Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1ANATOMI USUS BESAR


Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel
selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan
submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang
disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar
limfa, terdapat lipatan lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan
lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat
saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau
kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah pindah atau menghilang.
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior dan
arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi
cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri
ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri sigmoidae.
Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang dari arteri
mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya
pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri sigmoidae yang
terdapat didalam mesocolon transversum dan mesosigmoid.
Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama dengan arteri colica
media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti pembuluh darah arteri
untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior yang bermuara ke
dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju ke nn. ileocolica, nn. colica dextra, nn.
colica media, nn. colica sinistra dan nn. mesenterica inferior.
Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis. Colon ascendens
panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca dextra sampai flexura coli
dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah ventral ren dextra,
hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens ini
retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal
abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra. Arterialisasi colon
ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri
mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di
sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas.
Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus
cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat
hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di
sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi
colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica
superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior

Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon


transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa disebut
radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli dextra.
Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan disebut
ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan
duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari
mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat
bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.

Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai
fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya
dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum
dan erat hubungannya dengan ren sinistra.
Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri
sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior. Colon sigmoideum
mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal, dan terletak didalam fossa
iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel pada fossa iliaca
sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya didalam lumen,
bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis,
bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke dorsal
lagi.
Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada
aditus pelvis di sebelah depan os sacrum.
Arterialisasi didapat dari cabangcabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis
superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya
anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan vena haemorrhoidalis medius dan
inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica
inferior hanya vena haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca
interna.
Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral
(vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada
penyakit hepar sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai
radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan
percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-
kaki huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.
2.2 Fisiologi USUS BESAR
2.2.1 Pertukaran air dan elektrolit
Kolon ialah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit. Sebnyak 90 %
kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1-2 L per hari. Natrium diabsorpsi secara aktif
melalui NA-K-ATPase. Kolon dapat mengabsorpsi sebanyak 400 mEq perhari.
Air diserap secara pasif mengikuti dengan natrium melalui perbedaan osmotik.
Kalium secara aktif disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida
diabsoprsi secara aktif melalui pertukaran klorida-bikarbonat. Degradasi bakteri dari protein
dan urea menghasilkan amonia.
Amonia adalah substansi yang diabsorpsi dan ditransportasikan ke hati. Absorpsi
amonia ini tergantung daro pH intraluminal. Penggunaan antibiotik akan menyebabkan
penurunan bakteri usus dan penuran pH intraluminal yang akan menyebabkan penurunan
absorpsi amonia.
3. DEFINISI KANKER KOLON
Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca Colon atau Kanker Usus Besar adalah
suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu).

4.Etiologi
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun kekerabatan
tingkat pertama dari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-9 x untuk dapat
terkena kanker.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak jenuh
meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk
individu dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa
orang dari negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini.

5. EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4 di
dunia dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19.4 dan 15.3 per 100.000 penduduk.
Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh pasien
kanker di Amerika Serikat. Kanker usus besar adalah penyebab paling umum ketiga kematian
kanker pada wanita (setelah kanker paru-paru dan payudara) dan penyebab yang paling
umum ketiga kematian kanker pada laki-laki (setelah kanker paru-paru dan prostat).
5. PATOFISIOLOGI
Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC, DCC deleted
in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan perkembangan dari polip
adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini.

Gambar 3 Perkembangan Menuju Karsinoma


Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien
dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen APC
dapat diidentifikasi. Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik kanker
kolorektal. Gen APC merupakan gen supresi tumor.
Mutasi pada setiap alel diperlukan untuk pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi
ialah prematur stop kodon yang menghasilkan truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri
tidak menghasilkan karsinoma. Akan tetapi, mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan
genetik yang menghasilkan keganasan.
Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen
supresi tumor DCC dan p53. K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1
alel siklus sel. Gen Kras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi
signal intraceluler. Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang
dihidrolisis menjadi guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G protein. Mutasi
K-ras menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan G protein
aktiv secara permanen.
Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol. DCC ialah gen
supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk degenerasi keganasan, mutasi
DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma kolorektal dan memiliki prognosis negatif.
Gen supresi tumor p-53 sudah banyak dikarakteristikan dalam banyak keganasan. Protein p53
penting untuk menginisiasi apoptosis dalam sel pada kerusakan genetik yang tidak dapat
diperbaiki. Mutasi p53 diperlihatkan dalam 75% kasus.

Gambar 3 Gambaran Klinis Kanker Colon

6. MANIFESTASI KLINIS KANKER COLON


Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum).
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan
utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal
ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum
terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak
tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh
ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan
penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan
berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang
menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB.
Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur
dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah.
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air
besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi
maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis.
Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan
sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan
dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal
Kolon kanan :
Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia
Tes darah samar pada feses
Gejala dispepsia
Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
Teraba massa abdominal
Kolon kiri :
Gangguan pola buang air besar
Darah makro pada feses
Gejala obstruksi

Gambaran 4 Gejala Klinis Ca Colon


6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Rigid Proctoscopy
Proctoscopy digunakan untuk mengevaluasi kanal anal, rektum dan kolon sigmoid.
Proctoscope pendek, lurus, rigid, dengan pipa metal dan biasanya terdapat cahaya diatasnya.
Panjangnya sekitar 15cm. Proctoscope dilubrikasi dan dimasukan ke dalam rektum,
kemudian obturator disingkirkan dan terlihat bagian interior dari rektum.
b. Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan paling baik digunakan dalam
pemeriksaan usus besar. Kolonoskopi dilakukan dengan bantuan endoskopi. Komplikasi
utama setelah kolonoskopi ialah perforasi dan pendarahan, namun sangat kecil.
Gambar 5 Pemeriksaan Kolonoskopi
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon
dengan spesifitas 85%.
Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk
biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk
kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema
barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak
terjangkaudengan pemeriksaan kolonoskopi.

Gambar 6 Hasil Radiologi Ca Colon


7. Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda.
Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian
diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
8. Tatalaksana
Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan drainase
regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan walaupun telah terjadi
metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah metastase.
Tujuan terapi karsinoma kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular.
Reseksi dari usus tergantung dari pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut.
Organ atau jaringan penyokong seperti omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor.
Bila seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis
dilakukan diawali dengan irigasi usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang
diharapkan sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau dihancurkan.

Gambar 7 Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer


Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding dengan loop
kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding abdomen dibuat dan
akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui
dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai hartmanns pouch.
Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi.
Gambar 8 Kolonoskopi

Anatomi Cairan Tubuh


Total Body Water ( TBW )
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari berat badan
pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung beberapa faktor diantaranya:
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki- laki dewasa
dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah merah
yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi menurut
fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit
dibanding jaringan tubuh lainnya(1).
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan
umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang
lebih rendah dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein
yang merupakan komponen utama intra seluler(1).
Komposisi Cairan Tubuh
Secara garis besar, komposisi cairan tubuh yang utama dalam plasma, interstitial dan
intraseluler ditunjukkan pada tabel berikut:

Kebutuhan Air dan Elektrolit


Bayi dan anak
Pada bayi dan anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :
Berat badan Kebutuhan air perhari
Sampai 10 kg 100 ml/kgBB
11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB
( untuk tiap kg diatas 10 kg)
>20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB
( untuk tiap kg diatas 20 kg)
Kebutuhan kalium 2,5 mEq/kgBB/hari
Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari
Orang dewasa
Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :
Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari

Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari

Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari


Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan
Yang menyebabkan adanya suatu peningkatan terhadap kebutuhan cairan harian diantaranya (2) :
Demam ( kebutuhan meningkat 12% setiap 10 C, jika suhu > 370 C )

Hiperventilasi

Suhu lingkungan yang tinggi

Aktivitas yang ekstrim / berlebihan

Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria


Yang menyebabkan adanya penurunan terhadap kebutuhan cairan harian diantaranya yaitu :
Hipotermi ( kebutuhannya menurun 12% setiap 10 C, jika suhu <370 C )

Kelembaban lingkungan yang sangat tinggi

Oliguria atau anuria

Hampir tidak ada aktivitas

Retensi cairan misal gagal jantung


Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transport pasif dan aktif. Mekanisme transport pasif tidak membutuhkan energi sedangkan
mekanisme transport aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transport pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP(1).
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung secara :
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
(permeabel selektif dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi
hingga kadarnya sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air
(pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-
kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-laktat), lebih rendah disebut
hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik(7).
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah
juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung
kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa ion natrium keluar
melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam.
Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam
sel.
Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau diperlukan
proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit di dalam dan di luar
sel berbeda. Cairan intraselular banyak mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan
ekstraselular banyak mengandung ion Na dan ion Cl(7).
Perubahan Cairan Tubuh
Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :
1. Volume,

2. Konsentrasi, dan

3. Komposisi.
Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang
lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian, dapat juga terjadi secara terpisah
atau sendiri yang dapat member gejala-gejala tersendiri pula. Yang paling sering dijumpai
dalam klinik adalah gangguan volume.
1. Perubahan Volume

Defisit Volume
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan
pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat, lebih
dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (.150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.
Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan
konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama
dalam kompartemen intravascular maupun kompartemen ekstravaskular(3).
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Sedangkan
dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan
natrium lebih sedikit dari darah(3).
Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang hilang, maka dehidrasi dapat
dibagi atas :
1. Dehidrasi ringan (defisit 4%BB)

2. Dehidrasi sedang (defisit 8%BB)

3. Dehidrasi berat (defisit 12%BB)

Gambar 11 Rumus Holiday Segar


Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan + penggantian defisit)
untuk 24 jam pertama. Berikan separuhnya dalam 8 jam pertama dan selebihnya dalam 16
jam berikutnya.
1. Kelebihan Volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun
pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat
sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan GFR), sirosis, ataupun gagal jantung
kongestif(5).
2. Perubahan Konsentrasi
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau hiponatremia
maupun hiperkalemia atau hipokalemia(4).
Rumus untuk menghitung defisit elektrolit :
o Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan Na serum sekarang) x 0,6 x BB
(kg)

o Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] K serum yang diukur)
x 0,25 x BB (kg)

o Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter] Cl serum yang
diukur) x 0,45 x BB (kg)
3. Perubahan komposisi
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi osmolaritas
cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan konsentrasi K dalam darah dari 4
mEq menjadi 8 mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi sudah
cukup mengganggu otot jantung(6).
Demikian pula halnya dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan
hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8 mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum
banyak menimbulkan perubahan osmolaritas(1).
Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit
Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena:
Gastroenteritis, demam tinggi ( DHF, difteri, tifoid )

Kasus pembedahan ( appendektomi, splenektomi, section cesarea, histerektomi )

Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang (


kehilangan cairan melalui muntah )
Dehidrasi

Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya terjadi kekurangan jumlah cairan


tubuh dari jumlah normal akibat kehilangan, aasupan yang tidak memadai atau kombinasi
keduanya. Menurut jenisnya dehidrasi dibagi atas(2):

Dehidrasi hipotonik

Dehidrasi hipertonik

Dehidrasi isotonik
Sedangkan menurut derajat beratnya dehidrasi yang didasarkan pada tanda interstitial dan
tanda intravaskuler yaitu ;
Dehidrasi ringan ( defisit 4% dari BB)

Dehidrasi sedang ( defisit 8% dari BB)

Dehidrasi berat ( defisit 12% dari BB)

Syok ( defisit dari 12% dari BB)


Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut :
Turgor kulit yang jelek

Mata cekung

Ubun-ubun cekung

Mukosa bibir dan kornea kering


Defisist cairan intravaskuler dengan gejala sebagai berikut :
Hipotensi, takikardi

Vena-vena kolaps

Capillary refill time memanjang

Oliguri

Syok ( renjatan)
Dehidrasi hipotonik ( hiponatremik )
Pada anak yang diare yang banyak minum air atau cairan hipotonik atau diberi infus glukosa
5% (4):
Kadar natrium rendah ( <130 mEq/L)

Osmolaritas serum < 275 mOsm/L

Letargi, kadang- kadang kejang


Dehidrasi hipertonik
Biasa terjadi setelah intake cairan hipertonik ( natrium, laktosa ) selama diare

Kehilangan air >> kehilangan natrium

Konsentrasi natrium > 150 mmol/ L

Osmolaritas serum meningkat > 295 mOsm/L

Haus, irritable

Bila natrium serum mencapai 165 mmol/L dapat terjadi kejang


Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu(5) :

Resusitasi cairan

Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali dapat
menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari cairan intravaskuler
dan memperbaiki perfusi jaringan.

Terapi rumatan

Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang diperlukan oleh
tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Gambar 12 Terapi
Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :
Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan feses
Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil

Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :

Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )


Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
Caitran pengganti ( replacement )
Sekuestrasi ( cairan third space )

Pengganti darah yang hilang

Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan penghitungan untuk menghitung
berapa besarnya cairan yang hilang tersebut :
Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma 1,025 x BB x 4 ml
Ket. BD plasma = 0,001
Dari serum Na+
Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium 1 )
Ket. Plasma Na = 140
Dari Hct
Defisit plasma (ml) = vol.darah normal (vol.darah normal x nilai Hct awal )
Hct terukur
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa kriteria klinis
seperti pada tabel di bawah ini ;
Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan
larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada
yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan
antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan
kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada
dalam ruang intravaskular(5).
Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer
laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena
perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar
ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan
timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah
besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi
bikarbonat akibat metabolisme laktat(7).
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang rendah
atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi
dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas-hiperglikemik,
diuresis osmotik, dan asidosis serebral.

Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama dalam ruang intravaskuler(5).
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada
kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit
cairan dari pada larutan kristaloid(6).
Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian
tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang mengandung partikel
onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian
besar akan menetap dalam ruang intravaskular(5).
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular, namun
koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan menarik pula
cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, sebab
mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.
Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia. Albumin
dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam untuk meminimalisir resiko
transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin
dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2
jam setelah pemberian.

Dekstran

Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari sukrose
oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim dekstran sukrose.
Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan
dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan
kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70
(BM 70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau
Ringer laktat(8).
Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis
tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian
dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5
gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20
ml/kgBB/hari(8).
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam
24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel
sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu hemostasis.
Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan alasan timbulnya
perdarahan yang meningkat.

Reaksi alergi terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid
mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik
karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

Gelatin

Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum dipasaran
adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut NaCL isotonik.
Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL isotonik dengan
Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L(8).
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada koloid
yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis yang mengancam
nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai
akibat efek langsung gelatin pada sel mast(8).
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk
ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat ginjal dalam
urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil
dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka
tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya efek
dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada
pasien yang menjalani hemodialisis(8).

Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi


perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru terjadi, gagal
jantung kongestif dan syok normovolemik.

Hydroxylethyl Starch (HES)


Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok koloid sintetik
polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Kurang dapat diterima kanji
hidroksi (HES ) untuk pengantian volume paling mungkin akibat laporan-laporan adanya
koagulasi abnormal yang menyertai subtitusi plasma ini.
Laporan laporan tentang HES yang memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu
dan kecenderungan perdarahan yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian
preparat HES berat molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel HES
adalah 17 hari(5).
Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan reaksi
anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %.

Indikasi pemberian HES adalah :Terapi dan profilaksis defisiensi volume


(hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan dengan pembedahan (syok
hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok septik), kombustio (syok kombustio)(5).

Sedangkan kontra indikasi adalah : Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal
(kreatinin serum >2 mg/dL dan >177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali
kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.

Kontroversi kristaloid versus koloid

Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi hendaknya
ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal. Cairan ideal adalah
yang dapat membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas karena ketidak mampuan
membawa O2. Darah lengkap marupakan ekspander volume fisiologis dan komplit, namun
terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi
viral, reaksi alergi dan mahal(7).

Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat karena
mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah. resusitasi hemodinamik lebih cepat
dilaksanakan dengan koloid karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskular dengan
lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari
pembuluh darah dan hanya bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Larutan
kristaloid juga mengencerkan protein plasma sehingga TOK menurun, yang memungkinkan
filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian
garam dan air yang berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan
yang cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan
waktu paruh yang lama misalnya : Haes steril 6 %.
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat memberi
koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin, Haemaccel, Gelafundin
atau Dextran L. Dengan begitu, manakala darah siap untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam
kemudian, kita dapat melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam
ruang intravaskular(7).

Berikut ini tabel beberapa jenis cairan kristaloid dan kandungan masing- masing :

Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu kehilangan cairan
yaitu ;
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam: Buku
ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. hal 375-7.

2. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada Pembedahan. Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. 2002.

3. Pinnock, Colin, et al. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM. 1999.

4. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta: Farmedia. 2003.

5. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United Kingdom : Churchill
Livingstone. 2007.

6. Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller. Basics of Anesthesia. Fifth edition. California :
Churchill Livingstone. 2007.

7. Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic Principles and
Clinical Practice. United Kingdom : Churchill Livingstone. 2004.

8. Morgan, GE, et al. Clinical Aneshesiology : Fluid Management and Transfusion. Third
Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2002.

Anda mungkin juga menyukai