Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Oleh:

Muhammad Dzakwan Fadhil 1710313012


Muhammad Habibi Afdal Nasril 2140312045
Ilham Ertandri 2140312133

Preseptor:

dr. Lydia Aswati, Sp. A, M. Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Case Report Session yang
berjudul “Kejang Demam Kompleks”. Makalah ini disusun untuk menambah
pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, serta menjadi salah satu syarat
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Lydia Aswati, Sp. A, M. Biomed
selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Kritik dan saran sangat
penulis harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Padang, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ........................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 3
2.1. Definisi.......................................................................................................... 3
2.2. Klasifikasi .................................................................................................... 3
2.3. Epidemiologi ............................................................................................... 3
2.4. Etiologi dan Faktor Risiko....................................................................... 4
2.5. Patogenesis Kejang Demam pada Anak ............................................... 4
2.6. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 5
2.7. Diagnosis ...................................................................................................... 6
2.8. Diagnosis Banding ..................................................................................... 8
2.9. Tatalaksana ................................................................................................. 8
2.10. Prognosis dan Komplikasi .................................................................... 10
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................... 13
BAB IV DISKUSI......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.1,2
Insiden kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa Barat mencapai 2-5%
dengan insiden puncaknya pada rentang usia 12 dan 18 bulan. Pada populasi di Asia
yakni anak-anak di India mengalami 5-10% dan di Jepang 6-9% kasus. Kasus
kejadian kejang demam tertinggi pernah dilaporkan di Guam dengan insidensinya
mencapai 14%.3 Di Indonesia, kejang demam terjadi terbanyak pada usia 18 bulan.
Data yang didapat dari RSAB Harapan Kita Jakarta terdapat 86 kasus kejang
demam pada tahun 2008-20103 dan di RSU Bangli terdapat 47 kasus pada tahun
2007.4
Demam merupakan respon normal tubuh terhadap infeksi, pelepasan sitokin
yang tinggi saat demam dapat mengubah aktivitas otak sehingga memicu terjadinya
kejang. Faktor risiko kejang demam adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga
dengan kejang demam, usia, riwayat infeksi, riwayat keluarga, riwayat prenatal
(usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat lahir
rendah), kadar kalsium serum yang rendah, natrium dan gula darah yang rendah,
serta defisiensi zat besi.5
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai apneu yang dapat
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
mengakibatkan edema otak. Kejang demam berisiko menyebabkan keterlambatan
perkembangan otak, retardasi mental, kelumpuhan, dan 2% sampai 10% dapat
berkembang menjadi epilepsi.6

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai kejang demam kompleks meliputi
definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, patofisiologi,
diagnosis, tatalaksana, prognosis, komplikasi dan laporan kasus.

1
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis
mengenai kejang demam kompleks.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini berdasarkan tinjauan kepustakaan dari
berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C ,dengan
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.Kejang demam bukan merupakan akibat dari infeksi sistem saraf pusat
ataupun ketidakseimbangan metabolik apapun, dan tidak ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya.1,2
2.2. Klasifikasi

a. Kejang demam sederhana

Merupakan kejang umum, biasanya tonik klonik, serangannya berhubungan


dengan demam, berlangsung maksimum 15 menit, dan tidak berulang dalam 24
jam. Tidak ada efek jangka panjang dari mengalami kejang demam simpleks baik
satu kali ataupun lebih. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung
kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri. 1,2,6

b. Kejang demam kompleks

Merupakan kejang demam dengan salah satu dari ciri berikut: kejang lama
(berlangsung lebih dari 15 menit); kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial; kejang berulang dalam 24 jam. .1,2,6
2.3. Epidemiologi

Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan
puncak insiden pada usia 18 bulan. Sebanyak 2% - 5% bayi dan anak yang sehat
secara neurologis akan mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode kejang
demam, biasanya merupakan kejang demam simpleks.1,2 Anak berumur antara 1 -
6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi yang berusia kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi kejang demam melainkan termasuk
ke dalam kejang neonatus. Kejang demam sangat bergantung pada umur, 85%

3
kejang pertama sebelum usia 4 tahun, terbanyak antara usia 17-23 bulan. Kejang
demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejang demam.20-30% kejang
demam sederhana berpotensi menjadi kejang demam kompleks. Di Asia, prevalensi
kejang demam meningkat dua kali lipat dibandingkan di Eropa dan Amerika. Di
Jepang, kejang demam terjadi sekitar 8,3% - 9,9%. Di Indonesia, kejang demam
terjadi terbanyak pada usia 18 bulan. Data yang didapat dari RSAB Harapan Kita
Jakarta terdapat 86 kasus kejang demam pada tahun 2008-20103 dan di RSU Bangli
terdapat 47 kasus pada tahun 2007. Demam yang terjadi paling banyak disebabkan
oleh infeksi saluran napas atas. Kejang yang paling sering terjadi adalah kejang
yang bersifat umum dan jenisnya didominasi oleh kejang tonik-klonik. 7,8,9
2.4. Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam pada anak adalah: 10


a. Demam, yang dapat disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, infeksi
saluran pencernaan, infeksi telinga, hidung, dan tenggorok (THT), infeksi
saluran kemih, roseola infantum/infeksi virus akut lainnya, dan
pascaimunisasi.
b. Usia, yaitu usia 6 bulan-6 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 17-23
bulan. Kejang demam sebelum usia 5-6 bulan mungkin disebabkan oleh
infeksi SSP. Kejang demam di atas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan
febrile seizure plus (FS+)
c. Gen. Risiko akan meningkat 2-3x bila saudara kandung mengalami kejang
demam. Risiko akan meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang
demam.
d. Faktor resiko intrauterine juga mempengaruhi kejang demam karena
kurangnya berat lahir dan kehamilan kurang bulan.

2.5. Patogenesis Kejang Demam pada Anak

Otak memerlukan energi untuk energi untuk mempertahankan


kelangsungan hidup sel yang diperoleh dari proses metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme yang terpenting adalah glukosa melalui proses oksidasi. Proses
tersebut akan menghasilkan CO2 dan air.17

4
Sel dilapisi oleh suatu membran yang bersifat lipoid pada permukaan dalam
dan ionik pada permukaan luar. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi ion
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na + rendah sedangkan kondisi di
luar sel neuron pada kondisi sebaliknya. Perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel menyebabkan adanya perbedaan potensial yang disebut
sebagai potensial membran sel neuron. Oleh karena itu, untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATPase yang terdapat pada permukaan sel. 17
Keseimbangan potensial membran ini dapat berubah pada beberapa kondisi.
Penyebab pertama adalah adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
Selain itu, perubahan juga dapat terjadi akibat rangsangan mendadak yang datang,
misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik, dan sebagainya. Penyebab lainnya
adalah perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.17
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada kenaikan suhu
tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron.
Dalam waktu singkat, ion kalium maupun ion natrium akan berdifusi melalui
membran sel sehingga lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik sangat
besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran tetangganya dengan
bantuan neurotransmiter dan kejang terjadi.17
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Kejang pada seorang
anak ditentukan oleh tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Kejang demam
berulang lebih sering terjadi pada anak ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
mengalami kejang.17
2.6. Manifestasi Klinis
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti,
anak tidak memberikan reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beeberapa menit atau

5
detik terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
dengan hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangung beberapa jam
hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh heiparesis
yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering pada kejang
demam pertama.11
2.7. Diagnosis

Setiap anak dengan kejang demam membutuhkan penggalian riwayat yang


lengkap dan pemeriksaan umum dan neurologis yang menyeluruh. Kejang demam
sering terjadi sebagai akibat dari otitis media, infeksi roseola dan Human Herpes
Virus,
Shigella, ataupun infeksi lainnya.2,7

a. Anamnesis.6

 Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang


 Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala
ISPA, ISK, OMA, dll)
 Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
 Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
menyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).
b. Pemeriksaan Fisik.6
 Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
 Suhu tubuh: apakah terdapat demam
 Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig,
Laseque
 Pemeriksaan nervus kranial
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
 Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
 Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek patologis

6
c. Pemeriksaan Penunjang

- Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi direkomendasikan untuk anak usia <12 bulan.
Kemungkinan meningitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding karena kejang
merupakan tanda mayor dari meningitis pada 13-15% anak. Usia 12-18 bulan masih
dianjurkan lumbal pungsi karena gejala klinis meningitis masih belum jelas,
sedangkan pada anak diatas usia 18 bulan dapat dilakukan pemeriksaan rangsang
meningeal untuk mendiagnosis apakah kejang disertai dengan meningitis atau
tidak. Pertimbangkan lumbal pungsi pada anak yang tidak diketahui status
imunisasi HiB atau Streptococcus pneumonia.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.1,2,7
- EEG
Elektroensefalografi tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali bila
terdapat kejang fokal untuk menentukan ada atau tidaknya fokus kejang di otak
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut. EEG tidak dapat memprediksi rekurensi
dari kejang demam ataupun epilepsi bahkan jika ditemukan hasil yang abnormal.
EEG dilakukan atau diulangi dua minggu atau lebih setelah kejang demam. EEG
dilakukan pada kasus yang dicurigai adanya epilepsi dan digunakan untuk
menentukan tipe epilepsi, bukan memprediksi rekurensinya. 1,2,7
- Laboratorium Darah
Laboratorium darah (elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, dan
hitung darah lengkap) tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam
simpleks pertama. Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam karena bakteri merupakan penyebab terbanyak
yang menimbulkan kejang demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah Evaluasi

7
gula darah harus dilakukan pada anak dengan prolonged postictal obtundation atau
anak dengan intake per oral yang sedikit. Pada anak dengan klinis dehidrasi,
pemeriksaan seum elektrolit harus dilakukan.Rendahnya kadar natrium
berhubungan dengan tingginya rekurensi kejang demam dalam 24 jam pertama. 1,2,17
- Neuroimaging
CT ataupun MRI tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam
simpleks pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila terdapat indikasi seperti
anak dengan evaluasi neurologi yang abnormal, hemiparesis, atau paresis nervus
kranialis. Sekitar 11% anak dengan status 8ating8ania febris, biasanya mengalami
edema hipokampus unilateral akut, yang kemudian dapat menjadi atrofi
hipokampus.1,2
2.8. Diagnosis Banding

Infeksi SSP dapat disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan


cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang menimbulkan
hemiparesis hingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses 8ating8anial.
Anak dengan demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan
sianosis sehingga menyerupai kejang demam. Malaria juga dijadikan salah satu
diagnose banding.17,18
2.9. Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang

Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang dan
tidak panik. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak
tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau
8ating di mulut atau hidung. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya
sangat kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 12 kg. Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan
pada waktu pasien 8ating, kejang sudah berhenti. Bila setelah pemberian diazepam
rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih

8
tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.1,2 Apabila saat pasien 9ating ke rumah sakit
dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan
dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal
10 mg. Algoritma tatalaksana kejang ditunjukkan oleh gambar 2.1. 1
b. Tatalaksana saat Demam

 Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan
adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,
3-4 kali sehari.1,2
 Antikonvulsan Intermieten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
- Usia <6 bulan
- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan
>12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali.
Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.1,2
 Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan
dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal

9
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering
off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.1,2
Terapi tersebut dapat dapat mengurangi, tapi tidak menghilangkan
kemungkinan rekurensi kejang demam. Defisiensi besi berhubungan dengan
peningkatan risiko kejang demam, sehingga skrining keadaan tersebut serta
memberikan tatalaksana sebaiknya dilakukan.1,2
Indikasi rawat.6
 Kejang demam kompleks
 Hiperpireksia
 Usia dibawah 6 bulan
 Kejang demam pertama kali
 Terdapat kelainan neurologis
2.10. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat
terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang
lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi
menjadi kejang lama.1

10
Gambar 2.2 Faktor Risiko Rekurensi Kejang Demam2
Kejang demam akan berulang kembali pada sekitar 30% anak yang
mengalami episode pertama kejang demam, 50% setelah dua atu lebih episode
kejang demam, dan pada 50% anak dengan onset kejang demam dibawah usia 1
tahun. Gambar 2.2 menunjukkan faktor risiko rekurensi kejang demam, dimana jika
tidak memiliki faktor risiko sama sekali risiko berulang sekitar 12%, dengan satu
faktor risiko 25-50%, dua faktor risiko 50-59%, tiga atau lebih faktor risiko 73-
100%.1,2
Walaupun sekitar 15% anak dengan epilepsi pernah mengalami kejang
demam, hanya sekitar 2-7% anak yang mengalami kejang demam yang berkembang
menjadi epilepsi dikemudian hari. Faktor risiko kejadian epilepsi dikemudian hari
ditunjukkan oleh gambar 2.3. Masing-masing faktor risiko meningkatkan
kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi
epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam. 1,2

11
Gambar 2.3 Faktor risiko kejadian epilepsi setelah kejang demam 2
Hampir setiap tipe epilepsi dapat didahului oleh kejang demam, dan
beberapa sindroma epilepsi secara khas diawali dengan kejang demam, yaitu
generalized epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+); Dravet syndrome; dan
pada kebanyakan pasien, epilepsi lobus temporal sekunder akibat sklerosis mesial
temporal.2
GEFS+ merupakan sindroma autosomal dominan dengan fenotip yang sangat
bervariasi. Onset biasanya pada masa kanak-kanak awal dan remisi biasanya pada
pertengahan masa kank-kanak. GEFS+ ditandai dengan kejang demam multipel,
dan beberapa kejang selanjutnya yang merupakan kejang umum tanpa demam,
termasuk kejang tonik klonik umum, kejang absen, kejang myoklonik, kejang
atonik, atau kejang mioklonik astatik, dengan berbagai derajat keparahan. 2
Sindroma Dravet merupakan fenotip epilepsi-terkait kejang demam yang
paling berat. Onsetnya dikarakteristikkan dengan kejang klonik unilateral dengan
ataupun tanpa demam berulang setiap 1 atau 2 bulan. Kejang awalnya diinduksi
oleh demam, namun berbeda dengan kejang demam biasanya dimana kejang ini
lebih lama, lebih sering, dan juga fokal. Kejang kemudian mulai terjadi dengan suhu
demam yang lebih rendah, dan kemudian terjadi tanpa demam. Sindrom ini
biasanya disebabkan oleh mutasi de novo, terkadang diwariskan secara autosomal
dominan namun sangat jarang. Gen yang mengalami mutasi sama dengan gen pada
GEFS+. Kebanyakan pasien dengan kejang demam prolonged dan pasien dengan
ensefalopati vaksin kemudian akan mengalami mutasi Sindrom Dravet. 2

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An MA
No.MR : 56.97.94
Umur : 2 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Indonesia
Nama Ibu : Ny. MM
Alamat : Tigo Baleh, Bukittinggi
Anamnesis (alloanamnesis dari ibu kandung)
Seorang pasien perempuan usia 2 tahun masuk ke IGD RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi pada tanggal 22 September 2022 dengan :
Keluhan utama :
Kejang 3 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Batuk ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak. Dahak
berwarna putih, tidak berdarah
 Pilek ada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
 Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dengan suhu 38,1ºC,
terus- menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak.
 Kejang 3 jam sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2 kali,
kejang pertama terjadi di rumah dengan durasi kurang dari 5 menit,
kejang kedua terjadi di IGD RS Yarsi dengan durasi kurang dari 5
menit, kejang diawali dengan mata mendelik ke atas diikuti dengan
kelojotan pada kedua tangan dan kaki, diantara kejang pasien sadar,
pasien sadar setelah kejang kedua.
 Sesak nafas tidak ada
 Mual muntah tidak ada
 Tidak ada Riwayat trauma kepala
 BAK warna, jumlah, frekuensi biasa

13
 BAB warna, jumlah, konsistensi biasa

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Tidak ada riwayat penyakit serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat kejang dengan atau tanpa
demam.
Riwayat Kelahiran :
Lahir spontan cukup bulan, ditolong oleh bidan, berat lahir 2400 gr,
panjang badan 51 cm, langsung menangis kuat.
Riwayat Makanan dan Minuman :
Bayi Asi : 0 - 24bulan
Susu formula : 8 bulan
Buah biskuit : 7 bulan
Bubur susu : 8 bulan
Nasi tim : 6 bulan

Anak Makanan utama : nasi 3 x/hari


Daging : 1 x/minggu
Ikan : 3 x/minggu
Telur : 3 x/minggu
Sayur : 2 x/minggu
Buah : 1 x/minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas makan cukup
Riwayat Imunisasi:
 BCG : tidak imunisasi
 DPT : tidak imunisasi
 Polio : tidak imunisasi
 HiB : tidak imunisasi
 Hepatitis B : usia 1 bulan
 Campak : tidak imunisasi
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

14
Riwayat Tumbuh Kembang :
 Ketawa : tidak ingat
 Miring : 2 bulan
 Tengkurap : 3 bulan
 Duduk : 8 bulan
 Merangkak : 8 tahun
 Berdiri : 14 bulan
 Berjalan : 17 bulan
 Bicara : 15 bulan
 Gigi pertama : Tidak ingat
Kesan ; Pertumbuhan dan perkembangan normal

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu

Nama AG MM

Umur 31 tahun 28 tahun

Pendidikan SMP SD

Pekerjaan Sopir IRT

Perkawinan I I

Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


Rumah tempat tinggal : Permanen
Sumber air minum : air galon
Buang air besar : jamban di dalam rumah
Pekarangan : cukup luas
Sampah : dibakar
Kesan : Sanitasi dan hygiene cukup baik

15
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan FIsik Umum

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : Komposmentis
 Tekanan darah : 89/49 mmHg
 Nadi : 115 x/ menit
 Nafas : 30 x/ menit
 Suhu : 37,80C

Perhitungan Status Gizi


 Tinggi Badan : 80 cm
 Berat Badan : 8,5 kg
 BB/U : < -3 SD (BB sangat kurang)
 TB/U : -3 SD s/d -2 SD (Pendek)
 BB/TB : -3 SD s/d -2 SD
Kesan : Gizi kurang
Kulit : Teraba hangat, bintik-bintik merah tidak ada, turgor kembali
cepat
Kepala : Bentuk bulat, simetris.
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan deformitas
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, sianosis sirkum oral tidak ada
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada deviasi trakea
Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, retraksi tidak ada.
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

16
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba iktus cordis di 1 jari medial linea mid clavicula sinistra
RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama teratur, S1 S2 regular, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus positif normal
Punggung : Tidak ada kelainan
Genitalia : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik, reflek fisiologis positif normal,
reflek patologis tidak ada
Tanda Rangsang Meningeal :
Kaku kuduk : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
Kernig : negatif
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah tanggal 22/09/2022
Hb : 10 gr/dl
Leukosit : 9.550 /mm3
Hitung Jenis : 0,2/0,1/81/11,9/6,8
Hematokrit : 31,7%
Trombosit : 304.000/mm3
Kesan : Dalam batas normal

Diagnosis Kerja
 Kejang Demam Kompleks
 Gagal tumbuh (failure to thrive)

17
Diagnosis Banding
 Epilepsi
Tatalaksana :
 IVFD KaEN 1B 18 cc/jam
 Paracetamol 4x1 cth
 Diazepam 3 x 2 mg p.o
 Ambroxol 3x4 mg p.o

Edukasi
 Kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
 Memberitahukan cara penanganan kejang dan apa yang harus dikerjakanbila
anak kejang.
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
 Memberitahukan bahwa pemberian obat profilaksis untuk mencegah ber-
ulangnya kejang memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping
obat.

Rencana pemeriksaan :
 Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, gula darah
 Feses rutin

18
Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit

23/09/22 S/ Demam ada naik turun


Kejang tidak ada
Batuk sesekali
Muntah tidak ada
BAK dan BAB biasa

O/ KU: tampak sakit sedang


Kesadaran: sadar
TD : 116/70
HR :110 x/menit
RR : 23x/menit
Suhu : 36,7oC
Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : distensi (-), supel, hepar tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam kompleks
- Gagal tumbuh (failure to thrive)

P/
- Paracetamol 4x1 cth
- Diazepam 3 x 1 mg p.o
- Ambroxol 3 x 4 mg
- Zamel 1 x 1 cth

19
Tanggal Perjalanan Penyakit

24/09/22 S/ Demam ada naik turun


Kejang tidak ada
Batuk sesekali
Muntah tidak ada
BAK dan BAB biasa
.
O/ KU: tampak sakit sedang
Kesadaran: sadar
TD : 116/70
HR :110 x/menit
RR : 23x/menit
Suhu : 36,7oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : distensi (-), supel, hepar tidak teraba, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam kompleks
- Gagal tumbuh (failure to thrive)

P/
- Paracetamol 4x1 cth
- Diazepam 3 x 1 mg p.o
- Ambroxol 3 x 4 mg
- Zamel 1 x 1 cth

20
Tanggal Perjalanan Penyakit

25/09/22 S/ Demam tidak ada


Kejang tidak ada
Muntah tidak ada
Sudah mulai makan
BAK dan BAB biasa
.
O/ KU: tampak sakit sedang
Kesadaran: sadar
TD : 116/70
HR:112 x/menit
RR: 28x/menit
Suhu: 36,5oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen : distensi (-), supel, hepar tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam kompleks
- Gagal tumbuh (failure to thrive)

P/
- Paracetamol 4x1 cth
- Diazepam 3 x 1 mg p.o
- Ambroxol 3 x 4 mg
- Zamel 1 x 1 cth

21
BAB IV
DISKUSI

Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada anak


berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas
380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.1 Seorang anak perempuan berusia 2 tahun 4 bulan datang ke IGD
RSUD Dr Achmad Mochtar dengan keluhan utama kejang 3 jam sebelum masuk
rumah sakit. Berdasarkan hasil alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien batuk sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak berwarna putih tidak berdarah.
Pilek ada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, demam tinggi dengan suhu 38.1ºC, demam terus menerus, tidak
menggigil, tidak berkeringat. Pasien kejang 3 jam sebelum masuk rumah sakit
dengan frekuensi 2 kali, kejang pertama terjadi di rumah dengan durasi kurang dari
5 menit, kejang kedua terjadi di IGD RS Yarsi dengan durasi kurang dari 5 menit,
jarak antar kejang 1 jam, kejang diawali dengan mata mendelik ke atas diikuti
dengan kelonjotan pada kedua tangan dan kedua kaki, diantara kejang dan setelah
kejang kedua pasien sadar. Sesak nafas tidak ada, buang air kecil warna, jumlah,
frekuensi biasa. Buang air besar warna, jumlah, konsistensi biasa. Mual muntah
tidak ada. Tidak ada riwayat trauma kepala pada pasien sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis kooperatif, tekanan darah 89/49 mmHg, nadi 115x/menit,
nafas 30x/menit, suhu 37,80C. Pada pasien tidak ditemukan adanya tanda-tanda
kelainan susunan saraf pusat yang ditandai dengan reflek patologis negatif, tanda
rangsang meningeal negatif, dan refleks fisiologis positif normal, hal ini
menyingkirkan kemungkinan penyebab kejang pasien adalah kelaian dari proses
intrakranial. Dari hasil laboratorium pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan
elektrolit darah dalam batas normal, hal ini menyingkirkan kemungkinan kejang
disebabkan oleh gangguan kesimbangan elektrolit.
Berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya pada pasien ini mengalami batuk
berdahak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, dan pilek sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, hal ini menunjukkan bahwa pasien memiliki penyakit dasar
infeksi saluran pernapasan akut yang mengakibatkan demam pada pasien. Infeksi

22
saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering diderita oleh bayi
dan anak. Klasifikasi ISPA menjadi ISPA bagian atas dan ISPA bagian bawah. 14
Penelitian yang dilakukan Gourabi pada tahun 2012 membuktikan dari 214 pasien
anak yang mengalami kejang demam, 72,9% penyakit primernya adalah ISPA
bagian atas, sedangkan ISPA bagian bawah adalah 1,4%.15
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada kenaikan suhu
tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron.
Dalam waktu singkat, ion kalium maupun ion natrium akan berdifusi melalui
membran sel sehingga lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik sangat
besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran disekitarnya dengan
bantuan neurotransmiter, hal ini dapat menyebabkan tercetusnya kejang. 16
Berdasarkan klasifikasinya kejang demam dibagi atas kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.1 Berdasarkan anamnesis, pasien ini
digolongkan dalam kejang demam kompleks karena memenuhi salah satu ciri yaitu
kejang berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam, adapun ciri lain dari kejang
demam kompleks adalah kejang yang berlangsung lama dengan durasi lebih dari 15
menit, dan kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial.1
Pada pasien ini diberikan tatalaksana cairan IVFD KaEN 1B 15 tpm makro
(18cc/jam), Paracetamol 4x1 cth k/p, diazepam 3 x 2 mg p.o, ambroxol 3x4 mg p.o,
Zamel 1x1 cth. Pasien diberikan paracetamol jika suhu ≥ 380C sebagai antipiretik.
Walaupun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis paracetamol yang digunakan adalah10-15
mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Pasien ini diberikan profilaksis intermiten karena
kejang pada pasien ini terjadi pada suhu <390C.1 Ambroxol 3x4 mg merupakan obat
golongan mukolitik untuk mengatasi keluhan batuk berdahak pada pasien. Zamel
1x1 cth merupakan suplemen makanan yang digunakan untuk membantu
metabolisme tubuh anak pada masa pertumbuhan dan perkembangan. Pada pasien
ini diberikan suplemen karena berdsarkan grafik pertumbuhan WHO pasien
mengalami gagal tumbuh.

23
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal.Berikan edukasi kepada orang tua cara penanganan kejang, memberikan
informasi mengenai kemungkinan kejang kembali, pemberian obat profilaksis
untuk mencegah beru-langnya kejang dengan tetap mengingat adanya efek samping
obat.17

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,


penyunting. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI,
2016.h1-14
2. Mikati MA, Hani AJ. Febrile Seizure. Dalam Kliegman RM, Behrman RE,
Stanton BF, St Gemme VW, Schor NF, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier, 2016. h2829-31.
3. Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. (2018). Febrile Seizures : an
Overview. Drugs in Context, 2018. h1-12.
4. Dewi, P. P., Lely, A. O., & Budiapsari, P. I. (2021). Hubungan Berulangnya
Kejang Demam pada Anak Dengan Riwayat Kejang di Keluarga. Aesculapius
Medical Journal, 2021. h32-37.
5. Indar Kumar S., Jitender S., Lesa D. Evaluation of Risk Factors associated
with First Episode Febrile Seizures. J. Clin. Diagn. Res. 2016;10:10–13.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Indris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED, penyunting. Pedoman Pelayanan Medis jilid I. Jakarta: IDAI,
2010. h150-153
7. Seinfeld DOS, John MP. Recent research on febrile seizure: a review. J
Neurol Neurophysiol 4(165). 2014. h1-10

8. Wardhani AK. Kejang demam sederhana pada anak usia satu tahun. Medula
1(1).2013. h57-64

9. Fuadi, Tjipta B, Noor W. Faktor resiko bangkitan kejang demam pada


anak.Sari Pediatri vol 12 no 3. 2010. h142-149

10. Bahtera T, Susilo W, Soemantri AGH. Faktor genetic sebagai resiko kejang
demam. Sari Pediatri vol 10 no.6. 2009. h78-384
11. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999.
h:244-52
12. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,
penyunting Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI
2016. h4

13. Chung S. Kejang demam. Korea J. Pediatr. 2014;57:384-95.

25
14. Aswin Amalia, Muhyi Annisa, Hasanah Nurul. Hubungan Kadar Hemoglobin
dengan Kejang Demam pada Anak Disebebkan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut: Studi Kasus Kontrol. Sari Pediatri. 2019;20(5):270-5.
15. Gourabi H. Febrile seizure: demographic features and causative
factors. Iranian J Child Neurol 2012;6:33-7.
16. Hassan R, Alatas H. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
17. American Academy of Pediatrics, Subcommitee on Febrile Seizure. Pediatr.
2011;127:389-94

26

Anda mungkin juga menyukai