untuk membantah Perkataan orang-orang musyrik itu.
Selain riwayat tersebut, terdapat pula riwayat yang dikemukakan oleh al-
T}abrani>, yang diterima dari Hafash ibnu Maisarah, ia berkata: ‚Pada
suatu ketika seekor anak anjing masuk kedalam rumah Nabi s.a.w., kemudian
tidur dibawah ranjang (tempat tidur) beliau, dan mati. Karenanya Jibril tidak
turun menyampaikan wahyu, selama beberapa hari, kepada beliau...‛. Setelah
peristiwa tersebut selesai diceritakan oleh sang perawi, kemudian
dirangkaikannya dengan kalimat berikut, (surah Ad-Duha> ayat 1-3 di atas.
Dalam hal ini, Ibnu Hajar al-‘Asqalani> menandaskan, bahwa kisah mengenai
terlambatnya turunnya wahyu karena kasus anak anjing tersebut cukup
tersohor, akan tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebagai sebab turunnya ayat
di atas adalah suatu hal yang gharib (tampak aneh), Selain itu, dalam isnad
hadits tersebut terdapat orang yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang lebih
tepat menjadi pegangan dalam kasus turunya ayat tersebut adalah hadits
pertama yang diriwayatkan oleh Bukhari>-Muslim.
b. Adakalanya kedua riwayat itu sama-sama sahih akan tetapi salah satunya
mempunyai murajjih (penguat) sedang yang lainnya tidak.
Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama sahih, tetapi terdapat segi-segi
yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah
peristiwa turunnya sesuatu ayat, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu
lebih sahih, maka riwayat yang demikian itulah yang lebih diutamakan.
Misalnya mengenai kisah turunnya firman Allah surah al-Isra’ ayat 85,
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari> berdasarkan riwayat Ibnu
Mas’ud, ia berkata: ‚Pada suatu saat aku berjalan-jalan bersama
Rasulullah s.a.w. di Madinah dan ketika kami lewat di hadapan
sekelompok orang-orang Yahudi, tiba-tiba salah satu dari mereka berkata,
coba kalian tanyakan tentang sesuatu kepada orang itu. Kemudian mereka
mengajukan pertanyaan dengan mengatakan; ceritakanlah mengenai ruh
kepada kami. Mendengar permintaan mereka tersebut, Nabi s.a.w. berdiri
sejenak dan menengok ke atas, sehingga aku pun menjadi tahu bahwa
wahyu tengah turun kepada beliau. Tidak lama setelah itu Nabi menjawab
dengan wahyu firman Allah berikut: surah al-Isra’ ayat 85

        


    
  
   
  
  
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan- ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".Q.S.(17): 85

Di bagian lain, terdapat juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi,
berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Bahwasanya orang-orang
Quraisiy berkata kepada orang-orang Yahudi, berikanlah kami pertanyaan
untuk kami pertanyakan kepada orang itu (Muhammad), lalu mereka berkata;
tanyakan tentang ruh kepadanya, kemudian orang-orang Quraisiy pun
menanyakan hal itu kepada Nabi s.a.w. maka turunlah firman Allah surah al-
isra’ ayat 85 di atas.
Kalau diperhatikan, riwayat kedua ini memberikan kesan, bahwa ayat
tersebut turunnya di Makkah, sebagai tempat berdomisilinya orang-orang
Quraisiy. Sedang riwayat pertama mengandung pengertian turunnya ayat
tersebut di Madinah. Riwayat pertama dipandang lebih kuat dari riwayat
kedua, karena dua hal: Pertama, pada hadits pertama di atas Ibnu Mas’ud
menyaksikan sendiri secara langsung peristiwa turunnya ayat, sedang pada
hadits kedua Ibnu Abbas tidak demikian halnya. Orang yang menyaksikan
suatu peristiwa secara langsung tentu mempunyai kekuatan yang lebih, baik
dalam hal penerimaan maupun dalam pemyampaian riwayat, dibandingkan
dengan orang yang tidak menyaksikannya. Karena itu, riwayat yang pertama
lebih diutamakan daripada riwayat kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
di atas. Kedua, hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari>, sedang
hadits kedua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi. Riwayat Imam Bukhari>
umumny dipandang lebih kuat daripada hadits riwayat yang lain.
c. Adakalanya kedua riwayat itu sahih tetapi sama-sama tidak mempunyai
merajjih (penguat), dan keduanya memungkinkan untuk dapat diambil atau
dikompromikan sekaligus.
Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama kuat, maka hendaknya dipadukan bila
memungkinkan,sehingga dinyatakan, bahwa ayat itu turun setelah terjadi dua
buah peristiwa atau lebih, karena jarak antara peristiwa yang satu dengan
yang lainnya berdekatan. Misalnya, peristiwa tentang turunnya surah al-Nur
(24):6-9 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari> yang periwayatannya
bersumber dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: ‚bahwa ayat tersebut di
turunkan berkenaan dengan kasus Hilal Ibnu Umayyah, yang menuduh
isterinya berbuat zina dengan Syuraik Ibnu Shahma’, di hadapan Nabi s.a.w.
terhadap tuduhan Hilal Ibnu Umayyah tersebut, Rasulullah s.a.w. bersabda:
kamu boleh memilih satu di antara dua, yaitu antara mennghadirkan saksi
atau dicambuk punggungmu. Kemudian Hilal berkata: Demi Dzat yanng
mengutusmu dengan kebenarannya, saya memang benar-benar melihatnya,
maka turunlah Jibril menyampaikan wahyu Allah berikut ini: surah al-Nur
ayat 6-9.

               
               
    
 

                      
            
       
 

          


          
       
   

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-
orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia
Termasuk orang-orang yang berdusta17. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar
Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. Q.S.(24): 6-9
Hadith lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari>-Muslim, yang
diterima dari Sahal Ibnu Sa’ad ia mengatakan; ‚bahwa ayat tersebut di
turunkan berkaitan dengan kedatangan ‘Uwainir Ibnu Nashr kepada
Rasulullah s.a.w. untuk menanyakan perihal seorang laki-laki lain. Apakah ia
harus membunuh oranng itu...? Demikian tanyanya kepada Rasulullah.
Mendengar pertanyaan Uwainir tersebut Rasulullah s.a.w. bersabda:
Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’a>n untuk menjawab
persoalan dirimu dan temanmu itu, kemudian beliau membacakan ayat ayat
6-9 surah an-Nu>r diatas
17
Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat
orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam
tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia
berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
Kedua riwayat tersebut sama kuatnya dan masing-masing mempunyai
murajjih (penguat), selain itu, peristiwanya pun hampir bersamaan terjadinya.
Karena itu, riwayat tersebut dapat dipadukan,dengan menyatakan bahwa
peristiwa Hilal terjadi lebih awal secara kebetulan Uwainir
mengalamimkejadian serupa. Maka turunlah ayat yang berkenaan dengan
kedua peristiwa tersebut.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hajar al-Asqalani> menandaskan, banyaknya sebab
nuzul sesuatu ayat tidak menjadi masalah.
d. Adakalanya kedua riwayat itu sahih dan sama-sama tidak mempunyai
murajjih (penguat) serta tidak memungkinkan untuk dapat dikompromikan
secara sekaligus.
Bila riwayat-riwayat itu sama-sama sa} hih, dan tidak dapat dikompromikan
antara satu dengan yang lain, karena jarak waktu yang cukup jauh, maka hal
yang demikian dipandang sebagai berulang-ulang nuzulnya ayat. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari>-Muslim yang diterima dari al- Musayyad, ia
berkata: ‛Ketika Abu Thalib sedang menghadapi sakarat al- maut, Rasulullah
s.a.w. datang menemuinya, lalu menyatakan, wahai paman ucapkanlah
kalimah: ‚La Ilaha Illa Allah‛, karena dengan kalimah tersebut kelak aku
akan dapat membantumu di hadapan Allah. Kebetulan di dekatnya ada Abu
Jahal dan Abdullah Ibnu Abi Umayyah. Pada akhirnya Rasulullah
s.a.w. berjanji, bahwa beliau akan selalu memohonkan ampun buat pamannya
itu. Maka turunlah firman Allah surah al-Taubah ayat 113 yang berbunyi:
  
            
              
      

   

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah
kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahanam.Q.S.(9):113

Sementara itu, terhadap hadits riwayat Imam Turmudzi yang bersumber


dari riwayat ‘Ali Ibnu Abi Thalib, bahwa beliau melaporkan kepada
Rasulullah s.a.w. mengenai seorang laki-laki yang memintakan ampun untuk
kedua orang tuanya yang masih musyrik, dengan alasan bahwa Nabi Ibrahim
sendiri pernah memintakan ampun untuk ayahnya yang juga musyrik. Maka
turunlah ayat tersebut di atas. Selain kedua riwayat itu, terdapat pula riwayat
lain yang dikemukakan oleh al-Hakim, yang bersumber dari Ibnu Mas’ud, ia
mengatakan:’ pada suatu hari Rasulullah s.a.w. pergi ke kuburan, kemudian
duduk di dekat salah satu makam. Beliau bermunajat doa cukup lama, lalu
menangis dengan mengatakan: makam yang berada disisiku adalah makam
ibuku. Aku telah memohon izin kepada Tuhanku untuk memohonkan doa,
tetapi Dia tidak memperkenankan, maka turunlah wahyu kepadaku‛, yaitu
ayat berikut:
.........
          
        
       
    

Riwayat-riwayat semacam ini dapat dipadukan atau dikompromikan dengan


dinyatakan, bahwa ayat tersebut berulang kali diturunkan sesuai dengan
beberapa peristiwa yang terjadi18.
Menanggapi beberapa riwayat mengenai sabab nuzul ayat yang disebut
teakhir ini, yang dinyatakan sebagai berulangkali diturunkan, Manna’ al-
Qat}t}an berkomentar: Pendapat tersebut kurang memiliki nilai positif,
mengingat hikmah berulangkali turunnya ayat itu tidak begitu tampak
dengan jelas. Dikatakannya, bahwa riwayat-riwayat mengenai sabab al-nuzul
yang tampaknya tidak memungkinkan untuk dipadukan itu sebenarnya dapat
ditarjihkan salah satunya. Riwayat pertama dapat dinilai lebih kuat dari
riwayat lainnya, sebab riwayat yang pertama tersebut terdapat dalam kitab
shahih Bukhari> dan shahih Muslim, sedang kedua riwayat lainnya tidak.
Periwayatan kedua tokoh itu cukup kuat untuk dijadikan pegangan. Oleh
karena itu, menurut al-Qat}t}an pendapat yang mu’tamad adalah, bahwa ayat
di atas turun berkenaan dengan kasus kematian Abu Thalib. Dengan
demikian, mengambil atau memilih riwayat yang lebih kuat adalah lebih
utama daripada menyatakan ayat itu diturunkan berulang-ulang kali19.
Pernyataan Manna’ al-Qat}t}an di atas ada benarnya. Bila
tinjauannya dilihat dari segi sanad dan rawi. Namun demikian, bukan berarti
bahwa setiap
18
Manna’ al-Qat}t}an, Mabahis fi ulum al-Qur’a>n, h. 88-90. Lihat juga al-zarqani>, Manahil al-Irfan,. H.
116-120. Dan al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, h. 150, 168, 180, 256.
19
Manna’ al-Qat}t}an, Mabahis fi ulum al-Qur’a>n, h. 91
hadith dan sanad yang diriwayatkan oleh selain keduanya (Bukhari>-Muslim)
mesti tidak s}ahih atau setidak-tidaknya kurang sa} hih, tetapi mungkin juga
sama-sama sa} hihnya dengan kedua tokoh tersebut. Apalagi bila terdapat
hadith lain yang memperkuatnya, yang mana hadith yang tadinya dianggap
tidak
hih atau kurang s}ahih dapat saja naik derajatnya menjadi hadith
sa}
s}ahih.
2. Ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (Inti yang terkandung dalam ayat yang
diturunkan lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).
Sebagaimana halnya yang terjadi pada satu ayat yang diturunkan dengan
sebab nuzul yang lebih dari satu, maka terkadang juga ada ayat yang
diturunkan lebih dari satu kali, sedangkan sebab nuzulnya hanya satu. Maka
hal yang demikian tidak menjadi masalah dan tidak bertentangan dengan
hikmah diturunkan ayat- ayat al-Qur’a>n itu sendiri, yakni untuk
menyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan cara yang
demikian dapat lebih efektif untuk diterima. Contoh satu peristiwa yang
menyebabkan turunnya dua ayat, yang intinya kandungannya lebih dari satu
dan berbeda pesan yang dikandungnya adalah; hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Turmudzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Thabrani> dan al-
Hakim. Beerdasarkan riwayat dari Ummu Salamah, ia mengatakan:‛Wahai
Rasulullah, saya belum pernah mendengar sedikitpun Allah menyebutkan
perempuan dalam berhijrah. Atas dasar ‚keluhan‛ Ummu Salamah tersebut,
maka turunlah firman Allah‛20: surah al-Imron ayat 195.


                   
               
         


                
              
       
   
 

      




Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku


tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain 21. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang
Al-Zarqani>, Manahil al-irfan, h. 121-122, liat juga Asbab al-Nuzul, h. 80
20

21
Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya
perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan
yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.Q.S.(3):195

Dan juga firman-Nya: Surah al-Ahzab ayat 35,


                 
            
          
   

             
         
   
 

            


       
   


Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin22, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki- laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki
dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.Q.S,(33):35

Contoh lain, satu kasus yang menjadi sebab turunnya dua ayat yang inti atau
kandungan pesannya lebih dari satu adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jahir al-Thabari>, al-Thabrani> dan Ibnu Mardawawih, yang
sumber periwayatannya dari Ibnu Abbas r.a., ia mengatakan: ‚Pada suatu saat
Rasulullah
s.a.w. duduk bernaung di bawah pohon kayu kemudian tiba-tiba mengatakan;
akan datang kepada kalian seorang yang memandangmu seperti mata setan. Jika
datang, maka janganlah kamu menegur dia. Tidak lama setelah itu, muncullah
seseotang yang kedua matanya biru, lalu Rasulullah saw. memanggilnya seraya
berkara: Mengapa anda bersama teman-temanmu memaki aku? Orang itu
kemudian pergi dan kembali datang membawa teman mereka, dan Rasulullah pun
23
Asbab al-Nuzul, h. 144. Liat juga al-Zarqani>

17
membiarkan mereka. Tidak lama setelah itu, turunlah ayat23. Surah at-Taubat
ayat 74.

22
Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada
lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa
yang harus dibenarkan dengan hatinya.

23
Asbab al-Nuzul, h. 144. Liat juga al-Zarqani>

18
                      
                 
       

                      


              
          
 

      

Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka
tidak dapat mencapainya24, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena
Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka
bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.Q.S.(9): 74
Sementara itu, al-hakim dan Imam Ahmad meriwayatkan hadith yang lafalnya
sama dengan riwayat di atas, kemudian ia mengatakan: maka Allah menurunkan
firman-Nya, surah al-Muja>dilah ayat 18-19 berikut ini
   
                
   
                  
         
   

        


         
 

(ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah) lalu mereka bersumpah kepada-
Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan
mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. Syaitan telah menguasai mereka lalu
menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.Q.S.(58):18-19

Demikianlah macam-macam sabab al-nuzul dan pembagiannya beserta sebagian


dari contoh-contohnya, baik dilihat dari segi-segi bentuk-bentuknya maupun
dilihat dari segi jumlah sebab dan ayat-ayat yang turun berdasarkan sebab-sebab
24
Maksudnya: mereka ingin membunuh Nabi Muhammad s.a.w.

18
itu.
C. Paradigma Istimbath Hukum dari sabab al-nuzul
Penetapan hukum mengenai sesuatu hal yang dilakukan oleh para ulama dengan
penetapan kaidah atau aturan yang dihasilkan melalui analisa yang mendalam,

24
Maksudnya: mereka ingin membunuh Nabi Muhammad s.a.w.

19
adalah merupakan upaya terobosan yang tidak dapat diabaikan untuk mencari jalan
keluar dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul. Sehubungan dengan itu,
sebagaimana telah disinggung di atas bahwa al-Qur’a>n itu di turunkan dalam
dua kategori, yaitu; pertama, ayat-ayat al-Qur’a>n yang di turunkan tanpa
terlebih dahulu diawali dengan sebab atau peristiwa. Kedua, ayat-ayat yang di
turunkan karena sesuatu kasus peristiwa dan atau pertanyaan.
Dalam kaitannya dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n yang didahului oleh
asbab al-nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah: ‫السبب خبصوص ال ا لفظ بعموم العربة‬

‚Yang menjadi patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat
umum, bukan khusus terhadap pelaku yang menjadi sebab turunnya‛.
Keumuman lafal dan kekhususan sebab berarti bahwa jawaban lebih umum dari
sebab dan sebab lebih khusus dari jawaban. Jawaban yang dimaksud di sini adalah,
bahwa ayat-ayat al-Qur’a>n yang diturunkan sebagai tanggapan terhadap pertanyaan
atau peristiwa yang dihadapi oleh Nabi s.a.w. dan para sahabatnya pada masa
turunnya al-Qur’a>n. Sedangkan ‚sabab‚ berarti pertanyaan atau peristiwa yang
terjadi pada sebab turunnya al-Qur’a>n pada masa itu25.
Jika terjadi persesuaian antara ayat yang turun dengan sebab turunnya dalam
hal keumuman keduanya, atau terjadi persesuaian antara keduanya dalam hal
kekhususan keduanya, maka yang diterapkan adalah yang bersifat umum
berdasarkan keumumannya dan yang bersifat khusus berdasarkan kekhususannya.
Contoh yang bersifat umum adalah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
yang sumber periwayatannya diterima dari Anas, ia mengatakan yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang yahudi, bila perempuan atau isteri-isteri mereka haidh
(menstruasi), dikeluarkan dari rumah mereka, dan tidak mau makan dan minum
bersama-sama dengannya serta tidak mau mempergaulinya. Karenanya Rasulullah
s.a.w. ditanya oleh beberapa orang sahabat beliau mengenai hal itu, maka turunlah
firman Allah surah al-Baqarah ayat 22226

                
             
           
 

              


      
   
26
Al-Wahidi al-Nisaburi>, Asbab al-Nuzul, h. 40

19
25
Ramli Abdul Wahid, ulumul Qur’a>n, (Jakarta: Rajawali Press. 1993),h. 67-68

26
Al-Wahidi al-Nisaburi>, Asbab al-Nuzul, h. 40

20
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri27 dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci28. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Q.S(2):222.
Adapun sebagai bayan tafsir (penjelas) dari ayat tersebut adalah sabda Rasulullah
s.a.w. yang artinya; ‫النكاح إىل شيء كل واصنعوا البيوت يف جامعوهن‬
pergaulilah olehmu mereka itu (istri-istrimu) di rumah, dan lakukanlah segala
sesuatu kecuali jima’.29
Sedangkan contoh yang bersifat khusus adalah, hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim, yang periwayatannya bersumber dari Amir Bin Abdullah, dari
sebagian ahlinya (keluarganya), ia mengatakan bahwa Abu Bakar al-Shiddiq
memerdekakan beberapa orang budak yang semuanya disiksa di jalan Allah oleh
orang-orang musyrik Makkah. Diantara mereka yang disiksa itu ialah Bilal, Amir
Ibnu Fuhairah, al-Nabdiah bersama putrinya, Abu Isa dan seorang budak perempuan
dari Bani al-Mau’il. Berkenaan dengan sikap dan kedermawanan Abu Bakar
tersebut, turunlah firman Allah surah al-Lail ayat 17-21.30

                 
            

      



     



Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu
nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena
mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. dan kelak Dia benar-benar mendapat
kepuasan.Q.S.(92): 17- 21
Oleh karena itu tandas para mufassir, yang dikhithab (ditujukan) dengan kata
 dan seterusnya dalam ayat diatas adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Karena kata

tersebut adalah bentuk isim tafdhil (superlatif) yang disertai dengan ‫العهدية‬, yang
maksudnya adalah; ‚kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya

30
Al-Wahidi al-Nisaburi>, Asbab al-Nuzul, h. 255

20
27
28
Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
29
Abu Husain Mustim Ibnu Hujjaj Ibnu Muslim al-Qushairi>, S}ahih Muslim, ( Bandung: Syarikah al-
Ma’arif, t,th), h. 138

30
Al-Wahidi al-Nisaburi>, Asbab al-Nuzul, h. 255

21
itu jelas yang dimaksudkannya‛, sehingga hal itu dikhususkan bagi orang yang
karenanya ayat itu diturunkan.31
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lafal yang bersifat umum mencakup
semua person sebab turunnya, yang bersifat umum dalam ketetapan hukumnya.
Sebaliknya, lafal yang bersifat khusus, terbatas pada orang yang menjadi sebab
turunnya, yang khusus dalam ketetapan hukumnya. Hal tersebut telah menjadi
kesepakatan ulama’. Demikian tandas Muhammad Abd. Al-Az}im al-Zarqani>.32
Adapun jika ayat yang turun itu bersifat umum dan sebabnya bersifat khusus,
maka timbul persoalan dalam hal; apakah yang harus diperintahkan dan yang
dijadikan pedoman adalah keumumannya lafalnya atau kekhususannya sebabnya?
sehubungan dengan itu para ulama berbeda pendapat, bahwa yang menjadi
pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus. Pendapat tersebut
berdasarkan kaidah: ‫السبب خمصوص ال ا لفظ بع&موم العربة‬
Patokan yang digunakan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat
umum bukan khusus terhadap pelaku kasus yang menjadi sebab turunnya..
Hukum yang diambil dari lafal yanng bersifat umum itu, melampaui bentuk
sebab yang khusus pada hal-hal yang serupa dengan itu, berdasarkan kaidah
tersebut, hukum yang dibawa oleh suatu lafal yang umum akan mencakup
keseluruhan person yang dikehendaki lafal tersebut, baik person yang menjadi sebab
turunnya lafal itu sendiri maupun person-person yang berada di luarnya. 33 Misalnya,
sebab turunnya ayat tentang zhihar dalam firman Allah berikut ini :
 
               


               

         
    


                   


              
       
  


                    


             
    



33
Al-Zarqani>, h. 125

21
     
             
        
        
 

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang

31
Usman, Ulumul Qur’a>n, h. 150. Lihat Ramli abdul Wahid, Ulumul Qur’a>n,. H. 69. Dan Manna’
Qat}t}an, mabahis fi ulum al-qur’a>n,.h. 83
32
Usman, h. 151. Lihat Muhammad ‘Abd ‘Azhim al-Zarqani>, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’a>n, h. 124

33
Al-Zarqani>, h. 125

22
melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan
mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-
orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut- turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa
(wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih. Q.S.(58): 2-4
Sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan persoalan seorang wanita
yang bernama khaulah binti Isa’ al-Labban yang dizhihar oleh suaminya yang
bernama Aus bin Shamit; dengan mengatakan kepada isterinya:‛ Kamu bagiku
sudah seperti punggung ibuku‛. Perkataan tersebut bermakna, bahwa tidak boleh
lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut
kebiasaan orang Arab Jahiliyah, kalimat zhihar seperti itu sudah sama dengan
menthalak isterinya. Khaulah, kemudian, mengadukan halnya itu kepada Nabi s.a.w.
Rasulullah selanjutnya menjawab; bahwa dalam hal ini belum ada keputusan Allah.
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah mengatakan ‛Engkau telah diharamkan
bersetubuh dengan dia‛. Lalu Khaulah berkata ‛Tetapi suamiku belum mengatakan
kata thalak‛ ya Rasulullah. Kemudian Khaulah berulang kali mendesak kepada
beliau agar menetapkan keputusan mengenai masalah tersebut. Sehingga, turunlah
ayat tersebut di atas dan ayat-ayat berikutnya yang menetapkan tentang hukum
zhihar34.
Contoh lain adalah mengenai peristiwa Hilal Ibnu Umayyah yang menuduh
isterinya berbuat zina dengan Syuraik bin Shahma’ dihadapan Nabi s.a.w..
Berdasarkan peristiwa tersebut, Allah menurunkan firman-Nya berikut ini:

                   

                

      

                      
                
     

    
  
34
Al-Wahidi al-Nisaburi>,. H. 232-233

22
      
 
       
  
  

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-
saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama

34
Al-Wahidi al-Nisaburi>,. H. 232-233

23
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang
kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta35. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya
itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat
Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.Q.S.(24): 6-9

Dengan memperhatikan kedua riwayat yang menjadi sebab turunnya firman


Allah pada kedua contoh di atas, maka tampak dengan jelas, bahwa sebab turunnya
ayat-ayat tersebut adalah bersifat khusus. Firman Allah pada contoh kedua, turun
berkenaan dengan tuduhan Hilal Ibnu Umayyah terhadap isterinya yang berbuat
zina dengan Syuraik bin Shahma’. Akan tetapi, lafal-lafal ayat tersebut diturunkan
dalam bentuk umum. Hukum yang diambil dari lafal umum itu tidak hanya berlaku
bagi orang yang menjadi penyebab turunnya ayat tersebut, akan tetapi diterapkan
pula pada kasus serupa yang terjadi pada orang lain tanpa memerlukan dalil lain.
Karena lafal ‚al-ladzina‛ dalam ayat di atas adalah ‚isim maushul‛ yang termasuk
diantara bentuk-bentuk lafal yang bersifat umum, tanpa adanya takhshish atau
pengecualian. Oleh karena itu, dalam penetapan dan atau penerapan hukum seperti
ini tidak diperlukan dalil lain berupa qiyas (analogi) atau dalil lainnya. Karena
hukumnya sudah ada dengan keumuman nash ayat tersebut, sebagaimana juga tidak
adanya qias dan tidak adanya ijtihad bila telah adanya nash yang tegas. Pendapat ini
sejalan dengan universalitas (keumuman) hukum-hukum syari’at.36
Sebaliknya, sebagian kecil di kalangan para ‘ulama berpendapat, bahwa yang
menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal
yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu, untuk
dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab, diperlukan dalil lain seperti qiyas dan
sebagainya. Dengan demikian, pemindahan riwayat sebab yang khusus itu
mengandung faidah, sehinnga sebab tersebut sesuai musabbabnya, seperti halnya

35
Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat
orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam
tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia
berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
36
Manna’ Qat}t}an,. h. 84. Lihat al-Zarqani>, h. 125 dan Usman, h. 153

23
kesesuaian pertanyaan dengan jawabannya37. Pendapat tersebut berpegang kepada
kaidah: ‫ا لفظ الخبصوص السبب خبصوص العربة‬
Patokan yang digunakan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi
sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum .
Disini perlu kiranya dipertanyakan, tandas Quraisy Shihab, ‚bukankah akan
lebih mendukung pengembanngan tafsir jika pandangan minoritas di atas yang
ditekankan‛? jika demikian halnya, maka perlu diberikan beberapa catatan.
Catatan- catatan dimaksud adalah jelas, bahwa setiap sabab al-nuzul setidak-
tidaknya pasti mencakup ‚peristiwa, pelaku dan waktu‛. Karena itu, tidak
mungkin benak kita akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang
tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku38.
Sayang selama ini, menurut Quraisy Syihab, pandangan menyangkut asbab al-
nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan pada peristiwa dan
mengabaikan pelakunya berdasarkan kaidah yang dianut oleh golongan mayoritas
tersebut. Golongan minoritas di atas, menekankan perlunya qias (analogi), untuk
menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu,
dengan catatan, apabila qias tersebut memenuhi syarat-ayaratnya. Pandangan
mereka itu hendaknya dapat diterapkan, tetapi dengan memperhatikan faktor waktu,
karena kalau tidak, maka akan menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah
seperti yang telah dikemukakan di atas, ayat-ayat al-Qur’an itu tidak di turunkan
dalam masyarakat yang hampa budaya, dan bahwa kenyataan adalah mendahului
atau bersamaan dengan turunnya ayat? Karena itu pula pengertian kaidah yang
dianut oleh golongan minor tersebut adalah, bahwa lafal ayat itu, terbatas pada
peristiwa yang karenanya lafal ayat tersebut di turunkan. Adapun hal-hal yang
serupa dengan peristiwa itu, maka hukumnya tidak dapat diketahui dari nash ayat
tersebut, melainkan dari dalil yang lain berupa qias jika memenuhi syarat-syaratnya
sebagaimana telah dikemukakan di atas atau dari hadish Nabi, seperti dikemukakan
dalam redaksi berikut ini: ‫اجلماعة على حكمي الواحد على حكمي‬
Hukum yang berlaku atas seseorang juga berlaku bagi semua orang.

37
Manna’ al-Qat}t}an,.h. 85
38
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 89

24
Dengan demikian, ayat zhihar yang diturunkan sebab peristiwa Aus bin Shahma’
yang menzhihar isterinya tesebut, hanya berlaku khusus bagi peristiwa itu. Begitu
pula ayat qadzf (tuduhan berzina) yang diturunkan sebab peristiwa Hilal yang
menuduh isterinya berzina. Sedangkan kasus lain yang serupa dengan hal itu, hanya
dapat diketahui dengan jalan qias (analogi) atau dengan mengamalkan hadits di
atas. Dengan pendapat minoritas ulama’ tersebut39.
Uraian di atas, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kedua pendapat
tersebut, yang mana pendapat mayoritas berpegang pada keumuman lafal, sedang
golongan minoritas berpegang pada khususan sebab. Namun demikian, ada dua hal
yang perlu untuk diingat dan digaris bawahi yaitu:
Pertama, perbedaan pendapat ini berlaku pada lafal ayat yang umum, dan
qarinahnya (konteksnya) tidak menunjukkan takhshish (pengkhususan) dengan
sebab terkait. Jika qarinah itu menunjukkan kepada yang demikian (takhshish),
maka hukumnya menjadi terbatas pada sebabnya saja, berdasarkan ijma’ ulama.
Kedua, ketentuan hukum nash yang bersifat umum dan di turunkan atas sebab
tertentu, menurut kedua belah pihak, dapat menjangkau kepada person-person,
disamping penyebab turunnya. Hanya saja, menurut golongan mayoritas, hukum
tersebut secara otomatis dapat menjangkau mereka yang berada di luar sebab
berdasarkan nash itu sendiri. Sedangkan golongan minoritas ulama memandang,
bahwa lafal yang umum itu tidak dapat menjangkau mereka yang di luar sebab
melalui qias atau dengan nash yang lain, seperti adanya ketentuan hukum pada
hadits tersebut di atas40.
Bila diperhatikan dengan cermat, dari apa yang dikemukakan di atas, bahwa
inti permasalahan kedua golongan tersebut sebenarnya terletak pada person-person
yang berada di luar kasus atau sebab. Kedua belah pihak sepakat atas berlakunya
ketentuan ayat maupun hadits atas person-person yang menjadi sebab turunnya ayat
pada kasus yang sama, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Mayoritas
menekankan dan menetapkan secara langsung, sedangkan golongan minoritas
menerapkan secara tidak langsung. Dengan cara berfikir yang demikian dapat
dikatakan bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip antara kedua
kelompok ulama tersebut dalam masalah tersebut. Karena itu, tidaklah

39
Ramli Abdul Wahid,..h. 71 lihat al-zarqani>,.h. 126
40
Ramli Abdul Wahid,.h. 72 lihat usman,.h. 156
25
mengherankan, bila ada ulama yang berkesimpulan, bahwa perbedaan antara
keduannya hanya sekedar khilaf syakli (perbedaan formal) bukan perbedaan hakiki.
Masing-masing mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri, tetapi tidak mempengaruhi
sedikitpun kepada penerapan hukum ayat tersebut yang demikian pada seluruh
personnya, baik person yang termasuk di dalam ruang lingkup sebab turunnya ayat
maupun yang di luarnya.41
Sementar itu, Muhammad ‘Abd Az}im al-Zarqani> memandang, bahwa dampak
yang ditimbulkan oleh kedua perbedaan tersebut cukup jauh, yaitu:
Pertama, berdasarkan kaidah yang dianut oleh golongan mayoritas di atas,
hukum yang berlaku atas person-person di luar sebab didasarkan atas nash yang
turun padanya. Para ulama sepakat, bahwa status nash al-Qur’an adalah qath’i
(positif) dan sebagian maknanya juga ‚qath’i al-dalalah‛ (positif maknanya),
sedangkan menurut golongan minoritas, hukum yang berlaku di luar person-person
sebab tidak berdasarkan nash tersebut, tetapi berdasarkan qias atau hadits Nabi.
Adapun status qias dan hadits itu dalam konteks ini tidaklah dianggap qath’i.
Kedua, menurut mayoritas ulama, person-person di luar sebab dicakkup oeh
hukum, selama lafal nash dapat menjangkaunya. Sedangkan minoritas ulama tidak
menerapkan hukum kecuali atas sesuatu yang memenuhi syarat-syarat qias. Inipun
hanya dapat berlaku jika mereka memandang padanya berlaku qias42.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa perbedaan kedua
kaidah di atas bukannya hanya berupa ‚khilaf lafzhi‛ atau ‚khilaf syakli‛ tetapi
perbedaan yang membawa dampak pada penerapan hukum walaupun dalam banyak
hal kedua belah pihak dapat bertemu dalam penerapannya, namun keduanya juga
dapat berbeda dalam masalah-masalah dan kasus-kasus tertentu. Dalam kaitannya
dengan penggunaan analogi berdasar kaidah; ‫ ا لفظ بعموم ال السبب خبصوص العربة‬dalam hal sabab

al-nuzul, oleh golongan minoritas sebagaimana telah dikemukakan di atas menurut


Quraish Shihab hendaknya tidak terbatas pada analogi yangn dipengaruhi oleh
logika formal (al-manthiq al-syuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para
fuqaha kita. Tetapi hendaknya mengguanakan analogi yang lebih luas dari itu, yakni
al-masahlih al-mursalah dan yang mengantarkan kepada kemudahan pemahaman

41
Usman,. h. 157 lihat Ramli Abdul Wahid,.h. 72-72
42
Usman,. h. 157 lihat Ramli Abdul Wahid,.h. 74
agama, sebagaimana layaknya pada masa Rasulullah s.a.w. dan para sahabat
beliau.43
Qias yang selama ini dilakukan, menurut Ridwan al-Sayyid, sebagaimana
dikutip oleh Syihab adalah berdasarkan rumusan Imam Syafi’i, yaitu: ‫العلة الحتاد بأصل فرع احالق‬
‚menghubungkan cabang dengan pokok karena ‘illat keduanya sama‛, yang pada
hakekatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi
sekedar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan
cara membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada atau terjadi.
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian itu dapat diperluas, sehinnga
mencakup kondisi sosial pada masa turunnya al-Qur’an dan pemahamannya pun
dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu
dengan menngembangkan pengertian qias itu sendiri44.
Menanggapi apa yang dikemukakan oleh Quraish Syihab tersebut, Ramli Abdul
Wahid berkomentar: ‚Memang pemahaman yang diusulkan oleh Quraish Syihab
tersebut, sejalan dengan pendekatan sosio-kultural dalam kajian ke-Islaman yang
telah berkembanng di Barat, dan pada masa-masa belakangan ini pun sudah mulai
muncul di Indonesia. Kaidah yang dipegang oleh golongan minor di atas memberi
peluang yang lebih besar kepada mufassir untuk mendapatkan interpretasi al-Qur’a>n
yang sesuai dengan perkembangan zaman, ketimbang kaidah yang dianut oleh
kelompok yang lebih besar di atas. Sebab dengan memandang waktu sebagai unsur
sabab al-nuzul yang harus diperhitungkan dalam memahami ayat yang terkait
denganya, dapat mengakibatkan ‚buyarnya‛ sekian banyak bentuk pemecahan
masalah yang ditawarkan al-Qur’a>n belasan abad yang lalu. Kondisi
masyarakat pada masa berlangsungnya asbab al-nuzul sudah tidak sama dengan
kondisi masyarakat di abad ini. Karena itu, reinterpretasi dapat bergerak terus sampai
kepada pemahaman yang di dalamnya tidak tinggal kecuali substansi al-
Qur’a>n, sedangkan pesan al-Qur’a>n tidak menghendaki yang demikian.
Kerana itulah, banyak bentuk ketentuan al-Qur’a>n yang ayat-ayatnya ditutup
dengan bernada celaan, peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang-orang
yang menyalahinya45. Dalam hubungan ini, untuk menghadapi dan mengikuti

43
Quraish Shihab,.h. 89
44
Quraish Shihab,.h. 90
45
Ramli Abdul wahid,.h.78-79

27
perkembangan zaman serta mengantisipasi persoalan-persoalan baru yang timbul,
golongan mayoritas menganut kaidah: ‫وعدما وجواد علته مع يدور احلكم‬
Hukum itu berkisar pada illatnya tentang adanya atau tidak adanya hukum itu. 46
Kalau demikian halnya, maka para ulam dituntut bersikap seselektif dan
sekritis mungkin dalam memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan baru
yang terkait dengan perkembanngan kehidupan umat, sehingga tidak terjadi pro dan
kontra antara satu dengan yang lain dalam memberikan keputusan akhir. Karena,
bagaimana pun juga dampak negatif di samping positif perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan serta teknologi tidak dapat dihindari betapa pun upaya yang
dilakukan. Dalam kondisi yang demikian, kajian kritis terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n,
terutama yang berkaitan dengan asbab al-nuzul ayat sangat dibutuhkan.

D. Urgensi sabab al-nuzul dalam tafsir al-qur’an>


Mempelajari dan mengetahui sabab al-nuzul adalah merupakan keharusan
untuk dapat memahami ayat-ayat al-Qur’a>n dengan baik dan benar terutama dalam
upaya memahami ayat-ayat yang menyangkut masalah hukum, karena al-Qur’a>n
tidaklah diturunkan dalam suatu masyarakat yang hampa budaya. Oleh karena itu,
dari sekian ayat-ayatnya, oleh para ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam
konteks sebab-sebab nuzulnya. Karena itu pula, paling tidak sabab al-nuzul itu
menggambarkan, bahwa ayat yang diturunkan itu berinteraksi langsung dengan
kenyataan yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kenyataan tersebut
mendahului atau setidak-tidaknya, keberadaannya bersamaaan dengan turunnya ayat-
ayat al-Qur’a>n di atas pentas bumi ini.
Namun demikian, bukan berarti, bahwa setiap orang harus mencari sabab al-
nuzul setiap ayat, karena tidak semua ayat-ayat al-Qur’a>n diturunkan
mesti didahului oleh suatu peristiwa dan kejadian atau pertanyaaan. Tetapi ada,
bahkan sebagian besar di antara ayat-ayat al-Qur’a>n yang diturunkan itu
semata-mata sebagai petunjuk, tanpa yang mendahuluinya, tanpa adanya sebab yang
mendahuluinya, baik mengenai akidah atau keimanan maupun syari’ah Allah, baik
yang berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun kolektif atau sosial
kemasyarakatan.

46
Ashmuni Abdur Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),h.
71.
28
Dalam hal ini, pedoman dasar para ulama dalam upaya mengetahui dan
meriwayatkan sabab al-nuzul adalah riwayat s}ahih yang bersumber dari Rasulullah
s.a.w dan atau sahabat Nabi sendiri sebagai penghubung terhadap apa yang beliau
sampaikan. Karena itu, pemberitahuan seorang sahabat mengenai suatu pertanyaan,
peristiwa atau kejadian yang dikaitkan dengan sabab al-nuzul, bila sudah jelas
adanya, maka hal seperti itu bukanlah merupakan pendapat atau perkataan sahabat
itu sendiri, tetapi mempunyai hukum marfu’ (yang disandarkan kepada Rasulullah
s.a.w), dan dapat dijadikan sebagai sumber rujukan atau pegangan dalam
menetapkan sabab nuzul sesuatu ayat atau beberapa ayat.
Untuk itulah, para ulama ada diantaranya yang telah menulis beberapa kitab,
yang secara khusus membahas tentang sebab-sebab nuzul al-Qur’a>n, dan
menekankan pentingnya mengetahui dan memahami sebab-sebab nuzul itu. Di
antara kitab-kitab yang populer membahas tentang ilmu tersebut adalah kitab :
Asbab al-Nuzul yang disusun oleh al-wahidi al-Nisaburi> (w.427 H), asbab al-
Nuzul hasil karya Ibnu Taimiyah (w.726 H), dan Lubab al-Nuzul fi Asbab al-Nuzul
yang disusun oleh Imam Jataluddin al-Suyut}i> (w.991 H)47.
Karena begitu pentingnya mengetahui dan memahami asbab al-Nuzul ayat-ayat
al-Qur’an, sehingga ulama ada yang mengemukakan pendapat dan pandangannya,
betapa urgennya ilmu tersebut untuk diketahui dan dipahami. Di antara ulama yang
mengemukakan pandangannya mengenai hal itu ialah Imam al-Wahidi, al-Nisaburiy
sendiri, ia mengatakan :
Tidak mungkin seseorang akan dapat mengetahui penafsiran ayat al-Qur’a>n tanpa
terlebih dahulu memahami kisahnya dan sabab nuzulnya.
Ibnu Daqiq al-‘id (w.702 H) mengatakan :

Menjelaskan sabab al-nuzul adalah cara yang paling tepat untuk memahami
makna al-Qur’a>n.
Ibnu Taimiyah selanjutnya mengemukakan :

47
Usman, Ulumul Qur’a>n, h. 139. Lihat juga Manna’ al-Qat}t}an, h. 92

29
Mengetahui sabab al-nuzul sangat membantu untuk dapat memahami ayat al-
Qur’a>n, karena mengetahui sesuatu sebab akan dapat memberikan pengetahuan
mengenai sesuatu yang disebabkan itu48.
Karenanya, mengungkapkan sebab nuzul melalui kisah atau riwayat (yang
sahih) adalah merupakan cara yang sangat baik untuk dapat menjelaskan mengenai
sesuatu yang bernilai tinggi itu.49
Pernyataan para ulama di atas menunjukkan, betapa pentingnya memahami
asbab al-nuzul. Sebab sebagaimana pun juga suasana turunnya al-Qur’a>n terkait erat
dengan kondisi masyarakat di mana ia diturunkan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa memahaminya mutlak diperlukan dalam upaya memahami ayat al-
Qur’a>n secara utuh. Sebaliknya, pengabaian atau ketidaktahuan terhadapnya
menyebabkan sebagian orang terperosok ke dalam kebimbangan dan keragu-raguan
dalam memahami ayat al-Qur’a>n.
Apa yang dikemukakan oleh para ulama di atas adalah berangkat dari kenyataan
bahwa memahami ayat-ayat al-Qur’a>n yang terkait dengan asbab al-nuzul
tidak hanya cukup dengan kemampuan memahami makna kata perkata, kalimat-
kalimat, bahkan makna tersurat sekali pun, tanpa melibatkan asbab al-nuzulnya.
Kenyataan tersebut dapat dilihat pada kekeliruan fatal yang dialami oleh ‘Usman bin
Mazh dan Amr bin Ma’addi Yakrib, ketika memahami dan menafsirkan firman Allah
berikut ini, sebelum mereka mengetahui sabab nuzulnya. Ayat tersebut adalah firman
Allah surah al-Ma’idah ayat 93, berikut ini :

 ....
              
              
  

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh Q.S.(5): 93,

Berdasarkan ayat di atas kedua orang tersebut menyatakan, bahwa ‚khamar


itu halal‚. Kekeliruan dalam memahami ayat di atas disebabkan oleh
ketidaktahuan

30
48
Jalaluddin al Suyut}iy, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’a>n. H. 28 bandingkan dengan Subhi al-S}alih, Mabahits
fi’ulum al-Qur’a>n, (Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1972), h. 130
49
Subhi al-S}alih,. H. 132

30
mereka terhadap sabab al-nuzul ayat yang melarang orang meminum minuman
keras50.
Menurut al-Suyut}i>, bahwa andaikata mereka berdua mengetahui sabab al-nuzul
ayat tersebut tentulah mereka tidak akan mengatakan demikian. Padahal menurut
suatu riwayat dari al-Hasan, setelah diturunkan ayat-ayat yang mengharamkan
tentang khamar, para sahabat bertanya kepada Rasulullah :‛Bagaimana nasib dari
saudara-saudara kita yang telah meninggal dunia di jalan Allah, yang dahulunya
pernah meminum khamar, sedangkan Allah telah memberitahukan kita, bahwa
minuman khamar itu termasuk perbuatan keji dan dosa‛? setelah pertanyaan
tersebut diajukan, maka turunlah firman Allan di atas.51

Dan masih banyak contoh-contoh lain yang juga dapat dijadikan sebagai bukti
pentingnya memahami asbab al-nuzul ayat-ayat al-Qur’an> , yang tidak dapat
kami
sampaikan semuanya. Namun dengan contoh yang ada kiranya dapat memberi
gambaran kepada kita semua betapa pentingnya mempelajari asbab al-nuzul baik
untuk memahami makna yang terkandung dalam suatu ayat, lebih-lebih dalam
menafsirkan suatu ayat atau beberapa ayat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada pula ulama yang tidak setuju dengan
pemanfaatan asbab al-nuzul sebagai tafsir al-Qur’a>n dengan alasan karena
tidak semua ayat yang diturunkan mempunyai sebab-sebab nuzulnya dan bahkan
hanya
sebagian kecil saja dari ayat-ayat al-Qur’an> yang mempunyai sebab nuzulnya.
Terlepas dari perbedaan itu semua, yang jelas ilmu asbab al-nuzul ini sangat
bermanfaat untuk dipelajari dan difahami bagi kita semua.

50
Subhi al-S}alih., h. 131 31
51
Jalaluddin al-Suyut}i, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’a>n, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979),h. 52

32
BAB III

PENUTUP

Pengetahuan tentang asbab al nuzul adalah salah satu ilmu-ilmu Alquran yang
terpenting dalam memahami makna yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu
banyak diantara para ulama menuangkan pengetahuan dan pemikirannya tentang asbab
al nuzul dalam berbagai karya ilmiahnya yang kini menjadi rujukan para ahli. Ayat-
ayat al qur’an yang turun ke muka bumi ini terdiri dari dua kategori. pertama, ayat al-
Qur’an> di dahului oleh sebab. kedua, tidak didahului sebab. Memperlajari ilmu asbab
al-nuzul sesuatu yang penting dalam memehami ayat al-
karena dapat
Qur’an>membantu dalam hal penafsiran.

Berkenaan dengan asbab al-nuzul ayat ada bebarapa jenis asbab al nuzul; suatu
ayat diturunkan berkanaan ada pertaanya dari sahabat nabi atau dari kaum kafir, ayat al-
Qur’a>n diturunkan untuk menjelaskan berbagai kejadian dan mengenai sebuah
peristiwa yang terjadi pada sahabat atau orang kafir.
Dalam kaitannya dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n yang didahului oleh
asbab al-nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah : al-Ibroh biumum al-lafdzi
la bikhusus al-sabab ‚ Yang menjadi patokan dalam memahami ayat adalah
redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap pelaku yang menjadi sebab
turunnya
Mempelajari asbab al-nuzul sangat bermanfaat sekali bagi para mufasir untuk
membantu memahami kandungan al-qur’an supaya tidak terjadi kekeliruan dalam
menafsirkan suatu ayat, apabila terjadi kekeliruan dalam menafsirkan ayat akan
menyesatkan umat islam sedunia, hal inilah yang bahaya dan harus waspada bagi para
penafsir.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’a>n


Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2008
M. Roem Rowi, Ragam Penafsiran Al-Qur’a>n, Surabaya: LPIQ Surabaya, 2001
Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif,
1999 . Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1990
Nama tidak diketahui, Al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam,Beirut: Daru al-Masyrik,
2005
Ichwan Muhammad Nor, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’a>n, Semarang: Rasail, 2008
Usman, Ulumul Qur’a>n, yogyakarta: Teras, 2009
Muhammad Ali As}-S}a>bu>ni,> Studi Ilmu Al-Qur’an> , Bandung: Pustaka Setia, 1998
Syaikh Manna’ al-Qat}t}an, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a>n, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006
Muhammad Abd. Az}im al-Zarqani>, Manahilil al-Irfan fi Ulum al-Qur’a>n, Beirut: Daru
al- kutub al-Islamiyah,1997.
al-Wahidi Naisaburi>, Asbab al-Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Press, 1993
Abu Husain Mustim Ibnu Hujjaj Ibnu Muslim al-Qushairi>, S}ahih Muslim, Bandung:
Syarikah al-Ma’arif, t,th
Suyut}i> al-, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’a>n, Beirut: Dar al-Fikr, 1979
Subhi al-S}alih, Mabahits fi’ulum al-Qur’an> , Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1972
Ashmuni Abdur Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a>n, Bandung: Mizan, 1992

Manna’ al-Qat}ta} n, Mabahis fi ulum al-Qur’an> , Beirut: al-Syarikah al-Muttahidah li al-


Tauzi’, 1967
Lampiran :

Jumlah surat dan ayat yang memiliki asbab al-nuzul menurut As-Suyut}i dalam
karyanya Lubab Al Nuqul fi Asbab Al Nuzul

No Nama Jml. Jml. Ayat Asb. Nomor ayat Jml.


ayat Nuzul (%) Hds
1 Alfatihah 7
2 Al baqarah 286 71 6,7,14,17,19,26,62,76,79,80,81,89,94,99,100,10 152
2,104,118,119,120,125,130,135,142,143,144,15
4,159,164,174,177,178,184,186,187,188,189,19
0,195,196,197,198,199,200,204,207,208,214,21
5,217,219,220,221,222,223,228,229,230,231,37
,238,240,241,245,256,257,237,272,274,278,285
3 Ali imran 200 33 21,26,28,31,58,65,71,72,73,77,79,86,97,100,11 56
3,118,121,128,130,140,143,144,154,161,165,16
9,172,181,186,188,190,195,199.
4 Al Nisa 176 47 3,6,11,19,22,23,24,32,33,34,37,43,48,49,51,58, 102
59,60,65,66,69,77,83,88,90,92,93,94,95,97,100,
101,102,105,123,124,127,128,135,148,153,154,
155,156,163,166,176.
5 Al maidah 120 25 2,3,4,6,11,15,18,23,38,41,49,51,53,57,59,64,68, 50
82,87,90,91,93,100,101,106.
6 Al an’am 165 19 19,26,33,52,53,54,55,65,82,91,93,94,108,109,1 25
18,119,120,121,122.
7 Al a’raf 206 5 31,32,184,187,204. 6
8 Al anfal 75 23 1,5,9,17,19,27,30,31,32,33,34,35,36,49,55,58,6 40
4,65,67,70,71,73,75.
9 Al taubah 129 35 14,17,18,19,25,28,30,37,38,39,41,43,49,50,53,5 57
8,61,65,74,75,79,81,84,91,99,102,103,107,108,
111,113,117,119,122.
10 Yunus 109 1 1 1
11 Hud 123 3 5, 8, 114 5
12 Yusuf 111 1 3 2
13 Al ra’d 43 16 8,9,10,11,12,13,31,38,39 4
14 Ibrahim 52 1 28 1
15 Al hijr 99 5 24,45,47,49,95 7
16 Al nahl 128 12 1,38,41,75,83,91,92,103,106,110,126 16
17 Al isra’ 111 20 15,26,28,29,45,56,59,60,61,73,76,80,85,88,90,9 31
1,92,93,110,111
18 Al kahfi 110 5 6,23,28,104 15
19 Maryam 98 3 64,77,96 1
20 Taha 135 4 1,105,114,131 6
21 Al anbiya’ 112 4 6,34,36,101 3
22 Al hajj 78 9 3,11,19,25,27,37,39,52,60 13
23 Al mukminun 118 4 2,14,67,76 8
24 Al nur 64 27 26,27,29,31,33,48,55,61,62,63 38
25 Al furqan 77 7 10,20,27,32,68,69,70 7
26 Al syu’ara 227 6 205,214,224,225,226,227, 2
27 Al naml 93 - - -
28 Al qasas 88 6 51,52,56,57,61,85 9
29 Al ankabut 69 5 1,2,8,51,60,68 7
30 Al rum 60 3 1,27,28 3
31 Luqman 34 3 6,27,34 6
32 Al sajdah 30 4 16,17,18,28 4
33 Al ahzab 73 16 1,4,9,12,23,28,35,36,37,40,43,47,50,51,53,57 42
34 Saba’ 54 2 15,34 2
35 Fatir 45 4 8,29,35,42 4
36 Yasin 83 10 1,2,3,4,5,6,7,8,21,77 4
37 Al saffat 182 4 64,158,165,176 5
38 Sad 88 8 1,2,3,4,5,6,7,8, 1
39 Al zumar 75 11 3,9,17,23,36,45,53,64,65,66,67 19
40 Al mu’min 85 4 4,55,56,57 4
41 Fussilat 54 3 22,40,44 3
42 Al shura’ 53 5 16,23,24,25,27 5
43 Al zuhruf 89 5 19,31,36,57,80 5
44 Al dukhan 59 5 10,15,16,43,49 4
45 Al jahiyah 37 2 23,24 2
46 Al ahqaf 35 8 10,11,17,19 8
47 Muhammad 38 5 1,4,13,16,33 5
48 Al fath 29 7 1,2,5,18,25,25,27 6
49 Al hujurat 18 10 1,2,3,4,6,9,11,12,13,17 22
50 Qaf 45 2 35,38 1
51 Al dhariyat 60 3 19,54,55 3
52 Al tur 49 1 30 1
53 Al najm 62 11 32,33,34,35,36,37,38,39,40,41,61 5
54 Al qamar 55 5 1,45,47,48,49 3
55 Al rahman 78 1 46 1
56 Al waqi’ah 96 12 13,27,29,75,76,77,78,79,80,81,82 6
57 Al hadid 29 3 16,28,29 8
58 Al mujadilah 22 9 1,8,10,11,12,13,14,18,22 13
59 Al hasr 24 4 1,5,9,11 9
60 Al mumtahanah 13 5 1,8,10,11,13 9
61 Al saf 14 4 1,2,10,11 3
62 Al jumu’ah 11 1 11 2
63 Al munafiqun 11 4 5,6,7,8 4
64 Al taghabun 18 2 14,16 3
65 Al talaq 12 3 1,2,4 7
66 Al tahrim 12 3 1,2,5 7
67 Al mulk 30 - - -
68 Al qalam 52 6 2,4,10,11,13,17 6
69 Al haqqah 52 1 1,2,4 1
70 Al ma’arij 44 2 1,2,5 3
71 Nuh 28 - - -
72 Al jin 28 5 2,6,16,18,22 8
73 Al muzammil 20 2 1,20 2
74 Al mudasir 56 11 1,2,3,4,5,6,7,11,30,31,52 6
75 Al qiyamah 40 3 16,34,35 3
76 Al insan 31 3 8,20,24 3
77 Al mursalat 50 1 48 1
78 Al naba’ 40 1 1 1
79 Al naziyat 46 7 10,12,42,43,44,45,46 2
80 ‘Abasa 40 2 1,7 2
81 Al takwir 29 1 29 1
82 Al infitar 19 1 6 1
83 Al mutaffifin 36 1 1 1
84 Al inshiqaq 25 -
85 Al buruj 22 -
86 Al tariq 17 1 5 1
87 Al a’la 19 1 6 1
88 Al gasiyah 26 1 17 1
89 Al fajr 30 1 27 1
90 Al balad 20 -
91 Al sams 15 - -
92 Al lail 21 12 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12 4
93 Al zuha 11 5 1,2,3,4,5 5
94 Al inshirah 8 1 6 1
95 Al tin 8 1 5 1
96 Al ‘alaq 19 6 6,9,10,11,12,13 3
97 Al qadar 5 2 1,3 3
98 Al bayinah 8 - -
99 Al zalzalah 8 1 7 1
100 Al ‘adiyat 11 1 1 1
101 Al qari’ah 11 - -
102 Al takatsur 8 2 1,2 2
103 Al ‘asr 3 - -
104 Al humazah 9 9 1,2,3,4,5,6,7,8,9 3
105 Al fiil 5 - -
106 Al qurays 4 1 1 1
107 Al ma’un 7 1 4 1
108 Al kautsar 3 3 1,2,3 8
109 Al kafirun 6 6 1,2,3,4,5,6 3
110 Al nasr 3 3 1,2,3 1
111 Al lahab 5 5 1,2,3,4,5 2
112 Al ikhlas 4 4 1 4
113 Al falaq 5 5 1,2,3,4,5 1
114 Al nas 6 6 1,2,3,4,5,6 1
Jml 6234 711 994

Sumber:
Http://elhasyimieahmad.multiply.com/journal/item/2/signifikansi_asbab_al_nuzul

Anda mungkin juga menyukai