Anda di halaman 1dari 48

G3P2A0 HAMIL 38 MINGGU INPARTU KALA I FASE LATEN

DENGAN KETUBAN PECAH DINI DAN PREEKLAMPSIA BERAT


DENGAN RIWAYAT SC 2 KALI JANIN TUNGGAL HIDUP
INTRAUTERIN PRESENTASI KEPALA

(Laporan Kasus)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Program Internsip di RSUD


Jagakarsa

Diajukan Kepada:
Pembimbing: dr. Cantik Putri Pertiwi, Sp.OG

Disusun Oleh:
dr. Febri Nadyanti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAGAKARSA
JAKARTA SELATAN
2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS:

“G3P2A0 HAMIL 38 MINGGU INPARTU KALA I FASE LATEN


DENGAN KETUBAN PECAH DINI DAN PREEKLAMPSIA BERAT
DENGAN RIWAYAT SC 2 KALI JANIN TUNGGAL HIDUP
INTRAUTERIN PRESENTASI KEPALA”

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Program Dokter Internsip


Indonesia Rumah Sakit Umum Daerah Jagakarsa

Disusun Oleh:
dr. Febri Nadyanti

Telah disetujui pada tanggal.............................................oleh:

Pembimbing,

(dr. Cantik Putri Pertiwi, Sp.OG)


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI............................................................................................................i
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...........................................................................................3

BAB II LAPORAN KASUS.................................................................................4


2.1 Identitas Pasien.............................................................................................4
2.2 Anamnesis....................................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................6
2.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................................8
2.5 Diagnosis Kerja............................................................................................9
2.6 Penatalaksanaan..........................................................................................10
2.7 Prognosis....................................................................................................10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................11


3.1 Ketuban Pecah Dini (KPD).........................................................................11
3.1.1 Definisi..............................................................................................11
3.1.2 Anatomi Selaput Ketuban.................................................................11
3.1.3 Etiologi..............................................................................................13
3.1.4 Patofisiologi.......................................................................................14
3.1.5 Diagnosis...........................................................................................16
3.1.6 Tatalaksana........................................................................................17
3.1.7 Komplikasi........................................................................................19
3.2 Preeklampsia................................................................................................19
3.2.1 Definisi..............................................................................................19
3.2.2 Faktor Risiko.....................................................................................20
3.2.3 Patofisiologi.......................................................................................20
3.2.4 Klasifikasi..........................................................................................27
3.2.5 Diagnosis...........................................................................................28
3.2.6 Tatalaksana........................................................................................29
ii

BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................37

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Faktor risiko persalinan preterm spontan dan ketuban pecah dini.....................14
iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Hubungan membran amniokorion, desidua,dan embrio....................................12


2. Struktur selaput amnion pada kehamilan aterm.........................................13
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya kepada penulis
sehingga penulis dapat diberikan kelancaran dalam menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “G3P2A0 Hamil 38 Minggu Inpartu Kala I Fase Laten Dengan
Ketuban Pecah Dini Dan Preeklampsia Berat Dengan Riwayat Sc 2 Kali Janin
Tunggal Hidup Intrauterin Presentasi Kepala” ini. Ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya penyusun ucapkan kepada dokter pembimbing dr. Cantik Putri
Pertiwi, Sp.OG yang telah memberikan kesempatan dan arahan demi penyelesaian
laporan kasus ini.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Internship di


RSUD Jagakarsa periode 13 Agustus 2022 sampai 12 Februari 2023. Selain itu,
besar harapan penulis dengan adanya laporan kasus ini akan mampu menambah
pengetahuan para pembaca sekalian mengenai G3P2A0 Hamil 38 Minggu Inpartu
Kala I Fase Laten Dengan Ketuban Pecah Dini Dan Preeklampsia Berat Dengan
Riwayat Sc 2 Kali Janin Tunggal Hidup Intrauterin Presentasi Kepala.

Dalam penyusunan laporan kasus ini tentu saja masih terdapat kekurangan karena
kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Jakarta, Januari 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau
setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature
rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau
KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).1
Prevalensi ketuban pecah dini berbeda di setiap negara.2 Menurut World
Health Organization (WHO), data premature rupture of membranes (PROM)
lebih banyak terjadi di negara berkembang.3 Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI) tahun 2013, angka kejadian
ketuban pecah dini di Indonesia dilaporkan bervariasi, berkisar antara 6%
sampai dengan 10%.4,5

Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetrik yang


berkaitan dengan komplikasi yang dapat terjadi pada keduanya baik pada ibu
maupun janin. Pada ibu, dapat mengakibatkan terjadinya infeksi intrauterin
sampai sepsis, dan pada janin dapat menyebabkan kelahiran preterm yang
meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal.6 Penatalaksanaan ketuban
pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada
komplikasi ibu dan janin, dan adanya tanda-tanda persalinan.2
preeklampsia/eklampsia, hipertensi kronik dan HELLP (Hemolysis, elevated
liver enzymes, low platelets).8–10 Preeklampsia adalah hipertensi yang dikenal
sebagai toksemia kehamilan yang menyebabkan gangguan multisistem
kehamilan yang berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer dan penurunan perfusi organ.11 Ketika terjadi koma
atau kejang pada preeklampsia berat maka disebut sebagai eklampsia. Hal ini
menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal, kasus
ini masih menjadi masalah kesehatan yang menantang untuk ditangani baik di
negara berkembang maupun negara maju. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2012, angka kejadian preeklampsia berat
berkisar antara 3 - 10%.12

Sebuah penelitian yang dilakukan di beberapa Rumah Sakit di Jakarta


menunjukkan bahwa nulipara memiliki risiko preeklampsia berat 78% lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita multipara. Selain itu, ditemukan juga
bahwa wanita berpendidikan rendah lebih berisiko dibandingkan wanita
berpendidikan sedang dan tinggi.13 Penelitian lain mengenai preeklampsia
berat di negara berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan bahwa
karakteristik sosiodemografi dan usia ibu di atas 30 tahun meningkatkan
risiko preeklampsia berat dan eklampsia.14

Studi ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan laporan kasus. Kasus
diambil dari IGD PONEK Rumah Sakit Umum Daerah Jagakarsa pada
tanggal 10 September 2022. Data yang diambil adalah data primer yaitu
pemeriksaan fisik pasien dan data sekunder yaitu autonamnesis serta
pemeriksaan penunjang pasien.

Selain itu, gangguan hipertensi mempengaruhi hingga 10% kehamilan di


seluruh dunia dan merupakan salah satu penyebab utama yang dapat
merugikan pada janin dan ibu.7 Hipertensi pada ibu hamil ini diklasifikasikan
menjadi empat bagian utama yaitu hipertensi gestasional,

2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui kasus ibu hamil
dengan ketuban pecah dini dan preeklampsia berat yang mencakup definisi,
etiologi, penegakkan diagnosis hingga tatalaksana dan komplikasi yang dapat
terjadi.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. YA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 36 tahun
Alamat : Jl. Lenteng Agung RT 04 RW 04, Lenteng Agung,
Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 10 September 2022

2.2 ANAMNESIS
A. KELUHAN UTAMA
Ibu hamil 38 minggu datang mengeluhkan keluar air-air dari kemaluan
sejak 3 jam SMRS.

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Ibu hamil 38 minggu datang ke IGD RSUD Jagakarsa mengeluhkan keluar
air-air dari kemaluan sejak 3 jam SMRS. Keluhan keluarnya air – air dari
kemaluan dirasakan tanpa adanya tahanan, cairan yang keluar berwarna
hijau dan berbau. Keluhan ini juga disertai dengan mulas ingin melahirkan
yang hilang timbul tanpa disertai adanya lendir darah. Selain itu pasien
juga mengeluhkan nyeri kepala dan penglihatan terasa seperti buram.
Tidak ada demam. Tidak ada nyeri ulu hati. Tidak ada kejang. Tidak ada
riwayat trauma maupun riwayat hubungan suami istri sebelum munculnya
keluhan.
C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Diabetes melitus (-), Hipertensi (-), Asma (-).

D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Diabetes melitus (-), Hipertensi (-), Asma (-).

E. RIWAYAT ALERGI
Tidak ada

F. RIWAYAT HAID
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari,
teratur Lama : 7 hari
Jumlah : ± 40 cc/24 jam
HPHT : 18 desember 2021
HPL : 25 September 2022

G. RIWAYAT PERKAWINAN
Pernikahan : Ke – 1
Usia menikah : 22 tahun
Lama menikah : 14 tahun

H. RIWAYAT OBSTETRIK
No. Tgl Usia Jenis Penolong Anak Keadaan
partus kehamilan partus JK BBL PBL anak
sekarang
1. 2016 Aterm SC Dokter P 4200 51 Hidup
2. 2019 Aterm SC Dokter L 3500 50 Hidup
3. Hamil
ini

5
I. RIWAYAT ANC
 Ibu hanya satu kali melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas
saat usia kehamilan ± 17 minggu.
 Ibu tidak pernah melakukan pemeriksaan USG

J. RIWAYAT GINEKOLOGI
Tidak ada

K. RIWAYAT KONTRASEPSI
Kontrasepsi suntik 3 bulanan

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum & Tanda Vital
● Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
● Kesadaran : Compos Mentis
● Tekanan darah : 198/120 mmHg
● Nadi : 94 x/menit, nadi kuat, regular
● Pernapasan : 20 x/menit, reguler
● Suhu : 36,6 oC
● Saturasi Oksigen : 99% on room air
● Akral : hangat

B. Status Generalis
Kepala Normosefal
Rambut Hitam, persebaran merata, dan tak mudah dicabut

Wajah Tidak terdapat paresis

Mata Sklera ikterik -/-, konjungtiva tidak pucat

Normotia, tidak tampak low set ears, tidak tampak


Telinga
sekret atau kemerahan
Tidak tampak deviasi septum, kemerahan, atau
Hidung
sekret. Tidak ada napas cuping hidung

6
Mukosa bibir tak tampak kering, tidak pucat dan
Mulut
tidak sianosis
Tidak terdapat benjolan, kemerahan, atau
Leher
pembesaran KGB
Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada,
pergerakan dada simetris saat inspirasi dan
ekspirasi, terdapat retraksi iga
Paru
Auskultasi: vesikular +/+, tidak ada mengi dan ronki
di kedua lapang paru
Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
Bunyi jantung S1-S2 reguler, tidak ada murmur atau
Jantung
gallop
Inspeksi: cembung, terdapat scar operasi
Palpasi: Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
Abdomen
fundus (-)
Auskultasi: Bising usus normal
Akral hangat, CRT <2 detik. Tidak ada edema.
Ekstremitas Tonus otot dan fungsi gerakan baik di keempat
ekstremitas

C. Status Obstetrik
Periksa Luar :
Leopold I : Teraba bulat lunak kesan bokong. TFU: 41 cm; TBJ: (41 cm -
12)x155 = 4.495 gram
Leopold II : Teraba bagian panjang pada sisi kanan, DJJ: 143 x/menit
Leopold III : Teraba bulat keras melenting kesan kepala
Leopold IV : Konvergen; Kepala belum masuk pintu atas panggul

HIS  2x/10’/20”

Inspekulo
Portio : livid
OUE : terbuka
Fluksus : +, tidak aktif
Flour : -
Erosi/ polip/laserasi : -/-/-

7
Tes lakmus : biru

Pemeriksaan dalam:
Portio : Retro, tebal kaku
Pendataran : 25%
Pembukaan : 2 cm
Ketuban : (-)
Bagian terbawah janin : tidak dapat dinilai
Penurunan kepala : Hodge I
Penunjuk : tidak dapat dinilai

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


DARAH LENGKAP
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
dewasa normal
Hemoglobin 10.4 g/dL 12 – 16
Eritrosit 3.82 Juta/µL 4.2 – 5.4
Leukosit 15240 /µL 4.500 – 11.000
Basofil 0.3 % 0–1
Eosinofil 1.6 % 1–4
Neutrofil batang 0 % 2–6
Neutrofil segmen 77.6 % 50 – 70
Limfosit 14.4 % 20 – 35
Monosit 6.1 % 2–8
Hematokrit 32 % 37 – 43
Trombosit 362000 /µL 150.000 – 400.000
NLR 5.4
ALC 2200
MCV 83.8 fL 82 – 93
MCH 27.2 Pg 27 – 31
MCHC 32.5 g/dL 32 – 37

8
URINE LENGKAP
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
dewasa normal
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Jernih Jernih
Berat jenis 1.015 1.005 – 1.030
pH 6,5 5,0 – 7,5
Protein Negatif mg/dL Negatif
Glukosa Negatif mg/dL Negatif
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Urobilinogen < 2.0
Leukosit 2–4 /LPB
Eritrosit 0–1 /LPB
Epitel skuamosa 2–4 /LPB Positif
Epitel bulat Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain – lain Negatif Negatif

CTG

2.5 DIAGNOSA KERJA


G3P2A0 Hamil 38 Minggu Inpartu Kala I Fase Laten Dengan Ketuban Pecah
Dini Dan Preeklampsia Berat Dengan Riwayat Sc 2 Kali Janin Tunggal
Hidup Intrauterin Presentasi Kepala

9
2.6 PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 500 ml/8 jam
- CTG
- Cek Laboratorium Darah Lengkap, Urine lengkap
- Observasi DJJ, kontraksi uterus dan tanda vital ibu
- Konsul dr. Spesialis Obstetri dan Ginekologi:
 Advice dr.Sp.OG:
1. Inj. Ceftriaxone 1 gram i.v
2. Loading 4 gram MgSO4 40% bolus pelan selama 20 menit
3. Maintenance 6 gram MgSO4 40% dalam 500 ml RL secara i.v
dengan kecepatan 28 tpm selama 6 jam
4. Inj. Nifedipine titrasi 10 mg
5. Inj. Dexamethasone 12 mg i.v
6. Pasang Kateter urin
7. Rujuk RS lain  tatalaksana lanjutan

2.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia

1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 KETUBAN PECAH DINI


3.1.1 DEFINISI
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput
ketuban (amnion dan korion) sebelum terjadinya persalinan. Ketuban
pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan
disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes(PROM) dan
sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau
pretermpremature rupture of membranes (PPROM).2

3.1.2 ANATOMI SELAPUT KETUBAN


Membran selaput ketuban terdiri dari amnion dan korion yang
dihubungkan oleh matriks ektraseluler. Lapisan membran ini akan
mengelilingi kavum uteri. Selaput ketuban ini akan berkembang seiring
dengan perkembangan kehamilan, untuk mengakomodasi peningkatan
volume cairan ketuban dan berat janin. Epitel amnion adalah lapisan
terdalam yang berhubungan langsung dengan cairan amnion. Amnion
terdiri dari komponen epitelial dan mesenkimal. Lapisan sel epitel
kuboid atau kolumner akan melapisi kavum amnion.15,16

Korion leave disusun dari blastokista yang berimplantasi pada kavum


endometrium yang dilapisi oleh korion frondosum dan desidua
kapsularis. Suplai darah pada area ini akan mengalami restriksi dan villi
akan mengalami degenerasi, membentuk korion yang avaskular.
Amnion akan mengalami fusi dengan mesoderm dari korion dan akan
membentuk amniokorion. Desidua kapsularis akan berhubungan dengan

1
korion, dan akan melapisi seluruh kavum uteri pada kehamilan trimester
kedua. Matriks ekstraseluler tersusun dari protein fibrosa yang melekat
pada gel polisakarida yang akan menyusun struktur dari selaput
amniokorion. Kekuatan dari membran amniokorion ini tergantung dari
tipe kolagen yang menyusun matrik ekstraseluler tersebut. Kolagen
merupakan penyusun utama struktur dari matriks ekstraseluler.
Kekuatan utama selaput amniokorion adalah dari kolagen interstisial
tipe I dan III diikuti dengan sejumlah kecil kolagen tipe V, VI, dan VII.
Kolagen tipe IV yang terdapat pada membrana basalis akan membantu
pembentukan dari struktur protein non kolagen yang lain (laminin,
entacin, dan proteoglikan). Kolagen tipe IV ini berperan dalam
perkembangan matriks ekstraseluler. Kolagen tipe V dan VII
merupakan kolagen fibrilar minor, bersama kolagen tipe IV akan
menjaga fungsi dari membrana basalis.2,17

Gambar 1. Hubungan Membran Amniokorion, Desidua, dan


Embrio.18

1
Gambar 2. Struktur Selaput Amnion pada Kehamilan Aterm.19

Komponen non kolagen penyusun matriks ekstraseluler lain adalah


laminin,elastin, proteoglican, microfibril, fibronectin, decorin,
plasminogen, dan integrin. Kolagen pada matriks ekstraseluler akan
mengalami remodeling selama proses kehamilan untuk mengakomodasi
peningkatan volume dan tekanan yang ditimbulkan oleh proses
kehamilan tersebut. Dalam 8 minggu terakhir persalinan, proses
remodeling ini akan berdampak pada penurunan jumlah kolagen dalam
selaput amnion.18,20,21

3.1.3 ETIOLOGI
Pada kehamilan aterm, kelemahan dari membran janin merupakan salah
satu penyebab terjadinya pecahnya selaput ketuban. Prosedur
pemerikaan invasif yang dilakukan selama persalinan (amniosintesis,
chorionic villus sampling, fetoskopi, dan sirklase) dapat merusak
membran ketuban, dan menyebabkan pecahnya selaput ketuban, namun
hal ini sangat jarang dilakukan. Faktor risiko terjadinya persalinan
preterm spontan diidentifikasikan pada tabel 1. 22

1
Tabel 1. Faktor Risiko Persalinan Preterm Spontan dan Ketuban
Pecah Dini.22
Faktor maternal:
Riwayat pecah ketuban sebelumnya (angka rekurensi 20-30%,
dibandingkan dengan 4% pada wanita tanpa komplikasi persalinan
sebelumnya)
Perdarahan pervagianam
Terapi steroid jangka panjang
Trauma abdomen langsung
Persalinan preterm
Merokok
Penggunaan kokain
Sosial ekonomi rendah
Faktor uteroplasenter
Anomali uterus
Solusio plasenta (mungkin terjadi pada 10-15% dari persalinan
preterm)
Serviks insufisiensi/ serviks inkompeten
Polihidramnion
Infeksi intra amnion (korioamnionitis)
Pemeriksaan vagina berulang
Senggama
Faktor janin:
Kehamilan multipel (ketuban pecah dini terjadi pada 7-10% dari persalinan multipel)

3.1.4 PATOFISIOLOGI
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel
seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang terikat erat
dalam matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air
ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi. Dalam keadaan normal,
selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban Pecah Dini
adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila
Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut
Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal
8 - 10 % perempuan hamil aterm akan mengalami Ketuban Pecah
Dini.23

Ketuban Pecah Dini Prematur terjadi pada 1 % kehamilan. Pecahnya


selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang

1
terjadi dalam kolagen matriks eksra selular amnion, korion, dan
apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi
terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein
hormon yang merangsang aktivitas " matrix degrading enzym"3.
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah
karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh
selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah.23

Faktor risiko untuk terjadinya Ketuban Pecah Dini adalah:23


1. berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen;
2. kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat
pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok.

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP)


yang dihambat oieh inhibitor y'aringan spesifik dan inhibitor protease.
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1
mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan
membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang
persalinan. Pada penyakit periodontitis di mana terdapat peningkatan
MMP, cenderung terjadi Ketuban Pecah Dini. Selaput ketuban sangat
kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban
mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya
dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada
trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban.
Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.
Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya

1
faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina.
Ketuban Pecah Dini prematur sering terjadi pada polihidramnion,
inkompeten serviks, solusio plasenta.23

3.1.5 DIAGNOSIS
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum). Pada anamnesis
perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi
dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa
indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko
infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu
dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya
tidak menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian
terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm
secara visual. Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat
harus diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis,
ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai
dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport
untuk dikultur.2

Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan
lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika
diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks
posterior vagina (pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan
sekret vagina ~ 4.5 - 6) dan cari arborization of fluid dari forniks
posterior vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien
tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat
kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan
kepala yang datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan

1
digital vagina untuk menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali
pusat.2

Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk


menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion
atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas
ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka
kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya
volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG
dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia gestasi dan
presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.2

Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan


kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika
diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan
fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan
seperti insulin-like growth factor binding protein 1(IGFBP-1) sebagai
penanda dari persalinan preterm, kebocoran cairan amnion, atau infeksi
vagina terbukti memiliki sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut
juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol. Selain itu,
pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan
vagina tidak memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm.2

3.1.6 TATALAKSANA
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas
dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat
karena infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah
37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti,
dokter kemudian melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi.
Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ janin, dan

1
bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan
maupun tokolisis.2

Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu


manajemen aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah
penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi, sementara manajemen
aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan.
Berikut ini adalah tatalaksana yang dilakukan pada KPD berdasarkan
masing-masing kelompok usia kehamilan.2
A. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu
Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm
didapatkan bahwa morbiditas minor neonatus seperti
hiperbilirubinemia dan takipnea transien lebih besar apabila ibu
melahirkan pada usia tersebut dibanding pada kelompok usia lahir
36 minggu. Morbiditas mayor seperti sindroma distress pernapasan
dan perdarahan intraventrikular tidak secara signifikan berbeda.
Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan
kehamilan adalah pilihan yang lebih baik. Ketuban Pecah Dini usia
kehamilan 24 - 34 minggu. Pada usia kehamilan antara 30-34
minggu, persalinan lebih baik daripada mempertahankan kehamilan
dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara signifikan.
Tetapi tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan morbiditas
neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa persalinan
lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan.
B. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan
kehamilan akan meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis.
Tidak ada perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory
distress syndrome. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding melakukan
persalinan.

1
3.1.7 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada KPD yaitu infeksi, dan persalinan
preterm. Selaput ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang
terhadap masuknya kuman penyebab infeksi. Dengan tidak adanya
selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal dapat
menjadi patogen dan akan membahayakan baik ibu maupun pada
janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang cepat seperti
induksi persalinan untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk
mengurangi kemungkinan risiko terjadinya infeksi. Masalah yang
sering timbul pada bayi kurang bulan adalah sindroma gawat nafas yang
disebabkan belum matangnya paru.15,16,24

3.2 PREEKLAMPSIA
3.2.1 DEFINISI
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan/diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan
organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan
organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika
protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu;25
A. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
B. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
C. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen.
D. Edema Paru
E. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

1
F. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent orreversed end diastolic velocity
(ARDV).

3.2.2 FAKTOR RISIKO


Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai
berikut:23
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum
hamil
f. Obesitas.

3.2.3 PATOFISIOLOGI
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini beium diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya
hipertensi dalam kehamilan, terapi tidak ada satu pun teori tersebut
yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut
adalah23
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah
dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua
pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri
arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri
basalis memberi cabang arteria spiralis. Pada hamil normal, dengan
sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam Iapisan otot

2
arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga
memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks
menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami
distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis
ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi
vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta.
Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan
juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling arteri spiralis".

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas


pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami
vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis",
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia
dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat. menjelaskan patogenesis HDK
selanjutnya.

b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis",
dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang
mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah
senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai
elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang
dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat

2
toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses
norrnal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu
dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu
hipertensi dalam kehamilan disebut "toxaemia".

Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung


banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas)
dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi
antioksidan.

Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam


kehamilan.
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan,
misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga
terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini
akan beredar di seluruh rubuh dalam aliran darah dan akan merusak
membran sel endotel. Membran sei endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangar rentan terhadap
oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida
lemak.

Disfungsi sel endotel


Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai daii membran sel

2
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh strukrur sel
endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi endotel" (endothelial
dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
 Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi
sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menumnnya
produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator kuat.
 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup
tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan TXA2) suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih
tinggi vasodilatator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih
tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi,
dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
 Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerwlar
endotbeliosis).
 Peningkatan permeabilitas kapilar.
 Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin
(vasokonstriktor) meningkat.
 Peningkatan faktor koagulasi.

c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:
 Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi
dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida

2
 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
 Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya


"hasil konsepsi" yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya
human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting
dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat meiindungi
trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu. Selain itu,
adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping
untuk menghadapi sel Natural Killer.

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan


ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta,
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadrnya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga
merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya
reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi Immune Maladaptation pada
preeklampsia. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang
mempunyai kecenderungan teriadi preeklampsia, ternyata
mempunyai proporsi Helper Sel yang lebih rendah dibanding pada
normotensif.

d. Teori adaptasi kardiovaskularori genetik

2
Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor
yang lebih tinggi untuk menirnbulkan respons vasokonstriksi. Pada
kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan
bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila
diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat
produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata
adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan
daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya,
daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang
sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan
kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam
kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh
minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.

Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin.
Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan
hanya 8 % anak menantu mengalami preeklampsia.

2
e. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi
gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah
penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat
gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan
insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati
halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit,
dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk


memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam
lemak tak jenuh dalam mencegah preeklampsia. Hasil sementara
menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat
dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin. Beberapa peneliti juga
menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia. Penelitian
di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar,
dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen
kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14%
sedang yang diberi glukosa 17 %.

f. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris
trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas,

2
akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing
yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar,
sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi
debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada
hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat,
sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat.
Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu
menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan
normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan
sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi
reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala
preeklampsia pada ibu.

Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia


akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,
mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat tinggi" pada sirkulasi
ibu. Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi
dari proses inflamasi intravaskular pada kehamilan" yang biasanya
berlangsung normal dan menyeluruh.

3.2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on
High Blood Pressure in Pregnancy tahun 20011, ialah:23
a. Hipertensi kronik
b. Preeklampsia-eklampsia
c. Hipertensi kronik dengan swperimposed preeklampsia
d. Hipertensi gestasional.

2
Penjelasan pembagian klasifikasi
a. Hipenensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
seteiah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai
12 minggu pasca persalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria
c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-keiang
dan/atau koma
d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah
hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi
kronik disertai proteinuria.
e. Hipertensi gestasional (disebur juga transient hypertension) adalah
hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan
hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau
kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria

3.2.5 DIAGNOSIS
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan
kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah
satu dibawah ini :25
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya

2
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi
protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak
lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat. 25

3.2.6 TATALAKSANA
Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat.25
a. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat
kondisi ibu dan janin stabil.
b. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga
direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan
yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif bagi maternal dan
neonatal
c. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia
berat, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin
d. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk
melakukan rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif

2
PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT UNTUK MENCEGAH
KEJANG.25
a. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
eklampsia
b. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap
eklampsia pada pasien preeklampsia berat
c. Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien
preeklampsia berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk
mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
d. Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler magnesium sulfat
direkomendasikan sebagai prevensi dan terapi eklampsia
e. Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak
direkomendasikan
f. Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk
diberikan secara rutin ke seluruh pasien preeklampsia, jika tidak
didapatkan gejala pemberatan (preeklampsia tanpa gejala berat).

ANTIHIPERTENSI.25
a. Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg
b. Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan
diastolik < 110 mmHg
c. Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short
acting, hidralazine dan labetalol parenteral
d. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin,
metildopa, labetalol

3
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien berusia 36 tahun didiagnosa sebagai G3P2A0 hamil 38
minggu inpartu kala I fase laten dengan ketuban pecah dini (KPD) dan
preeklampsia berat (PEB) dengan riwayat SC 2 kali janin tunggal hidup
intrauterin presentasi kepala. Dasar diagnosis pasien ini adalah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis, pasien mengatakan tanggal HPHT
yaitu 18 desember 2021. Kehamilan ini merupakan kehamilan ketiga bagi pasien.
Pasien tidak memiliki riwayat abortus. Pasien datang ke IGD RSUD Jagakarsa
dengan keluhan keluarnya air – air dari kemaluan dirasakan tanpa adanya tahanan,
cairan yang keluar berwarna hijau dan berbau sejak 3 jam SMRS. Keluhan ini
juga disertai dengan mulas ingin melahirkan yang hilang timbul tanpa disertai
adanya lendir darah. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri kepala dan
penglihatan terasa seperti buram. Tidak ada demam. Tidak ada nyeri ulu hati.
Tidak ada kejang. Tidak ada riwayat trauma maupun riwayat hubungan suami istri
sebelum munculnya keluhan. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD:
198/120 mmHg, pada pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 41 cm,
letak memanjang punggung kanan, presentasi kepala, penurunan 4/5, His (+).
Pada pemeriksaan dalam didapatkan portio tebal kaku, retro, effacement 25%,
pembukaan 2 cm, ketuban (-), bagian terbawah tidak dapat dinilai. Pada
pemeriksaan inspekulo didapatkan tes lakmus positif. Pada pemeriksaan
penunjang berupa darah lengkap didapatkan leukosit 15.240/µL dan pada
pemeriksaan urine lengkap didapatkan proteinuria negatif.

Berdasarkan prevalensinya, terjadinya KPD ditemukan pada usia wanita di bawah


20 tahun dan di atas 35 tahun, dimana pada pasien ini usianya 36 tahun. Selain itu,
beberapa penelitian melaporkan faktor-faktor yang meningkakan risiko PPROM

3
seperti riwayat kelahiran prematur sebelumnya, riwayat infeksi menular seksual,
hidup dalam status ekonomi rendah, merokok, distensi uterus yang berlebihan
(karena polihidramnion dan kehamilan ganda), cerclage, amniocentesis,
inflamasisekunder akibat infeksi choriodecidual, fisiologi membran amnion yang
abnormal, aborsi, perdarahan antepartum dan multiparitas seperti pada kasus ini
yaitu ibu hamil dengan G3P2A0.26

Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan keluarnya air – air dari kemaluan
dirasakan tanpa adanya tahanan, cairan yang keluar berwarna hijau dan berbau
sejak 3 jam SMRS. Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan tes lakmus positif.
Pada pemeriksaan dalam didapatkan ketuban (-). Hal ini dapat menegakkan
diagnosis KPD pada pasien. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, sebaiknya
pada pasien dapat dilakukan pemeriksaan USG yang berguna untuk melengkapi
diagnosis untuk menilai indeks cairan amnion.2

Selain KPD, pada pasien juga di diagnosis dengan Preeklampsia Berat. Pada saat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pada pasien mengeluhkan
nyeri kepala dan penglihatan terasa seperti buram. Tidak ada nyeri ulu hati. Tidak
ada kejang. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 198/120 mmHg.
Sebelumnya ibu tidak memiliki riwayat darah tinggi dan hal ini baru diketahui ibu
saat datang ke IGD di usia kehamilan 38 minggu menurut perhitungan HPHT.
Pada saat dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan kadar proteinuria dalam
urin negatif. Kondisi pada kasus ini dapat di diagnosis dengan preeklampsia yang
didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan/diatas usia
kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu;26 Trombositopenia : trombosit <
100.0 / mikroliter, Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau
didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya, Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2

3
kali normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen, Edema Paru, Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala,
gangguan visus, Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent orreversed end diastolic velocity (ARDV). Berdasarkan
kriteria gejala dan kondisi kasus di atas menunjukkan preklampsia berat
dikarenakan Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik.25

Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah observasi tanda vital ibu, kontraksi
uterus, denyut jantung janin menggunakan CTG, pemasangan kateter.
Pemasangan kateter foley pada pasien ini bertujuan untuk memantau cairan yang
keluar dari tubuh karena ditakutkan terjadi oliguria (produksi urin <30 cc/jam
dalam 2-3jam atau <500 cc/24jam).27,28 Penatalaksanaan medikamentosa yang
diberikan adalah cairan infus ringer lactate (RL) 20 tetes/menit, 4 gram MgSO4
40% lalu drip 6 gram MgSO4 40% dalam RL 500cc, Inj. Ceftriaxone 1 gram i.v,
Inj. Nifedipine titrasi 10 mg, Inj. Dexamethasone 12 mg i.v dan rujuk untuk
tatalaksana lanjut.

Langkah pertama pada pengobatan preeklampsia ialah pemberian MgSO4 yang


bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang. Alasan penggunaan MgSO4 pada
preeklampsia adalah aman dengan efek mengurangi kepekaan saraf pusat pada
hubungan neuromuskular. Obat ini menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan
diuresis dan menambah aliran darah ke uterus. Efek dari magnesium sulfat dalam
mengontrol kejang pada eklampsia secara keseluruhan atau sebahagian, dengan
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak. Reseptor NMDA ini
penting untuk masuknya kalsium kedalam neuron yang menyebabkan kerusakan
sel. Hal ini memberi kesan bahwa magnesium sulfat menghambat reseptor
tersebut, menurunkan masuknya kalsium dan melindungi neuron dari kerusakan.
Karena kejang hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, dengan blokade
influks kalsium neuron melalui saluran glutamat, maka diperkirakan bahwa
reseptor N-metil-D-aspartat berperan dalam eklampsia.29

3
Kerja magnesium sulfat terhadap uterus sehingga terjadi relaksasi berbeda dengan
cara kerjanya terhadap otot bergaris. Kalau pada otot bergaris, magnesium
menghambat pengeluaran asetilkolin pada terminal saraf motorik (motor end plate
atau MEP). Menghambat/blokade sistem neuromuskular perifer, hipermagnesemia
menghalangi pelepasan asetilkolin (ACh) oleh motor nerve impulses dan
menurunkan sensitifitas motor end plate terhadap asetilkolin dan menurunkan
potensial motor end plate. Zat ini juga bekerja terhadap pembuluh darah tepi
dengan efek vasodilatasi dan mempertinggi pengaliran darah ke dalam rahim.
Mean arterial pressure trimester ketiga (MAP-3) pada penderita preeklampsia
jelas menurun setelah 6 jam pemberian suntikan magnesium sulfat intramuskular,
tetapi hal demikian tidak terdapat pada eklampsia. Tekanan darah sistolik dan
diastolik sama-sama turun bila dibandingkan dengan setelah 6 jam suntikan
magnesium sulfat pada penderita preeklamsia, sebaliknya tekanan darah sistolik
maupun diastolik pada penderita eklampsia sekalipun menurun akan tetap tidak
bermakna secara statistik. Adapun pemberian magnesium sulfat dapat dilakukan
dengan cara Prichard, yaitu memberikan loading dose MgSo4 40% 8 gram IM (4
gram bokong kanan dan 4 gram bokong kiri), dilanjutkan dosis pemeliharaan 4
gram/6 jam jika syarat terpenuhi. Syarat-syarat pemberian MgSO4 yaitu tersedia
antidotum MgSO4 (calcium gluconas 10%), refleks patella positif kuat, frekuensi
pernapasan lebih 16 x/menit dan produksi urin lebih dari 100 cc dalam 4 jam
sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).30

Kontraindikasi dari penggunaan MgSO4: hipersensitif terhadap magnesium,


adanya blok pada jantung, penyakit addison, kerusakan otot jantung, hepatitis
berat atau myasthenia gravis. Peringatan penggunaan MgSO4: Selalu ada monitor
adanya refleks yang hilang, depresi napas dan penurunan urine output. Pemberian
harus dihentikan bila terdapat hipermagnesia dan pasien mungkin membutuhkan
bantuan ventilasi. Depresi SSP dapat terjadi pada kadar serum 6-8 mg/dl,
hilangnya reflek tendon pada kadar 8-10 mg/dl, depresi pernapasan pada kadar
12-17 mg/dl, koma pada kadar 13-17 mg/dl dan henti jantung pada kadar 19-20
mg/dl. Bila terdapat tanda keracunan magnesium, dapat diberikan kalsium
glukonas 1 gram IV secara perlahan.31

3
Selain pencegahan terhadap terjadinya kejang, antihipertensi direkomendasikan
pada preeklampsia dengan hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg untuk menurunkan tekanan darah pasien
Pemberian antihipertensi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori, yaitu
diberikan nifedipine 10 mg. Absorbsi terbaik nifedipine adalah melalui saluran
cerna. Pemilihan nifedipine juga dikarenakan beberapa jenis obat anti hipertensi
lainseperti metildopa/clonidine, labetalol, metoprolol dan hidralazine, serta
diuretikum tidak dibenarkan untuk diberikan secara rutin karena memperberat
penurunan perfusi plasenta, memperberat hipovolemia dan meningkatkan
hemokonsentrasi. Obat ini juga bekerja menghambat influx kalsium ke dalam sel
otot polos arteri. Nifedipin bersifat lebih selektif sebagai vasodilator dan
mempunyai efek depresi jantung yang lemah jika dibandingkan dengan obat
golongan CCB lainnya. Dosis maksimum nifedipin 120 mg perhari dan tidak
boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat.23,25,32
American College of bstetricians and Gynaecology (ACOG) yang
merekomendasikan pemberian nifedipine pada hipertensi berat. Penurunan
tekanan darah dikontrol <160/110 mHg. Namun, target tekanan darah diastol tetap
di atas 80 mmHg untuk menjaga aliran darah uteroplasental.33

Selain mengatasi kegawatdaruratan pada preeklampsia, penting juga untuk


tatalaksana KPD pada pasien. Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan
KPD, yaitu manajemen aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah
penanganan dengan pendekatan tanpaintervensi, sementara manajemen aktif
melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan. Pada kasus ini
terjadinya KPD pada usia kehamilan 38 minggu, mempertahankan kehamilan
akan meningkatkan risiko korioamnionitis dan sepsis.2 Hal ini sudah sesuai bahwa
pasien ini dilakukan manajemen aktif dengan melakukan rujuk untuk tatalaksana
lebih lanjut dikarenakan keterbatasan di RSUD Jagakarsa.

Pada pasien ini diberikan antibiotik berupa Ceftriaxone 1 gram i.v. Pemberian
antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm,hal ini dibuktikan
dengan 22 uji lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm yang telah

3
dilakukan meta-analisis menunjukkan penurunan yang signifikan dari
korioamnionitis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotik
mengurangi morbiditas maternal.2 Terdapat banyak rekomendasi yang
menyebutkan berbagai antibiotik seperti eritromisin, klindamisin, ampisilin,
hingga metronidazole. Perbedaan dalam pemilihan jenis dan regimen antibiotik
memang sangat mungkin terjadi. Hal ini dapat terjadi karena pemberian antibiotik
disesuaikan dengan sensitivitasnya terhadap bakteri penyebab infeksi. Golongan
sefalosporin telah diteliti memiliki persentase sensitivitas yang tinggi terhadap
bakteri Escherichia coli, dimana bakteri tersebut merupakan bakteri tersering
penyebab ISK yang merupakan salah satu faktor risiko KPD. Antibiotik golongan
sefalosporin telah menjadi antibiotik lini pertama di beberapa rumah sakit. Salah
satunyadisebutkan dalam sebuah penelitian di Indiadan juga di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, cefotaxime merupakan antibiotik yang paling sering
digunakan, diikuti dengan ceftriaxone.

Pasien diberikan Dexamethasone 12 mg secara I.V. Strategi pemberian ini dapat


mengurangi kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada ibu hamil.
Pemberian kortikosteroid pada saat antenatal terhadap fungsi paru neonatus terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu memicu maturasi arsitektur paru dan menginduksi
enzim paru yang berperan dalam maturasi secara biokimia.35 Selain bertujuan
untukpematangan paru janin, pemberian dexamethasone 12 mg i.v untuk sindrom
HELLP sendiri dapat mempercepat perbaikan gejala klinik dan laboratorik.
Perbaikan gejala klinik dapat dilihat dari meningkatnya produksi urin,
menurunnya tekanan darah.36

3
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Diagnosis pada kasus ini adalah G3P2A1 hamil 38 minggu inpartu kala 1 fase
laten dengan ketuban pecah dini dan preeklampsia berat dengan riwayat sc 2 kali
janin tunggal hidup intrauterin presentasi kepala. Ketuban pecah dini dan
preeklampsia berat merupakan masalah penting dalam obstetrik yang berkaitan
dengan komplikasi yang dapat terjadi pada keduanya baik pada ibu maupun janin.
Dalam penatalaksanaan ketuban pecah dini dan preeklmpsia berat memerlukan
pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan janin, dan
adanya tanda-tanda persalinan. Sehingga sangat penting bagi ibu hamil untuk
melakukan pemeriksaan antenatal care di fasilitas kesehatan untuk mengetahui
perkembangan janin dan dapat melakukan screening lebih awal jika didapatkan
hipertensi selama kehamilan. Penanganan kasus ini sudah ditatalaksana dengan
tepat, saran yang sebaiknya dilakukan untuk pasien ini adalah melakukan
pemeriksaan USG untuk mengetahui usia kehamilan secara pasti dan menilai
indeks cairan amnion serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan
seperti LDH atau bilirubin total serta fungsi hati berupa sgot/sgpt untuk
mengetahui ada tidaknya hellp syndrome pada pasien.

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Dayal S, Hong PL. Premature Rupture Of Membranes. [Updated 2022 Jul


18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-.

2. Himpunan kedokteran fetomaternal P. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Ketuban Pecah Dini. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. Jakarta. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016.

3. Boskabadi H, Zakerihamidi M. Evaluation of Maternal


Risk Factors, Delivery, and Neonatal Outcomes of
Premature Rupture of Membrane. A Systematic Review
Study. J Pediatr Review. 2019;7(2):77–88.

4. WHO. Newborns: improving survival and well-being.


Child Health. 2020;19(5):1–6

5. Rohmawati N, Wijayanti Y. Ketuban Pecah Dini di Rumah


Sakit Umum Daerah Ungaran. HIGEIA (Journal of Public
Health Research and Development). 2018;2(1):23–32.

6. Cutland C, Lackritz E, Mallett-Moore T, Bardají, A Chandrasekaran R,


Lahariya C, Nisar M, et al. Low birth
weight: Case definition & guidelines for data collection, analysis, and
presentation of maternal immunization
safety data. Vaccine. 2017;35(48):6492–500.

7. Lo JO, Mission JF, Caughey AB. Hypertensive disease of pregnancy and


maternal mortality. Curr Opin Obstet gynecol. 2013; 25: 124–132.

8. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG practice


bulletin No. 202: gestational hypertension and preeclampsia. Obstet
Gynecol. 2019;133:1.

9. Turner K, Hameed AB. Hypertensive disorders in pregnancy current


practice review. Curr Hypertens Rev. 2017;13:80-88.

3
10. Wilkerson RG, Ogunbodede AC. Hypertensive disorders of pregnancy.
Emerg Med Clin North Am. 2019;37:301–316.

11. Roberts J, Lain K. Recent insights into the pathogenesis of preeclampsia.


Placenta. 2002; 23:359-72.

12. Saraswati N, Mardiana M. Faktor Risiko Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil (Studi
Kasus Di Rsud Kabupaten Brebes Tahun 2014). Unnes J Public Heal.
2016;5(2):90.

13. Opitasari C, Andayasari L. Parity, education level and risk for (pre-)
eclampsia in selected hospitals in Jakarta. Health Scien Indones. 2014;
5:35-9

14. Bilano VL, Ota E, Ganchimeg T, Mori R, Souza JoP. Risk Factors of Pre-
Eclampsia/Eclampsia and Its Adverse Outcomes in Low and Middle-
Income Countries: A
WHO Secondary Analysis. Plos One. 2014;9(3):1-9.

15. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WA. Intrauterine infection and
preterm delivery.New Eng J Med. 2000;18:1500-08.

16. Kunze M, Klar M, Morfeld CA, Thorns B, Schild RL, Markfeld-Erol F, et


al. 2016. Cytokines in noninvasive prediction of histologic chorioamnitis
in women with membranes. American Journal of Obstetrics &
Gynecology. Vol 215(1):96.

17. Lee SE, Romero R, Kim CJ, Shim SS, Yoon BH. 2009. Funisitis in term
pregnancy is associated with microbial invasion of the amniotic cavity and
intra-amniotic inflammation. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal
Medicine. 19(11):693-697.

18. Gravett NG, Sampson JE. Other infectious conditions. In: James DK, Steer
PJ, Weiner CP. High risk pregnancy management options. London: WB
Saunders Co Ltd ; 2006: 513-5.

19. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Williams Obstetrics 24th. New York: McGraw-Hill Companies Inc. 2015:
193-4.

20. Alexander JM, Mclntire DM, Leveno KJ. Chorioamnionitis and the
prognosis of term infant. Obstet Gynecol 2009;94:274-8.

21. Tzur T, Adi, Weintraub, Sergienko R, Sheiner E. 2013. Can leukocyte


count during the first trimester of pregnancy predict later gestational
complications. Arch Gynecol Obstet; 287:421-27.
22. Wang Y, Wang LH, Chen J, Sun JX. 2016. Clinical and prognostic value
of combined measurement of cytokines and vascular cell adhesion
molecule-1 in premature rupture of membranes. International Journal of
Gynecology and Obstetrics. 132(1) : 85-88.

23. Prawirhardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo; 2010.

24. Chiesa C, Pellegrini G, Panero A, Osborn JF, Signore F, Assumma M, et


al. Creactive protein in the immediate postnatal period: influence of illness
severity, riskstatus, antenatal and perinatal complications, and infection. J
Clin Chem.2003;49(1):60-8.

25. Himpunan kedokteran fetomaternal P. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Diagnosis dan tatalaksana pre-eklamsia. Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia. Jakarta. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia. 2016.

26. Jena BH, Biks GA, Gete YK, Gelaye KA. Incidence of preterm premature
rupture of membranes and its association with inter-pregnancy interval: a
prospective cohort study. Nature portofolio. 2022;12(5714): 1 – 8.

27. Cunningham GF, Kenneth JL, Steve Bloom, dkk. Obstetri williams.Jilid 1.
Edisi ke-23. Jakarta: EGC; 2010.

28. Jeyabalan Arun. Epidemiology of preeclampsia: Impact of obesity. Nutr


Rev. 2013; 71(1):10-11.

29. Profitasari, Hartanto H, Suyono YJ, Yusna D, Kosasih AA, Drawira J, et


al. Gangguan hipertensi dalam kehamilan.Dalam: Cuningham FG, Gant
NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Obstetri Williams,
Alih bahasa Hartono A, Suyono YJ, Pendit BU, Edisi 21. Jakarta: EGC;
2006. hlm 624-73.

30. Luciano EM, Villar J, Khan KS. Mapping the theories of preeclampsia :
the need for systemetic reviews of mechanism of disease. American J
Obstet Gynecol. 2006; 194(2): 317-21.

31. Manoe, M, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi.
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin Makasar. 2006.

32. Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi JM. Pre-eclampsia:


pathophysiology, diagnosis, and management. Vascular Health and Risk
Managemen. Dove pres.2011; 7(1):467−74.

33. ACOG practice bulletin no. 202: Gestational hypertension and


preeclampsia. Obstet Gynecol. 2019;133:1–25.

34. Rasti SD, Rochmanti M, Primariawan RY. Cefotaxime vs ceftriaxone for


the prolongation of latency period in preterm premature rupture of
membranes. The International Arabic Journal of Antimicrobial Agents.
2020; 1(10):1–9.

35. Mwansa-Kambafwile J, Cousens S, Hansen T, Lawn JE. Antenatal


corticosteroids in preterm labour for the prevention of neonatal deaths due
to complications of preterm birth. Int J Epidemiol. 2010;39(1):22–23.

36. Johnson AC, Tremble SM, Chan SL, et al. Magnesium sulfate treatment
reverses seizure susceptibility and decreases neuroinflammation in a rat
model of severe preeclampsia. PloS one. 2014;9(11):1-11.

Anda mungkin juga menyukai