Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dokter Internship

di RSUD. Dr. Zainal Umar Sidiki

Oleh :
dr. Dhea Farisky

Pembimbing :
dr. Zulfito Marendra, Sp.A

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD. Dr. ZAINAL UMAR SIDIKI
KAB. GORONTALO UTARA
GORONTALO

2022
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Kompleks

Oleh:
dr. Dhea Farisky

Telah diterima sebagai salah satu tugas dokter internship di program

internship dokter indonesia di RSUD. Dr. Zainal Umar Sidiki,

Kab. Gorontalo Utara – Gorontalo


2022

Kwandang, 2022

Pembimbing

dr. Zulfito Marendra, Sp.A

i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................2
2.1. Tinjauan Kejang Demam..............................................................................2
2.1.1 Definisi.............. .....................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi ..........................................................................................2
2.1.3 Klasifikasi .............................................................................................3
2.1.4 Etiologi dan faktor risiko .......................................................................4
2.1.5 Patofisiologi ...........................................................................................8
2.1.6 Penegakan diagnosis .............................................................................13
2.1.7 Penatalaksanaan ....................................................................................15
2.1.8 Diagnosa Banding .................................................................................19
2.1.9 Edukasi Orang Tua................................................................................19
2.1.10 Kriteria Rujukan..................................................................................19
2.1.11 Prognosis.............................................................................................19
2.2. Tinjauan Faringitis......................................................................................20
2.2.1 Definisi.............. ...................................................................................20
2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................20
2.1.3 Etiologi dan faktor risiko .....................................................................20
2.1.4 Patofisiologi .........................................................................................21
2.1.5 Manifestasi Klinis ................................................................................21
2.1.6 Penegakan Diagnosis ...........................................................................24
2.1.7 Penatalaksanaan ...................................................................................26
2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................26
2.1.8 Diagnosa Banding ................................................................................27
2.1.9 Konseling dan Edukasi.........................................................................27

ii
2.1.10 Kriteria Rujukan..................................................................................27
2.1.11 Prognosis.............................................................................................27
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................28
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................37
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................39
BAB VI DAFTAR PUSTAKA............................................................................40

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Patofisiologi Kejang demam……………………………….......... 11
Gambar 2.2 Tataalaksana Kejang demam……………………………….......... 16
Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Obat Antikonvulsan…………………………...18
Gambar 2.4 Patofisiologi Faringitis ……………………………………….......22

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai


dan terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun. Kejadian terbanyak
adalah pada usia 17-23 bulan. Kejang demam perlu segera diatasi dengan tepat dan
cepat. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang mengalami kenaikan suhu
tubuh (suhu diatas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak di
sebabkan oleh proses intrakranial.1,2
Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA hampir 1,5 juta dan sebagian
besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan dengan puncak pada usia 18
bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi di berbagai negara. Daerah Eropa
barat dan Amerika tercatat 2-4% angka kejadian kejang demam pertahunnya.
Sedangkan di India sebesar 5-10% dan di Jepang 8,8%. Hampir 80% kasus adalah
kejang demam sederhana.2
Penyebab kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kejang
demam tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi dan kadang-kadang demam tidak
terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang salah satu penyebab kejang demam adalah
infeksi saluran pernapasan atas dengan peningkatan suhu yang akan dapat
mengakibatkan bangkitan kejang.2
Angka kejadian kejang demam di Indonesia mencapai 2% sampai 40%.
Berdasarkan fenomena yang banyak terjadi di Indonesia sering terjadi saat demam
tidak ditangani dengan baik oleh orang tua, seperti tidak segera memberikan
kompres pada anak ketika terjadi demam, tidak memberikan obat penurun demam,
dan sebagian orang tua justru membawa anaknya ke dukun sehingga sering terjadi
keterlambatan bagi petugas dalam menangani kejang demam.2
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar
30-35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang berulang.2

1
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Kejang Demam


2.1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh
(suhu diatas 38C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak
disebabkan oleh proses intrakranial.1
Keterangan :
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya.1
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut
sebagai kejang demam.1
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali.1
4. Nasional Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3
bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993)
menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang
dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, terutama susunan saraf pusat.1
5. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1

2.1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berusia 6 bulan-5 tahun.
Kejadian terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. Pada penelitian kohort
prospektif yang besar, 2-7% kejang demam mengalami kejang tanpa
demam atau epilepsy di kemudian hari. Kejadian kejang demam ada
kaitannya dengan faktor genetik. Anak dengan kejang demam 25-40%
mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam. 1,3

2
3

Orang tua harus diberitahu bahwa kejang demam dapat kambuh


kembali. Beberapa studi kohort telah menemukan bahwa semua anak yang
memiliki faktor risiko 80% beresiko kejang demam berulang. Anak yang
tidak memiliki faktor risiko memiliki 4% untuk kejang berulang. Sekitar
30-35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang
berulang.2,4
Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA hampir 1,5 juta
dan sebagian besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan
puncaknya pada usia 18 bulan. Angka kejadian kejang demam bervairiasi
di berbagai negara. Daerah Eropa Barat dan Amerika tercatata 2-4% angka
kejadian kejang demam pertahunnya. Sedangkan di India sebesar 5-10%
dan di jepang 8,8%. Hampir 80% kasus adalah kejang demam sederhana.
Angka kejadian kejang demam di Indonesia mencapai 2% sampai 4%.2

2.1.3 Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

1. Kejang demam sederhana


Karakteristik kejang demam sederhana
• Durasi kurang dari 15 menit
• Kejang umum (tonik atau klonik)
• Tidak ada masalah neurologis sebelumnya
• Terjadi sekali dalam 24 jam.1,5
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang.
Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5
menit dan berhenti sendiri.1,5
2. Kejang Demam Kompleks
Karakteristik kejang demam kompleks
• Kejang lama durasi 15 menit atau lebih
• Kejang Fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
4

kejang parsial
• Berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.1,5
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang
anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.1
Kejang Fokal adalah kejang parsial atau satu sisi, atau kejang
umum yang didahului kejang parsial.1
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 2 hari dan
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar, Kejang berulang terjadi pada
16% anak yang mengalami kejang demam.1

2.1.4 Etiologi dan Faktor risiko


Faktor risiko kejang demam yang penting adalah demam. Selain itu
terdapat riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam
perawatan khusus, dan kadar natrium yang rendah. Etiologi demam sering
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, radang telinga tengah,
infeksi saluran cerna dan infeki saluran kemih.4
a. Faktor Demam
Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak
tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang demam. Perubahan kenaikan temperature
tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksibilitas neural,
karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolism seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan 1° Celcius
akan meningkatkan metabolism 10 sampai 15% sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan kebutuhan glukosa dan
oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan Hipoksia
jaringan termasuk jaringan otak.4

b. Faktor Usia
5

Tahap perkembangan otak dibagi 6 Fase yaitu : 1) neurulasi, 2)


perkembangan prosensefali, 3) Proliferasi neuron, 4) migrasi seural,
5)organisasi dan 6)mielinisasi. Tahapan perekembangan otak intrauteri
dimulai dari fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan
organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-bertahun
pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal
dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang
reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi
lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormone
(CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila
terpicu oleh demam.4
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait
dengan kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal
dominan paling banyak ditemukan, Penetrasi autosomal dominan
diperkirakan 60-80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan
riwayat pernah kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan apabila kedua orang
tua tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam
menungkat menjadi 59%-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang
tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka
resiko terjainya kejang demam hanya 9%.4
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi
yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dalam kehamilan dan
persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan
prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
6

lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin asfiksia. Pada


asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai.4
e. Kehamilan dengan eklampsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta
previa dan eklampsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklampsia
dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas
30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9%
disebabkan oleh karena adanya riwayat eklampsia selama kehamilan.
Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi dapat
berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan
aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan
pertumbuhan intrauterine dan bayi berat lahir rendah.4
f. Kehamilan primipara atau multipara.
Urutan Persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden
kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan
besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit
persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus
lama, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan
cedera karena kompresi kepala yang berakibat distorsi dan kompresi
otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya.4
g. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau
perdarahan intrakranial. Penyebab paling banyak akibat gangguan dan
prenatal dan proses persalinan adalah asfikisa yang akan menimbulkan
lesi pada hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada
asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak.
7

Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, yang baik pada


stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya
asfiksia, Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan
dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai.4
h. Bayi berat lahir rendah
BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan
perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang.
Bayi BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu
hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan
kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak dapat
menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.4
i. Kelahiran prematur dan postmatur
Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang
sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 60% bayi
prematur menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan
pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan
aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan
otak yang permanen lebih besar.4
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan
terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan
oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang
lahir post matur adalah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan
kelaianan neurologik.4
j. Partus lama
Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko cedera
mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan
hipoksia dapat berupa kejang.4
8

k. Perdarahan intakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan
oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital. Perdarahan
subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama
terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan
subarachoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya
bersama dengan perdarahan intraventricular. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang.4
l. Infeksi sistem saraf pusat.
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi
bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP
seperti Ensefalitis virus berat seringkali menyebabkan terjadinya
kejang. Di negara-negara barat penyebab paling umum adalah Herpes
simpleks tipe 1 yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul
berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan
umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi Virus ini dapat juga
menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak
yang dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sequel yang
secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral palsy, retradasi
mental, hidrosefalus, dan defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat
pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok
neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsy
dalam waktu 2-3 tahun kemudian menimbulkan kejang. 4

2.1.5 Patofisilogi Kejang Demam


Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada
neuron tersebuk baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel
saaf seperti itu juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane.
Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.
Potensial intrasel lebih negative dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam
9

keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100mV, selisih


potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan perbedaan letak dan
jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+,dan Ca++. Bila sel saraf mengalami
stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane.
Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas
membrane terhadap ion Na+ akan lebih banyak masuk kedalam sel.
Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih dapat
dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih
potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian
sifatnya tidak menjalar yang disebut sebagai respon lokal.6
Bila rangsang cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai
ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran terhadap Na+
akan meningkat secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau
potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya
melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai
neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai maka permeabilitas
membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembal ke
luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. 6
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori :
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksia, iskemia dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.6
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia
dan hypomagnesemia.6
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neuritransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate
yang akan menimbulkan kejang.6
Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga dengan adanya peningkatan
10

suhu akan menagkibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen.


Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jarungan termasuk
jarungan otak. Pada keadaan metabolism di siklus Creb normal satu
molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan
hipoksia jaringan metabolism berjalan anaerob, satu molekul glukosa
hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan
kekurangan energi dan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan
reuptake asam glutamate oleh sel glia, dimana pada keadaan normal
membran sel yang melingkupi sel terdiri dari permukaan dalam yang lipoid
dan permukaan luar yang ionik sehingga membrane sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit dilalui ion Na+ dan
elektrolit lainnya, kecuali ion Cl.6
Dengan demikian konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terjadi keadaan
sebaliknya. Keseimbangan potensial membrane ini dapat terus dijaga oleh
adanya enzim Na+/K+/ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Namun
pada kenaikan suhu tubuh tertentu kedua hal tersebut mengakibatkan suhu
tubuh tertentu kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ kedalam
sel meningkat dan timbunan ekstrasel akan meningkatkan permeabilitas
membrane sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkat ion Na+
masuk ke dalam sel yang menyebabkan dapat terjadi perubahan
keseimbangan membran sel neuron dan dalam kurun waktu singkat terjadi
difusi ion kalium dan natrium melalui membran tadi sehingga
menimbulkan lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel disekitarnya dengan
bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Balita beresiko untuk
mengalami kejang demam jika suhu tubuh 38C hal ini berhubungan
dengan ketahanan tubuh balita dalam mengendalikan kenaikan suhu di
dalam tubuh karena tubuh balita tidak mampu mengendalikan setiap
kenaikkan suhu ditubuhnya.2
11
12
13

2.1.6 Penegakan Diagnosis


Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang,
diantaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan akut pada
keseimbangan homeostasis air dan elektrolit, dan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis air dan elektrolit, dan adanya lesi
struktutral pada system saraf misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk
mendiagnosis ini.7
a. Anamnesis.7
1. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang
2. Riwayat gangguan neurologis
3. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun)
4.Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis)
5. waktu terjadinya kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan
6. Sifat kejang (fokal atau umum)
7. Bentuk kejang (tonik, klonik,tonik-klonik)
8. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun disertai
demam atau epilepsy)
9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
10. Trauma
11. Riwayat kejang demam dalam keluarga

b. Pemeriksaan Fisik.7
1. Tanda-tanda vital
2. Pemeriksaan umum ditujukan untuk untuk menentukan peyakit yang
mendasari terjadinya demam (infeksi saluran napas, otitis media,
gastroenteritis)
3. Pemeriksaan neurologis meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda
14

rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motorik, tonus otot.


4. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis

c. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula
darah.1
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal
tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang
mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.1
Indikasi pungsi lumbal :
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis.1
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotk dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis. 1
d. Elektroensefalografi (EEG)
Indikasi pemeriksaan EEG :
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
apabila ada bangkitan yang bersifat fokal.1
Keterangan :
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.1
15

e. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak
rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana.
Pemeriksaan tersebut dilakukan apabila terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau
paresis nervus kranialis.1

2.1.7 Tatalaksana saat kejang


Pada anak yang sedang mengalami kejang, penderita dimiringkan
agar terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut. Jalan nafas dijaga agar
tetap terbuka agar suplai oksigen tetap terjamin, bila perlu berikan oksigen.
Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diobservasi.
Suhu yang tinggi harus segera di turunkan dengan kompres dan pemberian
antipiretik. Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit)
dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien
datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 10mg. Secara umum penatalaksanaan kejang akut
mengikuti alogaritma kejang pada umumnya.1
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua dirumah
(prehospital) adalah diazepam rektal 5mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 12kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12kg. Bila setelah
pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti dapat diulang lagi
dengan cara dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setalah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang dianjurkan kerumah
sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang
masih berlanjut, lihat alogritme tatalaksana epileptikus.1
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantug
dari indikasi terapi antikonvulsan profilaksis. 1
16

Gambar 2.2 Algoritme tatalaksana kejang demam.1


a. Pemberian obat pada saat demam
Tidak ditemukan bukti bahwa pengunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi
anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6jam. Dosis ibuprofen 5-10mg/kg/kali, 3-4kali sehari.1
b. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah
obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis
intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko
dibawah ini:1
• Kalainan neurologis berat, misalnya serebral palsi
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
17

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5mg/kg/kali (5mg untuk BB <12kg dan 10mg untuk BB>12kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5mg/kali.
Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orang tua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas serta sedasi.1
c. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:1
• Kejang fokal
• kejang lama >15 menit
• Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang misalnya palsi serebra, hidrosefalus, hemiparesis.
Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan
perkembangan, bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang
fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal. Pada anak dengan kelainan
neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orang tua
khawatir diberikan terapi antikonvulsan rumat.1
d. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian
fenobarbital setiap hari menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Asam valproate menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat adalah 15-40mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital
3-4mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.1
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumatan
18

untuk kejang demam membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada


saat anak tidak sedang kejang.1

e. Mekanisme kerja obat antikonvulsan

2.1.8 Diagnosa Banding7


• Meningitis
• Epilepsi
• Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit.
19

2.1.9 Edukasi pada orang tua7


• Meyakinkan orang tua bahwa kejang demam umumnya mempunyai
prognosis yang baik.
• Memberitahukan cara penganganan kejang
• Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
• Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.1

2.1.10 Kriteria rujukan7


• Apabila kejang tidak membaik setelah diberikan obat antikonvulsan
sampai lini ke tiga
• Jika diperlukan pemeriksaan penunjang seperti EEG dan pencitraan

2.1.11 Prognosis1
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian
kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus
kejang lama atau kejang berulang, baik umum atau fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan regnition memory pada anak yang
mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi
kejang demam yang berpotensi menjadi kejang demam lama.1

2.2 Faringitis
2.2.1 Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan
oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%,alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus
pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya.
20

2.2.2 Epiemiologi
Infeksi saluran pernapasan atas virus terjadi paling sering pada
musim dingin dan musim semi dan ditularkan melaluin kontak langsung
yang dekat. Faringitis streptokokus jarang terjadi sebelum usia 2-3 tahun.
Insiden meningkat di kalangan anak-anak dan kemudian menurun pada
akhir masa remaja dan dewasa. Penyakit ini terjadi sepanjang tahun tetapi
dilaporkan paling serig selama musim semi. Penyakit ini sering
membayar pada saudara kandung dan teman sekelas. Faringitis dari
group Streptococcus C dan A. haemolyticum paling sering terjadi di
kalangan remaja dan orang dewasa.7

2.2.3 Etiologi dan Faktot risiko


Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan faringitis adalah
virus dan streptococcus -hemolitik grup A (GABHS). Organisme lain
yang kadang-kadang dikaitkan dengan faringitis termasuk streptococcus
C, Arcanobacterium haemolyticum, Francisella tularensis, Mycoplasma
pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae, dan Corynebacterium diphtheria.
Bakteri lain, seperti seperti Haemophilus influenza dan streptococcus
pneumoniae, didapatkan pada kultur tenggorok anak yang mengalami
radang tenggorokan, tetapi peran mikroba tersebut dalam menyebabkan
faringitis belum diketahui.7
Beberapa mikroorgaanisme dapat menyebabkan iritasi dan radang
faring. Pada anak-anak penyebab dapat disebabkan oleh virus (misalnya,
adenovirus, enterovirus, dan virus Epstein-Barr (EBV), yang sering
hanya memerlukan terapi suportif, untuk bakteri pathogen (misalnya,
GABHS), membutuhkan terapi antibiotik. Untuk semua kasus faringitis
pediatrik apakah yng berasal dari bakteri atau virus, diperlukan
perawatan suportif untuk mencegah gejala yang terkait sperti dehidrasi.7
GABHS adalah organisme utama yang menjadi perhatian pada
kebanyakan kasus faringitis pediatrik karena terapi antibiotik yang tepat
21

akan efektif dan dapat menghilangkan komplikasi. Faringitis GABHS


menyebar melalui droplet pernapasan melalui kontak yang dekat. Bakteri
ini memiliki masa inkubasi selama 2-5hari.7
Faktor risiko Faringitis yaitu :
• Usia 3-14 tahun
• Menurunnya daya tahan tubuh
• Konsumsi makanan yang dapat mengiritasi faring
• Gizi kurang
• Iritasi kronik oleh rook, minuman alkohol,makanan, refluks asam
lambung, inhalasi uap yangmerangsang mukosa faring
• Paparan udara yang dingin.

2.3.4 Patofisiologi
Kolonisasi GABHS pada faring dapat mengakibatkan keadaan
asimptomatik maupun infeksi akut. Protein M adalah faktor virulensi
utama dari polimorfonuklear. Imunitas tipe spesifik berkembang selama
infeksi dan memberikan kekebalan protektif terhadap infeksi berikutnya
dengan serotip M tertentu. Demam yang disebabkan oleh GABHS
mengakibatkan salah satu dari tiga eksotoksin pirogenik sterptokokus
(SPE) A,B, dan C dapat menyebabkan ruam popular. SPE-A tampaknya
paling kuat terkait dengan demam scarlet. Paparan SPE hanya
menghasilkan kekebalan khusus untuk toksin tersebut, dan karenanya
demam scarlet dapat terjadi sampai tiga kali. 7
22

Gambar 2.4 Patofisiologi Faringitis.7

2.2.4 Manifestasi Klinis


Terjadinya faringitis streptokokus sering cepat ditandai oleh gejala
23

nyeri tenggorokan dan demam yang menonjol. Sakit kepala dan gejala
gastrointestinal sering terjadi. Faring terlihat hiperemis, dan tonsil
membesar dan secara klasik bisa ditutupi dengan warna eksudat kuning,
darah yang kebiruan. Mungkin bisa terdapat peteki atau lesi “donat” pada
palatum mole dan faring posterior, dan uvula mungkin memerah dan
membengkak. Kelenjar getah bening leher anterior membesr dan lunak.
Beberapa pasien menunjukan stigma tambahan demam, berupa: pucat
circumoral, lidah berwarna ‘stroberi’, dan ruam papilar halus berwarna
merah yang terasa seperti amplas dan menyerupai kulit terbakar.7
Onset faringitis virus mungkin lebih bertahap, dan gejala yang lebih
sering terjadi berupa rhinorrhea, batuk, dan diare. Pada faringitis
Adenovirus dapat terdapat gejala konjungtivitis dan demam yang
bersamaan (fever pharyngoconjunctival). Faringitis coxsackievirus dapat
menyebabkan timbulnya vesikel abu-abu kecil (1-2mm) dan ulkus yang
menekan pada faring posterior(heroangina), atau nodul putih kekuningan
kecil (3-6mm) pada faring posterior (faringitis lymphonodular akut).
Pada faringitis akibat virus Epstein-Bar (EBV), mungkin ada pembesaran
tonsil yang menonjol dengan eksudat serviks, limfadenitis,
hepatosplenomegaly, ruam, dan terjadinya kelelahan umum pada anak
sebagai bagian dari sindrom mononucleosis infeksius. Herpes simpleks
infeksi virus primer pada anak-anak sering menyebabkan demam tinggi
dan gingivostomatitis.7
Penyakit faringitis yang dikaitkan dengan streptococcus
haemolyticum kelompok C dan A umumnya mirip dengan yang
disebabkan oleh GABHS infeksi akibat A. Haemolyticum kadang-
kadang disertai dengan ruam maculopapular eritematosa. Infeksi faring
gonokokal biasanya tanpa gejala tetapi dapat menyebabkan faringitis
akut dengan demam dan limfadenitis servikal.7
24

2.2.5 Penegakan diagnosis


a. Anamnesis7
Hasil Anamnesis
• Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan
• Demam
• Sekret dari hidung
• Dapat disertai atau tanpa batuk
• Nyeri kepala
• Mual
• Muntah
• Rasa lemah pada seluruh tubuh
• Nafsu makan berkurang
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu :
• Faringitis viral (umumnya oeh Rhonovirus): diawali dengan gejala
rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain
demam disertai rhinorrhea dan mual.
• Faringitis bacterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali
terdapat pembesaran KGB
• Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan
• Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal
dan akhirnya batuk berdahak
• Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal
serta mulut berbau
• Faringitis tuberculosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
dengan pengobatan bacterial non spesifik
• Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis leutika, ditanyakan
riwayat hubungan seksual terutama seks oral.
25

b. Pemeriksaan Fisik7
• Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis,eksudat(virusinfluenza,coxsachievirus,cytomegalovir
us tidak menghasilkan eksudat).Pada coxsachievirus dapat timbul
lesi vesikulardi orofaring berupa maculopapular rash.
• Faringitis bacterial, pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
bisa juga tonsil hiperemis dan bebesar serta terdapat eksudat
dipemukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiea pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar
limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri penekanan.
• Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya
hiperemis
• Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelanjar
limfa dibawah mukosa faring dan hyperplasia lateral band. Pada
pemeriksaan tampa mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone)
• Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
• Faringitis tuberculosis, pada pemeriksaan tampak granuloma
perkejuan pada mukosa faring dan laring.

Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokus group A dapat


diperkirakan dengan menggunakan centor kriteria yaitu :7
• Demam
• Anterior cervical lymphadenopathy
• Edema atau Eksudat tonsil
• Tidak ada batuk
• Usia 3-14 tahun
26

Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1. Bila skor 0-1 maka
pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptokokus group A,
bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkinan 40% terinfeksi
streptokokus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan
50% terinfeksi streptokokus group A.7

2.2.6 Komplikasi
Tonsilitis, abses peritonsilar, abses retrofaringeal, gangguan fungsi
tuba Eustachius, otitis media akut, sinusistis, laryngitis, epiglottis,
meningitis, glomerulonefrtis akut, demam remati akutt, septicemia.

2.2.7 Penatalaksanaan
1) Istirahat cukup
2) Minum air putih yang cukup
3) Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur
antiseptic untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal
diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU 2x/hari untuk faringitis
hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan
memakai zat kimia larutan nifas argetin 25%
4) Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine dengan
dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4 -6x/hari pada orang dewasa dan
pada anak <5 tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6x/hari.
5) Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
streptococcus group A, diberikan antibiotik amoksisilin 50mg/kgBB
dosis dibagi 3x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama
6-10hari atau eritromisin 4x500mg/hari.
6) Pada fatingitis gonorrhea dapat diberikan sefalosporin generasi ke 3
seperti ceftriakson 2gr IV/IM
7) Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1x/hari selama 3-
5hari
8) Jika diperlukan diberikan obat batuk antitusif atau ekspetoran
27

9) Selain antibiotic, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi


inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang dapat
diberikan deksametason 3x0,5mg pada dewasa selama 3 hari dan pada
anak-anak 0,01mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3x/hari selama 3 hari

2.2.8 Diagnosa Banding


• Tonsilitis
• Scarlet fever

2.2.9 Konseling dan edukasi


Memberitahu pasien dan keluarga untuk
1) Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi
dan olahraga teratur.
2) Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
3) Menghindari makanan yang dapat mengirittasi tenggorok
4) Selalu menjaga hygiene mulut dan tenggorokan

2.2.10 Kriteria rujukan


1) Faringitis leutika
2) Bila terjadi komplikasi

2.2.11 Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad Functionam : Bonam
3. Ad Sanationam : Bonam
BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : An. A.F
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 3 tahun
BB : 14kg
Agama : Islam
Alamat : Bualemo
No. RM : 03.39.xx
Tanggal Masuk : 2 Juli 2022
Tanggal Keluar :4 Juli 2022
Pekerjaan Orang Tua: Petani
Jumlah Saudara : Anak Tunggal

2. Anamnesis
Heteroanamnesis dengan Ibu pasien pada tanggal 2 Juli 2022 si IGD RSUD dr.
Zainal Umar Sidiki
a. Keluhan Utama : Kejang
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien anak laki-laki datang ke IGD RSUD Zainal Umar Sidiki pada
tanggal 2 Juli 2022 dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kejang. Kejang
yang di alami sebanyak 1 kali dari rumah dan sampai di IGD kejang belum
berhenti dengan durasi 15-20 menit. Kejang yang dialami pada seluruh
tubuh, mata mendelik ke atas, mulut mengeluarkan air liur. Setelah kejang
pasien langsng menangis. Kejang di dahului dengan demam sejak tadi pagi.
Mual (-), muntah(-), batuk (-), Flu (-), sesak (-), BAB dan BAK biasa.
Riwayat Trauma (-). Pasien belum minum obat apapun.

28
29

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat kejang demam 1 tahun yang lalu sebanyak 2 kali
dalam setahun. Pasien tidak memiliki riwayat gangguan neurologis dan
keterlambatan pertumbuhan perkembangan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama dengan
pasien.
e. Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI dari sejak lahir hingga usia 6 bulan, kemudian
dilanjutkan pemberian susu formula dari usia 6 bulan sampai 1 tahun.
Pemberian pendamping Asi diberikan saat usia 7 bulan.
f. Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar pasien lengkap

3. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 97x/menit
Pernafasan : 24x/menit
Suhu : 38C
SpO2 : 98%
Status gizi : Baik

a. Kulit :
Warna : Sawo matang, sianosis (-)
Efloresensi : Petechiae tidak tampak
Turgor : Segera kembali
Kelembaban : Cukup
30

b. Kepala
Rambut : Hitam, sukar dicabut, tebal
Wajah : Simetris, edema (-),deformitas (-)
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks kornea
(+/+)
Pupil : Bulat isokor 2,5mm/2,5mm, reflex cahaya (+/+)
Telinga : Serumen (-/-), secret (-/-)
Hidung : Pernafasan cuping hidung(-), epistaksis (-), Rhinorrhea (-)
Bibir : Pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-)
Lidah : Lidah kotor (-)
Tonsil : T1/T1, Hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (+)
c. Leher
Inspeksi : Simertirs
Palpasi : Kaku kuduk (-)
Perbesaran KGB : Tidak ada

d. Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Fremitus normal (+/+)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikule normal (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada SIC V arah medial line
midclavicular sinistra
Perkusi : Batas atas: SIC II linea midclavicularis dextra et parasternalis
sinistra
Batas kiri: SIC V linea midclavicularis Sinistra
31

Batas Kanan : SIC V linea parasternalis Dextra


Auskultasi : Bunyi Jantung S1 dan S2 murni regular, murmur(-), gallop(-)

e. Abdomen:
Inspeksi : Tampak datar, kesan normal
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Bunyi timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), Distensi (-)
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal: Tidak teraba

f. Ekstremitas:
a. Ekstremitas superior :Akral Hangat (+/+),edema (-/-)
b. Ekstremitas inferior : Akral Hangat (+/+),edema (-/-)

g. Genitalia : DBN
+/+
h. Otot-otot : Eutrofi +/+, kesan normal

++/++ −/−
i. Refleks : Fisiologis ++/++, Patologis −/−

j. Pemeriksaan Tambahan :

Brudzinki (-), Kaku kuduk (-), kernig sign (-)

4. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Satuan Nilai normal

Hematologi Rutin

Leukosit 14.3 x103/l 4.000-10.000


32

Eritrosit 4.74 x106/l L: 4,5-5,5 P:4-


5

Hemoglobin 13.1 g/dl L: 13-17,5


P:12-16

Hematokrit 32.8 % L: 40-48


P:37-34
MCV 69.2 l 82-92

MCH 23.6 g/dl 27-31

MCHC 34.0 g/dl 32-37

Trombosit 324 x105/l 150.000-


400.000

Basofil 0 % 0-1

Eosinofil 0 % 1-3

Neutrofil 66 % 50-70

Limfosit 31 % 20-40

Monosit 3 % 2-38

Kimia Darah

GDS 100 mg/dl <200

Imunoserologi

IgG Dengue Negatif Negatif

IgM Dengue Negatif Negatif

Widal

S.Typhi H Negatif Negatif

S. Paratyphi Negatif Negatif

S. Typhi O Negatif Negatif


33

S.Paratyphi AO Negatif Negatif

5. Resume
Pasien anak laki-laki datang ke IGD RSUD Zainal Umar Sidiki pada
tanggal 2 Juli 2022 dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kejang. Kejang
yang di alami sebanyak 1 kali dari rumah dan sampai di IGD kejang belum
berhenti dengan durasi 15-20 menit. Kejang yang dialami pada seluruh tubuh,
mata mendelik ke atas, mulut mengeluarkan air liur. Setelah kejang pasien
langsung menangis. Febris (+) sejak tadi pagi.
Pada pemeriksan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran compos
mentis setelah kejang berhenti, gizi baik. Pemeriksaan tanda vital didapatkan
nadi 97x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 38C. Faring hiperemis.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan : WBC: 14.3 x103/l,
RBC: 4.74 x106/l, HGB: 13.1g/dl, PLT:324 x103/l, HCT : 32.8%.

6. Diagnosa Kerja
Kejang demam kompleks e.c Faringitis akut

7. Penatalaksanaan
Medikamentosa
• O2 Nasal kanul 2 Lpm
• Paracetamol drips 200mg/ 8 jam
• Stesolid supp 10 mg saat kejang (telah diberikan sebanyak 2 kali
dengan jarak pemberian 5 menit)
• Inj ceftriaxone 2x700mg/IV
• Inj Dexamethasone 3x1,5mg
34

Non Medikamentosa
• Melanjutkan pemberian makan dan minum
• Lakukan kompres air hangat bila anak demam

8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

9. Perjalanan Penyakit
03 Juli 2022 (Ranap Anak)
S Keluhan (-), Kejang (-), Demam (-)

O Ku : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
TTV:
• Nadi : 110x/menit
• R: 24x/m
• S: 36,7C
• SpO2 : 99%
Kepala/leher : CA (-/-), SI (-/-), P>KGB (-), faring hipermis (+)
Thorax : Simetris, suara napas vesikuler (+/+)
Abdomen : datar, bising usus (+) normal, timpani, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, edema (-/-)
Vegetatif : BAK/BAB (+/+), makan/minum (+/+)
A Kejang demam kompleks e.c Faringitis
P
Medikamentosa
• Paracetamol drips 200mg/ 8 jam
• Inj ceftriaxone 2x700mg/IV
35

• Inj Dexamethasone 3x1,5mg

Non Medikamentosa
• Melanjutkan pemberian makan dan minum
• Lakukan kompres air hangat bila anak demam

04 Juli 2022 (Ranap Anak)


S Keluhan (-), Kejang (-), Demam (-)

O Ku : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
TTV:
• Nadi : 110x/menit
• R: 24x/m
• S: 36,6C
• SpO2 : 99%
Kepala/leher : CA (-/-), SI (-/-), P>KGB (-)
Thorax : Simetris, suara napas vesikuler (+/+)
Abdomen : datar, bsing usus (+) normal, timpani, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, edema (-/-)
Vegetatif : BAK/BAB (+/+), makan/minum (+/+)
A Kejang demam kompleks e.c Faringitis
P
Medikamentosa
• Paracetamol drips 200mg/ 8 jam
36

• Inj ceftriaxone 2x700mg/IV


• Inj Dexamethasone 3x1,5mg

Non Medikamentosa
• Melanjutkan pemberian makan dan minum
• Lakukan kompres air hangat bila anak demam
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis pasien masuk kedalam kejang demam
kompleks karena memenuhi salah satu kriteria kejang demam kompleks menurut
kriteria Livingston yaitu kejang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kejang yang
didahului oleh demam. Menurut consensus statement on febrile seizure, biasanya
kejang terjadi antara umur 3 bulan dan lima tahun, sedangkan pada kasus ini pasien
berumur 3 tahun. Oleh karena itu, hal ini sesuai dengan teori.
Infeksi yang menyebabkan timbulnya demam adalah kemungkinan berasal
dari infeksi pada faring atau disebut faringitis berdasarkan hasil pemeriksaan fisik
didapatkan suhu pasien >38 derajat celcius dan faring pasien hiperemis. Dimana
salah satu penyebab tersering anak demam adalah ISPA. Pada pemeriksaan fisik
juga tidak ditemukan adanya defisit neurologis dan refleks patologis serta refleks
fisiologis normal. Hal ini menandakan bahwa pasien mengarah ke kejang demam
kompleks dan menyingkirkan diagnosa banding infeksi system saraf pusat. Oleh
karena itu hal ini sesuai dengan teori.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit WBC:
14.3 x103/l yang menandakan adanya infeksi bakteri. Maka kemungkinan
faringitis yang pada pasien ini disebabkan oleh bakteri dan menyebabkan terjadinya
demam. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dapat disimpulkan bahwa pada kasus ini diagnosis pasien adalah kejang demam
kompleks.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yaitu pasien dimiringkan agar
terjadi aspirasi ludah atau lendir, memberikan oksigen. Diazepam rectal diberikan
10 mg sebanyak 2 kali pada saat datang pasien dalam kondisi kejang dan akses
untuk intravena masih sulit dilakukan dan obat diazepam iv tidak tersedia. Pada
pemberian diazepam pertama kejang belum berhenti kemudian interval 5 menit
diberikan diazepam kedua 10mg setelah itu kejang berhenti dimana diketahui
bahwa obat yang paling cepat menghentiksn kejang adalah diazepam. Hal ini sesuai
dengan teori tatalaksana akut kejang demam. Pasien juga diberikan antibiotik

37
38

cextriaxone 2x700mg intravena yang berfungsi untuk membunuh dan


menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi dalm tubuh. Injeksi
Dexamethason diberikan 3x1,5mg diberikan untuk menekan reaksi inflamasi.
Pasien juga diberikan antipiretik berupa paracetamol drips untuk menurunkan
demam. Prognosis pada kasus ini baik setelah kejang pasien langsung sadar tidak
ada defisit neurologis dan setelah 3 hari di rawat di RS kondisi klinis pasien
membaik, tidak ada kejang berulang dan pasien bisa rawat jalan.
BAB V
KESIMPULAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
pasien diiagnosa dengan kejang demam kompleks e.c faringitis akut. Terapi yang
diberikan sudah sesuai dengan teori. Pada kasus ini prognosis pasien baik setelah
kejang pasien langsung sadar tidak ada defisit neurologis dan setelah 3 hari di rawat
di RS kondisi klinis pasien membaik, tidak ada kejang berulang dan pasien boleh
pulang.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi


Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.2016
2. Rasyid Z, Dian K, Christin V. Determinan Kejadian kejang pada Balita di
Rumah Sakit Ibu dan anak Budhi Mulia Pekan baru. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Indonesia. 2019; 3(1).
3. Ismet. Kelompok staf medis (KSM) ilmu kesehatan anak RSUD arifin achamd
pekanbaru. Kejang demam. Jurnal kesehatan Melayu.2017;1(1).
4. Nikhil P, Dipak R, Dkk. Febrile Seizures. Clinical review. 2022.
5. Smith D, Kerry P, Molly B. Febrile Seizures: Risk,Evaluation, and Prognosis.
American Academy of Faimily Physicians.2019; 99(7)
6. Sawires R, Jim B, and Michaek F. Frontiers in pediatrics. A Review of Febrile
seizures: Recent advances in understanding of febrile seizure pathophysiology
and commonly implicated viral triggers. 2022; 9(1).
7. Pengurus besar ikatan dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pratama. Panduan Praktik klinis. Jakarta.
2017;Edisi 1
8. Departemen/SMF ilmu kesehatan anak. Continuing Education. Pendidikan
Kedokteran berkelanjutan Ilmu kesehatan Anak. Pediatric emergencies:
Responsiveness in diagnostic and management. Fakultas kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya.2018.

40

Anda mungkin juga menyukai