Anda di halaman 1dari 49

PEMBAHASAN ASBABUN NUZUL

2.1 Pengertian Asbabun Nuzul


Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-
Qur’an. Kalimat Asbabun Nuzul berasal dari gabungan dua kalimat atau dalam bahasa arab
disebutnya kalimat idhafah. Kalimat ‘Asbab’ jamak dari ‘Sababa’ yang artinya sebab-sebab, dan
nuzul berarti turun. Yang dimaksud disini adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut istilah (terminologi) asbabun nuzul memiliki banyak pengertian, diantaranya :

1. Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, seorang ahli tafsir, mendefinisikan asbabun nuzul
adalah suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang kemudian turun ayat
yang membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum mengenai peristiwa itu,
2. Definisi menurut Dr. Subhi Shaleh ialah
asbabun nuzul itu suatu perkara yang menyebabkan turunnya ayat, baik berupa jawaban
ataupun sebagai penjelasan yang diturunkan saat peristiwa itu terjadi.
3. Ash-Shabuni mendefinisikan asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya beberapa ayat yang berhubungan dengan kejadian itu, baik berupa
pertanyaan yang diajukan kepada nabi SAW ataupun kejadian yang berkaitan dengan
urusan agama.
4. Manna’ Al-Qattan mendefinisikan asbabun nuzul adalah suatu hal yang karena hal itu
Qur’an diturunkan untuk menjelaskan hukumnya pada masa hal itu terjadi, baik berupa
peristiwa ataupun pertanyaan.
5. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa asbabun nuzul adalah konsep, teori, atau berita
tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-qur’an kepada nabi saw, baik
berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau satu surat.
Dari semua pengertian atau definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asbabun nuzul adalah
kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi apa-apa yang turun dalam al-qur’an dalam rangka
menjawab, menjelaskan atau memberikan keterangan tentang persoalan ataupun peristiwa.

Mengutip pengertian dari Dr. Subhi Shaleh, kita dapat mengetahui ada kalanya asbabun nuzul
berupa peristiwa atau juga berupa pertanyaan. Asbabun nuzul berupa peristiwa itu terbagi
menjadi 3, yaitu :

1. Peristiwa berupa pertengkaran


Kisah turunnya surat Ali-Imran : 100 , yang bermula dari adanya perselisihan antara Suku Aus
dan Suku Khazraj, Perselisihan ini timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan orang –orang Yahudi,
sehingga mereka meneriakkan “Senjata, Senjata”.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius, contohnya peristiwa seseorang yang mengimami
sholat dalam keadaan mabuk, sehingga salah dalam membaca surat Al-Kafirun. Peristiwa
ini menyebabkan turunnya surat An-Nisa’: 43.
3. Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, contohnya keinginan Umar bin Khattab ingin
menjadikan makam nabi Ibrahim sebagai tempat sholat yang dikemukakan kepada Nabi
SAW dan dijawab dengan turun ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 125 :
4.
Hal ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Anas ra.

Asbabun Nuzul dalam bentuk pertanyaan ada 3 macam, yaitu :

1. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti :

َ ‫َو َي ْسأَلُونَكَ َعن ذِي ْالقَ ْرنَي ِْن قُ ْل‬


‫سأَتْلُو َعلَ ْي ُكم ِم ْنهُ ِذ ْكرا‬

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah : Akan


kubacakan kepadamu kisahnya.” (QS. Al-Kahfi : 83).

2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi pada saat itu, contohnya
ayat :

‫ح ِم ْن أ َ ْم ِر َربِي َو َما أُوتِيتُم ِمن ْال ِع ْل ِم إِالَّ قَ ِليل‬ ُّ ‫َويَ ْسأَلُونَكَ َع ِن‬
ُّ ‫الروحِ قُ ِل‬
ُ ‫الرو‬
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah : Ruh itu termasuk
urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)

3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang


Allah menurunkan surah al-Nazi’at (79) ayat 42 yang berkaitan dengan pertanyaan yang
diajukan kepada Rasulullah SAW tentang masa yang akan datang, yaitu hari kiamat

2.2 Macam-Macam Asbabun Nuzul

1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
2. Sarih (Jelas), maksudnya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul dengan
indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
‫…سبب نزول هذه اآلية هذا‬ …sebab turun ayat ini adalah

Telah terjadi.. maka turunlah ayat ‫حدث هذا… فنزلت اآلية‬


1. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti), artinya riwayatnya belum dipastikan
sebagai asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan.
(ayat ini diturunkan berkenan dengan) ‫نزلت هذه اآلية فى كذا‬

2. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya
ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul.
3. Beberapa sebab yang melatarbelakangi turunnya satu ayat
4. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat
Menurut Al-Zarqoni dan Al-Ja’bari, dilihat dari peristiwa yang terkait dapat dikelompokkan
sebagai berikut

1. Ayat yang diturunkan dengan mubtada’an – tanpa ada peristiwa yang terjadi saat ayat itu
diturunkan Allah SWT. Turunnya ayat ini semata-mata karena Allah memberikan petunjuk
kapada manusia. Kehendak-Nya untuk memberikan petunjuk inilah yang menjadi asbabun
nuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Ayat-ayat ini lebih banyak jumlahnya terutama
mengenai prinsip-prinsip keimanan, keislaman, dan akhlak yang luhur.
2. Ayat yang diturunkan Allah SWT dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu. Ayat ini
jumlahnya tidak banyak. Misalnya, Allah SWT menurunkan surah al-anfal (8) yang
menjelaskan berbagai persoalan mengenai perang, surah al-tholaq (65) yang
membicarakan masalah yang berkaitan dengan talaq. Peristiwa sebelum atau saat ayat
turun itu para mussafir menganggapnya sebagai asbabun nuzul.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul terbagi menjadi

 Ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu, dan ini persoalan
yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)
 Ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid ( ini persoalan yang terkandung dalam satu ayat atau
kelompok ayat lebih dari satu, sedangkan sebab turunnya satu)
 Redaksi Asbabun nuzul
Yang dimaksud dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula
kandungan hukum ayat.
Peristiwa atau pertanyaan yang disebut sebagai asbabun nuzul itu terjadi pada masa Rasulullah
SAW atau pada masa saat ayat al-qur’an diturunkan. Jadi kita mengetahui asbabun nuzul itu dari
penuturan para sahabat Nabi yang menyaksikan peristiwa itu. hal ini berarti asbabun nuzul
haruslah berupa riwayat yang dituturkan para sahabat. Para sahabat dalam menuturkan sebab
nuzul menggunakan ungkapan (redaksi) yang berbeda dari satu peristiwa dengan peristiwa
lainnya. Perbedaan ungkapan itu tentunya mengandung perbedaan makna yang memiliki
impikasi pada status sebab nuzulnya.
Macam-macam ungkapan (redaksi) yang digunakan para sahabat untuk menuturkan sebab
nuzulnya , antara lain :

1. Kata ‫( سبب‬sebab) , contohnya


‫س َببُ نُ ُز ْو ِل هَـ ِذ ِه االَ َي ِة كــذَا‬
َ (sebab turunnya ayat ini)
Ungkapan (redaksi) ini disebut ungkapan (redaksi) yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya, sebab
nuzul yang menggunakan redaksi ini, menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang turunnya
ayat tidak mengandung makna yang lain.

2. Kata ‫( فـــ‬maka) , contohnya


ُ‫َحدَثَتَ َكذَا َو َكذَا فَـنَزَ لَت اآليَة‬
(telah terjadi peristiwa ini dan itu maka turunlah ayat)
Ungkapan (redaksi) ini sama pengertiannya dengan penggunaan kata sababu, yakni sama-sama
sharih (jelas/tegas).

3. Kata ‫( في‬mengenai/tentang) , contohnya


‫ت َه ِذ ِه اآليَةُ فِ ْي َكذَا و كَـذَا‬
ْ َ‫نَزَ ل‬
(ayat ini turun mengenai ini dan itu)
Ungkapan seperti ini tidak secara tegas (ghairu sharih) menyebutkan sebab turunnya ayat. Masih
terdapat kemungkinan terkandung makna lain.
 Satu Ayat dengan Sebab Banyak
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab turunnya ayat-ayat dan masing-masing
menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat
ini harus diteliti dan dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk, yakni :
 Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan yang lainnya tidak.
 Kedua, kedua riwayatnya shahih akan tetapi salah satunya memiliki penguat (Murajjih)
dan yang lainnya tidak
 Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak memiliki penguat (Murajjih).
Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus.
 Keempat, keduanya shahih dan keduanya tidak memiliki penguat (Murajjih),akan tetapi
keduanya tidak mungkin diambil sekaligus.
 Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab
Terkadang banyak ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu. Karena itu banyak ayat yang
turun dalam berbagai surat mengenai satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh
Said bin Manshur, Abdurrazaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Ath-
Tharbani, dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata :
“Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebut kaum perempuan sedikitpun
mengenai hijrah. Maka Allah Menurunkan QS. Ali-Imran :195 untuk menjawabnya.”
Begitu pula dengan hadist yag diriwayatkan Ahmad, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ath-Thabrani
dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah, ia berkata : “Aku telah bertanya, Wahai Rasulullah,
mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti kaum laki-laki? ‘Maka pada suatu
hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan: “Sungguh,
laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan
yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
Menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Al-Hakim meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: “Kaum laki-laki berperang sedang
perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian dibanding
laki-laki. Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang
telah Dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki
ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisaa’ : 32)

Ketiga ayat di atas diturunkan karena satu sebab.

 Beberapa Ayat yang Turun Mengenai Satu Orang


Terkadang seorang sahabat mengenai peristiwa lebih dari satu kali dan Al-Qur’an turun
mengenai satu peristiwa,maka dari itu kebanyakan al-quran turun sesuai dengan peristiwa yang
terjadi, misalnya seperti apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al-adahi mufiat tentang
berbakti kepada orang tua, dari Saad bin Abi Waqos ada empat ayat al-quran turun berkenaan
dengan aku :

Pertama, ketika ibuku bersumpah dia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan
Muhammad lalu Allah menurunkan ayat, ” Dan jika memaksamu untuk mempersekutukan aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya dan pergilah keduanya di dunia dengan baik.”(luqman:15)

Kedua, ketika aku mengambil sebuah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada
Rasulullah, ”berikan aku pedang ini” maka turunlah ayat. Mereka bertanya kepadamu tentang
pembagian harta rampasan perang (al-anfal:01).
Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah mengunjungiku dan aku bertanya kepada beliau:
”Rasulullah aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuh nya?” Beliau
menjawab: ”tidak” aku bertanya: ”bagaimana jika sepertiganya?” Rasulullah diam. maka wasiat
dengan sepertiga harta itu diperbolehkan.

Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khomr) bersama kaum ansor, seorang
memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rasulullah , maka Allah
swt melarang minum khomr. Dalam hal ini telah turun wahyu yang sesuai dengan banyak ayat.

2.7 Turunnya Surat Al-Qur’an Yang Pertama Sampai Yang Terakhir

A.Para ulama berbeda pendapat tentang surah yang pertama kali turun:

1. Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana
diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa
Nabi telah tersusun surah-surahnya secara terib sebagaimana terib ayat-ayat nya, seperti
yang ada di tangan kita saat ini, yaitu mushaf Usman yang tidak ada seorang sahabat pun
menentangnya, ini telah menunjukan terjadi kesepakatan( ijma) atas tertib surah, tanpa
suatu perselisihan apapun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasululloh telah membaca beberapa surah secara
tertib di dalam shalat nya, Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca
beberapa surah mufassal (surah-surah pendek) dalam satu rokaat shalat.

Telah di riwayatkan melalui Ibn Wahab berkata : “aku mendengar Rabi’ah di tanya orang,
‘mengapa surah al-baqarah dan ali-imran didahulukan , padahal sebelum kedua surah itu telah
diturunkan delapan puluh sekian surah makkiyah, sedang keduanya di turunkan di madinah” ia
menjawab: kedua surah itu memang didahulukan dan Al-Qur’an di kumpulkan menurut
pengetahuan dari oraang yang mengumpulkannya. ‘kemudian katanya: ini adalah sesuatu yang
mesti terjadi dan tidak perlu di pertanyakan.

2. Dikatakan bahwa tertib surah berdasarkan para ijtihad para sahabat, mengingat adanya
perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka, misalnya mushaf Ali disusun menurut
tertib nuzul yakni dimulai dengan iqra’, kemuin mudatsir lalu nun , Qalam kemudian
muzammil, dan seterus nya hingga akhir surah makkiyah dan madaniyah.
3. Dikatakan bahwa sebagaian surah itu terbitnya tauqifi dan sebagian lain nya berdasarkan
ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukan tertib sebagian surah
pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukan tertib as-sab’ut tiwal dan al-
mufassol pada masa hidup Rasulullah.
Di riwayatkaan,
Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, al-baqarah dan ali-imran
Di riwayatkan lagi:
Bahwa jika hendak pergi ke tempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya
kemudian meniup lalu membaca Qul huwallahhua ahad dan mu’awwidzatain.
Dengan demikian, tetaplah tertib bahwa surah-surah itu bersifat taufiqqi, seperti halnya tertib
ayat-ayat Abu Bakar Ibnu Hambali menyebutan: “Allah telah menurunkan Al-Qur’an seluruhnya
ke langit dunia, kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selam dua puluh sekian
tahun. Sebuah surat turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayat pun turun sebagai jawaban
bagi orang yang bertanya, sedangkan jibril senantiasa memberitahukan kepada nabi dimana
surah dan ayat tersebut harus di tempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti
halnya susunan ayat-ayat dan gaya bahasa al-qur’an, seluruhnya berasal dari nabi, oleh karena itu
barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirkannya, ia telah merusak tatanan al-
qur’an.

1. Ayat yang terakhir turunnya


Ayat yang pengabisan turunnya menurut pendapat jumhur ialah:

Surah al-ma’idah yang artinya;pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku
telah cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Aku pilih islam menjadi agamamu.

Apa yang kami terangkan ini adalah pendapat yang masyhur dalam masyarakat. Pendapat ini
memberi pengertian bahwa akhir turun al-Quran, ialah pada hari arafah. Menurut sebagian ahli,
bahwa ayat yang tersebut di atas ini turun di arafah. Diantara hari arafah dengan wafat Rasul
masih lama lagi yaitu 81 malam.

Al-kirmani dalam al-burhan mengatakan: tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah
menurut Allah pada lauh mahfudz, Qur’an sudah meniru tertib ini , dan menurut tertib ini pula
nabi membacakan di hadapan jibril setiap tahun apa yang di kumpulkannya dari jibril itu, nabi
membacakan di hadapan jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatanya sebanyak dua kali.

Ayat yang terakhir kali turun ialah surah al-baqarah ayat 281: dan peliharalah dirimu dari
(azab yang terjadi) hari yang pada waktu itu semua dikembalikan pada Allah. Lalu jibril
memerintahkan kepadanya untuk meletakan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang-
piutang.

Surah-surah Al-Qur’an itu ada empat bagian:


1) At-tiwal ( lebih panjang dari yg lain,diturunkan dtmpt yg berbeda,sedikit demi sedikit)
yunus
2) Al-mi’un ( surah2 Alqur’an yg ayatnya seratusan karena surah ini melalui pengamatan
khalifah)
3) Al-masani (dibaca berulang ulang)Alfatehah
4) Al-mufass (
Jumlah surah al-Qur’an ada 114 surah. Dan di katakan pula 113, karena surah anfal dan bara’ah
dianggap satu surah, adapun jumlah ayat nyasebanyak 6.200.ayat terpanjang adalah ayat tentang
utang-piuang, sedang surah terpanjang adalah surah al-baqarah.

2.8 Definisi Ilmu Makiyah dan Madaniyah

Ilmu Makiyy wal Madany adalah ilmu yang membahas tentang surat-surat dan ayat-ayat yang
diturunkan di Mekkah dan yang diturunkan di Madinah. Di kalangan ulama terdapat beberapa
pendapat tentang dasar untuk menentukan Makiyyah atau Madaniyah suatu surat atau ayat.

1. Ciri-ciri khas Surat Makkiyah


Sesuai dengan dhabit qiasi yang telah ditetapkan,maka cirri-ciri khas untuk surat Makkiyah

ada 2 macam:

a.Ciri-ciri khas yang bersifat qath’I bagi surat Makkiyah ada 6, Sebagai berikut :

1. Setiap surat yang terdapat ayat sadjah di dalamnya,adalah surat Makkiyah. Sebagian ulama
mengatakan,bahwa jumlah ayat sajdah ada 16 ayat.
2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata “kalla”adalah Makkiyah.
3. Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafal: dan tidak ada, adalah makkiyah, kecuali surat
al-Hajj. Surat al-Hajj ini sekalipun pada ayat 77 terdapat, tetapi surat ini tetap dipandang
Makkiyah.
4. Setiap surat yang terdapat kisah-kisah Nabi dan umat manusia yang terdahulu, adalah
Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah.
5. Setiap surat yang terdapat di dalamnya kisah Nabi Adam dan iblis adalah makkiyah,
kecuali surat al-Baqarah.
6. Setiap surat yang di dahului dengan hurup Tahajji (hurup abjad), adalah Makkiyah, kecuali
surat al-Baqarah dan Ali-Imran.
Tentang surat al-Ra’du masih dipermasalahkan, tetapi menurut pendapat yang lebih kuat, bahwa
surat al-Ra’du itu Makkiyah, karena melihat gaya bahasa dan kandungannya. Karena ciri diatas
dengan beberapa pengecualian merupakan cirri-ciri yang qath’i bagi surat Makkiyah, yang tepat
benar penerapannya.

b.Ciri-ciri Khas yang bersifat Aghlabi bagi Surat Makkiyah

Ada beberapa ciri khas lagi bagi surat Makkiyah,tetapi hanya bersifat Aghlabi, artinya pada
umumnya ciri tersebut menunjukan Makkiyah,yaitu:

1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek (ijaz),nada perkataannya keras dan agak


bersajak.
2. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari Kiamat dan menggambarkan
keadaan Surga dan Neraka.
3. Mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia dan berjalan diatas jalan yang baik.
4. Membantah orang-orang yang Musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan
kepercayaan dan perbuatannya.
5. Terdapat banyak lafal sumpah.
6. Ciri-ciri khas bagi surat Madaniyah
Ciri-ciri khas yang membedakan antara surat Madaniyah dan Makkiyah ada yang bersifat Qath’I
dan ada yang bersifat Aghlabi.

a.Ciri-ciri surat Madaniyah yang bersifat qath’I adalah sebagai berikut :

1. Setiap surat yang mengandung izin berjihad atau menyebut hal perang dan menjelaskan
hukum-hukumnya,adalah Madaniyah.
2. Setiap surat yang memuat penjelasan secara rinci tentang hukum pidana,faraid,hak-hak
perdata,peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata,kemasyarakatan dan
kenegaraan adalah Madaniyah.
3. Setiap surat yang menyinggung hal ikhwal orang-orang munafik,adalah Madaniyah,
kecuali surat al-Ankabut yang diturunkan di Mekkah, hanya sebelas ayat yang pertama
dari surat al-Ankabut ini adalah Madaniyah, dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal
orang-orang munafik.
4. Setiap surat yang membantah kepercayaan/pendirian/tata cara keagamaan Ahlul Kitab
(Kristen dan Yahudi) yang dipandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebih-
lebihan dalam menjalankan agamanya,adalah Madaniyah. Seperti surat al-Baqarah,Ali-
Imran,an-Ni’sa,al-Maidah dan Taubat.
5. Adapun ciri-ciri khas yang bersifat Aghlabi untuk Madaniyah antara lain:
6. Sebagaian surat-suratnya panjang-panjang,sebagian ayat-ayatnya pun panjang-panjang dan
gaya bahasanya pun cukup jelas di dalam menerangkan hukum-hukum agama.
Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan hakikat-hakikat
keagamaan.

2.9 Cara Mengetahui periwayatan dalam Asbab an-Nuzul


Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak
boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian)
yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya
ayat al-Qur’an.
Al-wahidi berkata : “Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an
melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu
diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.

Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat
yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-
Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan
dengan pandangan ini.

Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat
diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan
hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya
hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih
dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab
turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.

Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah
ayat Yaa ayuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”
2.10 Kaidah Penetapan Hukum dikaitkan dengan Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat
kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui
sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin
menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga
mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat
menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara
untuk mengenal kiblat.
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang
yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-
Baqarah ayat 115.
2.11 Urgensi dan Faedah (Manfaat) dari mempelajari Asbabun Nuzul
Urgensi Asbabun Nuzul
1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw
dalam menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita
mereka
4. Sarana memahami ayat secara tepat.
5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di
hati orang yang mendengarnya.
9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an.
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam
keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan
Faedah Asbabun Nuzul
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus
mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
3. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang
bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
4. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung
dalam ayat tersebut.
5. Diketahui ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa
membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi
orang yang tidak bersalah.
6. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan
wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan

Ilmu sebab turunnya al-Qur’an adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulumul Qur’an.
Kajian tentang asbabunnuzul adalah bentuk dari analisis sejarah al-Qur’an, sebagai upaya untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an dari kontek kesejarahan, yakni peristiwa yang menjadi latar
belakang turunnya ayat, dengan berbagai macam ragamnya. Ayat-ayat yang turun berkaitan
dengan peristiwa tertentu, harus difahami dengan mengaitkan latar belakang peristiwanya, hal ini
tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Meskipun yang lebih banyak adalah ayat-ayat al-Qur’an
yang turun tanpa didahului oleh sebab tertentu. Asbabunnuzul berpengaruh besar terhadap
pemahaman makna ayat-ayat al-Qur’an.

Pengertian Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi apa-apa yang turun dalam
al-qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan atau memberikan keterangan tentang persoalan
ataupun peristiwa.

Macam-macam Asbabun Nuzul

Menurut Al-Zarqoni dan Al-Ja’bari, dilihat dari peristiwa yang terkait dapat dikelompokkan
sebagai berikut :

3. Ayat yang diturunkan dengan mubtada’an – tanpa ada peristiwa yang terjadi saat ayat itu
diturunkan Allah SWT. Turunnya ayat ini semata-mata karena Allah memberikan petunjuk
kapada manusia. Kehendak-Nya untuk memberikan petunjuk inilah yang menjadi asbabun
nuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut. Ayat-ayat ini lebih banyak jumlahnya terutama
mengenai prinsip-prinsip keimanan, keislaman, dan akhlak yang luhur.
4. Ayat yang diturunkan Allah SWT dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu. Ayat ini
jumlahnya tidak banyak. Misalnya, Allah SWT menurunkan surah al-anfal (8) yang
menjelaskan berbagai persoalan mengenai perang, surah al-tholaq (65) yang
membicarakan masalah yang berkaitan dengan talaq. Peristiwa sebelum atau saat ayat
turun itu para mussafir menganggapnya sebagai asbabun nuzul.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul terbagi menjadi

 Ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu, dan ini persoalan
yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu)
 Ta’addud al-nazil wa al-asbab wahid ( ini persoalan yang terkandung dalam satu ayat atau
kelompok ayat lebih dari satu, sedangkan sebab turunnya satu)
Macam-macam ungkapan (redaksi) yang digunakan para sahabat untuk menuturkan sebab
nuzulnya , antara lain :

4. Kata ‫( سبب‬sebab) , contohnya


‫س َببُ نُ ُز ْو ِل هَـ ِذ ِه االَ َي ِة كــذَا‬
َ (sebab turunnya ayat ini)
Ungkapan (redaksi) ini disebut ungkapan (redaksi) yang sharih (jelas/tegas). Maksudnya,
sebab nuzul yang menggunakan redaksi ini, menunjukkan betul-betul sebagai latar belakang
turunnya ayat tidak mengandung makna yang lain.

5. Kata ‫( فـــ‬maka) , contohnya


ُ‫َحدَثَتَ َكذَا َو َكذَا فَـنَزَ لَت اآليَة‬
(telah terjadi peristiwa ini dan itu maka turunlah ayat)

Ungkapan (redaksi) ini sama pengertiannya dengan penggunaan kata sababu, yakni sama-sama
sharih (jelas/tegas).

6. Kata ‫( في‬mengenai/tentang) , contohnya


‫ت َه ِذ ِه اآليَةُ فِ ْي َكذَا و كَـذَا‬
ْ َ‫نَزَ ل‬
(ayat ini turun mengenai ini dan itu)

Ungkapan seperti ini tidak secara tegas (ghairu sharih) menyebutkan sebab turunnya ayat. Masih
terdapat kemungkinan terkandung makna lain.

Jika ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab turunnya ayat-ayat dan masing-masing
menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat
ini harus diteliti dan dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk, yakni :

 Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan yang lainnya tidak.
 Kedua, kedua riwayatnya shahih akan tetapi salah satunya memiliki penguat (Murajjih)
dan yang lainnya tidak
 Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak memiliki penguat (Murajjih).
Akan tetapi keduanya dapat diambil sekaligus.
 Keempat, keduanya shahih dan keduanya tidak memiliki penguat (Murajjih),akan tetapi
keduanya tidak mungkin diambil sekaligus.
 Terkadang banyak ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu. Karena itu banyak
ayat yang turun dalam berbagai surat mengenai satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang
diriwayatkan oleh Said bin Manshur, Abdurrazaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir,
Ibnu Abu Hatim, Ath-Tharbani, dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah,
ia berkata :
 “Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebut kaum perempuan sedikitpun
mengenai hijrah. Maka Allah Menurunkan QS. Ali-Imran :195 untuk menjawabnya.”
Beberapa ayat al-qur’an ada yang turun mengenai satu orang, contohnya ayat-ayat al-qur’an
yang turun mengenai Saad Bin Abi Waqas.

Ilmu Makiyy wal Madany adalah ilmu yang membahas tentang surat-surat dan ayat-ayat yang
diturunkan di Mekkah dan yang diturunkan di Madinah

BAB II TAFSIR TAKWILTARJAMAH


PEMBAHASAN
A. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
keterangan atau uraian.
Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas
tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-
hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.
2. Kedudukan Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah
ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan
ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala
keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat
dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya
makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia,
haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang
terdapat dalam Kitab Allah SWT.
3. Pembagian Tafsir
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi
al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau
disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y.
1) Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber
dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal)
sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan
tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an,
menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para
tabi’in.
Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai
pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu
sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka
metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah
tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila
memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan
sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat
karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga
intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
a. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum
tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
b. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa
pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis
bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
c. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara
khusus dan berdiri sendiri.
Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir
inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak
mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan
judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul
Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul
Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul
Qur`aanul ‘Azhiim.
2) Tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y
Cara penafsiran Al Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu) dan
pengetahuan empiris. Tafsir ini menambahkan fungsi ijtihad dalam proses
penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur.
Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh
kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam
mempergunakan bahasanya. Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang
berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan
mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang
ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya.
Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan
alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai
dan digunakan dalam penafsiran ini.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi.
Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini,
sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas
pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-
batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap
golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz
yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua
orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam
perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya
sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan
pendapat pribadi.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad
semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya,
cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil
dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar
sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).
Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan
ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak
sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah
tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i,
Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan
Ashmi.
b. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur
b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir
mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia. Sedangkan
menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau
berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-
Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini
diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta
tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di
terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan
ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi
mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-
Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul
Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az
Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil
Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.
B. Ta’wil
1. Pengertian Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun
mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh
(ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh
itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif
kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada
ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.”
Sebahagian yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat
diterima oleh lafadh”
Contoh :
“Bahwasanya rabb mu sungguh memperhatikanmu”
Tafsirnya : “Bahwasanya Alloh senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan
keadaan hambanya”
Ta`wil : Menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempesiapkan
persiapan yang perlu.
2. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan
Ta’wil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih banyak
dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna
dan susunan kalimat.” Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna
lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna
Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan
bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil
menerangkan hakikat yang dikehendaki. Umpamanya firman Allah s.w.t.
“Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.”
(Q.A. 14. S. 89 . AlFajr).
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan
keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai,
dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu.
Kata segolongan pula : “Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut
dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan
dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-
undang bahasa ‘Arab.
Umpamanya firman Allah:
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (Q.A. 95.S. 6: Al An’am).
Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari
telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan
yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah ta’wil.
C. Terjemah
1. Pengertian Terjemah
Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan
pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam kitab Lisa al-’Arab:
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman
(dengan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu
memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan
oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut: Tarjamah ialah
mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa
dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa
pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1) Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-
lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib
bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2) Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal
atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui
bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin
dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya
tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang
lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.
2. Syarat-syarat terjemah
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah
harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1) Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa
pertama maupun bahasa terjemahnya
2) Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik
dari kedua bahasa tersebut
3) Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang
dikehendaki oleh bahasa pertama;
4) Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-
olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.

Persamaan Tafsir, Takwil dan Terjemah:


 Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat Al Qur’an
 Ketiganya sebagai sarana untuk memahami Al Qur’an

Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah:


 Tafsir
Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
Banyak berh ubungan dengan riwayat. Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
 Takwil
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
Kebanyakan diistinbath oleh para ulama. Banyak berhubungan dengan dirayat.
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
Menerangkan hakikat yang dikehendaki.
 Terjemah
Hanya mengubah kata-kata dari bahasa Arab kedalam bahasa lain tanpa memberikan
penjelasan arti kandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan dari isi
kandungannya.

BAB III
PENUTUP

 Kesimpulan
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk
memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-
hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya
sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-
Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-
Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari
bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah
dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan
lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau
surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
BAB II IJAZUL QUR’AN

PEMBAHASAN

A. Pengertian I’jazul Qur’an


I’jaz jika dilihat dari segi bahasa berasal dari kata (‫ يَ ْع ِج ُز‬- َ‫ ) َع ِجز‬yang artinya menetapkan
kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan
sesuatu, lawan dari (‫( )قدرة‬potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka
nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan).
Jadi, yang dimaksud I’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam
pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk
menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi
sesudah mereka. 1[1]
Sedangkan mukjizat adalah perkara luar biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak
mungkin dapat ditandingi oleh siapapun dan kapanpun.2[2]
Muhammad Bakar Ismail menegaskan:
“perkara luar biasa yang disertai dan diikuti dengan tantangan yang diberikan oleh Alloh
SWT. kepada nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran
terhadap apa yang diembanya, yang bersumber dari Alloh SWT”.3[3]

Unsure-unsur yang terdapat pada mu’jizat,sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab,


adalah sebagai berikut:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, misalnya yang terlihat sehari-hari walaupun menakjubkan,
tidak dapat dinamakan mu’jizat, karena hal itu merupakan suatu hal yang biasa. Yang
dimaksud dengan luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat
yang diketahui secara umum dan hukum-hukumnya. Dengan demikian, hipnotisme atau
sihir, misalnya walaupun terlihat ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, sihir itu
tidak termasuk dalam pengertian luar biasa dalam definisi di atas.
2. Terjadi atau di paparkan oleh seorang yang mengaku Nabi
Tidak mustahil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri siapa pun. Namun, apabila bukan
dari seseorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dikatakan mu’jizat. Sesuatu yang luar
biasa yang tampak pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi nabi pun tidak
dinamakan mu’jizat, tetapi irhash.

1[1] Manna’ khalil al-Qathan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, h. 285.

2[2] ibid., h. 289

3[3] Muhammad Bakar Isma’il, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, h. 395.


3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian
Tentu saja tantangan ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan
sebelum dan sesudahnya. Di sisi lain, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu
yang sejalan dengan ucapan sang nabi.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila orang-orang yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti pengakuan
sang penantang tidak terbukti. Perlu digaris bawahi disini bahwa kandungan tantangan
harus benar-benar dipahami oleh orang-orang yang ditantang. Bahkan, intuk lebih
membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek kemu’jizatan masing-masing nabi
sesuai dengan bidang kehlian umatnya.
Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada
masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai
firman Allah dan tidak percaya akan risalah Nabi SAW ajaran yang dibawanya. Terhadap
mereka sungguh pun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di
bidang bahasa Arab, Nabi mereka minta untuk menandingi Al-Qur’an namun tidak
seorangpun yang mampu menjawab dan menandingi, apalagi mengungguli tantangan itu. Ini
semua menujukan bahwa al-Qur’an bukanlah perkataan manusia melainkan sumber dari
Alloh SWT. sekaligus sebagai mukjizat terbesar bagi RosulNya, Muhammad s.a.w.
tantangan yang dimaksud ialah mencangkup baik dari segi sususnan, retorika, ataupun
redaksi bahasa dan lain-lainya. Hal ini dikemukakan oleh al-Qur’an sendiri melalui tiga tahap
dalam formulasi yang berbeda-beda, yaitu:
1. Menantang mereka dengan seluruh Al-Qur’an dalam uslub (metode) umum yang meliputi
orang arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan
kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya:

َ ‫ض‬
‫ظ ِهيرا‬ ُ ‫آن الَ يَأْتُونَ بِ ِمثْ ِل ِه َولَ ْو َكانَ بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم ِل َب ْع‬ ِ ‫نس َو ْال ِج ُّن َعلَى أَن يَأْتُواْ بِ ِمثْ ِل هَـذَا ْالقُ ْر‬
ُ ‫اإل‬
ِ ‫ت‬ِ َ‫قُل لَّئِ ِن اجْ ت َ َمع‬

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS Al-Israa':88).

2. Menantang mereka dengan sepuluh surat saja dari Al-Quran sebagaimana dalam firman-
Nya:

‫ فَإِن لَّ ْم‬.‫صا ِدقِين‬ َ ‫ُون ّللاِ إِن ُكنت ُ ْم‬ ِ ‫ط ْعتُم ِمن د‬ َ َ ‫ت َوادْعُواْ َم ِن ا ْست‬ ُ ‫أَ ْم يَقُولُونَ ا ْفت ََراهُ قُ ْل فَأْتُواْ بِعَ ْش ِر‬
ٍ ‫س َو ٍر ِمثْ ِل ِه ُم ْفت ََريَا‬
َ‫نز َل بِ ِع ْلم هللاِ َوأَن الَّ إِلَـهَ إِالَّ ه َُو فَ َه ْل أَنتُم ُّم ْس ِل ُمون‬ِ ُ ‫يَ ْست َِجيبُواْ لَ ُك ْم فَا ْعلَ ُمواْ أَنَّ َما أ‬.
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Qur’an itu”,
Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat
yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya)
selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.Jika mereka yang kamu seru
itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Qur’an
itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka
maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (QS. Hud :13-14)

3. Menantang mereka dengan satu surat saja dari Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:

َ ‫ُون ّللاِ إِن ُكنت ُ ْم‬


َ‫صا ِدقِين‬ َ َ ‫ورةٍ ِمثْ ِل ِه َوادْعُواْ َم ِن ا ْست‬
ِ ‫ط ْعتُم ِمن د‬ َ ‫س‬ُ ِ‫أ َ ْم يَقُولُونَ ا ْفت ََراهُ قُ ْل فَأْتُواْ ب‬

“Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah:


“(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya)
selain Allah, jika kamu orang yang benar.”(QS. Yunus : 38).
Tantangan ini diulang lagi dalam firman-Nya:

‫ورةٍ ِمن ِمثْ ِل ِه‬


َ ‫س‬ُ ‫ب ِم َّما ن ََّز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا فَأْتُواْ ِب‬
ٍ ‫َو ِإن ُكنت ُ ْم فِي َر ْي‬

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu….”(QS.
Al-Baqarah : 23).

Dengan tantangan ini berarti kapasitas kemukjizatan Al-Qur’an itu hanya satu surah saja,
artinya kadar yang menjadi mukjizat dari Al-Qur’an adalah walaupun hanya satu surah sudah
mu’jiz, sudah tidak ada yang sanggup melawan dengan membuat tandingan dari dulu sampai
sekarang. Karena tantangan minim inipun tidak ada yang mampu melawan, maka surat Al-
Baqarah ayat 24 itu menegaskan : “tidak ada seorang pun yang sanggup melawan Al-Qur’an,
karena itu bagi orang yang inkar diharuskan waspada terhadap ancaman neraka.”

B. Segi-Segi I’jazul Qur’an


Dalam kitab Tafsir al-Mizan, menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tujuh I’jaz Al-
Qur’an:

1. I’jazul ‘ilmi. Al-Qur’an mempunyai suatu ilmu pengetahuan didalamnya.


2. I’jaz kepribadian Nabi SAW.
Kenapa kepribadian nabi dikatakan I’jaz? Pertama, Nabi SAW didefinisikan oleh Al-
Qur’an bahwa Nabi itu manusia yang tidak bisa membaca dan menulis. Allah SWT ingin
tunjukkan kepada setiap manusia bahwa Al-Qur’an adalah suatu I’jaz dari nabi yang
ummi ini, agar tidak menuduh nabi sebagai sihir,dan sebagainya.
3. I’jaz Ghaib, Al-Qur’an membawa berita ghaib. Ghaib di sini ada 4 yaitu:
1). Ghaib berita-berita zaman dahulu yang menceritakan tetang waktu terdahulu.
2). Ghaib tetang masa datang, ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diketahui
oleh manusia.
3). Ghaib tetang kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan
tahun setelah al-Qur’an diturunkan
4). Ghaib tetang kejadian-kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal
Rosululloh SAW.
4. I’jaz Tasyrii, I’jaz tetang perundang-undangan (hukum Al-Qur’an)
5. I’jaz Al-Qur’an dari segala perubahan, segala sesuatu yang ada di dunia ini mesti
mengalami perubahan, harus tunduk pada hukum dunia, mengalami usia usang, tetapi Al-
Qur’an tidak pernah tunduk pada hukum dunia, Al-Qur’an tidak pernah usang.
6. I’jazun balaghi. Al-Qur’an mempunyai kefasihan. Al-Qur’an adalah suatu kitab yang
sangat piawai dalam ilmu Balaghah. Sebab setiap kalimat yang ada dalam Al-Qur’an
mengungkapkan suatu makna yang sebenarnya dari suatu makna sebenarnya dari pada
kalimat tersebut, jadi yang dimaksud balaghah yaitu suatu ilmu yang bukan hanya
kalimatnya baligh (tinngi) tetai kalimatnya juga mewakili suatu makna yang daripada
maksud kalimat tersebut. Diantara kalimat yang baik yang ada di dalam Al-Qur’an yang
akan kita jadikan contoh misalkan dalam surat Al-Hadiid ayat 23 ketika Allah SWT
berfirman,

ٍ ‫ّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخ‬


‫ور‬ َ ْ ‫ِل َك ْيلَ ت َأ‬
َّ ‫س ْوا َعلَى َما فَات َ ُك ْم َوالَ ت َ ْف َر ُحوا ِب َما آت َا ُك ْم َو‬

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.”(QS. Al-Hadiid:23)
7. I’jaz bilangan dalam Al-Qur’an. I’jaz ini baru ditemukan. Orang menghitung ayat-ayat
tertentu dalam Al-Qur’an dan kemudian mencocokan dengan hukum-hukum Allah SWT.
Yang diwajibkan kepada manusia.

Misalnya begini, dalam islam, sholat wajib adalah sholat yang lima waktu. Ada seorang
yang meneliti bilangan kalimat tersebut dalam Al-Qur’an. Kalimat shalawat (jamak dari
sholat) misalnya, akan di jumpai bilangannya ada lima kalimat. Dan kalimat ini kaitannya
dengan sholatul wajib. Suatu mukjizat Al-Qur’an dalam segi bilangan di mana sangat
sesuai antara bilangan sholatul wajib dengan kalimat shalawat.
Kemudian mengenai kalimat fardhu dalam Al-Qur’an. Sholat lima waktu ini ada 17
rekaat, kemudian Abu Jahra meneliti kalimat fardhu ini di dalam Al-Qur’an, dan semua
kalimat fardhu dengan berbagai derajatnya berjunlah 17 kalimat. Lalu kalimat qasr
(memendekkan bilangan rekaat dalam sholat ketika dalam perjalanan). Kalau kita hitung
jumlah rekaat dalam sholat qasr, kita akan dapati sampai 11 rekaat, Zuhur 2, Ashar2,
Magrib 3, Isya’ 2, dan Subuh2. kemudian kalau kita teliti kalimat qasr dalam Al-Qur’an,
ternyata ada 11 kalimat. Kalimat tawaf. Kita diwajibkan dalam tawaf yang tercatat daam
Al-Qur’an ada tujuh kalimat. Itu adalah sebagian dari mukjizat bilangan dala Al-Qur’an.

Sementara itu Syeikh Muhammad Ali al-Syabuniy menandaskan bahwa di antara segi-segi
kemukjizatan al-Qur’an yang Nampak adalah:

1. Keindahan satranya yang sama sekali berbeda dengan keindahan sastra yang dimiliki
oleh orang-orang Arab.
2. Gaya bahasanya yang unik yang sama sekali berbeda dengan semua gaya bahasa yang
dimiliki bangsa Arab.
3. Kefasihan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi dan dilakukan dengan semua
mahluk termasuk jenis manusia.
4. Kesempurnaan syari’at yang dibawanya yang mengungguli semua syari’at dan aturan-
aturan lainnya.
5. Menampilkan berita-berita yang eskatalogis yang tidak dapat mungkin dijangkau oleh
otak manusia kecuali oleh wahyu al-Qur’an itu sendiri.
6. Tidak adanya pertentangan antara konsep-konsep yang dibawakannya dengan kenyataan
kebenaran hasil penemuan dan penyelidikan ilmu pengetahuan.
7. Terpenuhinya setiap janji dan ancaman yang diberitakan al-Qur’an.
8. Ilmu pengetahuan yang disampaikannya mencangkup ilmu pengetahuan syari’at dan
pengetahuan alam.
9. Dapat memenuhi kebutuhan manusia.
10. Dapat member pengaruh yang mendalam dan besar pada hati para pengikut dan musuh-
musuhnya.
11. Sususnan gaya bahasa dan kalimat terpelihara dari paradoksi dan keraguan.

Selain itu, ada banyak bukti-bukti kemukjizatan al-Qur’an, diantaranya:


1. Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona.
Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan,
Umar bin Abu Thalib pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi
Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk
masuk islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan
ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik
apapun.
2. Susunan Kalimat
Kendati pun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi,
tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh
lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an muncul dengan
uslub yang begitu indah.di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang
tidak akan pernah ada ucapan manusia.
Dalam Al-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih yang disusun
kedalam bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari apa yang dibuat
oleh para penyair atau sastrawan. Dapat dilihat dari satu contoh dalam surat Al-Qariah
ayat 5, Allah berfirman :
Artinya : “Dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hamburkan”

3. Hukum Illahi yang sempurna


Al-Qur’an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun,
undang-undang ekonomi, politik, social dan kemasyarakatan,serta hokum-hukum ibadah.
Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa
islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah
amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah
badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah.
Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni :
a. Secara global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perinciannya
diserahkan kepada ulama melalui ijtihad.
b. Secara terperinci
Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang piutang,
makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah
perkawinan.

4. Ketelitian Redaksinya

Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :


a. keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh
diantaranya :

1. Al-Hayah {hidup} dan Al-Maut {mati}, masing-masing serbanyak 145 kali


2. An-Naf {manfaat} dan Al-Madharah {mudarat}, masing-masing sebanyak 50 kali
3. Al-Har {panas} dan Al-Bard {dingin} sebanyak 4 kali
4. As-Shalihat{kebajikan}danAs-Syyiat {keburukan} sebanyak masing-masing 167
kali
5. Ath-thuma’ninah {kelapangan/ketenangan} dan Adh-dhiq {kesempitan/kekesalan}
sebanyak masing-msing 13 kali
b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang
dikandungnya
1. Al-harts dan Az-zira’ah {membajak/bertani}masing-masing 14 kali
2. Al-‘ushb dan Adh-dhurur {membanggakan diri/angkuh} masing-masing 27 kali
3. Adh-dhaulun dan Al-mawta {orang sesat/mati jiwanya} masing-masing 17 kali
c. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan
akibatnya
1. Al-infaq {infaq} dengan Ar-ridha {kerelaan}masing-masing 73 kali
2. Al-bukhl {kekikiran} dengan Al-hasarah {penyesalan} masing-masing 12 kali
3. Al-kafirun {orang-orang kafir} dengan An-nar/Al-ihraq {neraka/pembakaran}
masing-masing 154 kali
d. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
1. Al-israf {pemborosan} dengan As-sur’ah {ketergesaan} masing-masing 23 kali
2. Al-maw’izhah {nasihat/petuah} dengan Al-lisan {lidah} masing-masing 25 kali
3. Al-asra {tawanan} dengan Al-harb {perang} masing-masing 6 kali
e. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan
khusus
1. Kata yawm {hari} dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari
dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural {ayyam} atau dua
{yawmayni}, berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi
lain, kata yang berarti bulan {syahr} hanya terdapat dua belas kali sama dengan
jumlah bulan dalam setahun.
2. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi
sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44,
surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al-
Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan
bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
3. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir
{pembawa berita gembira} atau nadzir }pemberi peringatan}, kesemuanya berjumlah
5189 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul
dan pembawa berita tersebut yakni 518.
5. Berita tentang hal-hal yang gaib
Sebagaian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah
berita-berita gaib. Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat
Yunus ayat 92 :
Artinya ; “Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya
kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”
Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk
menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal
tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19 tepatnya.
6. Isyarat-isyarat ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang di temukan dalam Al-Qur’an, misalnya :
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan.
Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah surat Yunus ayat 5 yang artinya :
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya
manzilah-manzilah {tempat-tempat} bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan {waktu}. Allah tidak menciptakan yang
demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda {kebesaran-Nya}
kepada orang-orang yang mengetahui}”
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas.Al-Qur’an surat
Al-An’am ayat 25
c. Perbedaan sidik jari manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 4
d. Aroma atau bau manusia berbeda-beda. Al-Qur’an surat Yusuf ayat 94
e. Masa penyusunan yang tepat dan masa kehamilan minimal, Al-Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 233
f. Adanya nurani {superego} dan bawah sadar manusia. Al-Qur’an surat Al-
Qiyamah ayat 14
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Al-Qur’an surat An-nisa ayat 56 yang
artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan
kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti
kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya
Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”
C. TUJUAN I’JAZUL QUR’AN DAN SEJARAHNYA
Setelah diketahui pengertian I’jaz Qur’an, perlu dijelaskan tujuannya, agar tidak
menimbulkan segala sangka. Sebab, bukanlah menjadi tujuan Al-Qur’an untuk melemahkan,
tetapi ada tujuan khusus, dan perlu pula dikaji sejarahnya.

1. Tujuan I’jazul Qur’an


Dari I’jaz diatas, dapatlah diketahui bahwa tujuan I’jazul Qur’an itu banyak diantaranya
yaitu:
a) Membuktikan bahwa nabi Muhammad SAW yang membawa mu’jizat kitab Al-Qur’an
itu adalah benar-benar seorang Nabi/Rosul Allah SWT. Beliau diutus menyampaikan
ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia untuk mencanangkan tantangan supaya
menandingi Al-Qur’an kepada yang ingkar.
b) Membuktikan bahwa Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWt, bukan
buatan Malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad SAW tidak mungkan karena
sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhannad SAWseorang yang ummi (tidak
pandai menulis dan membaca), dan sudah barang tentu pujangga-pujangga arab
profesional, dimana mereka tidak hanya pandai menulis dan membaca tetapi juga ahli
dalam sastra, grametika bahasa arab, dan Balaghahnya akan bisa membuat seperti Al-
Qur’an itu bukan buatan manusia.
c) Menunjukkan kelemahan daya apaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding
dengan keangkuhan dan kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman
mempercayai kewahyuan Al-Qur’an dan sombong tidak mau menerima kitab itu. Mereka
menuduh bahwa kitab itu hasil lamunan atau buatan Nabi Muhammad SAW sendiri,
kenyataannya para pujangga sastra arab tidak mampu membuat tandingan yang seperti
Al-Qur’an itu, walaupun hanya satu ayat.
d) Menunjukan kelemahan mutu sastra dan Balaghah manusia, karena terbukti pakar-
pakar pujangga sastra dan seni bahasa arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab
tandingan yang seperti Al-Qur’an yang telah ditantangkan kepada mereka dalam berbagai
tingkatan.

2. Sejarah Ilmu I’jazul Qur’an


Ada ulama yang berpendapat, bahwa orang yang pertama kali menulis I’jazul Qur’an
ialah Abu Ubaidah (wafat 208H) dalam kitabnya “Majazul Qur’an”, lalu disusun oleh Al-
Farra (wafat 207 H) yang menulis kitab “Ma’anil Qur’an”, kemudian disusul lagi oleh
Ibnu Quthaibah yang mengarang kitab Ta’wil Musyakil Qur’an”.
Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Abdul Qohir Al-Jurjany dalam kitabnya
“Dalailul I’jaz”, bahwa semua kitab tersebut diatas bukanlah Ilmu I’jazul Qur’an,
melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu.
Menurut Dr. Shubhi Ash-Sholeh dalam kitabnya “Makahis Fi Ulumil Qur’an”, bahwa
orang pertama kali yang membicarakan I’jazul Qur’an adalah Iman Al-Jahili (wafat 225
H), ditulis dalam kitab “Nuzhumul Qur’an”.hal ini seperti diisyaratkan dalam kitabnya
yang lain, Al-Hayawan, lalu disusul Muhammad bin Zaid Al-Wasithy (wafat 306 H),
dalam kitab I’jazul Qur’an, yang banyak mengutip isi kitab Al-Jahidh tersebut diatas.
Kemudian dilanjutkan Iman Ar-Rumany (wafat 384 H). lalu disusul oleh Al-Qadhi Abu
Bakar Al-Baqillny (wafat 403 H) dalam kitabnya I’jazul Qur’an, yang isinya mengupas
segi-segi kemu’jizatan, kitab ini sangat populer. Kemudian disusul oleh Abdul Qohir Al-
Jumany (wafat 471 H) dalam kitab Dala’ilul I’jaz dan Asarul Balagha

BAB III

KESIMPULAN

I’jazul Qur’an ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul,
dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu
Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka dan mukjizat adalah sesuatu hal
luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan. Dan Al-Qur’an al-Karim
digunakan Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup
menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fasahah dan balaghahnya. Hal ini
tiada lain karena Al-Qur’an adalah mukjizat.
BAB II PEMBAHASAN QIRAATUL QURAN

A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an

Qira’at adalah bentuk jamak dari kata ‫ قِ َرا َءة‬, dan berasal dari kata ‫ قِ َراءة – يَ ْقرء – قَر َء‬. menurut
istilah, qira’ah adalah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang di pakai oleh salah
seorang imam qura’ yang berbeda dengan lainnya. Dalam hal ucapan Al-Qur’anul karim, Qira’ah
ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.1 Di bawah ini adalah beberapa
pengertian qira’at menurut para Ulama’:

a. Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu aliran yang dianut oleh seorang imam dalam
membaca al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an
serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf
maupun dalam pengucapan lafalnya.
b. Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan menyandarkan pada penukilannya.
c. Menurut Al-Qastalani, qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang
disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab,
itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
d. Menurut Az-Zarkasyi, qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-
Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut
secara takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
e. Menurut Ash-Shabuni, qira’at adalah suatu madzab cara pelafalan al-Qur’an yang
dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada
Rasulullah.
f. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang
dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dalam
madzhab lainnya.

1
Prof. DR. Muhammad Ali ash-Shaabuuniy, STUDI ILMU AL- QURAN, Bandung: Pustaka Setia, 1998
B. Sejarah Munculnya Qira’at Al-Qur’an

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at, dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada
awal abad 2 H. Saat itu para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok negeri, mereka lebih suka
mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lain. Qira’at tersebut
diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at
baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.

Kebijakan Abu bakar As-Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang
telah disusun Zaid bin tsabit seperti mushaf yang dimiliki Ibnu mas’ud, Abu al-asy’ary, Miqdad
bin Amr, Ubai bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan
qira’at yang beragam.

Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran qari’ ke berbagai penjuru ini
menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan yakni munculnya qira’at yang semakin beragam.
Apalagi setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-
bangsa bukan arab sehingga perbedaan qira’at itu semakin terlihat jelas dan menimbulkan
berbagai penyimpangan.

Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin
Salam yang mengumpulkan qira’at kurang lebih sebanyak 25 macam kemudian barulah imam-
imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu
Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah orang
yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh
imam qari’2.

Inisiatif Ibnu Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibnu Amr
mencela keras Ibnu Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang tidak layak. Ia
dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah
yang disebut dalam hadist nabi yang berbunyi :

2
Anwar, Rosihan. 2008. “Ulum Al-Qur’an”. Bandung: Penerbit Pustaka
( ٍ‫ت أَحْ رف‬ َ ‫) ا ِِن َهذَا ْالق ْرآنَ ا ْن ِز َل َعلَى‬. Namun berkat jasa Ibnu Mujahid, kita dapat mengetahui mana
ِ ‫س ْب َع‬
qira’at yang dapat diterima dan yang ditolak. Ibnu Mujahid memilih ketujuh tokoh qira’at
tersebut karena menurut pertimbangan, merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus
bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at
oleh masyarakat mereka masing-masing.

Dengan demikian, seseorang tidak harus terpaku pada ketujuh imam qira’at (seperti Abu Amr,
Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisai’, Ibnu Amir, dan Ibnu Katsir), tapi ia pun harus menerima
setiap qira’at yang sudah memenuhi tiga persyaratan yaitu sesuai dengan salah satu Rasm
Utsmani, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya shahih.

C. Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an

Dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Qira’at sab’ah (qira’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin
Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu
‘Amar, Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.
2. Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas
ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin
Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam.
3. Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah
disebutkan diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-
Bashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-
Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad
Asy-Syanbudz.

Dilihat dari segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:

1. Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
tidak mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni
sampai kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.
2. Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada
kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani,
masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-
Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama
menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan
bacaannya.
3. Qira’ah Ahad yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf
Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at
mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib
meyakininya.
4. Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih. Diantara macam
ِ ‫ َملَكَ يَ ْو َم‬.
qira’at ini adalah: ‫الدي ِْن‬
5. Qira’at Maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada as asalnya.
6. Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at
yang sah.

Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti
masyhur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.

Menurut An-Nawawi qira’at syadz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar sholat
karena ia bukan al-Qur’an. Al-qur’an hanya ditetapkan dengan sanad mutawatir, sedangkan
qira’at syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah. Apabila seseorang
menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka tidak boleh dibenarkan
baik di dalam maupun diluar sholat. Para ulama Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca
al-qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’
kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz, tidak sah
shalat dibelakang orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’at yang syadz itu.

Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shohih adalah sebagai
berikut:

1. Sesuai dengan kaidah bahasa arab, baik yang fasih atau paling fasih.
2. Sesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf utsmani walaupun hanya
kemungkinan.
3. Memiliki sanad yang shahih.

D. Al-Qur’an Diturunkan dengan Tujuh Huruf

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang
bermacam-macam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang
artinya sebagai berikut Rasulullah bersabda : sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh
huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.”

Dalam hadits yang yang dikemukakan diatas tampak dengan jelas bahwa dispensasi yang
diberikan rasulullah dalam membaca Al-Qur’an lebih dari satu huruf (bacaan) dimaksudkan
untuk memudahkan umat islam dalam membaca Al-Qur’an sehingga mereka tidak merasa
dibebani oleh bacaan-bacaan yang sulit untuk dilafalkan, sebab sebagaimana dinyatakan
Rasulullah dan memang cocok dengan mereka yang ummi (buta aksara) di kalangan mereka.
Dengan kemudahan yang diberikan Rasulullah dalam membaca Al-Qur’an mereka makin tertarik
kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka demi
membimbing kehidupan mereka di muka bumi ini agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.

Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh
macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut karena Al-Qur’an
memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam Al-Qur’an
dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan Al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi
kelonggaran untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.

Sebagian ulama ada yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf disini adalah
tujuh segi yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d
(ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahy,
haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.

Segolongan ulama juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ini adalah tujuh
hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yakni:

1. Ikhtilaf asma’ (perbedaan kata benda) dalam bentuk mufrad, mudzakkar, jamak, dan
lain sebagainya.
Contoh dalam Surat Al Mu’minun : 8
  
  
‫ ا َ َمانَتِ ِه ْم‬dibaca dalam bentuk jamak ‫ت‬
ٍ ‫ ا َ َمانَا‬dan ifrad ‫ا َ َمانَ ِة‬
2. Perbedaan tashrif (perubahan) kata kerja dari masa lampau menjadi masa sekarang
dan masa yang akan datang.
Contoh dalam Surat Saba’ : 19
  
 
 
 
   
   
  

Pada lafal ‫ع ْد‬
ِ ‫ َربَّنَا بَا‬kadang dibaca َ‫ َربُّنَـا بَـعَّد‬dengan me rafa kan lafal “rabbu” karena
menjadi mubtada dan “ba’-‘ada" dengan mentasydidkan huruf ‘ain sebagai fi’il madhi
yang kedudukannya menjadi khabar (sebutan).
3. Perbedaan jabatan kata.
4. Perbedaan taqdim (mendahului) dan ta’khir (mengakhirkan) dalam penempatan suatu
kata.
5. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan.
6. Perbedaan dalam segi ibdal (pergantian), baik pergantian huruf dengan huruf.
7. Perbedaan dialek dalam pembacaan tafkhim (tebal), dan tarqiq (tipis), fathah dan
imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tas-hil, dan lain-lain.

Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira’at
sab’ah. Pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang menyatakan bahwa tujuh huruf yang
dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu
makna yang sama. Ketujuh bahasa tersebut yaitu Quraysy, Huzayl, Saqif, Hawazin, Kinanat,
Tamim, dan Yaman.

E. Fungsi Qira’at dalam Penetapan Hukum Islam

Meskipun qira’at bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum),
namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’at berpengaruh besar dalam penetapan
hukum Islam. Berikut ini beberapa contoh perbedaan qira’at yang ditafsirkan oleh imam qira’at:

a. Surah Al-Baqarah [2]: 222

     


   
    
     
      
  

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Berkaitan dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah,
Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan
ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama
fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca
“yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan
istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara
yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan
hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.

Sehubungan dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri istrinya
yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah haidnya, dan telah
mandi dari hadas besarnya.

Contoh lainnya yaitu pada surah Al-Ma’idah ayat 6 yang berbunyi:

  


   
 
  
 
   

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, ...”

Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan
“arjulakum”, sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”. Dengan
membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak
membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan
ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at
versi lainnya dipahami oleh sebagian ulama dengan mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa
dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan
mengusapnya (dengan air).
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

1. Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-
Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabiuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa
saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.”
2. Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-
Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan
qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid
yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah imam yang pertama yag menghimpun
bermacam-macam qira’at dalam satu kitab. Ia juga membatasi hanya pada ketujuh
imam qira’at saja karena menurut pertimbangan, merekalah yang paling terkemuka,
mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang dan
mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-masing.
3. Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at
Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at
Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu
Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang),
Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.
4. Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi
kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan
yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca
sesuka hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan
Rasulullah.
5. Dalam penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang
telah disepakati para ulama; dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama;
dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda; dapat menunjukkan dua
ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula; dan dapat memberikan
penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya.
1.PENGERTIAN MAKIYAH DAN MADANIYYAH

Ada beberapa defenisi tentang Makkiyah dan Madaniyah yang dikemukakan oleh ulama yang
masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria
yang mereka gunakan dalam menetapkan Makkiyah atau Madaniyahnya sebuah ayat atau surat.
Maka dalam hal ini ada tiga pendapat yang dikemukan oleh ulama, yaitu :

1).Pertama: Dari segi waktu turunnya. Makiah adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun
bukan dimekkah. Madani adalah yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah yang
diturunkan sesudah hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah adalah madani.

2). Kedua : Dari segi tempat turunnya. Makki adalah yang turun di mekkah dan sekitarnya.
Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di madinah dan sekitarnya.
Seperti Uhud, Quba` dan Sil`. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian secara konkrit
yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau di Baitul Maqdis tidak
termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan makki ataupun madani.
Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan dimakkah sesudah hijrah disebut makki.

3) Ketiga : Dari segi sasaran pembicaraan. Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada
penduduk mekkah dan madani ditujukan kepada penduduk madinah. Berdasarkan pendapat ini,
para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur`an yang mengandung seruan yaa ayyuhannas (
wahai manusia ) adalah makki karena pada waktu itu penduduk Mekkah pada umumnya masih
kufur. sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyu halladziina aamanuu ( wahai orang-orang
yang beriman ) adalah madani. Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa
kebanyakan surah Qur`an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, dan ketentuan
demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah baqarah itu madani, tetapi didalamnya terdapat
ayat makki. Menurut imam ar-Razy didalam tafsirnya “al-Qur’an adalah seruan Illahi terhadap
semua makhluk, ia dapat saja menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya.

Jadi kesimpulannya pengertian makiyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan
Hudaibiyah
Madaniyah adalah istilah yang diberikan kepada ayat Al Qur'an yang diturunkan di Madinah atau
diturunkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan
Sil.

2. KLASIFIKASI AYAT DAN SURAT MAKIYAH MADANIYAH

Menurut Abu Bakar Bin Hashar Surah- surah makiyah dan madaniah yang sah ada 20 surah
diantaranya sebagai berikut :

1. Al-Baqarah 11. Al- Hujrat


2. Ali 'Imran 12. Al-Hadid
3. An-Nisa' 13. Al-Mujadilah
4. Al-Ma'idah 14. Al-Hashr
5. Al-Anfal 15. Al-Mumtahinah
6. At-Taubah 16. Al-Jumuah
7. An-Nur 17. Al-Munafiqun
8. Al –Ahzab 18. Al-Talaq
9. Muhammad 19. At-Tahrim
10. Al-Fath 20. An-Nasr

Sedangkan yang diperselisihkan ada 12 ayat yaitu

1. Al-Fatihah 7. Al-Qadar
2. Al-Rad 8. Al-Bayyinah
3. Al-Rahman 9. Al-Zalzalah
4. Al-saff 10. Al-Ikhlas
5. Al-Tagabun 11. Al-Falaq
6. Al-Mutaffifin 12. Al-Nas
NAMA-NAMA SURAH MADANIYAH BERDASARKAN URUTAN TURUNNYA
(MENURUT SEBAGIAN BESAR ULAMA)

01. Al-Baqarah 07. Al-Hadid 13. Al-Munafiqun 19. Al-Jumu'ah


02. Al-Anfal 08. Al-Qital 14. Al-Mujadilah 20. Al-Fath
03. Alu 'Imran 09. Al-Thalaq 15. Al-Hujurat 21. Al-Ma`idah
04. Al-Ahzab 10. Al-Hasyr 16. Al-Tahrim 22. Al-Taubah
05. Al-Mumtahanah 11. Al-Nur 17. Al-Taghabun 23. Al-Nashr
06. Al-Nisa' 12. Al-Hajj 18. Al-Shaf

NAMA-NAMA SURAT MAKIYAH BERDASARKAN URUTAN TURUNNYA


(MENURUT SEBAGIAN BESAR ULAMA)

01. Al-'Alaq 25. Al-Qadar 49. Al-Qashash 72. Ibrahim


02. Al-Qalam 26. Al-Syams 50. Al-Isra 73. Al-Anbiya
03. Al-Muzammil 27. Al-Buruj 51. Yunus 74. Al-Mu`minun
04. Al-Muddatstsir 28. Al-Tin 52. Hud 75. Al-Sajdah
05. Al-Fatihah 29. Al-Quraisy 53. Yusuf 76. Al-Thur
06. Al-Lahab 30. Al-Qari'ah 54. Al-Hijr 77. Al-Mulk
07. Al-Takwir 31. Al-Qiyamah 55. Al-An'am 78. Al-Haqqah
08. Al-A'la 32. Al-Humazah 56. Al-Shaffat 79. Al-Ma'arij
09. Al-Lail 33. Al-Mursalah 57. Luqman 80. Al-Naba`
10. Al-Fajr 34. Qaf 58. Saba` 81. Al-Nazi'at
11. Al-Dhuha 35. Al-Balad 59. Al-Zumar 82. Al-Infithar
12. Al-Insyirah 36. Al-Thariq 60. Ghafir 83. Al-Insyiqaq
13. Al-'Ashr 37. Al-Qamar 61. Fushshilat 84. Al-Rum
14. Al-'Adiyat 38. Shad 62. Al-Syura 85. Al-'Ankabut
15. Al-Kautsar 39. Al-A'raf 63. Al-Zukhruf 86. Al-Muthaffifin
16. Al-Takatsur 40. Al-Jin 64. Al-Dukhan 87. Al-Zalzalah
17. Al-Ma'un 41. Yasin 65. Al-Jatsiyah 88. Al-Ra'd
18. Al-Kafirun 42. Al-Furqan 66. Al-Ahqaf 89. Al-Rahman
19. Al-Fil 43. Fathir 67. Al-Dzariyat 90. Al-Insan
20. Al-Falaq 44. Maryam 68. Al-Ghasyiyah 91. Al-Bayyinah
21. Al-Nas 45. Thaha 69. Al-Kahf
22. Al-Ikhlas 46. Al-Waqi'ah 70. Al-Nahl
23. Al-Najm 47. Al-Syura 71. Nuh
24. 'Abasa 48. Al-Naml 72. Ibrahim

Para ulama berbeda pendapat tentang keadaan surat-surat ini, apakah dia Makkiyah atau
Madaniyah. Adanya perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan jumlah masing-masing
disebabkan karena adanya sebagian surat dari al-Qur’an yang tergolong Makkiyah atau
Madaniyah, tetapi didalamnya berisi ayat yang lain statusnya, Contoh ayat Makkiyah yang
terdapat dalam surat Madanaiyah, surat al-Anfal yang merupakan surat Madaniyah, tetapi
banyak ulama yang mengecualikan ayat 30. Ayat ini diturunkan di Mekkah, yang mana berisi
tentang apa yang dimusyawarahkan oleh orang musyrik di Darun Nadwah untuk membunuh
Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah . Dan sebagian ulama juga mengecualikan ayat 64 Ayat
ini adalah Makkiyah yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah ketika Umar bin Khatab
masuk Islam . Contoh ayat Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah, surat al-An’am
adalah Makkiyah kecuali tiga ayat yaitu dari ayat 151 sampai ayat 153, surat al-Haj, kecuali tiga
ayat yang merupakan Madaniyah, yaitu ayat 19 sampai ayat 21 . karena itu Imam Abu Syahbah
membagi surat-surat dalam al-Qur’an menjadi empat macam , yaitu:

1. Surat-surat Makkiyah murni yaitu surat-surat Makkiyah yang seluruh ayatnya juga berstatus
Makkiyah semua, tidak satu pun yang Madaniyah.

2. Surat-surat Madaniyah murni yaitu surat-surat Madaniyah yang seluruh ayatnya juga berstatus
Madaniyah semua dan tak satu pun yang Makkiyah.

3. Surat-surat Makkiyah yang berisi ayat-ayat Madaniyah, yaitu surat-surat yang sebetulnya
kebanyakan ayatnya adalah Makkiyah, sehingga berstatus Makkiyah, tetapi didalamnya ada
sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyah.

4. Surat-surat Madaniyah yang berisi ayat-ayat Makkiyah yaitu surat-surat yang sebetulnya
kebanyakan ayatnya adalah Madaniyah, sehingga berstatus sebagai surat Madaniyah, tetapi
didalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makkiyah.
3. CARA MENENTUKAN MAKIYAH DAN MADANIYYAH

Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah para ulama bersandar pada dua
cara utama yaitu : Manhaj simâ'i naqli (metode pendengaran seperti apa adanya) dan Manhaj
qiyâsi ijtihâdi (menganalogikan dan ijtihad).
Cara sima'i naqli: didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan
menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi'in yag menerima dan mendengar dari para
sahabat bagaimana, dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. jika
mereka menemui keraguan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah . Sebagian besar
penentuan makkiyah dan madaniyah itu didasarkan pada cara pertama. Dan contoh-contoh diatas
adalah bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-
kitab tafsir bi al-ma`tsûr. Kitab asbabun nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu
Qur`an.
Cara qiyasi ijtihadi: didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyah. Apabila dalam surah
makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madaniyah atau mengandung persitiwa
madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madaniyah dan sebaliknya. Bila dalam satu surah
terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makkiyah dan sebaliknya. Inilah yang
disebut qiyâs ijtihadi.

4. CIRI-CIRI MAKIYAH DAN MADANIYYAH

1.Ciri-ciri Surat Makkiyah

a. Setiap surat yang terdapat didalamnya lafaz Kalla adalah surat Makkiyah. Lafaz ini hanya
terdapat dalam seaparoh terakhir dari al-Qur’an, dan disebutkan sebanyak 33 kali dalam lima
belas surat. Sebagaimana ‘Amâny berkata” hikmah terdapatnya lafaz ini dibagian separoh
terakhir dari al-Qur’an karena surat-surat bagian terakhir al-Qur’an kebanyakan turun di
Mekkah, dan kebanyakan penduduknya adalah pembangkang atau keras kepala, makanya
pengulangan lafaz ini sebagai sebuah tahdîd atau ta’nîf (ancaman) terhadap keingkaran mereka,
berbeda dengan bagian-bagian pertama dari al-Qur’an yang kebanyakan turun di Madinah, dan
juga diturunkan terhadap penduduk yahudi Madinah yang tidak perlu lagi pemaparan tentang
kehinaan dan kelemahan mereka .
b. Setiap surat yang didalamnya mengandung Sajdah ( ‫ ) سجدة‬adalah surat Makkiyah

c. Setiap surat yang dibuka dengan huruf al fabet adalah surat Makkiyah, seperti Alif Lâm Mîm
Râ, Hâ Mîm dan lain-lainya, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran, kedua surat ini menurut
ittifaq ulama adalah Madaniyah, sedangkan surat ar- Ra’du masih dipersilisihkan .

d. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali
surat al-Baqarah .

e. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makkiyah, kecuali surat al-
Baqarah .

2. Ciri-ciri surat Madaniyah

a. Setiap surah yang berisi kewajiban atas had (sanksi) adalah madaniyah.
b. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madaniyah, kecuali
surah al-Ankabut ini termasuk surat Makkiyah kecuali 11 ayat dari awal termasuk dalam
golongan Madaniyah.
c. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madaniyah

d. Setiap surat yang didalamnya terdapat izin untuk berjihad, serta penjelasan tentang hukum-
hukum jihad.

5. TEMA DAN GAYA BAHASA MAKIYAH DAN MADANIYYAH

Tema dan gaya bahasa surat Makkiyah

a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah,
kebangkitan hari akhir dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan
siksaannya, surga dan nikmat, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan menggunakan
bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah. Inilah beberapa hal yang lebih diutamakan terhadap
penduduk Mekkah, karena mereka pada saat itu berada dalam kesyirikan dan tidak menyakini
adanya Nubuwat dan hari akhir .

b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar
terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan
darah, memakan harta anak yatim, mengubur bayi perempuan hidup-hidup dan berbagai
kebiasaan buruk lainnya .

c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka,
sehingga mereka mengetahui akibat terhadap orang yang yang mendustakan agama sebelum
mereka, dan sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia tabah dan sabar dalam menghadapi
mereka dan yakin akan menang .

d. Kebanyakan ayat dan suratnya pendek-pendek (îjâz), pernyataannya singkat, ditelinga terasa
menembus dan terdengar sangat keras, dan menggetarkan hati, dan maknanya pun menyakinkan
yang diperkuat dengan lafaz-lafaz sumpah (qasam) ,

yang demikian itu karena penduduk Mekkah merupakan orang-orang yang fashih dan ahli
balaghah (ahlul fashohah wal balaghah) karena mere Turunnya surah-surah Makiyyah lamanya
12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17 Ramadhan 40 tahun usia Nabi (Februari 610 M).
ka sudah terbiasa dengan bahasa-bahasa syi’ir

Tema dan Gaya Bahasa Surat Madaniyah

a. Penjelasan tentang pensyari’atan secara terperinci seperti penjelasan hukum-hukum amaliyah


dalam ibadah dan mu’amalah, seperti hukum sholat, zakat, puasa, nikah, talaq, jual beli dan lain-
lain.

b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan ajakan kepada mereka untuk
masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka dari kitab-kitab Allah, permusuhan
mereka terhadap kebenaran, serta penjelasan tentang kesesatan akidah mereka.

c. Menyingkap prilaku orang munafiq, menganalisis kejiwaan mereka, membuka kedok mereka
serta menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama.

d. Kebanyakan ayat dan suratnya panjang-panjang ( ithnâb ) dan dengan gaya bahasa yang
memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya, karena penduduk Madinah
bukanlah seperti penduduk Mekkah yang ahli dalam balaghah dan fashih.

6. PERBEDAAN SURAT MAKIYAH DAN SURAT MADINIYAH


NO SURAT MAKKIYAH SURAT MADANIYAH
1. Penuh dengan syair dan ungkapan Mendalam, kuat, dan kokoh
perasaan
2. Menggunakan kalimat yang sangat Menggunakan kalimat-kalimat ushul dan
fasih dan baligh ungkapan-ungkapan undang-undang (syariah)
3. Berisi nasihat, bimbingan, tauhid dan Berisi hudud, fara’idh, dan hukum
Hari Kiamat, sejarah umat-umat
terdahulu, dan azab
4. Menggunakan banyak pemisah dan Tidak terlalu banyak menggunakan sajak dan
biasanya pendek-pendek. Surat pemisah, dan pemisahnya selalu panjang
Makiyyah yang merupakan 19/30 dari Surat Madaniyah yang merupakan 11/30 dari
isi al-Qur'an Jumlah ayatnya 4.780 isi Al-Qur'an, ayat-ayatnya berjumlah 1.456
ayat. ayat.
5. Tidak berisi debat dan dialog dengan Banyak berisi debat dan dialog dengan kaum
kaum Yahudi dan Nasrani Yahudi dan Nasrani

6. Mengandung sedikit saja perintah Mengandung perintah untuk beramal dan


untuk amal dan ibadah, fokusnya pada beribadah
masalah
7. Tidak membahas masalah jihad, hanya Mengandung perintah untuk berjihad,
membahas soal dakwah, tablig, menjelaskan hukum jihad dengan perintah
nasihat, dan kata-kata yang halus dakwah, tablig, dan irsyad

7. MANFAAT MENGETAHUI MAKIYAH DAN MADANIYAH

1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur`an, Sebab pengetahuan mengenai
tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan
tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz,
bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara
ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang
kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.
2. Untuk meresapi gaya bahasa Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju
jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang
dikehendaki oleh situasi merupakan arti peling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya
bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Quran pun memberikan kepada orang yang
mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai
dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta
menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada
Rasulullah sejalan dengan sejarah da’wah, baik priode Mekah maupun priode
Medinah15.

Anda mungkin juga menyukai