(Laporan Kasus)
Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Cantik Putri Pertiwi, Sp.OG
Disusun Oleh:
dr. Febri Nadyanti
LAPORAN KASUS:
Disusun Oleh:
dr. Febri Nadyanti
Pembimbing,
Halaman
DAFTAR ISI............................................................................................................i
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...........................................................................................3
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Faktor risiko persalinan preterm spontan dan ketuban pecah dini.....................14
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya kepada penulis
sehingga penulis dapat diberikan kelancaran dalam menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “G3P2A0 Hamil 38 Minggu Inpartu Kala I Fase Laten Dengan
Ketuban Pecah Dini Dan Preeklampsia Berat Dengan Riwayat Sc 2 Kali Janin
Tunggal Hidup Intrauterin Presentasi Kepala” ini. Ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya penyusun ucapkan kepada dokter pembimbing dr. Cantik Putri
Pertiwi, Sp.OG yang telah memberikan kesempatan dan arahan demi penyelesaian
laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini tentu saja masih terdapat kekurangan karena
kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Studi ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan laporan kasus. Kasus
diambil dari IGD PONEK Rumah Sakit Umum Daerah Jagakarsa pada
tanggal 10 September 2022. Data yang diambil adalah data primer yaitu
pemeriksaan fisik pasien dan data sekunder yaitu autonamnesis serta
pemeriksaan penunjang pasien.
2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui kasus ibu hamil
dengan ketuban pecah dini dan preeklampsia berat yang mencakup definisi,
etiologi, penegakkan diagnosis hingga tatalaksana dan komplikasi yang dapat
terjadi.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
A. KELUHAN UTAMA
Ibu hamil 38 minggu datang mengeluhkan keluar air-air dari kemaluan
sejak 3 jam SMRS.
E. RIWAYAT ALERGI
Tidak ada
F. RIWAYAT HAID
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari,
teratur Lama : 7 hari
Jumlah : ± 40 cc/24 jam
HPHT : 18 desember 2021
HPL : 25 September 2022
G. RIWAYAT PERKAWINAN
Pernikahan : Ke – 1
Usia menikah : 22 tahun
Lama menikah : 14 tahun
H. RIWAYAT OBSTETRIK
No. Tgl Usia Jenis Penolong Anak Keadaan
partus kehamilan partus JK BBL PBL anak
sekarang
1. 2016 Aterm SC Dokter P 4200 51 Hidup
2. 2019 Aterm SC Dokter L 3500 50 Hidup
3. Hamil
ini
5
I. RIWAYAT ANC
Ibu hanya satu kali melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas
saat usia kehamilan ± 17 minggu.
Ibu tidak pernah melakukan pemeriksaan USG
J. RIWAYAT GINEKOLOGI
Tidak ada
K. RIWAYAT KONTRASEPSI
Kontrasepsi suntik 3 bulanan
B. Status Generalis
Kepala Normosefal
Rambut Hitam, persebaran merata, dan tak mudah dicabut
6
Mukosa bibir tak tampak kering, tidak pucat dan
Mulut
tidak sianosis
Tidak terdapat benjolan, kemerahan, atau
Leher
pembesaran KGB
Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada,
pergerakan dada simetris saat inspirasi dan
ekspirasi, terdapat retraksi iga
Paru
Auskultasi: vesikular +/+, tidak ada mengi dan ronki
di kedua lapang paru
Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
Bunyi jantung S1-S2 reguler, tidak ada murmur atau
Jantung
gallop
Inspeksi: cembung, terdapat scar operasi
Palpasi: Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
Abdomen
fundus (-)
Auskultasi: Bising usus normal
Akral hangat, CRT <2 detik. Tidak ada edema.
Ekstremitas Tonus otot dan fungsi gerakan baik di keempat
ekstremitas
C. Status Obstetrik
Periksa Luar :
Leopold I : Teraba bulat lunak kesan bokong. TFU: 41 cm; TBJ: (41 cm -
12)x155 = 4.495 gram
Leopold II : Teraba bagian panjang pada sisi kanan, DJJ: 143 x/menit
Leopold III : Teraba bulat keras melenting kesan kepala
Leopold IV : Konvergen; Kepala belum masuk pintu atas panggul
HIS 2x/10’/20”
Inspekulo
Portio : livid
OUE : terbuka
Fluksus : +, tidak aktif
Flour : -
Erosi/ polip/laserasi : -/-/-
7
Tes lakmus : biru
Pemeriksaan dalam:
Portio : Retro, tebal kaku
Pendataran : 25%
Pembukaan : 2 cm
Ketuban : (-)
Bagian terbawah janin : tidak dapat dinilai
Penurunan kepala : Hodge I
Penunjuk : tidak dapat dinilai
8
URINE LENGKAP
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
dewasa normal
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Jernih Jernih
Berat jenis 1.015 1.005 – 1.030
pH 6,5 5,0 – 7,5
Protein Negatif mg/dL Negatif
Glukosa Negatif mg/dL Negatif
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Urobilinogen < 2.0
Leukosit 2–4 /LPB
Eritrosit 0–1 /LPB
Epitel skuamosa 2–4 /LPB Positif
Epitel bulat Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain – lain Negatif Negatif
CTG
9
2.6 PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 500 ml/8 jam
- CTG
- Cek Laboratorium Darah Lengkap, Urine lengkap
- Observasi DJJ, kontraksi uterus dan tanda vital ibu
- Konsul dr. Spesialis Obstetri dan Ginekologi:
Advice dr.Sp.OG:
1. Inj. Ceftriaxone 1 gram i.v
2. Loading 4 gram MgSO4 40% bolus pelan selama 20 menit
3. Maintenance 6 gram MgSO4 40% dalam 500 ml RL secara i.v
dengan kecepatan 28 tpm selama 6 jam
4. Inj. Nifedipine titrasi 10 mg
5. Inj. Dexamethasone 12 mg i.v
6. Pasang Kateter urin
7. Rujuk RS lain tatalaksana lanjutan
2.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1
korion, dan akan melapisi seluruh kavum uteri pada kehamilan trimester
kedua. Matriks ekstraseluler tersusun dari protein fibrosa yang melekat
pada gel polisakarida yang akan menyusun struktur dari selaput
amniokorion. Kekuatan dari membran amniokorion ini tergantung dari
tipe kolagen yang menyusun matrik ekstraseluler tersebut. Kolagen
merupakan penyusun utama struktur dari matriks ekstraseluler.
Kekuatan utama selaput amniokorion adalah dari kolagen interstisial
tipe I dan III diikuti dengan sejumlah kecil kolagen tipe V, VI, dan VII.
Kolagen tipe IV yang terdapat pada membrana basalis akan membantu
pembentukan dari struktur protein non kolagen yang lain (laminin,
entacin, dan proteoglikan). Kolagen tipe IV ini berperan dalam
perkembangan matriks ekstraseluler. Kolagen tipe V dan VII
merupakan kolagen fibrilar minor, bersama kolagen tipe IV akan
menjaga fungsi dari membrana basalis.2,17
1
Gambar 2. Struktur Selaput Amnion pada Kehamilan Aterm.19
3.1.3 ETIOLOGI
Pada kehamilan aterm, kelemahan dari membran janin merupakan salah
satu penyebab terjadinya pecahnya selaput ketuban. Prosedur
pemerikaan invasif yang dilakukan selama persalinan (amniosintesis,
chorionic villus sampling, fetoskopi, dan sirklase) dapat merusak
membran ketuban, dan menyebabkan pecahnya selaput ketuban, namun
hal ini sangat jarang dilakukan. Faktor risiko terjadinya persalinan
preterm spontan diidentifikasikan pada tabel 1. 22
1
Tabel 1. Faktor Risiko Persalinan Preterm Spontan dan Ketuban
Pecah Dini.22
Faktor maternal:
Riwayat pecah ketuban sebelumnya (angka rekurensi 20-30%,
dibandingkan dengan 4% pada wanita tanpa komplikasi persalinan
sebelumnya)
Perdarahan pervagianam
Terapi steroid jangka panjang
Trauma abdomen langsung
Persalinan preterm
Merokok
Penggunaan kokain
Sosial ekonomi rendah
Faktor uteroplasenter
Anomali uterus
Solusio plasenta (mungkin terjadi pada 10-15% dari persalinan
preterm)
Serviks insufisiensi/ serviks inkompeten
Polihidramnion
Infeksi intra amnion (korioamnionitis)
Pemeriksaan vagina berulang
Senggama
Faktor janin:
Kehamilan multipel (ketuban pecah dini terjadi pada 7-10% dari persalinan multipel)
3.1.4 PATOFISIOLOGI
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel
seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang terikat erat
dalam matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air
ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi. Dalam keadaan normal,
selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban Pecah Dini
adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila
Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut
Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal
8 - 10 % perempuan hamil aterm akan mengalami Ketuban Pecah
Dini.23
1
terjadi dalam kolagen matriks eksra selular amnion, korion, dan
apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi
terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein
hormon yang merangsang aktivitas " matrix degrading enzym"3.
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah
karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh
selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah.23
1
faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina.
Ketuban Pecah Dini prematur sering terjadi pada polihidramnion,
inkompeten serviks, solusio plasenta.23
3.1.5 DIAGNOSIS
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum). Pada anamnesis
perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi
dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa
indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko
infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu
dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya
tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian
terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm
secara visual. Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat
harus diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis,
ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai
dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport
untuk dikultur.2
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika
diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks
posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan
sekret vagina ~ 4.5 - 6) dan cari arborization of fluid dari forniks
posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien
tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat
kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan
kepala yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan
1
digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali
pusat.2
3.1.6 TATALAKSANA
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas
dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat
karena infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah
37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti,
dokter kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi.
Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ janin, dan
1
bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan
maupun tokolisis.2
1
3.1.7 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada KPD yaitu infeksi, dan persalinan
preterm. Selaput ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang
terhadap masuknya kuman penyebab infeksi. Dengan tidak adanya
selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal dapat
menjadi patogen dan akan membahayakan baik ibu maupun pada
janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang cepat seperti
induksi persalinan untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk
mengurangi kemungkinan risiko terjadinya infeksi. Masalah yang
sering timbul pada bayi kurang bulan adalah sindroma gawat nafas yang
disebabkan belum matangnya paru.15,16,24
3.2 PREEKLAMPSIA
3.2.1 DEFINISI
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan/diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan
organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan
organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika
protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu;25
A. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
B. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
C. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen.
D. Edema Paru
E. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
1
F. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent orreversed end diastolic velocity
(ARDV).
3.2.3 PATOFISIOLOGI
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini beium diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya
hipertensi dalam kehamilan, terapi tidak ada satu pun teori tersebut
yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut
adalah23
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah
dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua
pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri
arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri
basalis memberi cabang arteria spiralis. Pada hamil normal, dengan
sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam Iapisan otot
2
arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga
memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks
menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis
ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi
vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta.
Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan
juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling arteri spiralis".
2
toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses
norrnal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu
dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu
hipertensi dalam kehamilan disebut "toxaemia".
2
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh strukrur sel
endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi endotel" (endothelial
dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi
sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menumnnya
produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup
tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan TXA2) suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih
tinggi vasodilatator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih
tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi,
dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerwlar
endotbeliosis).
Peningkatan permeabilitas kapilar.
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat.
Peningkatan faktor koagulasi.
2
Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
2
Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor
yang lebih tinggi untuk menirnbulkan respons vasokonstriksi. Pada
kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan
bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila
diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat
produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata
adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan
daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya,
daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang
sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan
kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam
kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh
minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin.
Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan
hanya 8 % anak menantu mengalami preeklampsia.
2
e. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi
gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah
penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat
gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan
insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati
halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit,
dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
f. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris
trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas,
2
akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing
yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar,
sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi
debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada
hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat,
sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat.
Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu
menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan
normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan
sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi
reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala
preeklampsia pada ibu.
3.2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy tahun 20011, ialah:23
a. Hipertensi kronik
b. Preeklampsia-eklampsia
c. Hipertensi kronik dengan swperimposed preeklampsia
d. Hipertensi gestasional.
2
Penjelasan pembagian klasifikasi
a. Hipenensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
seteiah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai
12 minggu pasca persalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria
c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-keiang
dan/atau koma
d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah
hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi
kronik disertai proteinuria.
e. Hipertensi gestasional (disebur juga transient hypertension) adalah
hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan
hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria
3.2.5 DIAGNOSIS
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan
kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah
satu dibawah ini :25
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
2
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).
3.2.6 TATALAKSANA
Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat.25
a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat
kondisi ibu dan janin stabil.
b. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga
direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan
yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif bagi maternal dan
neonatal
c. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia
berat, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin
d. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk
melakukan rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif
2
PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT UNTUK MENCEGAH
KEJANG.25
a. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
eklampsia
b. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap
eklampsia pada pasien preeklampsia berat
c. Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien
preeklampsia berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk
mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
d. Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler magnesium sulfat
direkomendasikan sebagai prevensi dan terapi eklampsia
e. Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak
direkomendasikan
f. Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk
diberikan secara rutin ke seluruh pasien preeklampsia, jika tidak
didapatkan gejala pemberatan (preeklampsia tanpa gejala berat).
ANTIHIPERTENSI.25
a. Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg
b. Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan
diastolik < 110 mmHg
c. Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short
acting, hidralazine dan labetalol parenteral
d. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin,
metildopa, labetalol
3
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien berusia 36 tahun didiagnosa sebagai G3P2A0 hamil 38
minggu inpartu kala I fase laten dengan ketuban pecah dini (KPD) dan
preeklampsia berat (PEB) dengan riwayat SC 2 kali janin tunggal hidup
intrauterin presentasi kepala. Dasar diagnosis pasien ini adalah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis, pasien mengatakan tanggal HPHT
yaitu 18 desember 2021. Kehamilan ini merupakan kehamilan ketiga bagi pasien.
Pasien tidak memiliki riwayat abortus. Pasien datang ke IGD RSUD Jagakarsa
dengan keluhan keluarnya air – air dari kemaluan dirasakan tanpa adanya tahanan,
cairan yang keluar berwarna hijau dan berbau sejak 3 jam SMRS. Keluhan ini
juga disertai dengan mulas ingin melahirkan yang hilang timbul tanpa disertai
adanya lendir darah. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala dan
penglihatan terasa seperti buram. Tidak ada demam. Tidak ada nyeri ulu hati.
Tidak ada kejang. Tidak ada riwayat trauma maupun riwayat hubungan suami istri
sebelum munculnya keluhan. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD:
198/120 mmHg, pada pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 41 cm,
letak memanjang punggung kanan, presentasi kepala, penurunan 4/5, His (+).
Pada pemeriksaan dalam didapatkan portio tebal kaku, retro, effacement 25%,
pembukaan 2 cm, ketuban (-), bagian terbawah tidak dapat dinilai. Pada
pemeriksaan inspekulo didapatkan tes lakmus positif. Pada pemeriksaan
penunjang berupa darah lengkap didapatkan leukosit 15.240/µL dan pada
pemeriksaan urine lengkap didapatkan proteinuria negatif.
3
seperti riwayat kelahiran prematur sebelumnya, riwayat infeksi menular seksual,
hidup dalam status ekonomi rendah, merokok, distensi uterus yang berlebihan
(karena polihidramnion dan kehamilan ganda), cerclage, amniocentesis,
inflamasisekunder akibat infeksi choriodecidual, fisiologi membran amnion yang
abnormal, aborsi, perdarahan antepartum dan multiparitas seperti pada kasus ini
yaitu ibu hamil dengan G3P2A0.26
Selain KPD, pada pasien juga di diagnosis dengan Preeklampsia Berat. Pada saat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pada pasien mengeluhkan
nyeri kepala dan penglihatan terasa seperti buram. Tidak ada nyeri ulu hati. Tidak
ada kejang. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 198/120 mmHg.
Sebelumnya ibu tidak memiliki riwayat darah tinggi dan hal ini baru diketahui ibu
saat datang ke IGD di usia kehamilan 38 minggu menurut perhitungan HPHT.
Pada saat dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan kadar proteinuria dalam
urin negatif. Kondisi pada kasus ini dapat di diagnosis dengan preeklampsia yang
didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan/diatas usia
kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu;26 Trombositopenia : trombosit <
100.0 / mikroliter, Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau
didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya, Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2
3
kali normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen, Edema Paru, Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala,
gangguan visus, Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent orreversed end diastolic velocity (ARDV). Berdasarkan
kriteria gejala dan kondisi kasus di atas menunjukkan preklampsia berat
dikarenakan Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik.25
Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah observasi tanda vital ibu, kontraksi
uterus, denyut jantung janin menggunakan CTG, pemasangan kateter.
Pemasangan kateter foley pada pasien ini bertujuan untuk memantau cairan yang
keluar dari tubuh karena ditakutkan terjadi oliguria (produksi urin <30 cc/jam
dalam 2-3jam atau <500 cc/24jam).27,28 Penatalaksanaan medikamentosa yang
diberikan adalah cairan infus ringer lactate (RL) 20 tetes/menit, 4 gram MgSO4
40% lalu drip 6 gram MgSO4 40% dalam RL 500cc, Inj. Ceftriaxone 1 gram i.v,
Inj. Nifedipine titrasi 10 mg, Inj. Dexamethasone 12 mg i.v dan rujuk untuk
tatalaksana lanjut.
3
Kerja magnesium sulfat terhadap uterus sehingga terjadi relaksasi berbeda dengan
cara kerjanya terhadap otot bergaris. Kalau pada otot bergaris, magnesium
menghambat pengeluaran asetilkolin pada terminal saraf motorik (motor end plate
atau MEP). Menghambat/blokade sistem neuromuskular perifer, hipermagnesemia
menghalangi pelepasan asetilkolin (ACh) oleh motor nerve impulses dan
menurunkan sensitifitas motor end plate terhadap asetilkolin dan menurunkan
potensial motor end plate. Zat ini juga bekerja terhadap pembuluh darah tepi
dengan efek vasodilatasi dan mempertinggi pengaliran darah ke dalam rahim.
Mean arterial pressure trimester ketiga (MAP-3) pada penderita preeklampsia
jelas menurun setelah 6 jam pemberian suntikan magnesium sulfat intramuskular,
tetapi hal demikian tidak terdapat pada eklampsia. Tekanan darah sistolik dan
diastolik sama-sama turun bila dibandingkan dengan setelah 6 jam suntikan
magnesium sulfat pada penderita preeklamsia, sebaliknya tekanan darah sistolik
maupun diastolik pada penderita eklampsia sekalipun menurun akan tetap tidak
bermakna secara statistik. Adapun pemberian magnesium sulfat dapat dilakukan
dengan cara Prichard, yaitu memberikan loading dose MgSo4 40% 8 gram IM (4
gram bokong kanan dan 4 gram bokong kiri), dilanjutkan dosis pemeliharaan 4
gram/6 jam jika syarat terpenuhi. Syarat-syarat pemberian MgSO4 yaitu tersedia
antidotum MgSO4 (calcium gluconas 10%), refleks patella positif kuat, frekuensi
pernapasan lebih 16 x/menit dan produksi urin lebih dari 100 cc dalam 4 jam
sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).30
3
Selain pencegahan terhadap terjadinya kejang, antihipertensi direkomendasikan
pada preeklampsia dengan hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg untuk menurunkan tekanan darah pasien
Pemberian antihipertensi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori, yaitu
diberikan nifedipine 10 mg. Absorbsi terbaik nifedipine adalah melalui saluran
cerna. Pemilihan nifedipine juga dikarenakan beberapa jenis obat anti hipertensi
lainseperti metildopa/clonidine, labetalol, metoprolol dan hidralazine, serta
diuretikum tidak dibenarkan untuk diberikan secara rutin karena memperberat
penurunan perfusi plasenta, memperberat hipovolemia dan meningkatkan
hemokonsentrasi. Obat ini juga bekerja menghambat influx kalsium ke dalam sel
otot polos arteri. Nifedipin bersifat lebih selektif sebagai vasodilator dan
mempunyai efek depresi jantung yang lemah jika dibandingkan dengan obat
golongan CCB lainnya. Dosis maksimum nifedipin 120 mg perhari dan tidak
boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.23,25,32
American College of bstetricians and Gynaecology (ACOG) yang
merekomendasikan pemberian nifedipine pada hipertensi berat. Penurunan
tekanan darah dikontrol <160/110 mHg. Namun, target tekanan darah diastol tetap
di atas 80 mmHg untuk menjaga aliran darah uteroplasental.33
Pada pasien ini diberikan antibiotik berupa Ceftriaxone 1 gram i.v. Pemberian
antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm,hal ini dibuktikan
dengan 22 uji lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm yang telah
3
dilakukan meta-analisis menunjukkan penurunan yang signifikan dari
korioamnionitis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotik
mengurangi morbiditas maternal.2 Terdapat banyak rekomendasi yang
menyebutkan berbagai antibiotik seperti eritromisin, klindamisin, ampisilin,
hingga metronidazole. Perbedaan dalam pemilihan jenis dan regimen antibiotik
memang sangat mungkin terjadi. Hal ini dapat terjadi karena pemberian antibiotik
disesuaikan dengan sensitivitasnya terhadap bakteri penyebab infeksi. Golongan
sefalosporin telah diteliti memiliki persentase sensitivitas yang tinggi terhadap
bakteri Escherichia coli, dimana bakteri tersebut merupakan bakteri tersering
penyebab ISK yang merupakan salah satu faktor risiko KPD. Antibiotik golongan
sefalosporin telah menjadi antibiotik lini pertama di beberapa rumah sakit. Salah
satunyadisebutkan dalam sebuah penelitian di Indiadan juga di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, cefotaxime merupakan antibiotik yang paling sering
digunakan, diikuti dengan ceftriaxone.
3
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Diagnosis pada kasus ini adalah G3P2A1 hamil 38 minggu inpartu kala 1 fase
laten dengan ketuban pecah dini dan preeklampsia berat dengan riwayat sc 2 kali
janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala. Ketuban pecah dini dan
preeklampsia berat merupakan masalah penting dalam obstetrik yang berkaitan
dengan komplikasi yang dapat terjadi pada keduanya baik pada ibu maupun janin.
Dalam penatalaksanaan ketuban pecah dini dan preeklmpsia berat memerlukan
pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin, dan
adanya tanda-tanda persalinan. Sehingga sangat penting bagi ibu hamil untuk
melakukan pemeriksaan antenatal care di fasilitas kesehatan untuk mengetahui
perkembangan janin dan dapat melakukan screening lebih awal jika didapatkan
hipertensi selama kehamilan. Penanganan kasus ini sudah ditatalaksana dengan
tepat, saran yang sebaiknya dilakukan untuk pasien ini adalah melakukan
pemeriksaan USG untuk mengetahui usia kehamilan secara pasti dan menilai
indeks cairan amnion serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan
seperti LDH atau bilirubin total serta fungsi hati berupa sgot/sgpt untuk
mengetahui ada tidaknya hellp syndrome pada pasien.
3
DAFTAR PUSTAKA
3
10. Wilkerson RG, Ogunbodede AC. Hypertensive disorders of pregnancy.
Emerg Med Clin North Am. 2019;37:301–316.
13. Opitasari C, Andayasari L. Parity, education level and risk for (pre-)
eclampsia in selected hospitals in Jakarta. Health Scien Indones. 2014;
5:35-9
14. Bilano VL, Ota E, Ganchimeg T, Mori R, Souza JoP. Risk Factors of Pre-
Eclampsia/Eclampsia and Its Adverse Outcomes in Low and Middle-
Income Countries: A
WHO Secondary Analysis. Plos One. 2014;9(3):1-9.
15. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WA. Intrauterine infection and
preterm delivery.New Eng J Med. 2000;18:1500-08.
17. Lee SE, Romero R, Kim CJ, Shim SS, Yoon BH. 2009. Funisitis in term
pregnancy is associated with microbial invasion of the amniotic cavity and
intra-amniotic inflammation. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal
Medicine. 19(11):693-697.
18. Gravett NG, Sampson JE. Other infectious conditions. In: James DK, Steer
PJ, Weiner CP. High risk pregnancy management options. London: WB
Saunders Co Ltd ; 2006: 513-5.
19. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Williams Obstetrics 24th. New York: McGraw-Hill Companies Inc. 2015:
193-4.
20. Alexander JM, Mclntire DM, Leveno KJ. Chorioamnionitis and the
prognosis of term infant. Obstet Gynecol 2009;94:274-8.
26. Jena BH, Biks GA, Gete YK, Gelaye KA. Incidence of preterm premature
rupture of membranes and its association with inter-pregnancy interval: a
prospective cohort study. Nature portofolio. 2022;12(5714): 1 – 8.
27. Cunningham GF, Kenneth JL, Steve Bloom, dkk. Obstetri williams.Jilid 1.
Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2010.
30. Luciano EM, Villar J, Khan KS. Mapping the theories of preeclampsia :
the need for systemetic reviews of mechanism of disease. American J
Obstet Gynecol. 2006; 194(2): 317-21.
31. Manoe, M, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi.
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin Makasar. 2006.
36. Johnson AC, Tremble SM, Chan SL, et al. Magnesium sulfate treatment
reverses seizure susceptibility and decreases neuroinflammation in a rat
model of severe preeclampsia. PloS one. 2014;9(11):1-11.