Anda di halaman 1dari 14

HUGUNGAN PAPARAN SINAR ULTRAVIOLET DENGAN PTERIGIUM

PADA PEKERJA BIDANG PERTANIAN


DI PULAU SUMBA - NTT

Disusun Oleh :
dr. Apen Hoddor Silaban

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021

HUBUNGAN PAPARAN SINAR ULTRAVIOLET DENGAN TERJADINYA


PTERIGIUM PADA PEKERJA BIDANG PERTANIAN
DI PULAU SUMBA - NTT

Apen Hoddor Silaban


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Latar Belakang. Pterigium merupakan sebutan untuk kelainan klinis berupa jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga pada limbus kornea. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani yaitu
pterygos yang artinya "sayap," sesuai dengan gambaran pterigium yang berbentuk atau menyerupai
sayap. Patofisiologi terjadinya pterigium belum dapat disimpulkan dengan jelas. Penelitian
mendapatkan adanya proses degeneracy dan proliferasi pada pterigium dan faktor kerusakan
jaringan akibat pajanan kronik terhadap sinar matahari.

Metode. Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang cross sectional dengan
uji statistik Chi-Square. Jenis penelitian ini adalah metode analitik korelasi dengan rancangan cross
sectional. Cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara faktor-faktor
resiko dengan cara pendekatan atau pengumpulan data sekaligus pada satu saat tertentu saja.

Kata Kunci. Pterigium, Paparan, Sinar Ultraviolet.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas anugerahNya sehingga
usulan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Usulan penelitian ini diajukan untuk ujian
seleksi PPDS I Ilmu Penyakit Mata Universitas Udayana Denpasar semester genap tahun akademik
2021. Berkat petunjuk, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dalam
penyusunan Proposal Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah
memberikan masukan, arahan dan bimbingan untuk perbaikan usulan penelitian ini.
Akhir kata, meskipun tulisan ini belum sempurna, penulis berharap semoga bermanfaat bagi
pembaca dan tidak lupa mohon masukan dan sarannya untuk penyempurnaan.


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
1.3.2. Tujuan Khusus
1.4. Hipotesis
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Pasien
1.5.2. Bagi Peneliti dan Universitas Udayana
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Konjungtiva:
2.2. Anatomi Sklera
2.3. Anatomi Kornea
2.4. Pterigium
2.4.1.1. Definisi
2.4.1.2. Epidemiologi
2.4.1.3. Faktor Risiko
2.4.1.4. Patogenesis
2.4.1.5. Gambaran Klinis
2.4.1.6. Gambaran Histopatologi
2.4.1.7. Penegakan Diagnosis
2.4.1.8. Diagnosis Banding
2.4.1.9. Penatalaksanaan
2.1.1.10. Komplikasi
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian
3.3.2. Sampel Penelitian
3.4. Definisi Operasional
3.5. Cara Pengambilan Sampel
3.6. Cara Pengumpulan Data
3.7. Instrumen Pengumpulan Data Penelitian
3.8. Pengolahan Data, Analisis Data, serta Penyajian Data
BAB IV DAFTAR PUSTAKA


































































BAB I
PENDAHUALUAN

1.1 Latar Belakang


Pterygium (dari bahasa Yunani, pterygos, "sayap kecil") adalah pertumbuhan berbentuk sayap,
vaskular, berdaging yang berasal dari konjungtiva dan yang dapat menyebar ke limbus kornea dan
seterusnya. Karena pterigia dini biasanya asimtomatik, hanya ada sedikit penelitian tentang riwayat
alami dan pengobatannya, dan kebanyakan dokter mata umumnya menganggapnya sebagai masalah
yang tidak signifikan sampai lesi mengganggu sumbu visual. Belum ada konsensus tentang
manajemen pterygia yang tepat.

1.1. Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang permasalahan yang ada makna pokok permasalahan
adalah untuk menentukan apakah ada hubungan paparan sinar ultraviolet dengan terjadinya
pterigium pada pekerja di bidang pertanian.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan paparan sinar
ultraviolet dengan terjadinya pterigium pada pekerja bidang pertanian di Sumba -NTT
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui kejadian pterigium pada pekerja bidang pertanian di Sumba-NTT.
2. Mengetahui kejadian pterigium terhadap usia dan jenis kelamin pada pekerja bidang
pertanian di Sumba-NTT.
3. Mengetahui lamanya paparan sinar ultraviolet terhadap kejadian Pterigium pada
pekerja bidang pertanian di Sumba -NTT.

1.4 Hipotesis
Apakah terdapat hubungan yang bermakna antara paparan sinar ultraviolet dengan kejadian
Pterigium pada pekerja bidang pertanian di Sumba - NTT.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Pasien
Diharapkan pasien lebih paham dan mengenal penyakit khususnya pterigium serta mengetahui
tindakan yang dapat mencegah terjadinya pterigium.
1.5.2. Bagi Peneliti dan Universitas Udayana
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang kedokteran
khususnya Ilmu Penyakit Mata.
2. Diharapakan hasil penelitian ini dapat meningkatkan wawasan bagi penulis dan pembaca.
3. Diharapkan data hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva adalah lapisan membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi kelopak
mata bagian dalam, dimulai dari taut mukokutaneus (mucocutaneous junction); kemudian melapisi
permukaan luar bola mata hingga mencapai limbus korneasklera. Secara embriologi, konjungtiva
berasal dari ektoderm permukaan dan krista neuralis pada vesikula optik. Susunan konjungtiva yang
berlapis dan berlipat-lipat pada forniks dan disebelah medial bola mata memungkinkan terjadinya
pergerakan mata dan kelopaknya. Permukaan konjungtiva yang berlipat-lipat tersebut juga akan
menambah luas daerah permukaan sehingga mengurangi luas area kontak
dan mengurangi friksi antara konjungtiva tarsal dan bulbaris. Konjungtiva kaya akan suplai
pendarahan, yang berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Pada konjungtiva juga
terdapat anyaman limfatik padat yang alirannya, bersama dengan aliran limfe dari kelopak mata,
mengalir menuju nodus preaurikular dan submandibular. Anyaman limfatik tersebut mempunyai
peran penting dalam mediasi sistem kekebalan aktif dan pasif.
Anatomi konjungtiva
Secara anatomis, konjungtiva dibagi menjadi:
1. Konjungtiva palpebra (konjungtiva tarsal)
2. Konjungtiva fornices superior dan inferior
3. Konjungtiva bulbi
Konjungtiva palpebra
Konjungtiva palpebralis dimulai dari mucocutaneous junction dan melapisi bagian dalam kelopak
mata. Terdiri dari 3 bagian; marginal, tarsal, orbital. Bagian tarsal melekat erat pada posterior dasar
tarsus. Permukaan konjungtiva palpebralis bagian orbital berbentuk lipatan-lipatan. Pembuluh darah
tarsal yang terletak di bawahnya dapat terlihat melintas secara vertikal dari margo
palpebral dan forniks.
Konjungtiva fornices: superior dan inferior
Merupakan area transisi antara konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbars dan mempunyai
perlekatan yang longgar terhadap jaringan dibawahnya dan akan tampak jika terjadi edema.
Konjungtiva bulbi
Konjungtiva yang melapisi dan melekat rat pada permukaan anterior sklera dan berlanjut dengan
epitel kornea pada limbus. Rigi yang tersusunradial pada limbus akan membentuk sebuah jaringan
palisade Vogt. Stroma konjungtiva ini melekat longgar terhadap Kapsula Tenon, kecuali pada daerah
limbus, dimana dua lapisan ini bersatu.

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva









2.2. Anatomi Sklera

Sklera berasal dari kata Yunani "scleros" yang berarti "keras." Sklera adalah pembungkus luar
bola mata yang opak, kuat tetapi elastis, dan melapisi bola mata dimulai dari kornea di anterior
sampai saraf optik di posterior. Komposisi sklera didominasi oleh kolagen dan sejumlah fibril
elastin. Sklera hanya memiliki sedikit sel fibroblas dan secara keseluruhan relatif bersifat aselular
serta avaskular sehingga sklera normal umumnya memiliki aktivitas yang sangat lambat.
Fungi sklera adalah:
1. Memberikan perlindungan terhadap isi dalam bola mata.
2. Menstabilkan tekanan intraokular.
3. Sebagai tempat insersi otot bola mata.

Secara anatomis, sklera terdiri dari 3 lapisan:


1. Episklera
2. Substansia propria atau stroma.
3. Lamina Fusca

Episklera adalah lapisan penyusun sklera yang paling luar, terdiri dari jaringan ikat elastis dan
jaringan ikat kolagen yang tersusun longgar dengan diameter serabut yang lebih kecil daripada
diameter serabut jaringan ikat yang ada di stroma sklera. Di sebelah anterior, episklera berbatasan
dengan kapsula Tenon, sedangkan di posterior berbatasan dengan stroma sklera. Lapisan ini
mengandung banyak fibroblas dengan melanosit dan leukosit, serta banyak jaringan kapiler yang
berfungsi mendarahi jaringan di bawahnya.
Stroma sklera terdiri dari kumparan-kumparan fibroblas yang terletak di antara serabut
kolagen yang berdiameter bear dan tersusun padat, iregular serta kompleks. Sel fibroblas pada
stroma sklera mengandung enzim proteolitik. Lamina fusca merupakan lapisan paling dalam yang
terletak berdekatan dengan uvea pada lamina suprakoroid. Diameter serabut kolagen yang
menyusun lamina fusca memiliki ukuran lebih bear dibandingkan diameter serabut kolagen yang
menyusun stroma sklera. Lamina fusca berwarna coklat karena terdapat melanosit yang tersusun di
bawah serabut kolagennya. Sklera tersusun dari matriks ekstraselular dengan sel-sel fibroblas di
antaranya. Komponen matriksnya terdiri dari kolagen, elastin, proteoglikan dan glikoprotein.

Vaskularisasi
Terdapat tiga vaskularisasi utama yang terdapat di lapisan episklera
(Gambar 3) :
1. Pleksus konjungtiva: pleksus yang terletak paling superfisial dan mudah digerakkan terhadap
jaringan di bawahnya.
2. Pleksus episklera superfisial: pleksus yang berjalan radial pada lapisan episklera dan mengalami
kongesti maksimal sat terjadi episkleritis.
3. Pleksus episklera profunda: pleksus in menembus dan mendarahi sklera dan mengalami kongesti
maksimal sat terjadi skleritis.









Gambar 2. Anatomi Sklera

2.3. Anatomi Kornea

Kornea merupakan jaringan transparan serta a vaskular di bagian tengahnya, dan merupakan
organ refraksi kuat yang membelokkan sinar masuk ke dalam mata, dengan indeks refraksi 1.376
serta jari-jari kelengkungan 7,8 mm. Karena terletak paling depan, kornea memiliki kekuatan
dioptri terbesar yaitu 42.25 D, yang merupakan 74% dari seluruh kekuatan dioptri bola mata.
Secara mikroskopis, lapisan histologis kornea dapat dibagi menjadi limalapisan yaitu lapisan epitel,
membran Bowman, lapisan stroma, lapisan membran Descemet dan lapisan endotel.

Gambar 3. Kornea

2.4. Pterigium

2.4.1. Definisi
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan ikat fibrovaskular subepithelial dan jaringan epitel
konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif menembus membrana Browman. Pterigium
tumbuh dari konjungtiva, dan mengarah ke bagian medial kornea maupun limbus. Pertumbuhan ini
berbentuk segitiga mirip sayap yang dapat terjadi pada daerah nasal ataupun temporal.
2.4.2. Epidemiologi
Prevalensi pterigium ditemukan 10,2% di dunia, dengan prevalensi tertinggi di daerah dataran
rendah. Peningkatan insiden pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona khatulistiwa antara 30°
lintang utara dan selatan. Insiden yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan sinar matahari kronis
(sinar ultraviolet), usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, dan aktivitas di luar ruangan .

Informasi Regional (ASIA-PACIFIC) Studi di Asia telah menunjukkan bahwa prevalensi yang
lebih tinggi secara signifikan terkait dengan populasi pedesaan versus perkotaan. Sebuah studi yang
dilakukan di Victoria, Australia mengukur prevalensi pada populasi umum lebih dari 40 tahun
(1,2%), penghuni panti jompo (1,7%), dan penduduk pedesaan (6,2%).

2.4.3. Faktor Risiko

Berbagai faktor risiko yang diketahui adalah mekanisme imun, predisposisi genetik, dan
iritasi lingkungan kronis, yang meliputi sinar UV (ultraviolet), cuaca panas dan kering, angin,
atmosfer berdebu, dan periode paparan kondisi tersebut. Namun, yang paling umum adalah
peningkatan waktu paparan sinar UV dari sinar matahari, diikuti oleh iritasi mata kronis dari
kondisi kering dan berdebu.
Meskipun patofisiologi belum dapat disimpulkan dengan jelas. Ada beberapa faktor penyebab
terjadiny Pterigium yaitu:
1. Paparan Sinar Ultraviolet
2. Paparan Debu, Angin, Pasir
3. Inflamasi
4. Permukaan Bola mata yang kering

2.4.4. Patogenesis

Meskipun belum sepenuhnya jelas, namun berbagai penelitian telah mengemukakan sejumlah
proses patogenesis yang diduga berperan terhadap timbulnya pterigium. Proses degenerasi yang
dipengaruhi ole pajanan ultraviolet kronik diduga menjadi dasar penyebab terjadinya pterigium.
Jaringan pterigium merupakan jaringan ikat fibroblast dan pembuluh darah yang berproliferasi dari
limbus dan tumbuh ke arah kornea. Kerusakan sel punca limbus merupakan faktor yang
menyebabkan jaringan dari konjungtiva mampu “menyeberang" tumbuh ke arah kornea. Selain
pajanan sinar matahari, iritasi kronik dan cuaca yang kering serta berdebu dapat menyebabkan
inflamasi kronik yang akan merusak jaringan konjungtiva dan menimbulkan pterigium.
Sebuah teori terkemuka menyatakan bahwa peningkatan prevalensi pterigium di antara orang
orang di daerah khatulistiwa adalah karena efek merusak dari radiasi ultraviolet, khususnya radiasi







UV-B. Hipotesis kerjanya adalah bahwa radiasi ini menyebabkan mutasi pada gen supresor tumor
p53, sehingga memfasilitasi proliferasi abnormal epitel limbal.

2.4.5. Gambaran Klinis


Penderita pterigium biasanya datang dengan keluhan mata merah berulang, yang disertai rasa
iritasi pada permukaan mata seperti rasa mengganjal, berpasir, dan perih. Penglihatan biasanya tidak
menurun, kecuali pada pterigium yang sudah menutupi sebagian bear pupil. Pada pemeriksaan
oftalmologik dapat ditemukan jaringan berwarna merah muda berbentuk segitiga yang tumbuh
dengan dasar di limbus serta puncak segitiga di korea. Iritasi kronik menimbulkan tanda klinis

berupa gars berwarna kecoklatan, yang merupakan deposit zat besi yang sering ditemukan di apeks
pterigium yang dikenal sebagai Stocker's line. Jaringan pterigium sering ditemukan di daerah fisura
interpalpebral terutama di bagian nasal. Hal in diduga berkaitan dengan tingginya persentase
pajanan sinar matahari pada bagian tersebut.
Derajat pterigium berdasarkan perkembangannya adalah derajat I jika hanya terbatas pada
limbus kornea, derajat II jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea, derajat III jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalam
keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm), dan derajat IV jika pertumbuhan
pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

2.4.6. Penegakan Diagnosis


1. Riwayat pernah mengalami gejala pterigium
a. Ada tampak lesi kecil yang merupakan awal pertumbuhan fibrovaskular
b. Penderita merasakan adanya sensasi benda asing pada mata
c. Iritasi ringan pada mata untuk gejala awal saat pertumbuhan
fibrovaskular ke arah kornea
d. Terjadi penurunan fungsi penglihatan
2. Pemeriksaan fisik
a. Tampak pertumbuhan nodul kecil dari arah lateral menuju bagian cornea
b. Pertumbuhan jaringan fibrovaskular akan tampak seperti sayap atau berbentuk segitiga











c. Dalam kasus yang sudah berlangsung lama pertumbuhan fibrovaskular bisa sampai
menutupi bagian cornea
d. Tampak perdarahan kapiler pada pterigium menunjukkan adanya peningkatan progresifitas
pertumbuhan dari jaringan tersebut
e. Tampak adanya “Stocker's line” menunjukkan aktivitas pterygium yang tidak progresif.

2.4.7. Diagnosis Banding


• Pseudopterigium
• Pinguecula
• Pannus
• Episkleritis, sklerokeratitis
• Neoplasma intraepitel (CIN) konjungtiva dan kornea
• Dermoid limbus

2.4.8. Penatalaksaan

Terapi definitif pterigium adalah bedah eksisi jaringan pterigium. Akan tetapi, karena angka
rekurensi yang cukup tinggi, bedah eksisi dengan meninggalkan sklera yang terbuka belum
memadai. Oleh karena itu, setelah eksisi, tindakanperlu ditambah dengan penutupan sklera yang
terbuka tersebut menggunakan conjunctival autograft tau conjunctivolimbal autograft, atau
menggunakan graft jaringan selaput amnion.
Terapi medikamentosa untuk pterigium bersifat simtomatik dan dapat diberikan untuk
mengurangi keluhan subjektif pasien seperti mata merah, mengganjal, dan perih. Kualitas lapisan
air mata sebagai pelindung jaringan permukaan mata harus diperbaiki dengan pemberian artificial
tears terus- menerus. Obat anti-inflamasi non-steroid topikal dengan dosis 4 kali sehari satu tetes
dapat diberikan saat pterigium mengalami peradangan akibat iritasi lingkungan. Meskipun
demikian, aspek penting dalam penatalaksanaan pterigium adalah edukasi untuk mengurangi
pajanan terhadap sinar matahari. Tanpa perubahan lingkungan/kebiasaan ini, kemerahan atau iritasi
akibat pterigium akan cenderung untuk terus terjadi.
Penggunaan pelindung mata seperti kacamata dengan filter terhadap ultraviolet, topi lebar
atau payung, dapat menurunkan inflamasi dan mengurangi pajanan terhadap sinar matahari yang
merupakan faktor risiko utama terjadinya pterigium. Dan cara terbaik untuk mencegah pterigium
kembali adalah dengan menghindari sinar matahari, kekeringan, dan debu.

2.4.9. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada pterigium yang tumbuh secara progresif tentu menyebabkan
terjadinya penurunan fungsi mata sehingga penderita pterygium akan mengalami kesulitan dalam
melihat. Tindakan pembedahan yang dilakukan dengan mengeksisi bagian pterygium pada saat
pasca operasi terkadang menimbulkan rasa nyeri. Sehingga pterygium ini pun dapat menyebabkan
kebutaan. Adapun komplikasi lainnya berupa : kekambuhan, jaringan parut kornea, perforasi
kornea, Strabismus, Defek epitel non-healing (terutama dengan mitomycin C), Scleral melt
(terutama dengan mitomycin C).









BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Pnelitian


Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang cross sectional dengan
dengan uji statistik Chi-Square.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian akan dilakukan di Sumba - NTT dan akan dimulai pada bulan November 2021.

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi Penilitan
Populasi pada penelitian ini adalah pasien-pasien yang telah menderita pterigium di
Sumba-NTT yang bekerja di sektor Pertanian pada bulan November - Desember 2021
3.3.2. Sampel Penelitian
Sample penelitian akan diambil secara acak dengan menggunakan simple random
sampling. Dalam menentukan minimal sample yang akan diteliti ditentukan dengan
menggunakan rumus Slovin sebagai berikut :
Keterangan:
n: Jumlah sample
N: Jumlah populasi
e: Batas toleransi kesalahan (error tolerance)
n = 61,83 62

3.4. Definisi Operasional


1. Usia
Definisi : Lama waktu seseorang hidup mulai dari pertama kali dilahirkan
sampai pada usia ketika menderita pterigium.
Cara Pengukuran : Wawancara dan Pengisian Kuisioner
Skala Ukur : Ordinal
2. Jenis Kelamin
Definisi : Perbedaan jenis seksual, terbagi menjadi laki-laki dan perempuan.
Cara Pengukuran : Pengisian Kuisioner
Skala : Nominal
Kriteria Objektif : 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Penurunan Visus
Definisi : Menurunya fungsi penglihatan yang disebabkan adanya kelainan
pada mata
Cara Pengukuran : Wawancara dan Pengisian Kuisioner
Skala : Nominal
Kriteria Objektif : Menderita Pterydium
Tidak Menderita Pterigium







































3.5. Cara Pengambilan Sample


Cara pengambilan sample adalah dengan cara non random purposive.

3.6. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dengan wawancara dan pengisian kuesioner.

3.7. Instrumen Pengumpulan Data Penelitian


Instrument pengumpulan data penelitian adalah kuesioner.

3.8. Pengolahan Data, Analisis Data, serta Penyajian Data


3.7.1. Pengolahan Data
Data yang terkumpul dari setiap responden penelitian akan diproses dengan menggunakan
Program Package for Social Science (SPSS).
3.7.2. Analisa Data
Data penelitian dianalisis dengan Program SPSS.
3.7.3 Penyajian Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan ddisajikan dalam bentuk tabel dan grafik.









BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, dan David Liang, MD


Diedit oleh Ingrid U. Scott, MD, MPH, Sharon Fekrat, MD, dan Elizabeth M. Hofmeister, MD.
https://www.aao.org/eyenet/article/management-of-pterygium-2. October 2021.

2. American Academy of Ophthalmology. https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-asia-


pacific. November 2015

3. Syska Widyawati. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal 119-121. Jakarta. 2012.

4. Toni Alie Ngena Pinem. https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/


download/802/pdf. Vol.4. Desember 2015.

5. American Academy of Ophthalmology. Fundamental and Principles of Ophthalmology.


Basic Clinical Sience and Course. 2019-2020.

6. Youngson SM. Recurrence of pterygium after excision. Br J Ophth 1972; 56:120

7. Prathama Sarkar; Koushik Tripathy. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558907/.


Agustus 2021.

8. Nambi Nallasamy, https://eyewiki.aao.org/Pterygium. Maret 2021.

9. Kierstan Boyd. https://www.aao.org/eye-health/diseases/pinguecula-pterygium-diagnosis-


treatment. Oktober 2020.

Anda mungkin juga menyukai