Disusun Oleh :
dr. Apen Hoddor Silaban
ABSTRAK
Latar Belakang. Pterigium merupakan sebutan untuk kelainan klinis berupa jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga pada limbus kornea. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani yaitu
pterygos yang artinya "sayap," sesuai dengan gambaran pterigium yang berbentuk atau menyerupai
sayap. Patofisiologi terjadinya pterigium belum dapat disimpulkan dengan jelas. Penelitian
mendapatkan adanya proses degeneracy dan proliferasi pada pterigium dan faktor kerusakan
jaringan akibat pajanan kronik terhadap sinar matahari.
Metode. Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang cross sectional dengan
uji statistik Chi-Square. Jenis penelitian ini adalah metode analitik korelasi dengan rancangan cross
sectional. Cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara faktor-faktor
resiko dengan cara pendekatan atau pengumpulan data sekaligus pada satu saat tertentu saja.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas anugerahNya sehingga
usulan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Usulan penelitian ini diajukan untuk ujian
seleksi PPDS I Ilmu Penyakit Mata Universitas Udayana Denpasar semester genap tahun akademik
2021. Berkat petunjuk, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dalam
penyusunan Proposal Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
memberikan masukan, arahan dan bimbingan untuk perbaikan usulan penelitian ini.
Akhir kata, meskipun tulisan ini belum sempurna, penulis berharap semoga bermanfaat bagi
pembaca dan tidak lupa mohon masukan dan sarannya untuk penyempurnaan.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
1.3.2. Tujuan Khusus
1.4. Hipotesis
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Pasien
1.5.2. Bagi Peneliti dan Universitas Udayana
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Konjungtiva:
2.2. Anatomi Sklera
2.3. Anatomi Kornea
2.4. Pterigium
2.4.1.1. Definisi
2.4.1.2. Epidemiologi
2.4.1.3. Faktor Risiko
2.4.1.4. Patogenesis
2.4.1.5. Gambaran Klinis
2.4.1.6. Gambaran Histopatologi
2.4.1.7. Penegakan Diagnosis
2.4.1.8. Diagnosis Banding
2.4.1.9. Penatalaksanaan
2.1.1.10. Komplikasi
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian
3.3.2. Sampel Penelitian
3.4. Definisi Operasional
3.5. Cara Pengambilan Sampel
3.6. Cara Pengumpulan Data
3.7. Instrumen Pengumpulan Data Penelitian
3.8. Pengolahan Data, Analisis Data, serta Penyajian Data
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHUALUAN
1.4 Hipotesis
Apakah terdapat hubungan yang bermakna antara paparan sinar ultraviolet dengan kejadian
Pterigium pada pekerja bidang pertanian di Sumba - NTT.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sklera berasal dari kata Yunani "scleros" yang berarti "keras." Sklera adalah pembungkus luar
bola mata yang opak, kuat tetapi elastis, dan melapisi bola mata dimulai dari kornea di anterior
sampai saraf optik di posterior. Komposisi sklera didominasi oleh kolagen dan sejumlah fibril
elastin. Sklera hanya memiliki sedikit sel fibroblas dan secara keseluruhan relatif bersifat aselular
serta avaskular sehingga sklera normal umumnya memiliki aktivitas yang sangat lambat.
Fungi sklera adalah:
1. Memberikan perlindungan terhadap isi dalam bola mata.
2. Menstabilkan tekanan intraokular.
3. Sebagai tempat insersi otot bola mata.
Episklera adalah lapisan penyusun sklera yang paling luar, terdiri dari jaringan ikat elastis dan
jaringan ikat kolagen yang tersusun longgar dengan diameter serabut yang lebih kecil daripada
diameter serabut jaringan ikat yang ada di stroma sklera. Di sebelah anterior, episklera berbatasan
dengan kapsula Tenon, sedangkan di posterior berbatasan dengan stroma sklera. Lapisan ini
mengandung banyak fibroblas dengan melanosit dan leukosit, serta banyak jaringan kapiler yang
berfungsi mendarahi jaringan di bawahnya.
Stroma sklera terdiri dari kumparan-kumparan fibroblas yang terletak di antara serabut
kolagen yang berdiameter bear dan tersusun padat, iregular serta kompleks. Sel fibroblas pada
stroma sklera mengandung enzim proteolitik. Lamina fusca merupakan lapisan paling dalam yang
terletak berdekatan dengan uvea pada lamina suprakoroid. Diameter serabut kolagen yang
menyusun lamina fusca memiliki ukuran lebih bear dibandingkan diameter serabut kolagen yang
menyusun stroma sklera. Lamina fusca berwarna coklat karena terdapat melanosit yang tersusun di
bawah serabut kolagennya. Sklera tersusun dari matriks ekstraselular dengan sel-sel fibroblas di
antaranya. Komponen matriksnya terdiri dari kolagen, elastin, proteoglikan dan glikoprotein.
Vaskularisasi
Terdapat tiga vaskularisasi utama yang terdapat di lapisan episklera
(Gambar 3) :
1. Pleksus konjungtiva: pleksus yang terletak paling superfisial dan mudah digerakkan terhadap
jaringan di bawahnya.
2. Pleksus episklera superfisial: pleksus yang berjalan radial pada lapisan episklera dan mengalami
kongesti maksimal sat terjadi episkleritis.
3. Pleksus episklera profunda: pleksus in menembus dan mendarahi sklera dan mengalami kongesti
maksimal sat terjadi skleritis.
Kornea merupakan jaringan transparan serta a vaskular di bagian tengahnya, dan merupakan
organ refraksi kuat yang membelokkan sinar masuk ke dalam mata, dengan indeks refraksi 1.376
serta jari-jari kelengkungan 7,8 mm. Karena terletak paling depan, kornea memiliki kekuatan
dioptri terbesar yaitu 42.25 D, yang merupakan 74% dari seluruh kekuatan dioptri bola mata.
Secara mikroskopis, lapisan histologis kornea dapat dibagi menjadi limalapisan yaitu lapisan epitel,
membran Bowman, lapisan stroma, lapisan membran Descemet dan lapisan endotel.
Gambar 3. Kornea
2.4. Pterigium
2.4.1. Definisi
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan ikat fibrovaskular subepithelial dan jaringan epitel
konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif menembus membrana Browman. Pterigium
tumbuh dari konjungtiva, dan mengarah ke bagian medial kornea maupun limbus. Pertumbuhan ini
berbentuk segitiga mirip sayap yang dapat terjadi pada daerah nasal ataupun temporal.
2.4.2. Epidemiologi
Prevalensi pterigium ditemukan 10,2% di dunia, dengan prevalensi tertinggi di daerah dataran
rendah. Peningkatan insiden pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona khatulistiwa antara 30°
lintang utara dan selatan. Insiden yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan sinar matahari kronis
(sinar ultraviolet), usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, dan aktivitas di luar ruangan .
Informasi Regional (ASIA-PACIFIC) Studi di Asia telah menunjukkan bahwa prevalensi yang
lebih tinggi secara signifikan terkait dengan populasi pedesaan versus perkotaan. Sebuah studi yang
dilakukan di Victoria, Australia mengukur prevalensi pada populasi umum lebih dari 40 tahun
(1,2%), penghuni panti jompo (1,7%), dan penduduk pedesaan (6,2%).
Berbagai faktor risiko yang diketahui adalah mekanisme imun, predisposisi genetik, dan
iritasi lingkungan kronis, yang meliputi sinar UV (ultraviolet), cuaca panas dan kering, angin,
atmosfer berdebu, dan periode paparan kondisi tersebut. Namun, yang paling umum adalah
peningkatan waktu paparan sinar UV dari sinar matahari, diikuti oleh iritasi mata kronis dari
kondisi kering dan berdebu.
Meskipun patofisiologi belum dapat disimpulkan dengan jelas. Ada beberapa faktor penyebab
terjadiny Pterigium yaitu:
1. Paparan Sinar Ultraviolet
2. Paparan Debu, Angin, Pasir
3. Inflamasi
4. Permukaan Bola mata yang kering
2.4.4. Patogenesis
Meskipun belum sepenuhnya jelas, namun berbagai penelitian telah mengemukakan sejumlah
proses patogenesis yang diduga berperan terhadap timbulnya pterigium. Proses degenerasi yang
dipengaruhi ole pajanan ultraviolet kronik diduga menjadi dasar penyebab terjadinya pterigium.
Jaringan pterigium merupakan jaringan ikat fibroblast dan pembuluh darah yang berproliferasi dari
limbus dan tumbuh ke arah kornea. Kerusakan sel punca limbus merupakan faktor yang
menyebabkan jaringan dari konjungtiva mampu “menyeberang" tumbuh ke arah kornea. Selain
pajanan sinar matahari, iritasi kronik dan cuaca yang kering serta berdebu dapat menyebabkan
inflamasi kronik yang akan merusak jaringan konjungtiva dan menimbulkan pterigium.
Sebuah teori terkemuka menyatakan bahwa peningkatan prevalensi pterigium di antara orang
orang di daerah khatulistiwa adalah karena efek merusak dari radiasi ultraviolet, khususnya radiasi
UV-B. Hipotesis kerjanya adalah bahwa radiasi ini menyebabkan mutasi pada gen supresor tumor
p53, sehingga memfasilitasi proliferasi abnormal epitel limbal.
berupa gars berwarna kecoklatan, yang merupakan deposit zat besi yang sering ditemukan di apeks
pterigium yang dikenal sebagai Stocker's line. Jaringan pterigium sering ditemukan di daerah fisura
interpalpebral terutama di bagian nasal. Hal in diduga berkaitan dengan tingginya persentase
pajanan sinar matahari pada bagian tersebut.
Derajat pterigium berdasarkan perkembangannya adalah derajat I jika hanya terbatas pada
limbus kornea, derajat II jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea, derajat III jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalam
keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm), dan derajat IV jika pertumbuhan
pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
c. Dalam kasus yang sudah berlangsung lama pertumbuhan fibrovaskular bisa sampai
menutupi bagian cornea
d. Tampak perdarahan kapiler pada pterigium menunjukkan adanya peningkatan progresifitas
pertumbuhan dari jaringan tersebut
e. Tampak adanya “Stocker's line” menunjukkan aktivitas pterygium yang tidak progresif.
2.4.8. Penatalaksaan
Terapi definitif pterigium adalah bedah eksisi jaringan pterigium. Akan tetapi, karena angka
rekurensi yang cukup tinggi, bedah eksisi dengan meninggalkan sklera yang terbuka belum
memadai. Oleh karena itu, setelah eksisi, tindakanperlu ditambah dengan penutupan sklera yang
terbuka tersebut menggunakan conjunctival autograft tau conjunctivolimbal autograft, atau
menggunakan graft jaringan selaput amnion.
Terapi medikamentosa untuk pterigium bersifat simtomatik dan dapat diberikan untuk
mengurangi keluhan subjektif pasien seperti mata merah, mengganjal, dan perih. Kualitas lapisan
air mata sebagai pelindung jaringan permukaan mata harus diperbaiki dengan pemberian artificial
tears terus- menerus. Obat anti-inflamasi non-steroid topikal dengan dosis 4 kali sehari satu tetes
dapat diberikan saat pterigium mengalami peradangan akibat iritasi lingkungan. Meskipun
demikian, aspek penting dalam penatalaksanaan pterigium adalah edukasi untuk mengurangi
pajanan terhadap sinar matahari. Tanpa perubahan lingkungan/kebiasaan ini, kemerahan atau iritasi
akibat pterigium akan cenderung untuk terus terjadi.
Penggunaan pelindung mata seperti kacamata dengan filter terhadap ultraviolet, topi lebar
atau payung, dapat menurunkan inflamasi dan mengurangi pajanan terhadap sinar matahari yang
merupakan faktor risiko utama terjadinya pterigium. Dan cara terbaik untuk mencegah pterigium
kembali adalah dengan menghindari sinar matahari, kekeringan, dan debu.
2.4.9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pterigium yang tumbuh secara progresif tentu menyebabkan
terjadinya penurunan fungsi mata sehingga penderita pterygium akan mengalami kesulitan dalam
melihat. Tindakan pembedahan yang dilakukan dengan mengeksisi bagian pterygium pada saat
pasca operasi terkadang menimbulkan rasa nyeri. Sehingga pterygium ini pun dapat menyebabkan
kebutaan. Adapun komplikasi lainnya berupa : kekambuhan, jaringan parut kornea, perforasi
kornea, Strabismus, Defek epitel non-healing (terutama dengan mitomycin C), Scleral melt
(terutama dengan mitomycin C).
BAB III
METODE PENELITIAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
3. Syska Widyawati. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal 119-121. Jakarta. 2012.