Anda di halaman 1dari 27

RESPONSI KASUS

KEJANG DEMAM

Oleh:
Ichlazul Ma’ruf 2002612039
I Kadek Meidi Antika 2002612065

Pembimbing:
dr. Ayu Setyorini Mestika Mayangsari, M.Sc., Sp.A(K)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, laporan responsi kasus yang mengambil topik “Kejang Demam” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Responsi kasus ini disusun sebagai salah
satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada


pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan responsi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. dr. Ayu Setyorini Mestika Mayangsari, M.Sc., Sp.A(K) selaku


pembimbing sekaligus penguji dalam penyusunan responsi kasus ini;

2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan


responsi kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan responsi kasus ini masih jauh dari
sempurna, sehingga saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga laporan
responsi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 23 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2
2.1 Definisi ............................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi .................................................................................... 2
2.3 Etiologi ............................................................................................. 3
2.4 Patofisiologi ..................................................................................... 3
2.5 Klasifikasi......................................................................................... 4
2.6 Diagnosis .......................................................................................... 5
2.7 Diagnosis banding ............................................................................ 7
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................... 8
2.9 Prognosis .......................................................................................... 10
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................. 11
3.1 Identitas Pasien ................................................................................. 11
3.2 Anamnesis ........................................................................................ 11
3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang .................................................... 11
3.2.2 Riwayat Penyakit Terdahulu .................................................. 12
3.2.3 Riwayat Penyakit dalam Keluarga ......................................... 12
3.2.4 Riwayat Pengobatan ............................................................... 12
3.2.5 Riwayat Pribadi, Sosial, dan Lingkungan .............................. 12
3.2.6 Riwayat Persalinan ................................................................. 12
3.2.7 Riwayat Imunisasi .................................................................. 12
3.2.8 Riwayat Nutrisi ....................................................................... 13
3.2.9 Riwayat Tumbuh Kembang .................................................... 13
3.2.10 Riwayat Alergi ...................................................................... 13

iii
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 13
3.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................... 16
3.5 Diagnosis .......................................................................................... 16
3.6 Penatalaksanaan ............................................................................... 16
3.7 Prognosis .......................................................................................... 16
3.8 KIE ................................................................................................... 17
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................... 18
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epilepptikus ............. 8

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kejang demam dan kriterianya............................................................. 4

vi
BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.1

Kejang demam merupakan gangguan neurologis pada anak yang terjadi 2-


5% pada anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat
dengan insiden puncaknya pada rentang usia 12 dan 18 bulan. Pada populasi di Asia
yakni anak-anak di India mengalami 5-10% dan di Jepang 6-9% kasus. Kasus
kejadian kejang demam tertinggi pernah dilaporkan di Guam dengan insidensinya
mencapai 14%.2

Di Indonesia, kejang demam terjadi terbanyak pada usia 18 bulan. Data


yang didapat dari RSAB Harapan Kita Jakarta terdapat 86 kasus kejang demam
pada tahun 2008-20103 dan di RSU Bangli terdapat 47 kasus pada tahun 2007.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa berulangnya kejang demam
dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Kejang demam memiliki risiko untuk
berulang setelah pertama kali mengalami kejang demam sekitar 60%, dan 75%
diantaranya terjadi dalam satu tahun pertama.3 Penyebab kejang demam bersifat
multifktorial, diantaranya dapat disebabkan oleh faktor genetik atau adanya riwayat
kejang di keluarga, otak yang masih belum matur, dan infeksi.3

Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia, kejang


demam pada anak merupakan kompetensi 4A (Konsil Kedokteran Indonesia, 2019).
Oleh karena itu, sebagai lulusan dokter diharapkan mampu untuk membuat
diagnosa klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit ini secara mandiri tuntas.
Oleh sebab itu, penulis mengangkat topik ini agar dapat menambah wawasan
mengenai definisi hingga penatalaksaan dari kejang demam.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Unit Kerja Koordinasi (UKK) Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia


(IDAI) mendefinisikan, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu
di atas 380 C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan
oleh proses intrakranial.1

Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan


elektrolit atau metabolik lainnya. Apabila ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Pada anak berumur antara
1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. National
Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan
Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih
dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
Sedangkan, bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1

2.2. Epidemiologi

Prevalensi usia kejadian anak-anak mengalami kejang demam menurut


literatur medis berkisar pada usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Kurang lebih 4%
anak-anak mengalami kejang demam dalam usia tersebut.4 Insidensi usia kejang
demam puncaknya terjadi pada usia 18 bulan dan paling umum antara 6 bulan dan
5 tahun, sekitar 20-30% kejang demam sederhana menjadi kompleks.5 Kejang
demam merupakan gangguan neurologis pada anak dan mempengaruhi 2-5% pada
anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan
insiden puncaknya pada rentang usia 12 dan 18 bulan. Pada populasi di Asia yakni
anak-anak di India mengalami 5-10% dan di Jepang 6-9% kasus.2

2
3

2.3. Etiologi

Demam dengan suhu tinggi melampaui ambang batas suhu kejang pada
anak adalah penyebab dari kejang demam. Kejang terjadi ketika suhu tubuh pasien
meningkat lebih dari 380C akibat demam.4 Demam pada anak dapat disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya infeksi mikroorganisme (bakteri,virus), vaksinasi,
dehidrasi, sunburn, dan kondisi medis tertentu (penyakit metabolik, penyakit
rematik, dan alergi).6 Pada kejang demam, kejadian demam paling banyak
disebabkan oleh infeksi virus yang mencapai 80% dari kasus kejang demam. Infeksi
yang sering berkaitan dengan kejang demam adalah otitis media, infeksi saluran
napas atas dan bawah (seperti tonsilitis, pneumonia,bronkitis dan sinusitis), infeksi
gigi, dan gastroenteritis (terutama yang disebabkan oleh rotavirus).7

Roseola infantum (eksantema subitum), influenza A, dan human


coronavirus HKU1 memiliki risiko tertinggi untuk kejang demam. Virus saluran
pernapasan atas, faringitis, otitis media, dan Shigella gastroenteritis juga dapat
menimbulkan kejang demam.2 Virus yang paling sering berkorelasi dengan kejang
demam adalah human herpesvirus 6, influenza, adenovirus, dan parainfluenza.
Pemberian vaksin tertentu telah terbukti meningkatkan risiko kejang demam akibat
sistem kekebalan anak sedang mengembangkan antibodi untuk melawan kuman
yang bertujuan untuk melindungi mereka dari vaksin. Salah satu vaksin yang telah
terbukti berkaitan dengan kejadian kejang demam adalah MMR (Measles-Mumps-
Rubella) dengan usia pemberian vaksin tertentu lebih berisiko untuk mengalami
kejadian kejang demam.8

2.4. Patofisiologi

Kejang timbul akibat aktivasi kelompok neuron yang sinkron,


berkepanjangan dan tidak terkendali serta dari ketidakcocokan dalam aktivitas
eksitasi dan inhibisi di otak. Diduga bahwa kombinasi dari predisposisi genetik dan
faktor lingkungan (demam dan penyebabnya) memicu kejadian tersebut. Telah
ditemukan beberapa kondisi predisposisi genetik yang berpengaruh terhadap
kejadian kejang diantaranya atrofi hippocampal, variasi genetic tertentu pada
Voltage-Gated Sodium Ion Channels, dan mutasi pada HCN (Hyperpolarisation
Activated Cyclic Nucleotide-Gated) channels. Pada kejang demam kenaikan
4

temperatur otak pada kondisi demam menyebabkan peningkatan aktivitas saraf


yang tersinkronisasi yang menginduksi terjadinya kejang. Hipertermia dapat
meningkatkan eksitabilitas sel granula piramidal dan dentate, serta sel inhibitory
interneuron. Terjadi gangguan permeabilitas sel, termasuk sel neuron yang
menyebabkan ion natrium mudah masuk ke sel neuron dan mendorong ion kalium
keluar yang menyebabkan sel neuron tereksitasi berujung pada bangkitan kejang.
Kejang demam juga dapat menyebabkan sel granula ektopik menjadi lebih
menyimpang dan berliku-liku, dan membuat otak hipereksitasi. Hal ini dapat
meningkatkan kejadian kejang berulang setelah kejang pertama. Mekanisme ini
menginduksi aktivitas kejang dengan terjadinya peningkatan rangsangan,
penurunan ambang kejang, dan peningkatan penghambatan interneuron serta
menambah sinkronisitas sel.9

Demam juga dapat memicu kejang demam melalui jalur inflamasi. IL-1α
dan IL1β, TNF-α, IL-6, dan Interferon (IFN) adalah semua sitokin dari jalur
pirogenik, dengan IL-10 adalah sitokin anti-inflamasi diproduksi sebagai respons
terhadap IL-1β, IL-6, dan TNF-α dimana IL-1β dan IL-10 meningkat pada kejang
demam. Mutasi pada gen IL-1α dan IL-1β dapat memproduksi variasi pemicu
kejang dalam sitokin inflamasi. Timbulnya kejang demam pada dasarnya terjadi
secara multifaktorial dengan adanya kondisi hipereksitabilitas pada neuronal
disertai adanya sitokin inflamasi dapat menyebabkan kejang.9

2.5 Klasifikasi

Kejang demam dibagi menjadi kejang demam sederhana (simple febrile


seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Klasifikasi kejang
demam dan kriterianya dapat dilihat pada tabel 2.1.1

Tabel 2.1 Kejang Demam dan Kriterianya.1

Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks

Kejang demam yang berlangsung Kejang demam yang berlangsung lama


singkat (<15 menit) (>15 menit)
5

Bentuk kejang umum (tonik dan atau Bentuk kejang fokal atau parsial satu
klonik) sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial

Tidak berulang dalam waktu 24 jam Berulang atau lebih dari 1 kali dalam
waktu 24 jam

Keterangan:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit
dan berhenti sendiri.
3. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
4. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara
2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang
mengalami kejang demam.

2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Pilar utama dalam penegakkan diagnosis dari kejang demam adalah dengan
anamnesis. kejang demam sebagian besar dapat didiagnosis hanya dengan
anamnesis saja. Anamnesis dilakukan secara sistematis menggunakan basic
four dan sacred seven. beberapa aspek yang penting digali adalah terkait
gejala kejang tersebut, baik frekuensi, durasi, serta tipe kejang yang terjadi.
berikutnya adalah penelusuran riwayat demam, adapun yang digali seperti
riwayat mulai demam, suhu tubuh ketika demam, respon terhadap
pemberian antipiretik. berikutnya penelusuran kemungkinan penyebab
kejang demam, dapat ditemukan infeksi saluran nafas, pencernaan yang
menyertai. Serta penelusuran terkait faktor risiko lain seperti riwayat
kehamilan.2
2. Pemeriksaan Fisik
6

Pemeriksaan fisik pada kasus kejang demam tidak terlalu spesifik


digunakan untuk mendiagnosis kejang demam. Pada kejang demam
sederhana biasanya tidak ditemukan kelainan yang berarti. Pemeriksaan
fisik biasanya mengarah pada penyakit yang mendasari kejang tersebut
seperti didapatkan auskultasi rhonki pada bronkopneumonia.2
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium spesifik yang digunakan
untuk mendiagnosis kejang demam, pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan pada kasus kejang demam biasanya dilakukan untuk penelusuran
etiologi penyebab kejang seperti infeksi saluran nafas atas yang disertai
demam. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan elektrolit maupun gula darah. peemriksaan darah lengkap
dapat sebagai pembukti adanya infeksi bakteri atau virus dengan interpretasi
masing-masing yakni neutrofil yang meningkat (pada infeksi bakteri) serta
limfosit yang meningkat (pada infeksi virus).2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil,
pada sebagian besar kasus kejang demam, berdasarkan pemeriksaan
elektrolit didapatkan hasil hiponatremia dan hipokalsemia serta kadar
kalium darah yang normal. Sedangkan hasil pemeriksaan gula darah
sewaktu pada sebagian besar pasien didapatkan hasil hiperglikemia.10
4. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG dilakukan hanya pada kasus kejang demam
kompleks, pada sebagian besar kasus kejang demam terutama kejang
demam sederhana, tidak terdapat kelainan pada hasil pemeriksaan EEG.
Pemeriksaan EEG biasanya diindikasikan pada pasien kejang demam
kompleks dengan usia diatas 6 tahun atau kejang demam fokal. 2
5. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan apabila terdapat gejala yang
mengarah pada infeksi sistem saraf pusat, seperti meningitis, yang tentunya
sebelum direncanakan pemeriksaan lumbal pungsi ditemukan tanda-tanda
kaku kuduk melalui pemeriksaan fisik neurologis.2
7

6. Pemeriksaan Radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang dilakukan pada kasus kejang
demam diantaranya seperti CT-Scan dan MRI. Pemeriksaan pemeriksaan
tersebut sejatinya kurang dianjurkan oleh karena manfaat yang didapat tidak
sebanding dengan risiko yang mungkin timbul. Pada CT Scan, paparan
radiasi yang diterima oleh pasien sangat besar, sedangkan prosedur MRI
sendiri dikaitkan dengan penggunaan obat-obatan sedatif sebelum prosedur
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan CT Scan dan MRI sendiri digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab kejang oleh karena proses
intrakranial apabila sebelumnya ditemukan tanda-tanda infeksi SSP pada
pemeriksaan fisik.2

2.7 Diagnosis Banding


1. Meningitis Bakterial Akut
Pada meningitis bakterial akut, sering juga ditandai dengan adanya
gejala kejang. pada meningitis bakterial akut juga disertai dengan suhu
febris, nyeri kepala, tanda defisit neurologis seperti penurunan kesadaran
pasca kejang, tanda kaku kuduk, dan lain-lain. Untuk menyingkirkan
diagnosis meningitis bakterial akut ini, perlu dilakukan pemeriksaan likuor
serebrospinalis, gambaran yang didapatkan biasanya warna cairan
serebrospinal yang keruh, peningkatan kadar protein pada likuor
serebrospinal, temuan sel PMN pada likuor, dan lain-lain.4
2. Ensefalitis
Pada ensefalitis, gejala yang muncul berupa demam, nyeri kepala,
mual dan muntah, tanda defisit neurologis seperti penurunan kesadaran, dan
juga sering disertai dengan kejang. Pemeriksaan likuor serebrospinal pada
kasus ensefalitis biasanya menunjukkan hasil normal.4
3. Epilepsi
Pada kasus epilepsi terdapat gambaran kejang pada pasien, namun
tidak disertai dengan demam. untuk membantu menyingkirkan diagnosis
epilepsi, dilakukan prosedur pemeriksaan EEG, dimana gambaran yang
8

ditemukan adalah adanya gambaran gelombang abnormal epileptiform pada


pasien.4

2.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan kasus kejang demam meliputi tatalaksana saat
kejang, pasca kejang, serta profilaksis jangka panjang. 1

Gambar 2.1 Algoritma Tata Laksana Kejang Akut dan Status Epileptikus

1. Saat Kejang
• Ketika kejang terjadi di rumah, maka tatalaksana awal yang bisa
dilakukan adalah pemberian diazepam per rectal, dengan dosis 5mg
untuk BB <12Kg dan 10mg untuk BB >12Kg. Maksimal 2 kali
pemberian dengan jarak 5 menit antar pemberian. Total penanganan di
rumah 10 menit.
9

• Apabila kejang belum berhenti saat di rumah, dilakukan pemberian


diazepam secara IV di IGD, dengan dosis 0,2-0,5mg/KgBB perlahan
dengan kecepatan 2mg/menit, dosis maksimal 10 mg. Selain
menggunakan diazepam IV, dapat pula diberikan Midazolam sebagai
opsi lain, dengan rute pemberian intrabuccal/IM, 0,2mg/KgBB
maksimal 10mg. Total penanganan di IGD adalah 10 menit
• Bila dalam 10 menit pasca masuk IGD masih ditemukan kejang, dapat
diberikan fenitoin IV, 20mg/KgBB diencerkan dalam 50mL NS dengan
kecepatan 2mg/KgBB/menit maksimal 1000 mg. Total penanganan 20
menit. Opsi lain dari fenitoin adalah diberikan fenobarbital IV,
20mg/KgBB dengan kecepatan 10-20mg/KgBB/menit maksimal
1000mg.
• Bila pemberian fenitoin tidak berhasil, maka berikan fenobarbital,
begitu juga sebaliknya. Lama penanganan 30 menit.
• Bila di IGD masih belum hilang, maka persiapkan ICU (SE refrakter).
Di ICU dilakukan “knock-down” dengan midazolam bolus IV 100-
200mcg/KgBB, Propofol bolus IV 1-3mg/KgBB, atau pentobarbital
bolus IV 5-15mg/KgBB.
2. Pasca Kejang
• Terapi demam dengan menangani penyebab demam dan pemberian
antipiretik. Antipiretik yang diberikan dapat berupa paracetamol 10-
15mg/KgBB setiap 6-8 jam. Atau dapat diberikan Ibuprofen 5-
10mg/KgBB setiap 6-8 jam.
• Dilakukan pemberian antibiotik sesuai etiologi, atau obati penyakit
yang mendasari.
3. Profilaksis Kejang
Profilaksis jangka panjang
a) Antikonvulsan intermitten: Diberikan pada saat 48 jam pertama muncul
demam. dilakukan profilaksis dengan pemberian diazepam oral
0,3mg/KgBB/kali atau per rectal 5mg BB <12 kg dan 10mg BB >12 Kg
setiap 8 jam dengan dosis maksimal 7,5mg/kali.
b) Antikonvulsan kontinyu (rumatan)
10

Diberikan dengan indikasi:


- Kejang fokal
- Kejang lama >15 menit
- Terjadi kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah episode
kejang seperti hemiparesis, todd’s paralysis, cerebral palsy
- KD >4 kali setahun
Beberapa obat yang diberikan sebagai antikonvulsan rumatan yakni:
• Fenobarbital 3-4mg/KgBB/hari dibagi menjadi 2 dosis.
• Asam valproat 15-40mg/KgBB/hari dibagi menjadi 2 dosis.
• Lama terapi selama 1 tahun bebas kejang, setelah itu dihentikan
perlahan selama 1-2 bulan.

2.9 Prognosis
Sekitar 30% anak dengan riwayat kejang demam sebelumnya tetap memiliki
peningkatan risiko kejang demam berulang. Anak-anak kurang dari 12 bulan pada
saat kejang demam pertama memiliki kemungkinan 50% mengalami kejang kedua
dalam tahun pertama. Risiko ini akan turun menjadi 30% pada tahun berikutnya.
Selain pengaruh usia muda selama kejang demam pertama terjadi, riwayat kejang
demam pada keluarga, demam rendah selama kejang, dan interval yang lebih
pendek antara demam dan kejang dapat mengindikasikan kemungkinan kejang
demam berulang yang lebih tinggi. Namun, gambaran yang terkait dengan kejang
demam kompleks tidak serta merta meningkatkan risiko berulangnya kejang
demam. Sekitar 1-2% anak dengan kejang demam sederhana memiliki risiko yang
hanya sedikit lebih tinggi daripada populasi umum, namun dapat berkembang
menjadi epilepsi berikutnya. Anak-anak dengan kejang demam kompleks, kelainan
perkembangan saraf, atau dengan riwayat keluarga epilepsi memiliki risiko epilepsi
yang lebih tinggi yakni sekitar 5-10%. Saat ini belum ada bukti bahwa kejang
demam terkait dengan ketidakmampuan belajar atau kecerdasan yang lebih rendah
ketika pasien tumbuh dewasa.4
BAB III
LAPORAN KASUS

3. 1 Identitas Penderita
Nama : MZB
Tanggal Lahir/Umur : 3 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kuta Selatan, Badung
No. RM : 058165
Tanggal MRS : 14 November 2022
Tanggal Pemeriksaan : 16 November 2022

3.2 Heteroanamnesis (Ibu Pasien)


3.2.1 Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan utama kejang.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama kejang. Kejang terjadi sejak 1
hari SMRS. Menurut ibu pasien, kejang terjadi sebanyak 2 kali. Kejang
pertama terjadi di rumah pada pukul 13.00 WITA dengan durasi 1 menit,
gambaran kejang pertama yakni berupa hentakan pada tangan dan kaki.
setelah kejang selesai, pasien dikatakan langsung sadar. Kejang kedua
terjadi saat pasien berada di IGD, kejang kedua terjadi dengan durasi 1
menit. Gambaran kejang kedua yakni berupa hentakan pada tangan dan
kaki. Pasien juga mengalami demam, demam terjadi sejak 1 hari SMRS.
Saat kejang terjadi, suhu badan pasien terukur sebesar 39,7 oC , Gejala lain
yang dialami pasien adalah batuk namun jarang, pilek juga jarang, mimisan
dan gusi berdarah disangkal. Sedikit terjadi penurunan nafsu makan dan
minum. BAB dan BAK normal.
Kondisi pasien saat diperiksa tanggal 16 November 2022. Pasien
tampak dalam kondisi stabil, demam tidak ada, kejang sudah tidak ada.

11
12

Buang air kecil dikatakan tidak ada keluhan. Keluhan muntah tidak ada.
Makan dan minum masih baik

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami kejang sebelumnya saat usia 8 bulan dan
3 tahun hingga MRS dan didiagnosis kejang demam. Riwayat trauma
sebelumnya disangkal.
3.2.4 Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Terdapat riwayat kejang yang dialami oleh paman dan sepupu
pasien, keduanya sama-sama terdiagnosis epilepsi. Tidak ada riwayat
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, penyakit jantung dan tekanan
darah tinggi pada keluarga.

3.2.5 Riwayat Pengobatan


-Paracetamol (rumah)
-Paracetamol suppositoria (IGD)

3.2.6 Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan

Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ibu pasien


mengatakan pasien merupakan anak dan aktif bermain di rumah, Ayah dan
kakak pasien saat ini mengalami gejala pilek

3.2.7 Riwayat Persalinan

Selama kehamilan dikatakan ibu pasien tidak pernah menderita


penyakit maupun menggunakan obat-obatan. Pasien lahir secara sectio
caesaria ditolong oleh dokter obgyn pada usia kehamilan 37 minggu dan
lahir segera menangis. Berat badan lahir pasien 3100gram dengan panjang
badan 50 cm, lingkar kepala dikatakan lupa oleh ibu pasien. Pasien lahir
tanpa kelainan bawaan.

3.2.8 Riwayat Imunisasi

Hepatitis B : 5 kali
Polio : 4 kali
BCG : 1 kali
13

DPT : 4 kali
MR : 2 kali
JE : 1 kali
Kesan : Imunisasi lengkap

3.2.9 Riwayat Nutrisi


ASI : Sejak lahir – 6 bulan frekuensi on demand
Susu formula : Sejak usia 6 bulan frekuensi 3-4 kali/hari
Bubur susu : Sejak usia 8 bulan frekuensi 3-4 kali/hari
Nasi tim : Sejak usia 9 bulan frekuensi 3-4 kali/hari
Makanan dewasa : Sejak usia 12 bulan frekuensi 3-4 kali/hari

3.2.10 Riwayat Tumbuh Kembang

Menegakkan kepala : Sejak usia 3 bulan


Membalik badan : Sejak usia 4 bulan
Duduk : Sejak usia 6 bulan
Merangkak : Sejak usia 8 bulan
Berdiri : Sejak usia 10 bulan
Berjalan : Sejak usia 11 bulan
Bicara : Sejak usia 12 bulan
Kesan : Sesuai perkembangan

3.2.11 Riwayat Alergi


Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
Pada keluarga pasien, baik ayah dan ibu pasien juga dikatakan tidak ada
yang memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.

3.3 Pemeriksaan Fisik (16 November 2022)


3.3.1 Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan darah : Tidak dilakukan evaluasi
14

Frekuensi nadi : 103x/menit, reguler, kuat angkat


Frekuensi nafas : 22x/menit, reguler
Suhu : 36,8 oC
Saturasi O2 : 99% dengan udara ruangan
Skala Nyeri FLACC : 0

3.3.2 Status Generalis


Kepala : Normocephali, penonjolan ubun-ubun (-), lingkar
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterus (-/-), hiperemi
(-/-), sekret (-/-), pupil bulat 2/2 mm, refleks pupil (+/+),
isokor,edema palpebra -/-, mata cowong -/-
THT
Telinga : Deformitas (-), kemerahan (-), sekret bening/purulen (-)
Hidung : Deviasi Septum (-), sekret purulen (-), sekret bening(-),
darah (-), pembesaran konka (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (+), T2/T2 hiperemis (+)
Mulut : Sianosis lidah (-)
Leher : kemerahan (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-),
kaku kuduk (-).
TORAKS
Cor : Inspeksi : Precordial bulging (-), LV impulse (-)
Palpasi : Thrill (-), ictus cordis di ICS V MCL sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : S1 S2 Normal, reguler, murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Bentuk dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, massa (-),
nyeri (-)
Perkusi : tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : bronkovesikuler (+/+), wheezing (-), stridor(-)
ABDOMEN
Inspeksi : Distensi (-), nyeri tekan (-), kemerahan (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, bruit (-)
15

Perkusi : tidak dilakukan evaluasi


Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, massa (-),
nyeri tekan (-)
EKSTREMITAS
Atas : Deformitas (-), atrofi (-/-), krepitasi (-/-), hangat
(+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
Bawah : Deformitas (-), atrofi (-/-), krepitasi (-/-), hangat
(+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
KULIT : Kutis marmorata (-), Pucat (-), petekie (-), purpura
(-), sianosis (-), icterus (-),turgor kembali dengan
cepat
GENITALIA : Laki-laki

3.3.3 Pemeriksaan Neurologis


Kesadaran : Compos Mentis, GCS E3V3M4
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (-)
Tenaga : Normal
Tonus : Normal
Tropik : Normal
Refleks Fisiologis :
Bicep (++)
Tricep (++)
KPR (++)
APR (++)
Refleks Patologis : Babinski (-)
Nervus Kranialis:
Nervus I : Tidak dilakukan evaluasi
Nervus II : Reflek pupil +/+, isokor 2/2 mm
Nervus III, IV, VI :Tidak ditemukan nistagmus, strabismus, dan ptosis
Nervus V : tidak dilakukan evaluasi
Nervus VII : kerutan dahi simetris, sulkus nasolabialis simetris
Nervus VIII : Tidak dilakukan evaluasi
16

Nervus IX, X, XI, XII : Intak menelan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah Lengkap (15 November 2022)
WBC : 14,13 x 103/microL
NE% : 66,5 %
NE# : 9,4 103/microL
HGB : 12,2 g/dL
HCT : 39,2 %
PLT : 350 x 103/microL
2. Pemeriksaan Elektrolit (12 November 2022)
Na : 136 mmol/L
K : 3,9 mmol/L

3.5 Diagnosis
- Kejang Demam Kompleks
- Tonsilofaringitis akut

3.6 Tatalaksana
1. Kebutuhan cairan 1250 ml/hari ~ mampu minum 600 ml ~ IVFD D5 ½ NS
30 ml/jam
2. Paracetamol 10-15 mg/kgBB/hari ~ 150 mg, jika suhu > 38 oC
3. Ceftriaxone 80 mg/kgBB/hari ~ 1200 mg tiap 24 jam IV
4. Ambroxol 0,5 mg/kgBB/hari ~7,5 mg tiap 8 jam oral

3.7 Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad sanationam : Bonam
3. Ad functionam : Bonam
17

3.8 KIE
1. Menjelaskan kepada orangtua pasien tentang penyakit kejang demam yang
sedang diderita pasien.
2. Menjelaskan kepada orangtua pasien bahwa kejang demam umumya
mempunyai prognosis baik.
3. Memberitahukan kepada orangtua pasien bagaimana cara penanganan
kejang:
- Tetap tenang dan tidak panik
- Longgarkan pakaian yang ketat terutama sekitar leher
- Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung
- Walaupun terdapat kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatu kedalam mulut
- Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang
- Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang
- Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5
menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti.
- Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung > 5 menit,
suhu > 40 C, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang
fokal atau satu sisi, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan
4. Memberikan informasi kepada orangtua pasien mengenai kemungkinan
berulangnya kejang demam
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan temuan kasus pada pasien MZB yang saat ini mengalami kejang
pada usia 3 tahun 6 bulan. Berdasarkan literatur yang ada, secara epidemiologi sebagian
besar kasus kejang demam terjadi diantara rentang usia 6 bulan hingga 5 tahun. Pasien
MZB mengalami kejang yang berulang hingga saat ini yakni ketika usia 8 bulan, 3
tahun, serta 3 tahun 6 bulan, jika dibandingkan dengan literatur yang ada maka data
temuan kasus yang ada maka sudah sesuai secara epidemiologi baik dari onset pertama
hingga onset saat ini.
Pasien MZB didiagnosis dengan kejang demam kompleks. jika dibandingkan
manifestasi klinis yang ada berdasarkan literatur yang ada maka didapatkan beberapa
kesesuaian antara kasus dengan literatur. Pasien MZB mengalami demam dengan suhu
39,7 C 1 hari SMRS, dimana sesuai dengan literatur yang ada, gejala demam yang
dialami oleh pasien sudah sesuai dengan kriteria diagnosis kejang demam karena
terdapat riwayat demam yang mendasari sebelum terjadinya kejang. Berdasarkan
frekuensi kejang pasien yakni dengan frekuensi 2 kali dalam sehari (14 November
2022) maka diagnosis cenderung mengarah ke kejang demam kompleks yaitu terjadi
kejang berulang dalam 24 jam terakhir.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yakni pemeriksaan
darah lengkap dan elektrolit, pada pasien MZB didapatkan kadar natrium normal (Na
136) serta kadar kalium normal (K. 3,9). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
RSUP Dr. M. Djamil, dimana didapatkan bahwa hasil pemeriksaan elektrolit memiliki
pengaruh terhadap sebagian besar kasus kejang demam yang dirawat di bangsal anak
rumah sakit tersebut, sebagian besar didaptkan hasil hiponatremia, kadar kalium
normal, dan hipokalsemia. Jika dibandingkan hasil pemeriksaan elektrolit MZB maka
terdapat kesesuaian pada hasil pemeriksaan kadar kalium. Jika dilihat dari pemeriksaan
darah lengkap, pasien MZB mengalami peningkatan neutrofil baik secara persentase
maupun jumlah absolut, ini menandakan pasien memiliki kecendrungan mengalami

18
19

infeksi bakteri, dimana infeksi ini terkait dengan manifestasi demam pasien yang
berujung pada timbulnya kejang.
Terapi farmakologi yang diberikan kepada pasien di RS Unud yakni
paracetamol 10-15mg/KgBB/hari, ceftriaxone 80 mg/KgBB/hari, ambroxol 0,5
mg/kgBB/hari, diazepam 10 mg suppositoria. Jika dibandingkan dengan literatur yang
ada maka sudah sesuai pilihan terapi ketika kejang dengan kasus MZB baik pilihan
obat, rute pemberian, serta dosis, yakni diazepam 10 mg (BB 15 kg) suppositoria.
Untuk pengobatan pasca kejang yang diberikan sesuai dengan literatur yakni diberikan
paracetamol sebagai antipiretik, ceftriaxone sebagai antibiotik untuk mengobatin
penyakit yang mendasari, serta ambroxol sebagai mukolitik untuk mengatasi gejala
dari penyakit yang mendasari pasien. Untuk profilaksis kejang pasien saat ini tidak ada.
Dilihat dari prognosis kejang pasien berdasarkan onset pertamanya, dimana
onset awal kejang demam pada pasien yakni ketika usia 8 bulan, Berdasarkan literatur
yang ada, terjadi peningkatan kemungkinan mengalami kejang ulangan yakni sebesar
50% pada tahun pertama, dan semakin menurun menjadi 30% pada tahun berikutnya.
jika dibandingkan antara kasus dengan literatur, maka terdapat kesesuaian terjadinya
kejang ulangan pasca kejang demam pertama (usia 8 bulan), dan kejang demam onset
saat ini kemungkinan disebabkan oleh risiko kejang demam ulangan pasca kejang
demam pertama.
BAB V
KESIMPULAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu > 38ºC, dengan metode pengukuran
apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang demam
diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
Kejang terjadi ketika suhu tubuh pasien meningkat lebih dari 38OC akibat demam.
Demam pada anak dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya infeksi
mikroorganisme (bakteri, virus), vaksinasi, dehidrasi, sunburn, dan kondisi medis
tertentu (penyakit metabolik, penyakit rematik, dan alergi). Timbulnya kejang demam
pada dasarnya terjadi secara multifaktorial dengan adanya kondisi hipereksitabilitas
pada neuronal disertai adanya sitokin inflamasi dapat menyebabkan kejang. Pada
kejang demam pasien yang ditemukan sedang mengalami kejang akan memiliki suhu
tubuh ≥39°C. Bentuk kejang dapat berupa kejang fokal maupun kejang umum
tergantung jenis kejang demam. Dalam kasus kejang dibutuhkan anamnesis serta
pemeriksaan fisik terkait tipe, durasi, dan frekuensi demam yang kemudian disesuaikan
dengan kriteria. Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak wajib pada kejang
demam sederhana selain untuk melihat sumber penyebab dari demam. Namun apabila
anak memiliki kejang demam kompleks, defisit neurologis, atau tanda dan gejala
penyakit lain (seperti meningitis atau gangguan metabolisme), maka diperlukan
penunjang lebih lanjut. Diagnosis banding dari kejang demam adalah gangguan
intrakranial (meningitis, ensepalitis), infantile spasm, dan epilepsi. Tatalaksana kejang
demam dibagi menjadi pada fase saat kejang, pasca kejang, dan profilaksis
anticonvulsant jangka panjang.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. 2016


2. Leung AK, Hon KL, Leung TN. Febrile seizures: an overview. Drugs Context.
2018 Jul 16;7:212536. doi: 10.7573/dic.212536. PMID: 30038660; PMCID:
PMC6052913.
3. Dewi PA, Lely AA, Budiapsari PI. Hubungan Berulangnya Kejang Demam pada
Anak Dengan Riwayat Kejang di Keluarga. AMJ (Aesculapius Medical Journal).
2021 Oct 30;1(1):32-7.
4. Xixis KL, Samanta D, Keenaghan M. Febrile Seizure. [Updated 2022 Jul 4]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448123/.
5. Seinfeld DS, Pellock JM. Recent research on febrile seizures: a review. Journal of
neurology & neurophysiology. 2013 Sep 1;4(165).
6. Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). Fever in children:
Overview. Cologne, Germany; 2019.
7. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of pediatric febrile seizures. Int J
Environ Res Public Health. 2018;15(10).
8. Dustin. S, Kerry.P. S, Molly. B. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and
Prognosis. Am Fam Physician [Internet]. 2019;99(7):445–50. Available from:
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&id
=L627113500.
9. Sawires R, Buttery J, Fahey M. A Review of Febrile Seizures: Recent Advances
in Understanding of Febrile Seizure Pathophysiology and Commonly Implicated
Viral Triggers. Front Pediatr. 2022;9(January):1–8.
10. Imaduddin K. et al. Gambaran Kadar Elektrolit dan Gula Darah Pasien Kejang
Demam yang Dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr. M. DJamil Periode Januari 2010
– Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas 2013 volume 2(3).

21

Anda mungkin juga menyukai