Anda di halaman 1dari 24

ASBABUN NUZUL

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Studi Qur’an

Dosen: Bapak Ahmad Farih Dzaky, S.Th.I, M.Ag

Oleh:
1. Bunowo (2310101521)
2. M. Agus Ilham Maulana (2310101550)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

IAI KHOZINATUL ULUM BLORA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Asbabun Nuzul”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Study Al-Qur’an Bapak Ahmad Farih Dzaky, S.Th.I, M.Ag.
yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap
makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca yang pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak,
begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan
kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna
peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang,
penulis juga berharap agar pembaca dapat memahami dan memberikan wawasan
lebih dalam dalam aplikasi ayat-ayat Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Serta
dapat membantu dalam memahami perubahan pemahaman seiring waktu dan
perkembangan pemikiran Islam.

Blora, 8 Desember 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………..………………..………………………. ii
Daftar isi………………..………………..……………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang………………..…………….………………..… 1
b. Rumusan Masalah………………..……….……………………. 2
c. Tujuan………………..…………….………………..………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian Asbabun Nuzul ………...……………..……………. 4
b. Metode Asbabun Nuzul…………………………..…………….. 6
c. Redaksi Asbabun Nuzul …………………….…………………. 7
d. Ta’addud al asbab wa alnazil wahid……………………………. 9
e. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid…………………………… 12
f. Al ibrah bi‘umum Al lafzhi la bi khusus al sabab……………… 13
g. Urgensi pengetahuan Asbabun Nuzul …………………………. 15
BAB III PENUTUP
Kesimpulan………………..…………...……………..………… 18
Daftar Pustaka………………..………………..……………………….. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’ān adalah kalam (perkataan) Allah Swt. yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad Saw. Melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-
Qur’ān sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama dan
utama dari seluruh ajaran Islam serta berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman
bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 1
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah
tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan
yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga
memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta
berita-berita yang akan datang. Sebagian besar Al-Qur’an pada mulanya
diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama
Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi
di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah
atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah
untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka al-Qur’ān turun untuk
peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah
yang dinamakan Asbab An-Nuzul.2
Banyak alat bantu untuk memahami ayat atau pun rangkaian ayat dalam Al-
Qur’ān. Semisal dengan menggunakan ‘Ilm I‘rāb AlQur’ān, ‘Ilm Gārib Al-
Qur’ān, ‘Ilm Awqāt an-Nuzūl, ‘Ilm Asbāb anNuzūl, dan sebagainya. ‘Ilm Asbāb
an-Nuzūl adalah di antara metode yang amat penting dalam memahami Al-
Qur’ān dan menafsirinya. Seperti yang sudah ditetapkan para ulama, bahwa Al-
Qur’ān itu diturunkan dengan dua bagian. Satu bagian diturunkan secara
langsung, dan bagian ini merupakan mayoritas Al-Qur’ān. Bagian kedua
diturunkan setelah ada suatu kejadian atau permintaan, yang turun mengiringi
selama turunnya wahyu, yaitu selama tiga belas tahun. Bagian kedua inilah yang

1 Kafrawi Ridwan (ed.) et. Al., Ensiklopedi Islam ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.
132.
2 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir (Bogor: Li –Era AntarNusa, 2007),

hlm. 106

1
akan di bahas berdasarkan sebab turunnya. Sebab, mengetahui sebab turunnya
dan seluk-beluk yang melingkupi nash, akan membantu pemahaman dan apa
yang akan dikehendaki dari nash itu. 3
Senada dengan pernyataan Yusuf Qardawi, Syaikh Al-Ja‘bari mengatakan
bahwa Al-Qur’ān diturunkan dalam dua bagian. Bagian pertama berupa prinsip-
prinsip yang tidak terikat dengan sebabsebab khusus, melainkan murni petunjuk
bagi manusia ke jalan Allah (kebenaran). Bagian kedua, diturunkan berdasarkan
suatu sebab tertentu. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa asbāb an-nuzūl
tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya,
tidak di terima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak
akan turun. Komarunddin Hidayat memposisikan persoalan ini dengan
menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’ān, memang diyakini memiliki dua
dimensi; historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak antara Tuhan
dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalam-Nya yang
kemudian menyejarah.4

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Asbabun Nuzul?.
2. Bagaimana metode Asbabun Nuzul?.
3. Bagaimana redaksi Asbabun Nuzul?
4. Apa yang dimaksud Ta’addud al asbab wa alnazil wahid?
5. Apa yang dimaksud Ta’addud al nazil wa alsabab wahid?
6. Apa yang dimaksud Al ibrah bi‘umum Al lafzhi la bi khusus al sabab?
7. Apa urgensi pengetahuan Asbabun Nuzul?

C. Tujuan
1. Dapat menjelaskan pengertian Asbabun Nuzul.
2. Mampu mengidentifikasi metode yang digunakan untuk mengetahui
Asbabun Nuzul.
3. Dapat merinci redaksi Asbabun Nuzul.

3 Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Berinterakasi dengan Al-Qur`an, terj. Kathur Suhardi ( Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 2000), hlm. 267.
4 Muhammad Chirzin, Al-Qur`an dan Ulumul Qur`an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,

2003), hlm. 30-31

2
4. Dapat memahami konsep Ta’addud al asbab wa al nazil wahid.
5. Dapat memahami konsep Ta’addud al nazil wa al sabab wahid.
6. Dapat memahami konsep Al ibrah bi‘umum Al lafzhi la bi khusus al
sabab.
7. Dapat menjelaskan urgensi mengetahui Asbabun Nuzul.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbabun Nuzul


Asbāb an-Nuzūl atau Asbabun Nuzul secara etimologi terdiri dari kata
asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat berarti ‫( كل شيء يتوصل الى غيره‬sesuatu yang
menyampaikan kepada sesuatu yang lain), ‫( الحبل‬tali tambang), dan ‫كل حبل حدرته‬
‫( من فوف‬tiap tali yang kamu turunkan dari atas), sedang an-nuzūl artinya ‫الحول‬
‫( وقد نزلهم ونزل عليهم ونزل بهم‬menempati dan menempati tempat mereka).
Sedang secara terminologi menurut Az-Zarqani dalam bukunya
Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbāb an nuzūl adalah
sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk
membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa
terjadinya sebab itu.
Subhi As-Salih mengartikannya sebagai berikut, sesuatu yang menjadi
sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang
menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban atau sebagai penjelasan yang
diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.
Sedangkan Hasbi Ash-Siddieqy mendefinisikannya sebagai kejadian
yang karenanya diturunkan Al-Qur’ān untuk menerangkan hukumnya di hari
timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalam suasana itu al-Qur’an
diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan
langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmat.
Dari beberapa definisi dan pengertian asbāb an-nuzūl di atas dapat
dipahami bahwa latar belakang turunnya ayat atau pun beberapa ayat Al-Qur’ān
dikarenakan adanya suatu peristiwa tertentu dan pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi SAW.. Adapun ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa
menurut Az-Zarqani ada tiga bentuk.
Pertama, peristiwa khushūmah (pertengkaran) yang sedang
berlangsung, semisal perselisihan antara kelompok Aus dan Khazraj yang
disebabkan oleh rekayasa kaum Yahudi sampai mereka berteriak: “as-silāh, as-
silāh” (senjata, senjata). Dari kejadian ini turunlah beberapa ayat dari surat Ali
‘Imrān yang di mulai dari ayat 100 hingga beberapa ayat berikutnya:

4
َ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمن ُْٰٓوا ا ِْن تُطِ ْيعُ ْوا ف َِر ْيقًا مِنَ الَّ ِذيْنَ ا ُ ْوتُوا ْال ِك ٰت‬
َ‫ب يَ ُرد ُّْوكُ ْم بَ ْعدَ اِ ْي َمانِكُ ْم ٰكف ِِريْن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti segolongan
dari orang yang diberi Alkitab, niscaya mereka akan mengembalikan
kamu menjadi orang-orang kafir setelah beriman”. (Ali Imran: 100)
Kedua, peristiwa berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima
akal sehat. Seperti orang yang masih mabuk mengimani salat sehingga ia salah
dalam membaca surat al-Kāfirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā
ayat 43 sebagai berikut:
َ‫ص ٰلوةَ َواَ ْنت ُ ْم س ُٰك ٰرى َحتّٰى تَ ْعلَ ُم ْوا َما تَقُ ْولُ ْون‬
َّ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمن ُْوا ََل تَ ْق َربُوا ال‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan” (An-Nisā: 43).
Ketiga, peristiwa mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt
(persesuaian, kecocokan) Umar RA. Aku ada persesuaian dengan Tuhanku
dalam tiga perkara. Aku katakan kepada Rasulullah bagaimana kalau Maqām
Ibrahim kita jadikan tempat salat, maka turunlah ayat ‫صلًّى‬ ْ ‫َواتَّخِ ذُ ْوا‬
َ ‫مِن َّمقَ ِام اِب ْٰر ٖه َم ُم‬
“Dan jadikanlah sebahagian maqām Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125).
Dan aku berkata wahai Rasulullah: “Sesungguhnya di antara orang-orang yang
menemui istri-istrimu ada yang baik (al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir),
bagaimana kalau anda memerintahkan kepada mereka untuk membuat hijāb
(tabir). Kemudian turunlah ayat hijāb, yakni ayat dari surat al-Ahzāb ayat 53.
Sedang ayat atau pun ayat-ayat yang diturunkan karena ada pertanyaan yang
ditujukan kepada Nabi SAW. Juga ada tiga bentuk.
Pertama, pertanyaan tentang peristiwa yang sudah lampau, semisal
firman Allah SWT. Dalam surat al-Kahfi ayat 83.
َ ‫ع ْن ذِى ْالقَرْ نَي ِْن قُلْ َساَتْلُ ْوا‬
‫علَ ْيكُ ْم ِم ْنهُ ِذ ْك ًرا‬ َ َ‫َويَسْـَٔلُ ْونَك‬
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain.
Katakanlah: Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya”.
Kedua, pertanyaan tentang peristiwa yang sedang berlangsung, semisal
firman Allah SWT. Dalam surat al-Isrā ayat 85.
‫ي َو َما ٰٓ ا ُ ْوتِ ْيت ُ ْم مِنَ ْالع ِْل ِم ا ََِّل قَ ِلي ًْل‬
ْ ِ‫مِن اَ ْم ِر َرب‬
ْ ‫ح‬ ُّ ‫ح قُ ِل‬
ُ ‫الر ْو‬ ِ ‫الر ْو‬ َ َ‫َويَسْـَٔلُ ْونَك‬
ُّ ‫ع ِن‬

5
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”.
Ketiga, pertanyaan tentang peristiwa yang akan datang, semisal firman
Allah SWT. Dalam surat an-Nāzi‘āt ayat 42.
‫ع ِة اَيَّانَ ُمرْ سٰ ى َها‬ َ َ‫َيسْـَٔلُ ْونَك‬
َ ‫ع ِن السَّا‬
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari
kebangkitan, kapankah terjadinya.”
Menurut Az-Zarqani tidak semua ayat atau beberapa ayat mempunyai
asbāb an-nuzūl, diantaranya ayat yang berbicara mengenai kejadian atau
keadaan yang telah lampau dan akan datang, semisal kisah nabi-nabi dan umat
terdahulu dan juga kejadian tentang assā‘ah (kiamat) dan yang berhubungan
dengannya. Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an Al-Karim.

B. Metode Asbabun Nuzul


Al-Wahidi mengatakan bahwa tidak boleh berbicara tentang sebab-
sebab turun Al-Qur’ān kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-
orang yang menyaksikan turunnya ayat itu dan mengetahui sebab-sebab
turunnya serta membahas pengertiannya. Dari Ibnu Abbas berkata: “bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda:

‫ ومن كذب‬،‫ فإنه من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬،‫اتقوا الحديث(عنى) اَل ماعلمتم‬
)‫على القرآن من غير علم فليتبوأ مقعده من النار (أخرجه أحمد والطبرانى و الترمذى‬
"Berhati-hatilah dalam berbicara (mengenai diriku), kecuali apa yang telah
kalian ketahui, maka barang siapa yang sengaja berdusta atasku maka
bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka, dan barang
siapa berdusta atas Al-Qur’ān tanpa mempunyai pengetahuan maka bersiap-
siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka” (Dikeluarkan oleh
Ahmad, at-Tabrani dan at-Tirmizi).
Menurut Az-Zarqani tidak semua ayat atau beberapa ayat mempunyai
asbāb an-nuzūl, diantaranya ayat yang berbicara mengenai kejadian atau
keadaan yang telah lampau dan akan datang, semisal kisah nabi-nabi dan umat

6
terdahulu dan juga kejadian tentang assā‘ah (kiamat) dan yang berhubungan
dengannya. Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an Al-Karim.

C. Redaksi Asbabun Nuzul


Ungkapan-ungkapan atau bentuk redaksi yang di gunakan oleh para
sahabat untuk menunjukkan turunnya Al-Qur’an tidak selamanya sama.
Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar di kelompokkan dalam dua kategori,
yaitu:
1. Sarih (jelas). Ungkapan riwayat “sarih” yang memang jelas
menunjukkan asbab annuzul dengan indikasi menggunakan lafadz
(pendahuluan).
“sebab turun ayat ini adalah…”
“telah terjadi….. maka turunlah ayat…..”
“rasulullah saw pernah di tanya tentang ……. Maka turunlah ayat…..”
Contoh lain: QS. Al-Maidah/5, ayat 2 yang berbunyi:
ۤ ٰٓ َ
َ ‫َل ٰا ِميْنَ ْالبَيْتَ ْال َح َر‬
َ‫ام يَ ْبتَغُ ْون‬ ‫ْي َو ََل ْالقَ َ ۤل ِٕىدَ َو‬
َ ‫ام َو ََل ْال َهد‬ ِ ّٰ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمن ُْوا ََل تُحِ لُّ ْوا َشعَ ۤا ِٕى َر‬
َ ‫ّٰللا َو ََل ال َّش ْه َر ْال َح َر‬
‫ع ِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام اَ ْن‬
َ ‫صد ُّْو ُك ْم‬َ ‫طاد ُْوا َو ََل يَجْ ِر َم َّن ُك ْم َشن َٰانُ َق ْو ٍم اَ ْن‬ َ ‫ص‬ْ ‫فَض ًْل مِ ْن َّر ِب ِه ْم َو ِرض َْوانًا َو ِا َذا َح َل ْلت ُ ْم فَا‬
ُ‫ّٰللا َش ِد ْيد‬ ِ ۖ ‫اَلثْ ِم َو ْال ُعد َْو‬
َ ّٰ ‫ان َواتَّقُوا‬
َ ّٰ َّ‫ّٰللا اِن‬ ِ ْ ‫علَى‬ َ ‫علَى ْال ِب ِر َوالتَّ ْق ٰو ۖى َو ََل تَ َع‬
َ ‫اون ُْوا‬ َ ‫تَ ْعتَد ْۘ ُْوا َوتَ َع َاون ُْوا‬
Artinya: “hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu melanggar
shi’ar-shi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-
binatang qala-id, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang
mengunjungi baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keridhoannya dari tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari masjid al-haram, mendorongmu membuat aniaya
(kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam(mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah sangat berat siksa-Nya ”.
Asbab an-nuzul dari ayat ini; ibnu jarir mengetengahkan subuah
hadits dari ikrimah yang telah bercerita,” bahwa hatham bin hindun al-

7
bakri datang kemadinah bersrta kafilahnya yang membawa bahan
makanan. Kemudian ia menjualanya lalu ia masuk ke madinah menemui
nabi saw.; setelah itu ia membaiatnya masuk islam. Tatkala ia pamit
untuk keluar pulang, nabi memandangnya dari belakang kemudian
beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di sekitarnya,
‘sesungguhnya ia telah menghadap kepadaku dengan muka yang
bertampang durhaka, dan ia pamit dariku dengan langkah yang khianat.
Tatkala al-bakri sampai di yamamah, ia kembali murtad dari agama
islam. Kemudian pada bulan dhulkaidah ia keluar bersama kafilahnya
dengan tujuan makkah. Tatkala para sahabat nabi saw. Mendengar
beritanya, maka segolongan sahabat nabi dari kalangan kaum muhajirin
dan kaun ansar bersiapsiap keluar madinah untuk mencegat yang berada
dalam kafilahnya itu. Kemudian Allah SWT. Menurunkan ayat,’ hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar shiar-shiar
Allah…(QS. Al-maidah/5: 2) kemudian para sahabat mengurungkan
niatnya (demi menghormati bulan haji itu).
Hadits serupa ini di kemukakan pula oleh asadiy.” Ibnu abu
khatim mengetengahkan dari zaid bin aslam yang mengatakan, bahwa
rasulullah saw. Bersama para sahabat tatkala berada di hudaibiah, yaitu
sewaktu orang-orangmusyrik mencegah mereka untuk memasuki bait
al-haram peristiwa ini sangat berat dirasakan oleh mereka, kemudian
ada orang-orang musyrik dari penduduk sebelah timur jazirah arab
untuk tujuan melakukan umroh. Para sahabat nabi saw. Berkata, marilah
kita halangi mereka sebagaimana(teman-teman mereka) merekapun
menghalangi sahabat-sahabat kita. Kemudian Allah Swt.
Menurunkan ayat,”janganlah sekali-kali mendorongmu berbuat aniaya
kepada mereka…” (QS. Al-maidah ayat : 2)
2. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti). Ungkapan
“mutammimah” adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan
asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal tersebut dapat
berupa ungkapan sebagai berikut:
“…ayat ini diturunkan berkenaan dengan …”

8
“saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ………..”
“saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan…..”
Contohnya: QS. Al-baqarah/2: 223
َ‫ّٰللا َوا ْعلَ ُم ْٰٓوا اَنَّكُ ْم ُّم ٰلقُ ْوهُ َوبَش ِِر ْال ُمؤْ مِ نِيْن‬ َ ِ ‫ث لَّكُ ۖ ْم فَأْت ُ ْوا َحرْ ثَكُ ْم اَنّٰى شِ ئْت ُ ۖ ْم َوقَ ِد ُم ْوا‬
َ ّٰ ‫َل ْنفُسِ كُ ْم َواتَّقُوا‬ ٌ ْ‫نِ َس ۤا ُؤكُ ْم َحر‬
Artinya: “istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, mak datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman.”(QS. Al-baqarah/2: 223).
Asbab an-nuzul dari ayat berikut ;dalam sebuah riwayat yang
dikeluarkan oleh abu daud dan hakim, dari ibnu abbas di kemukakan
bahwa penghuni kampung di sekitar yatsrib (madinah), tinggal
berdampingan bersama kaum yahudi ahli kitab. Mereka menganggap
bahwa kaum yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak
meniru dan menganggap baik segala perbuatannya.Salah satu perbuatan
kaum yahudi yang di anggap baik oleh mereka ialah tidak menggauli
istrinya dari belakang.
Adapun penduduk kamping sekitar quraish (makkah) menggauli
istrinya dengan segala keleluasannya. Ketika kaum muhajirin (orang
makkah) tiba di madinah salah seorang dari mereka kawin dengan
seorang wanita ansar (orang madinah). Ia berbuat seperti kebiasaannya
tetapi di tolak oleh istrinya dengan berkata: “kebiasaan orang sini, hanya
menggauli istrinya dari muka.” Kejadian ini akhirnya sampai pada nabi
saw, sehingga turunlah ayat tersebut di atas yang membolehkan
menggauli istrinya dari depan, balakang, atau terlentang, asal tetap di
tempat yang lazim.

D. Ta’addud al asbab wa alnazil wahid


Maksud dari Ta’adud al asbab wa alnazil wahid adalah jika beberapa
sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat/wahyu. Terkadang
wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab. Ada beberapa
bentuk periwayatan;

9
Bentuk pertama, yaitu salah satu riwayatnya saja yang sahih,
ketentuannya adalah menggunakan yang sahih itu untuk menjelaskan sebab
turun dan menolak yang tidak sahih. Misalnya antara hadis yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari, Muslim dan yang lain melalui jalur Jundab dan hadis yang
dikeluarkan oleh at-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah melalui jalur Hafs bin
Maisarah dari ibunya dari neneknya, yang merupakan pelayanan Rasulullah
SAW. Mengenai kenapa Allah belum menurunkan wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW. Pada surat ad-Dhuhā ayat 1-3.
Bentuk kedua, jika kedua riwayat sama-sama sahih dan salah satu dari
keduanya mempunyai murajjih (penguat), maka yang di ambil adalah yang
lebih rajah. Dan murajjih (penguat) bisa di lihat dari segi lebih sahih dari yang
lain atau perawi salah satunya menyaksikan langsung kejadiannya. Semisal
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibnu Mas‘ud dan hadis
yang dikeluarkan oleh Tirmizi dari jalur Ibnu Abbas mengenai ruh pada surat
al-Isrā ayat 85. Antara kedua riwayat ini yang di ambil adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibnu Mas‘ud karena, Ibnu Mas‘ud
menyaksikan langsung kisah itu dari awal hingga akhir, sedangkan Ibnu Abbas
tidak. Tidak diragukan lagi orang yang menyaksikan langsung lebih kuat
daripada yang tidak menyaksikan secara langsung.
Bentuk ketiga, jika kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak ada
murajjih bagi salah satu dari keduanya, maka dikompromikan. Ibnu Hajar
berkata: “tidak ada masalah banyaknya sebab turun pada satu ayat”. Misalnya
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas
dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalur Sahal bin
Sa‘ad tentang qazaf (tuduhan) seorang suami kepada istrinya melakukan zina
yang ada pada ayat enam dari surat an-Nūr ayat 6. Dari kedua riwayat ini maka
caranya adalah dikompromikan. Lebih utama mengkompromikan daripada
meninggalkan salah satunya, sebab tidak ada halangan untuk mengambil
keduanya. Dan juga tidak boleh menolak keduanya, karena keduanya sama-
sama sahih dan tidak ada ta’ārud} (pertentangan). Di samping itu tidak
dibenarkan mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya karena, itu
merupakan tarjih tanpa ada murajjih (yang menguatkan).

10
Bentuk keempat, jika dua riwayat sama-sama sahih, tidak ada murajjih
(yang menguatkan) dan tidak bisa mengambil salah satunya karena sebab-sebab
turunnya tersebut waktunya berjauhan, maka dalam ini kita (az-Zarqani)
pahami sebagai berulangnya turunnya ayat dengan banyaknya asbāb an-nuzūl.
Seperti hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan al-Bazzar dari jalur Abu
Hurairah dan riwayat yang dikeluarkan oleh Tirmizi dan Hakim dari jalur Abu
bin Ka‘ab mengenai balasan atas gugurnya sahabat di perang Uhud. Ini terekam
dalam surat an-Nahl ayat 126. Maka dari kedua riwayat tersebut tidak masalah
bila dikatakan bahwa banyaknya waktu turun, satu diturunkan pada perang
Uhud dan satunya pada hari Fathul Makkah.
Contoh turunnya Q.S. Al-Ikhlas ayat 1-4 yang berbunyi:
)٤( ٌ‫) َولَ ْم يَكُ ْن لَهُ كُفُ ًوا أَ َحد‬٣( ْ‫) لَ ْم يَ ِلدْ َولَ ْم يُولَد‬٢( ُ‫ص َمد‬ ُ َّ )١( ٌ‫ّٰللا أَ َحد‬
َّ ‫ّٰللا ال‬ ُ َّ ‫قُلْ ه َُو‬
Artinya: Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah adalah
tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tiada berada beranak dan
tiada pula di peranakkan. Dan tiada seoarangpun yang setara dengan dengan
dia.”
Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan
terhadap orang-orang musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum
ahli kitab yang ditemui di madinah setelah hijrah. Contoh yang lain:
“peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha. Berdirilah
untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’”.
Ayat di atas menurut riwayat diturunkan berkaitan dengan beberapa
sebab berikut;
a. Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa nabi saw. Shalat dzuhur
di waktu hari yang sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat
dirasakan oleh para sahabat. Maka turunnlah ayat tersebut di atas.
(HR. Ahmad, bukhari, abu daud).
b. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi saw.. Shalat dzuhur di
waktu yang sangat panas. Di belakang rasulullah tidak lebih dari satu
atau dua saf saja yang mengikutinya. Kebanyakan diantara mereka
sedang tidur siang, adapula yang sedang sibuk berdagang. Maka
turunlah ayat tersebut diatas (HR.ahmad, an-nasa’I, ibnu jarir).

11
c. Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada
orangorang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di
sampingnya saat meraka shalat. Maka turunlah ayat tersebut yang
memerintahkan supaya diam pada waktu sedang shalat (HR.
Bukhari muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’I dan ibnu majah).
d. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang
bercakapcakap di waktu shalat, dan ada pula yang menyuruh
temannya menyelesaikan dulu keperluannya(di waktu sedang
shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang memerintahkan supaya
khusyuk ketika shalat.
E. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid
Maksudnya adalah satu sebab yang mekatarbelakangi turunnya
beberapa ayat. Contoh: Q.S. Ad-dukhan/44: 10,15 dan16, yang berbunyi:
‫۝‬ ٍ ‫فَارْ تَقِبْ يَ ْو َم تَأْتِى ال َّس َم ۤا ُء بِدُخ‬
١٠ ‫َان ُّمبِي ٍْن‬
Artinya: “maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang
nyata”.
١٥ َ‫ع ۤا ِٕىد ُْو ْۘن‬
‫۝‬ ِ ‫اِنَّا َكاشِ فُوا ْال َعذَا‬
َ ‫ب قَ ِلي ًْل اِنَّكُ ْم‬
Artinya: “sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan itu
agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar)”.
١٦ َ‫ط َشةَ ْالكُب ْٰر ۚى اِنَّا ُم ْنتَ ِق ُم ْون‬
‫۝‬ ْ َ‫ْطِش ْالب‬
ُ ‫يَ ْو َم نَب‬
Artinya: “(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan
hantaman yang keras. Sesungguhnya kami memberi balasan”.
Asbab an-nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah; dalam suatu riwayat
dikemukakan, ketika kaum Quraisy durhaka kepada nabi saw.. Beliau berdo’a
supaya mereka mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah
terjadi pada zaman nabi yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan,
sampaisampai merekapun makan tulang, sehingga turunlah (QS. Ad-
dukhan/44: 10). Kemudian mereka menghadap nabi saw untuk meminta
bantuan. Maka rasulullah saw berdo’a agar di turunkan hujan. Akhirnya
hujanpun turun, maka turunnlah ayat selanjutnya (QS. Ad-dukhan/44: 15),
namun setelah mereka memperoleh kemewahan merekapun kembali kepada
keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah ayat ini (QS. Ad-dukhan/44:

12
16) dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu
perang badar.
Terkadang ada satu peristiwa tapi ayat yang turun banyak. Semisal hadis
yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Hakim dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, saya tidak mendengar Allah menyebutkan sesuatu kepada
kaum wanita tentang hijrah”, maka Allah menurunkan ayat 195 dari surat Ali
‘Imrān yang artinya “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-
orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”. Diriwayatkan juga
oleh Hakim dari Ummu Salamah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, laki-laki
disebutkan sedang perempuan tidak di sebut”, maka turunlah surat al-Ahzab
ayat 34 yang artinya “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”.
Dan surat Ali ‘Imrān ayat 195: “Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-
nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.
Dan diriwayatkan juga dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata: “Laki-
laki berperang dan perempuan tidak berperang, dan kita mendapat warisan
nishf (setengah)”, maka Allah menurunkan ayat 32 dari surat an-Nisā: “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” dan ayat 35 dari
surat al-Ahzāb “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”.

F. Al ibrah bi‘umum Al lafzhi la bi khusus al sabab


Keumuman Lafal dan Kekhususan Sebab Apabila ayat yang diturunkan
sesuai dengan sebab secara umum atau sesuai dengan sebab secara khusus,
maka yang umum (‘ām) diterapkan pada keumumannya dan khusus (khās) pada
kekhususannya. Contoh yang pertama firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat
222:
َ‫ط ُهرْ ۚن‬ ۙ ِ ‫ْض قُلْ ه َُو اَذً ۙى فَا ْعت َِزلُوا النِ َس ۤا َء فِى ْال َمحِ ي‬
ْ َ‫ْض َو ََل تَ ْق َرب ُْوهُنَّ َحتّٰى ي‬ ِ ‫ع ِن ْال َمحِ ي‬
َ َ‫َويَسْـَٔلُ ْونَك‬
‫۝‬
٢٢٢ َ‫ط ِه ِريْن‬ َ َ‫ّٰللا يُحِ بُّ التَّ َّوابِيْنَ َويُحِ بُّ ْال ُمت‬ ُ ّٰ ‫ْث اَ َم َركُ ُم‬
َ ّٰ َّ‫ّٰللا اِن‬ ْ َّ‫طهَّرْ نَ فَأْت ُ ْوهُن‬
ُ ‫مِن َحي‬ َ َ‫فَ ِاذَا ت‬

13
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu
adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Anas berkata: Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan
dari rumah, tidak di beri makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh
bersama-sama. Lalu Rasulullah di tanya tentang hal itu, maka Allah
menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid, kemudian kata
Rasulullah: ‫“ جامعوهن فى البيوت واصنعوا كل شئ إال النكاح‬Bersama-samalah dengan
mereka di rumah dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.”
Contoh kedua ialah firman-Nya dalam Qur’an Surat Al Lail:
‫ ِإَلَّ ا ْبتِغَاء َوجْ ِه َربِ ِه‬-‫ َو َما ِأل َ َح ٍد عِندَهُ مِن نِ ْع َم ٍة تُجْزَ ى‬-‫ الَّذِي يُؤْ تِي َمالَهُ يَتَزَ َّكى‬-‫َو َسيُ َجنَّبُ َها األَتْقَى‬
‫ضى‬ َ ْ‫ف يَر‬ َ ‫ َولَ َس ْو‬-‫األ َ ْعلَى‬
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya
yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena
mencari keridaan Tuhannya yang Maha Tinggi, dan kelak dia
benarbenar mendapat kepuasan”.
Ayat-ayat ini diturunkan mengenai Abu Bakar, karena kata al-atqā
(orang yang paling taqwa) menurut tasrif berbentuk af‘ala untuk menunjukkan
superlatif, tafdīl yang disertai al-‘ahdiyah (kata sandang yang menunjukkan
bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia
dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-
Wahidi berkata: al-atqā adalah Abu Bakar as-Siddiq menurut pandangan para
ahli tafsir.
Adapun jika sebab itu khusus sedangkan ayat yang turun berbentuk
umum, maka ada ikhitilāf (perselisihan) antara ahli usul mengenai apakah al-

14
‘ibrah bi ‘umūm al-lafzhi atau bi khusūs as-sabab (yang harus diperhatikan
keumuman lafal atau kekhusuan sebab)?
Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan
adalah ‘ibrah bi ‘umūm al-lafzhi (yang harus diperhatikan keumuman lafal).
Seperti turunnya ayat zhihār dalam kasus Salamah bin Sakhr, ayat li‘ān dalam
masalah Hilal bin Umayah dan juga ayat tentang seorang wanita yang mencuri
pada zaman nabi. Kesemua peristiwa di atas berlaku umum untuk semua orang
tanpa kecuali, bukan hanya sebatas pada Salamah bin Shakhr, Hilal bin Umayah
ataupun wanita yang mencuri pada zaman nabi (as-Saraqah).
Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘ibrah bi khushūs as-
sabab (yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab). Mereka berkomentar
bahwa kasus zhihār, li‘ān, dan wanita yang mencuri pada zaman nabi itu hanya
berlaku bagi mereka saja, tidak berlaku bagi yang lain. Oleh karenanya harus
dicarikan dalil lain dengan menggunakan qiyās (analogi).

G. Urgensi mengetahui Asbabun Nuzul


Asbab An-nuzul mempunyai arti penting dalan menafsirkan Al-Qur’an.
Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami
riwayat asbab an-nuzul suatu ayat. Al-Wahidi (W.468H/1075M) sorang ulama
klasik dalam bidang ini mengemukakan; “pengetahuan tentang tafsir dan ayat-
ayat tidak mungkin, jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa
dan penjelasan dengan turunnya suatu ayat. Sementara ibnu daqiq al-id
menyatakan bahwa penjelasan asbab an-nuzul merupakan salah satu jalan yang
baik dalam rangka memahami al-qur’an. Pendapat senada di ungkapkan oieh
ibnu taimiyah bahwa mengetahui asbab annuzul akan menolomg seorang dalam
upaya memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan melahirkan
pengetahuan tentang akibat.
Pemahaman asbab an-nuzul akan sangat membantu dalam memahami
konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada
kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan
semakin besar jika mengabaikan riwayat asbab an-nuzul.
Muhammad chirzin dalam bukunya: al-qur’an dan ulum al-qur’an
menjelaskan, dengan ilmu asbab an-nuzul. Pertama, seorang dapat mengetahui

15
hikmah di balik syariat yang di turunkan melalui sebab tertentu. Kedua, seorang
dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang
mendahului turunnya suatu ayat. Ketiga, seorang dapat dapat menentukan
apakah ayat mengandung pesan khusus atau umumdan dalam keadaan
bagaimana ayat itu mesti di terapkan. Keempat, seorang dapat menyimpulkan
bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah dan selalu
bersama para hambaNya.
Study tentang asbab an-nuzul akan selalu menemukan relevansinya
sepanjang peradaban perjalanan manusia, mangingat asbab an-nuzul manjadi
tolak ukur dalam upaya kontekstualisasi teks-teks al-qur’an pada setiap ruang
dan waktu serta psiko-sosio-historis yang menyertai derap langkah kehidupan
manusia. Lebih lanjut sebagaimana dijelaskan oleh manna khalil al-qattan
dalam bukunya mabahith fi ulum al-qur’an diantara faedah ilmu asbab an-nuzul
dalam dunia pendidikan, para pendidik mengalami banyak kesulitan dalam
penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik
supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh
potensi intelektualnya terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran.
Asbab an-nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi,
atau berupa pertanyaan yang di sampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui
hukum suatu masalah, sehingga al-qur’an pun sesudah terjadi peristiwa atau
pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat suatu
pengantar dengan sesuatu yang baru dan di pilihnya; sebab bila ia
menyampaikan sebab asbab an-nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk
membangkitkan perhatian, minat menarik memusatkan potensi intelektual dan
menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong
mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahamai pelajaran itu secara umum dengan
mengetahui asbab an-nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang
menarik. Dengan demikian jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa
yang rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya,
yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia kejakan kehidupan lurus,
jalan menuju kekuatan kemuliaan dan kebahagiaan.

16
Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran di bangku-
bangku sekolah atau punpendidikan umum,dalam memberikan bimbingan dan
penyuluhan perlu memanfaatkan konteks asbab an-nuzul untuk memberikan
rangsangan kepada anak didik yang temgah belajar dan masyarakat umum yang
di bimbing. Cara demikian merupakan cara paling bermanfaat dan efektif untuk
mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan menggunakan metode
pemberian pengertian yang paling menarik.

17
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk
memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Alquran dan memberinya konteks
dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya
melingkupi peristiwa pada masa Alquran masih turun (ashr at-tanzil). Dari segi
jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat kita bagi kepada; Ta’addud
Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid danTa’adud an-nazil wa al-asbab wahid.Ungkapan-
ungkapan atau redaksi yang di gunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan
turunnya al-qur’an tidak selamanya sama. Redaksi itu secara garis besar
dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Sarih (jelas) dan Muhtamilah (masih
kemungkinan atau belum pasti).Asbab an-nuzul mempunyai arti penting dalan
menafsirkan al-qur’an. Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik jika
tidak memahami riwayat asbab an-nuzul suatu ayat. Pemahaman asbab annuzul
akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting
untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang
terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat asbab an-
nuzul.
Paling sedikit ada tiga kemungkinan mengapa tidak seluruh ayat al-Qur’an
dapat diketahui sebab-sebab yang melatarbelakangi penurunannya. Kemungkinan
pertama tidak semua hal yang bertalian dengan proses turun al-Qur’an ter-cover
oleh para sahabat yang langsung menyaksikan proses penurunan wahyu al-Qur’an.
Kedua, penyaksian para sahabat terhadap hal-hal yang berkenaan dengan proses
penurunan wahyu al-Qur’an tidak semuanya dicatat. Ketiga, terbuka lebar
kemungkinan ada sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang penurunannya memang tetap
dipandang tepat dengan atau tanpadikaitkan langsung dengan suatu peristiwa/untuk
mengenali sebab nuzul ayat, selain bisa ditelusuri melalui sejumlah kitab tafsir,
atau dengan pertanyaan yang mendahuluinya.
Para mufassirūn (para ahli tafsir) telah memperhatikan dan memberikan
pembahasan khusus masalah asbāb an-nuzūl dalam buku-buku mereka. Mereka
mengatakan tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat tanpa bersandar kepada

18
kisah dan penjelasan sebab turunnya. Adapun faedah-faedah mengetahui asbāb
annuzūl, diantaranya: Pertama, membantu dalam memahami ayat
dan menghilangkan kesulitan. Semisal firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah
ayat 115 di atas. Kedua, pengkhususan hukum dengan sebab (takhsīs al-hukm bi
as-sabab) bagi yang menganut paham al- ‘ibrah bi khusūs as-sabab lā bi ‘umūm al-
lafzhi (ketentuan berlaku untuk kekhususan sebab, bukan pada keumuman lafal.
Ketiga, dengan sabab nuzūl berfungsi untuk mengetahui ayat ini diturunkan
kepada siapa, sehingga tidak terjadi keraguan yang akan
mengakibatkan penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan
membebaskan tuduhan terhadap orang yang bersalah. Keempat, pemudahan
hafalan, pemahaman dan pengukuhan wahyu dalam benak setiap orang
yang mendengarnya, jika ia mengetahui sebab turunnya. Karena hubungan antara
sebab dan akibat, hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya,
semua itu merupakan faktor-faktor pengokohan sesuatu dan terpahatnya dalam
ingatan.
Maka dari itu terlepas dari sikap pro-kontra para pakar ulumul al-Qur’an
akan keberadaan ilmu asbab an-nuzul berikut urgensifungsionalnya, yang pasti
ilmu asbab an-nuzul telah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu
al-Qur’an secara keseluruhan, dan keberadaannya sama sekali tidak merugikan
penafsiran dan justru semakin memperkaya dalam penafsiran.

19
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad. Studi Ilmu Al-Quran. Bandung: Pustaka
Setia,1998
Anwar, Rosihon. Ulumul Quran. Cet, III. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Al Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’ān. terj. Mudzakir, Bogor: Litera
Antar Nusa, 2007.
Al Qardawi, Yusuf. Bagaimana Berinterakasi dengan Al-Qur’ān. terj. Kathur
Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000.
As Salih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. terj. Tim Pustaka Firdaus,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
As Suyūti, Al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Beirūt: Dār al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 2000.
As Suyuthi, Jalaluddin. Asbabun Nuzul. Alih Bahasa oleh Tim Abdul Hayyie,
Sebab-sebab Turunnya al-Qur’ an. Cet.1, Jakarta: Gema insani, 2008
Al Wahidi. Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān. Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001.
Az Zarkasyi. al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Juz 1, Al-Qāhirah: Maktabah Dār at-
Turās, t.t.
Az-Zarqāni. Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān. Al-Qāhirah: Dār alHadīs,
2001.
Channa AW, Dra liliek. Ulum Qur’an dan Pembelajarannya. Surabaya: Kopertais
IV Press, 2010.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’ān dan Ulumul Qur’ān. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’ān/Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang, 1980.
Manzur, Ibnu. Lisān al-‘Arab. Beirūt: Dār Sādir, jilid 7, t.t.
KH. Shaleh, Qamaruddin, M. D. Dahlan, Dkk. Asbabun Nuzul. Bandung:
Diponegoro, 2004
Qattan, Manna’ Khlil. Mabahith Fi ‘Ulumi al- Qur’an. Alih Bahasa oleh Mudzakir
AS, Studi Ilmu- Ilmu al-Qur’an. Bogor: Litera Antar Nusa.Halim Jaya,
2007.
Rohman, Abid, M. Fil. I, dkk. Studi al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres,
2011

20
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’ān. Jakarta: Rajawali Pers, 2013

21

Anda mungkin juga menyukai