Anda di halaman 1dari 12

“ Teori Is nbath dan Is dlal”

Makalah Ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Hukum Islam

Disusun Oleh :

Muhammad Irfan Mubarok (04040522125)


M.Syah Ardika Arya Putra (04040522123)
Muhammad RIzal Almadan (04040522126)
Muhammad Aric Azinuddin (04040522124)

Dosen Pengampu :

Imam Maksum, S.Ag., M.A.g.

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL SURABAYA!


ti


ti

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Jangan lupa untuk berterima kasih kepada orang-
orang yang memberikan pemikiran dan sumber daya mereka.

Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembacanya. Bahkan, kami berharap makalah ini akan dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari .

Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami sebagai penulis, masih


banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Sebagai imbalannya, kami mengharapkan
kritik dan saran yang benar-benar membangun dari para pembaca untuk melengkapi makalah
ini.

Surabaya, 11 Oktober 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................2

A. LATAR BELAKANG .............................................................................................2

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................3

C. TUJUAN .................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................4

A. PENGERTIAN ISTINBATH ..................................................................................4

B. PENGERTIAN ISTIDLAL .. ……………………………………………………..5

C. MACAM MACAM DALIL


…………………………………………….……………………………………….6

BAB III PENUTUP ............................................................................................................9

A. KESIMPULAN .......................................................................................................9

B. SARAN ...................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis
(kitab Allah/Al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi
hukum yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena
itu terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya diperlukan penalaran.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah
ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi
adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa
prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang
belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan
hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan
melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama
dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan
kemaslahatan dan menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta
menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepentingan secara
jelas.
Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak
diperlukan karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath
hukum. Dalam makalah ini akan dibahas teori istinbath dan istidlal yang digunakan
dala studi hukum islam.

B. Rumusan Masalah

Hal-hal berikut dapat dirumuskan sehubungan dengan latar belakang dan tujuan
diatas:

1. Apa pengertian teori istinbath dan istidlal?

2. Bagaimana teori istinbath dan istidlal?

C. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah di atas adalah :

1. Untuk mengetahui teori istinbath dan istidlal

2. Untuk mengetahui bagaimana teori istinbath dan istidlal

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istinbath

“Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar
keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah
“mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.1 Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi
hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna
istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur’an
dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua
sumber tersebut disebut istinbath.

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan
yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali
Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,2 melihat ada dua cara pendekatan
yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui
kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :
A. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan masalah hukum.
B. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan
dengan masalah hukum.
C. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar
dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
D. Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk
istinbath hukum.

1 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, , hlm.25


2 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia, hlm. 110-118

E. Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang
hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
F. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah tersusun
dalam bahasa Arab, dll.3

B. Pengertian Istidlal
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta petunjuk,
memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara
umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.4 Dalam proses pencarian, al-
Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijma’ menjadi
yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat
keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para
ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan
pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.
Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk, buku
petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan para
pakar studi hukum islam diartikan dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk
(dalalah) atau bimbingan (irsyad).” Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada
landasan hukum yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf yaitu “sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang
bersifat praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam
dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh
seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak
pasti).

3 Ibid, hlm. 29
4 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam,, hlm. 50

C. Macam Macam Dalil

Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-
dalil hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang
disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat
dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil
‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan
penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab,
sad al-dzari’ah, ‘urf (tradisi), syar’u man qablana (syariah sebelum masa nabi Muhammad
SAW), dan madzhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).
A. Al-Qur’an
Secara bahasa, al-Qur’an dari kata qara’a yang berarti “bacaan” atau “apa yang tertulis
padanya” Al-Qur’an didefinisikan sebagai berikut:
“ Kalam Allah, mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW,
dalam bahasa yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya
merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri an-
Nas”. Kaum muslim sepakat menerima Al-Qur’an sebagai dalil atau sumber hukum yang
paling asasi.
B.Sunnah
Menurut bahasa, sunnah berarti “jalan yang biasa dilaui” atau “cara yang senantiasa
dilakukan”. Secara istilah, sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan sifatya yang berkaitan dengan hukum.
C.Ijma’
Menurut bahasa, Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ terbagi menjadi dua bentuk
yaitu Ijma’ sharih dan Ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik
melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma’ sukuti
adalah pendapat sebagian mujtahid tentang hukum masalah dan tersebar luas, sementara
sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya,
tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
D.Qiyas
Arti Qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah

hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan
hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid ashl), dan hukm
al-asl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
E.Istihsan
Dari segi bahasa, Istihasan berarti “menganggap atau memandang baik pada sesuatu”. Dari
segi istilah, istihsan ialah meninggalkan Qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya,
karena terdapat dalil atau alasan yang menghendakinya. Sedangkan pendapat para ulama
berbeda-beda dalam mengartikan istihsan. Istihsan dilakukan antara lain jika terjadi konflik
kepentingan, yaitu kepentingan yang ruang lingkupnya lebih sempit, jika ketentuan hukum
pada dalil khusus dilaksanakan secara apa adanya, dengan kepentingan yang ruang
lingkupnya lebih jelas, yang didukung oleh ketentuan hukum pada dalil yang umum sifatnya.
F.Istishlah
Istilah lain dari istishlah adalah Maslahah Mursalah. Dari segi bahasa, istishlah berarti baik.
Istishlah didefinisikan sebagi upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan
atau kebaikan. Maslahah terbagi tiga yaitu; yang diterima syara’, yang ditolak oleh syara’ dan
yang diperselisihkan oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima maupun
yang menolaknya.5
Penggunaan Istishlah harus memenuhi persyaratan yaitu bukan diukur dengan dugaan
semata, sifatnya umum bukan perorangan , tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang lain,
serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan. Menetapkan ketentuan hukum dengan
berdasarkan maslahah mursalah, merupakan bidang yang amat subur untuk mengembangkan
hukum islam, khususnya dalam muamalah kemasyarakatan.
G.Istishhab
Dari segi bahasa, istishhab berarti “minta bersahabat” atau membandingkan sesuatu dan
mendekatkannya”. Definisi istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah
ada pada masa lampau, hingga ada dalil yang mengubahnya.
Ada dua macam istishhab: Pertama, melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai
kebolehan atau bebas-asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Missal,
segala macam makanan dan minuman, yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya
adalah mubah atau halal. Kedua, melngsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan suatu

5 Dikutip dari http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf

dalil, dan tidak ada dalil lain yang mengubahnya. Misal, jika seseorang telah berwudhu,
kemudian ragu-ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, maka ia dihukumi belum batal
atas dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakininya. Maka Istishhab hanya menjadi
hujah untuk melangsungkan hukum tidak menetapkan hukum baru yag sebelumnya belum
ada.
H. 'Urf
Menurut bahasa, ‘Urf berarti “yang kenal”. Definisi ‘Urf ialah “sesuatu yang dikerjakan
secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Lebih lengkapnya ‘Urf adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi,
baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.
‘Urf dibagi menjadi 2 macam yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah tradisi yang
tidak berlawanan dengan dalil syara’ serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula
menggugurkan kewajiban. ‘Urf fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara’ atau
menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.
I. Sadd al-Dzari’ah
Secara bahasa, sad berarti “penutup” dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau
“sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan”. Menurut
pakar studi hukum Islam, dzariah berarti sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan
yang diharamkan. Dengan demikian, Sadd al-Dzariah berarti menutup segala sesuatu yang
menjadi sarana kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan.
J.Madzhab Shahabi
Mazhab Shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi tentang suatu kasus yang dikutip oleh
para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, al-Qur’an dan Sunnah
tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut serta tidak
ditemukan kesepakatan para sahabat yang menetapkan para sahabat tersebut. Maka dalam hal
ini terdapat empat pendapat ulama. Pertama, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan dalil
hukum. Kedua, pendapat shabat Nabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari
Qiyas. Ketiga, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila dikuatkan dengan Qiyas.
Keempat, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila bertentangan dengan Qiyas.
Pertentangan menunjukkan bahwa pendapat tersebut bukan bersumber dari Qiyas, melainkan
dari Sunnah

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh
nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang
bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum
yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung
pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk
menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah,
analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi
makna.
Istidlal adalah mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Dalam proses
pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi yang kedua,
Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Dilihat dari segi
keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum
keberadaannya terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut
dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam
teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil
‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai
landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan,
istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf, syar’u man qablana, dan madzhab al-shahabi.

B. Saran

Tentunya hanya ini dari kami yang bisa kami presentasikan ,semoga bisa
menambah wawasan bagi para pembaca dan bisa menerapkan point point pantin yang
terdapat pada makalah ini, kurang lebih kami haturkan banyak terima kasih .

DAFTAR PUSTAKA

Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota
IKAPI, 1996),
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Dikutip dari http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf pada
tanggal 18 Maret 2012

10

Anda mungkin juga menyukai